close

wisata

Ragam

Bagaimana Ekoturisme Sejahterakan Warga dan Turis

Bagaimana cara membuat pulau destinasi wisata dengan infrastruktur terbatas tumbuh menjadi lokasi favorit bagi turis sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga? Kisah sukses Dominika patut dicermati.

Bagi banyak turis yang datang ke Dominika di Kepulauan Karibia, lokasi ini bisa jadi pengalaman pertama menjejak surga di atas bumi. Aktivitas menonton paus dan mendaki sangat populer, dan para wisatawan umumnya bermalam di ‘eko-penginapan.’ Bagi banyak turis, akomodasi semacam ini merupakan pengalaman baru. Bagi pemerintah setempat, ini semua bagian dari rencana besar.

Tergantung anggaran, turis yang bermalam bisa memilih pondok kayu sederhana atau akomodasi mewah seperti Papillote Wilderness Retreat atau resor Jungle Bay. Dimanapun, pemandangannya adalah air laut yang biru dengan aroma minyak Laurus nobilis di udara. Minyak ini dibuat dengan tangan di desa seberang.

“Filosofinya adalah kami ingin sebanyak mungkin produk yang dihasilkan petani lokal,” kata Nancy Atzenweiler dari resor Jungle Bay. Ini berarti tidak ada daging merah bagi pengunjung, karena hanya ada sedikit sapi di Dominika.

Ini sesuai dengan konsep yang telah diamalkan Dominika untuk waktu yang cukup lama. Tahun 1997 pemerintahan pulau berpenduduk 70.000 orang ini menjadi yang pertama di kawasan yang menandatangani perjanjian dengan World Travel and Tourism Council (WTTC). Tujuannya mendorong Dominika menjadi pusat ekoturisme.

Namun kompromi juga harus dilakukan, ujar Atzenweiler. “Karena ada juga yang menginginkan susu di dalam kopi mereka,” Atzenweiler mengaku. “Namun ikan, ayam, sayuran dan buah: Semuanya dari sini.”

‘Emas hijau’ yang baru
Bukan kebetulan kalau Dominika dipaksa berpikir kreatif untuk mempertahankan bisnis setempat. Hingga pertengahan 90-an, pulau ini hanya hidup dari satu jenis ’emas hijau:’ pisang. Setiap pekan kapal-kapal memuat buah tersebut menuju Eropa. Namun Eropa akhirnya mengubah perjanjian dagang dan tak lama kemudian ekspor pisang tidak bisa lagi menjadi andalan.

Resor di Dominika juga membantu petani setempat dengan rencana bisnis mereka. Petani seperti Desmond dan Tony kini sangat sukses sampai-sampai mereka menyuplai supermarket lokal. Tamu hotel di resor Jungle Bay juga dapat mengunjungi lahan pertanian untuk merasakan tanaman lokal eksotis seperti labu siam atau apel custard yang berduri.

Pakar turisme Jürgen Schmude telah bepergian ke Dominika dalam 5 tahun terakhir untuk meneliti bagaimana pulau ini mampu mencapai target ekoturisme. Menurutnya Dominika memiliki turisme yang berbasis komunitas, yang melibatkan usaha setempat dan para petani.

Contoh yang masih langka
Turisme tak berkelanjutan masih menjadi masalah di banyak belahan dunia, keluh Schmude.

“Kami tahu banyak pemilik hotel di Jerman, misalnya, yang hanya berusaha menyajikan buah dan sayur lokal yang sedang musim,” ungkap profesor dari München tersebut kepada DW. “Lalu mereka bermasalah dengan tamu karena tidak memiliki jus jeruk yang segar.”

Banyak pulau lainnya di Karibia yang masih lebih tertarik pada turis kapal pesiar atau pesta pernikahan dan berinvestasi untuk pelabuhan kapal besar dan bahkan bandara yang lebih luas.

“Tentu kami khawatir bahwa sebagai sebuah pulau kami tidak terlalu berkembang,” kata Kerry, seorang warga Dominika. “Namun pulau-pulau lain sekarang terlalu berorientasi kepada turis dan menjadi sedikit sesak. Mereka tidak memiliki sensasi pulau yang menenangkan lagi, seperti di sini.”[]

Sumber: dw.de

read more
Green Style

Wisata Ramah Lingkungan Butuh Pedoman Khusus

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ingin menggalakkan pariwisata berbasis pembangunan berkelanjutan demi terciptanya destinasi wisata yang ramah lingkungan. Saat ini, beberapa destinasi wisata di Indonesia sudah menerapkan konsep berkelanjutan, namun belum ada pedomannya.

Hal inilah yang ingin dicapai, dengan mensinergikan komunikasi antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama lima kementerian lain, yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan & Perikanan, serta Bappenas.

“Sebenarnya, kita sudah punya banyak destinasi yang mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan, tapi kan tidak tahu apa mereka sekadar embel-embel atau memang sengaja melakukannya,” kata Firmansyah Rahim, Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenparekraf, di Jakarta, baru-baru ini.

Kemenparekraf pun sudah memberikan upaya dengan apresiasi pada destinasi yang melakukan hal tersebut. “Kan sudah ada Green Hotel Award, ada Cipta Award, itu salah satu upayanya,” ujar Firman.

Namun, menurutnya, semua itu perlu dilengkapi dengan pedoman yang sesuai standar internasional. “Percuma saja bila kita buat destinasi wisata yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan, tapi standarnya tidak diakui dunia,” tukasnya.

Sumber: okezone.com

read more
Green Style

Jerinx SID: Pantai Kuta Sudah Kehilangan Ruhnya

Marah buminya, makin tak terkendali
Marah buminya, kita semua kan mati
Marah buminya, makin tak teratasi
Marah buminya, semua mati dan terluka!

Bait di atas bukan mengajak orang lain untuk marah, melainkan penggalan lirik lagu berjudul “Marah Bumi” yang dipopulerkan “Superman Is Dead”, sebuah kelompok musik yang besar di Bali. Cara bermusik “Superman Is Dead” atau dikenal SID itu memang terkesan garang. Tapi percayalah kegarangan Bobby Kool (vokal), Eka Rock (bass), dan Jerinx (drum) itu hanya sebatas gaya bermusik. Mereka yang selama ini bermarkas di Jalan Poppies II, Kuta, itu memiliki kecintaan yang boleh dibilang luar biasa terhadap alam.

Wajar, markas mereka memang berada hanya beberapa meter dari garis Pantai Kuta, salah satu objek wisata bertaraf internasional, yang dari tahun ke tahun mengalami degradasi kualitas natural. Kuta yang menjadi tempat favorit untuk berselancar dan berjemur, kini sudah mulai ditinggalkan seiring dengan makin menjamurnya destinasi wisata pantai di Bali dan tempat-tempat lain yang tak kalah menariknya. Bahkan, hampir setiap tahun di Bali selalu ada objek wisata baru yang menawarkan pesona dan panorama alami titisan Dewata.

Sebagai pemuda yang lahir dan besar di Bali, Jerinx merasa tergugah dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Dalam berbagai kesempatan pria yang bernama lengkap I Gusti Ary Astina itu selalu menyerukan pelestarian alam.

jerinx“Hampir sebulan sekali, kami mengajak ‘outsider’ (julukan penggemar fanatik SID) untuk bersih-bersih pantai,” tutur Jerinx mengawali obrolannya di sebuah kafe favoritnya di kawasan Kerobokan, Kuta, sambil mengiringi perjalanan matahari menuju peraduannya.

Ia tak rela Kuta sebagai kampung halamannya itu “sakit” dan merana akibat ketidakpedulian. Orang-orang datang dari berbagai penjuru, hanya menikmati keindahan tanpa bisa memberikan kontribusi positif untuk kelestarian alam. Pantai Kuta tidak hanya sesak oleh pelancong dari berbagai ras, melainkan juga penuh oleh tumpukan sampah. Sisa-sisa aneka kebutuhan manusia itu berbaur dengan material hutan di seberang pulau dapat dengan mudah dijumpai di atas hamparan pasir putih Pantai Kuta.

Sebagian pemangku kepentingan menyebutnya sebagai “sampah kiriman”, namun sebagian besar pelaku industri pariwisata justru menciptakan sampah. Semua saling tuding, saling merasa benar, tanpa sedikit pun berupaya mengatasi persoalan sampah yang makin tak terkendali.

Melalui komunitasnya sebagai anak “band”, Jerinx mengajak anak muda untuk peduli terhadap lingkungan. “Bersih-bersih pantai kami iringi dengan bersepeda bersama,” kata pria yang hampir seluruh badannya itu dipenuhi tato.

Kegiatan itu dia mulai sejak 2005. “Sebenarnya tidak hanya pantai, tapi juga tempat-tempat lain, seperti Taman Kota, yang layak mendapat perhatian saya dan teman-teman. Kegiatan kami ini sekaligus untuk mengedukasi masyarakat secara langsung,” ucapnya.

Jerinx tak ingin disebut sebagai pelestari lingkungan karena merasa upaya yang dia lakukan selama ini tidak seberapa, apalagi dibandingkan dengan tingginya tingkat kerusakan alam. Namun dia tak ingin hanya berwacana lewat lagu yang biasa dibawakan bersama teman-temannya di SID.

“Kami tidak ingin hanya berwacana saja saat di atas panggung. Kami memberi contoh sekaligus melibatkan teman sebaya melalui perilaku sehari-hari. Memang hal ini tidak mudah, butuh pengorbanan dan kepedulian,” ujarnya.

Ajakan SID itu dia sampaikan melalui jejaring sosial. Tidak hanya soal kebersihan, Jerinx juga memberikan beberapa tips, seperti membuang sampah plastik, merokok tanpa mengotori dan mencemari lingkungan, dan hal-hal kecil lain yang selama ini luput dari perhatian semua orang.

“Kami berharap edukasi melalui tindakan nyata dan sosial media dapat menjadi inspirasi bagi ‘outsider’ sekaligus diimplementasikan oleh orang-orang lain dalam kehidupan sehari-hari,” kata penggebuk drum kelahiran 36 tahun silam itu

Berbeda karena Peduli
Kepedulian Jerinx dan teman-temannya di SID terhadap pelestarian lingkungan memang tidak perlu diragukan lagi. Selain menyuarakannya lewat tembang-tembang ciptaannya, Jerinx juga melakukan aksi nyata. Bahkan, tidak jarang pendapatannya dari panggung hiburan musik di Tanah Air itu disalurkannya untuk mewujudkan cita-cita idealnya sebagai manusia yang peduli terhadap Tuhan, sesama, dan lingkungan sebagaimana filosofi hidup masyarakat Pulau Dewata, yakni Tri Hita Karana.

“Dalam bermusik, kami tidak hanya bisa menjual kreativitas, melainkan juga memberikan sesuatu yang manfaat kepada alam. Sederhananya, bukankah musik itu setidaknya punya nafas keadilan, kemanusian, dan alam,” katanya berfilsafat.

Dia berpendapat bahwa seni tidak melulu menjadi alat untuk mencari uang atau keuntungan material semata, melainkan harus bisa memberikan sumbangsih pada sisi-sisi kemanusian. “Komersial boleh, asalkan ada kesimbangan antara idealisme dan kebutuhan pasar,” ucap pemilik sejumlah “distro” di kawasan Kuta itu.

“Apabila terlalu idealis, tentu grup band itu tidak akan mampu bersaing dalam industri musik. Komersial itu tidak apa-apa, asalkan gerakan untuk melakukan perubahan tetap dilakukan. Kami ingin melahirkan agen-agen perubahan sebanyak mungkin di Indonesia,” ujarnya.

Dalam kehidupan nyata, dia melihat kerusakan alam ini makin parah. Pemangku kepentingan hanya mencari keuntungan sesaat. “Ekologi di Pulau Bali sangat mengkhawatirkan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan,” ucapnya dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kami kira solusi dari keadaan tersebut adalah melakukan revolusi dalam artian melakukan perubahan secara besar-besaran untuk menghilangkan cara pemikiran yang merusak itu,” katanya menambahkan.

Oleh sebab itu, menurut dia, masyarakat Bali sangat membutuhkan pemimpin yang figurnya seperti Jokowi. Kebetulan saat ini situasi politik di Bali sedang hiruk-pikuk menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali untuk periode lima tahun mendatang.

Karena itu pula dalam berbagai kesempatan, Jerinx yang mendapatkan hak suara pada Pilkada Bali 15 Mei mendatang itu terus menyuarakan tentang alam yang harus menjadi perhatian bagi pemimpin masa depan di pulau yang dikenal keindahannya itu oleh masyarakat dunia.

“Kami justru khawatir jika nanti tanah milik warga Pulau Dewata akan beralih kepada para pemilik modal. Gejala ini sudah lama terjadi sehingga butuh pemimpin yang punya kekuatan untuk menahan gempuran pemilik modal. Sudah lama sekali masyarakat Bali ini jadi penonton,” kata pria yang tak pernah lepas dari rokok tersebut.

Pada bulan Mei yang bertepatan dengan hiruk-pikuk politik di Bali, SID berencana meluncurkan album baru. Di album itu terdapat 17 lagu berisi kritik sosial.  “Beberapa permasalahan sosial yang ingin kami tuntut, antara lain, pemberdayaan bisnis lokal, pola pikir aparat hukum, ketertiban umum, filterisasi wisatawan, pembatasan kendaraan, dan mempertahankan harga diri,” ucapnya.

Jerinx dan SID tidak hanya keras dalam menyampaikan kritik pedas, tapi mereka juga sudi turun sendiri untuk menyatukan jiwa dengan alam. Bahkan, tanpa sungkan-sungkan kritik pedas dan keras juga kerap disampaikannya kepada penguasa, termasuk Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Beberapa kali Jerinx dan teman-temannya mengajukan pertanyaan yang menohok uluhati penguasa, terutama terkait kualitas lingkungan yang makin menurun akibat pesatnya perkembangan industri pariwisata.

Jerinx tentu sudah tidak bisa lagi merasakan embusan angin semilir yang membuat daun-daun kelapa di Pantai Kuta melambai-lambai bagaikan jemari gadis Bali yang menari diiringi gemelan. Pantai Kuta sudah menjadi komoditas industri pariwisata, tapi tak satu pun dari pelaku industri yang memperlakukannya dengan ramah. Semilir angin laut di selatan Pulau Dewata itu kini sudah tidak lagi menerpa wajah dan menyibakkan rambut gadis-gadis Bali karena telah terhalang oleh bangunan megah yang berjejer di pinggir pantai sebagai perlambang supremasi kapitalisme. “Pantai Kuta sudah kehilangan ruhnya,” pungkas Jerinx. []

Sumber: greenersmagz.com

read more
Ragam

Menikmati Pemandangan Bawah Laut Pantai Lhokseudu

Sebuah cafe berdiri di areal seluas satu hektare di kawasan Lhok Seudu, Aceh Besar. Cafe tersebut memiliki beberapa pondok yang terletak di atas permukaan tanah yang tingginya sekitar satu meter dari letak cafe utama. Cafe yang dibuka pada 2010 itu bernama Ujoeng Glee, milik Junaidi (35).

Bukit berbaris mengapit hamparan laut yang dilintasi perahu-perahu mesin nelayan.  Permukaan tanah yang landai ditumbuhi pepohonan rindang. Sebuah perpaduan keindahan alam yang apik: hijau dedauan, biru laut, dan di kelilingi bukit yang seakan berkelok-kelok.

“Launching-nya saat Piala Dunia,” kata pria yang berdomisili di Gampong Layeun, Aceh Besar, itu, mengingat kembali awal mula didirkannya cafe tersebut, Selasa (14/1/2014) lalu.

Cafe tersebut, kata Junaidi, dibangun secara bertahap. Dia menceritakan, tanah tempat didirikannya cafe itu awalnya merupakan ladang. Tapi tsunami pada 2004 lalu menerjang dan meluluh-lantakkan ladang milik keluarganya itu. “Tanah  sudah terkikis. Tinggal bebatuan. Saya berfikir, ini kalau dijadikan ladang tak mungkin lagi. Lantas saya bukalah cafe ini,” katanya.

Perahu dan snorkeling
Tak hanya membuka usaha cafe, Junaidi juga menyewakan alat selam dan juga perahu mesin untuk para pengunjung yang ingin menikmati keindahan terumbu karang di bawah laut.

Perahu mesin  miliknya berbentuk pondok berukuran 4 x 4 meter. Perahu tersebut beratapkan seng berwarna cokelat dan disangga oleh dua belas tiang kayu. Perahu itu juga dilengkapi dengan dinding yang terbuat dari balok-balok kayu berwarna hijau. Yang unik adalah kaca setebal lima millimeter yang berada di tengah-tengah perahu tersebut. Dari kaca itulah, para pengunjung dapat melihat terumbu karang di bawah laut.

Junaidi mengatakan, perahu mesin tersebut beroperasi pada Bulan Ramadhan 2012.

“Inspirasinya datang dari diri sendiri. Alat-alat snorkeling sudah ada. Tapi masih ada yang kurang, soalnya ada juga pengunjung yang tak berani menyelam. Jadi, terpikirlah oleh saya bagaimana cara agar para pengunjung yang tak berani snorkeling, bisa melihat terumbu karang dari atas perahu lewat kaca,” ungkap Junaidi.

Pemandu Snorkeling, Zulkifli (23) atau yang lebih dikenal dengan panggilan Obama, menuturkan, di hari libur, dia bisa membawa pengunjung sebanyak tiga rute. “Per jam 300 ribu, maksimalnya 10 orang. Bisa tiga kali jalan kalau hari libur,” kata dia.

Dari atas perahu, terumbu karang tampak menawan. “Ketika tsunami terumbu karangnya hancur semua. Ini baru mulai tumbuh lagi. Tidak boleh dipijak karena bisa rusak. Satu tahun terumbu karangnya hanya tumbuh lima centimeter,” kata  Obama, menjelaskan.

Kata Obama, perjalanan menikmati terumbu karang dengan perahu mesin  tergantung pada musim. “Jika musim timur, lautnya tenang. Tapi kalau musim barat biasanya berombak,” katanya.

Bulan mulai menampakkan diri di antara bukit-bukit yang diselimuti kabut. Senja  yang akan diganti oleh malam ditandai dengan terbenamnya matahari secara perlahan-lahan. Sang matahari kian menjorok ke barat dan menghilang di balik bukit. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Cara Taiwan Kelola Wisata Tambang Tua

“LLHA formosa…pulau yang cantik,” begitu para pelayar Portugis menyebut Taiwan ketika melewati pulau yang terletak di antara China, Jepang, dan Filipina itu. Tak hanya menyandang sebutan cantik, bangsa yang mendiami pulau itu juga kreatif mengolah sumber daya alam.

Hanya sebuah batu, hanya sebuah pasar malam, dan hanya sebuah desa di lereng gunung, tetapi bisa ”disulap” menjadi kawasan pariwisata. Pariwisata berbasis sejarah, ekologi, dan budaya yang mendongkrak ekonomi kreatif warga sekitarnya.

Kesan tersebut muncul ketika Kompas mengikuti ”2013 Taiwan Study Camp for Future Leaders from Southeast Asia” pada 21-30 November yang digelar Kementerian Luar Negeri Taiwan. Kegiatan yang berfokus pada pelatihan kepemimpinan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, dan energi terbarukan itu diikuti 38 peserta dari negara-negara Asia Tenggara.

Kesan itu kami dapati ketika diajak ke sejumlah tempat wisata. Beberapa di antaranya adalah Yehliu Geopark, desa penambang emas Jiufen, dan Taiwan Indigenous Peoples Culture Park.

Yehliu Geopark membentang sepanjang 1.700 meter di pesisir pantai Wanli, New Taipei City. Yehliu Geopark merupakan taman batu karang yang menyuguhkan panorama batu dengan aneka macam bentuk. Lebih kurang ada 180 formasi batu karang. Ada yang menyerupai jamur, lilin, sarang lebah, kepala ratu, gorila, naga, dan masih banyak lagi.

Batu-batu karang itu terbentuk karena proses alam selama jutaan tahun. Erosi air laut berpadu dengan angin, hujan, gelombang laut, dan topan timur laut membantu proses pembentukan batu-batu karang itu.

Mangin Stephen, pemandu Yehliu Geopark asal Perancis, mengatakan, dahulu kawasan itu merupakan tempat tinggal masyarakat Aborigin Taiwan atau Taiwan Indian. Mereka bekerja sebagai nelayan dan berasal dari sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina.

Lantaran kerap didatangi para peneliti dan akhirnya menjadi tempat wisata geologi, mereka pindah ke sejumlah kawasan pegunungan Taiwan. Dahulu, mereka memanfaatkan batu-batu itu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh yang datang dari laut.

”Rata-rata ada 3 juta orang per tahun yang datang ke Yehliu Geopark. Agar formasi batu tidak rusak, kami membatasi para pengunjung yang masuk ke taman, terutama di hari-hari libur. Kami juga menempatkan penjaga untuk menjaga batu-batu itu agar tidak disentuh pengunjung,” kata Stephen.

Stephen menambahkan, masyarakat sekitar Yehliu Geopark juga diberi kesempatan untuk berdagang di kompleks tempat parkir. Mereka mendapat uang dengan menjual makanan, jajanan, dan suvenir.

Sekitar 1 jam perjalanan dari Yehliu Geopark, terdapat tempat wisata desa kuno yang menjadi saksi bisu penambangan emas terbesar di Taiwan. Desa itu adalah Jiufen, berada di antara Gunung Jiufen dan Ghinkuashin.

Jalan kuno
Pada awal pemerintahan Dinasti Qing, Jiufen hanyalah sebuah kampung kecil yang terpencil, terisolasi, dan sepi. Penghuninya hanya sembilan keluarga. Pada 1890, seorang pendatang menemukan bijih emas di Jiufen sehingga kawasan itu menjadi ramai. Pada 1971, tambang itu tidak lagi menghasilkan emas dan ditutup.

Saat ini, kawasan itu berkembang menjadi desa wisata yang menampilkan panorama alam pegunungan. Dari atas desa tersebut, pengunjung dapat melihat sebagian pesisir Lautan Pasifik Taiwan dari gardu pandang sembari meminum teh khas Jiufen.

Selain itu, desa tersebut mempunyai jalan kuno yang dahulu dilewati para penambang emas. Jalan itu berupa tangga batu dan lorong-lorong yang terhubung dengan jalan utama desa. Di desa itu pula banyak pengunjung dapat membeli aneka makanan dan suvenir khas Taiwan. Lantaran terkenal sebagai daerah dingin, banyak pedagang yang menawarkan minuman jahe khas pegunungan Taiwan.

Berkat pengelolaan yang matang dan terencana, desa itu tumbuh sebagai tempat wisata yang diminati ribuan pengunjung. Hampir sebagian masyarakat desa hidup sebagai pedagang dengan mengubah rumah mereka menjadi kios makanan dan minuman atau suvenir.

Jenny Tseng dari Taiwan Turnkey Project Association, pendamping peserta 2013 Taiwan Study Camp, mengemukakan, Pemerintah Taiwan sangat peduli dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu, mereka menempuh berbagai macam upaya, salah satunya mengemas kekuatan dan kearifan lokal dan menawarkannya kepada wisatawan.

”Mereka mengajak warga setempat untuk memasarkan kekuatan dan kearifan lokal yang khas. Kearifan lokal itu bisa berupa potensi alam, budaya, sejarah, dan kesenian,” kata dia.

Salah satu peserta dari Indonesia, Laela Royani, mengaku terkesan dengan pengelolaan pariwisata Taiwan. Pemerintah Taiwan benar-benar melibatkan swasta dan masyarakat setempat. Hal-hal yang mungkin dipandang remeh, seperti batu dan bekas penambangan emas, justru dikemas dengan sangat menarik dan ditawarkan kepada para wisatawan.

”Selain itu, pariwisata di Taiwan ditujukan pula untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui geliat industri rumahan. Pariwisata itu tidak semata untuk menambah pendapatan asli daerah,” kata Laela. []

Sumber: kompas.com

read more
Ragam

Wisata Alam di Hutan Perhutani

Hamparan kebun durian yang berbatasan dengan hutan Perhutani menjadi pemandangan di sepanjang jalan memasuki Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, serta kemunculan beberapa kera yang tiba-tiba melompat di pinggir jalan, memberi keunikan tersendiri pada setiap perjalanan menuju kawasan tersebut.

Desa Lolong berada di tenggara Kecamatan Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Desa ini berjarak sekitar 9 kilometer dari Kecamatan Kajen atau sekitar 34 kilometer dari jalur pantura Kota Pekalongan. Desa Lolong bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam dari Kota Pekalongan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Selama bertahun-tahun, keindahan alam Desa Lolong menjadi aset bagi masyarakat di wilayah itu. Keberadaan Sungai Sengkarang dengan lebar sekitar 60 meter yang mengalir di tengah desa, menambah kekayaan alam di Desa Lolong.

Awalnya, belum banyak yang menyadari bahwa keindahan alam tersebut merupakan kekayaan. Namun sejak sekitar setahun terakhir, para pemuda Desa Lolong dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan, memanfaatkan kekayaan dan keindahan alam Desa Lolong sebagai sebuah desa wisata. Para pemuda menyajikan wisata petualangan alam yang dikemas dalam Lolong Adventure.

Sekretaris Lolong Adventure, Khoerul Basar, pertengahan Oktober lalu menuturkan, awalnya masyarakat mengelola alam di Desa Lolong secara biasa. Mereka hidup dan menyatu dengan keasrian desa itu, dari hari ke hari. Sungai Sengkarang juga sering menjadi tempat bermain dan berenang bagi masyarakat setempat.

Pada sekitar tahun 2010, masyarakat mendapatkan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Masyarakat, termasuk para pemuda kemudian sepakat memanfaatkan bantuan tersebut untuk membeli perahu arung jeram serta kelengkapan alat-alat arung jeram.

Mereka pun belajar mengembangkan wisata arung jeram. Sebanyak 25 pemuda Desa Lolong terus belajar menyelenggarakan wisata petualangan alam tersebut, hingga sejak setahun lalu mereka mulai mengembangkannya secara profesional.

Hingga kini, terdapat enam perahu, bantuan PNPM Pariwisata. Selain alat-alat wisata petualangan air, mereka juga mendapatkan bantuan alat-alat outbound. Mereka juga mendapatkan bantuan bangunan posko dari pemda setempat.

Untuk meningkatkan profesionalitas dalam mengelola wisata arung jeram, para pemuda Desa Lolong juga mengikuti pelatihan River Guide Arung Jeram, hingga mendapatkan sertifikat. ”Sekarang ada 26 tenaga ahli arung jeram di desa ini,” kata Khoerul.

Kini, warga pun menjadikan rumah mereka sebagai home stay, dengan harga sewa sekitar Rp 250.000 per malam. Lolong juga menjadi salah satu daerah tujuan untuk lokasi perkemahan dan pelatihan alam, yang diselenggarakan sejumlah lembaga dan perusahaan.

Keberadaan wisata petualangan di Desa Lolong menambah pendapatan masyarakat. Menurut Koordinator Darat Lolong Adventure, Maman Firmansyah, dalam kondisi ramai, jumlah pengunjung bisa mencapai 50 orang per hari. Sementara dalam kondisi sepi, jumlah pengunjung sekitar 200 orang hingga 300 orang per bulan. Kondisi ramai biasanya berlangsung pada musim hujan, saat debit air sungai meningkat.

Profesi warga Desa Lolong yang sebagian besar menjadi petani durian, juga sangat mendukung pengembangan wisata alam di desa itu. Saat musim panen durian, sekitar Desember hingga Maret, sepanjang jalan menuju desa tersebut penuh dengan pedagang durian.

Selain memberikan nilai tambah bagi penghasilan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani durian, pengembangan desa wisata menjadi sebuah upaya kampanye dan sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian hutan.

Upaya warga menanami kebun mereka dengan pohon durian merupakan salah satu upaya pelestarian hutan. Durian menjadi tanaman penguat tanah, pada kondisi lahan di Desa Lolong yang bertekstur pegunungan. Warga juga menanami lahan dengan tanaman petai dan pucung atau kluwak.

Ajak masyarakat
Warga juga berupaya menyosialisasikan kelestarian alam, dengan mengajak masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut, untuk ikut menjaga kebersihan. Menurut pendamping masyarakat Desa Lolong dari Komuniti Forestri (KF), yaitu komunitas masyarakat peduli hutan, Thomas Hari Adi, masyarakat memiliki bak sampah induk di tiap RT. Mereka juga mengelola sampah organik, seperti sampah durian menjadi kompos.

Pada sepanjang pinggir Sungai Sengkarang juga banyak ditanami bambu oleh masyarakat. Selain memberikan kesan asri, bambu tersebut berfungsi sebagai penahan erosi sehingga sungai tersebut terhindar dari longsor.

Para pemuda Desa Lolong juga menyadari adanya risiko yang sewaktu-waktu bisa muncul dari kegiatan yang mereka selenggarakan. Untuk mengantisipasi risiko, seperti air bah di Sungai Sengkarang, para pemuda Desa Lolong pun terbiasa membaca alam.

Mereka selalu mengamati pergerakan hujan di wilayah Lolong dan wilayah di atasnya. Apabila di Desa Lolong hujan, sedangkan wilayah di atasnya tidak hujan, petualangan air bisa dilanjutkan. Namun apabila wilayah Desa Lolong tidak hujan, sedangkan wilayah di atasnya hujan, petualangan air akan dihentikan.

Faktor risiko itu juga menjadi tantangan bagi pemuda dan warga Desa Lolong untuk mengampanyekan pelestarian hutan. Kelestarian hutan dan alam di wilayah Lolong, serta daerah-daerah di atasnya sama artinya dengan kelestarian usaha dan penghidupan warga dari wisata alam di desa tersebut.

Thomas Hari Adi mengatakan, melalui penyelenggaraan wisata alam, para pemuda Desa Lolong telah terbiasa mengampanyekan pentingnya pelestarian alam. Mereka telah menyadari pentingnya kelestarian alam untuk kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat. []

Sumber: kompas.com

read more
Green Style

Sejuknya Air Brayeung Leupung

Dimana tempatnya bisa mandi, sambil berperahu, dikelilingi pohon duren terus kalau lapar bisa makan gorengan? Kalau Anda berada di Aceh maka salah satu pilihan yang tepat adalah irigasi Brayeung Leupung Aceh Besar, berjarak sekitar satu jam berkendaraan dari Banda Aceh. Tempatnya tidak sulit dijangkau, sudah ada jalan aspal untuk mencapainya walaupun ketika 20 menit menjelang lokasi pengunjung harus bersiap-siap untuk merasakan “rodeo” akibat jalan yang belum beraspal.

Semenjak dua tahun belakangan ini Brayeung menjadi primadona baru tujuan wisata bagi penduduk Banda Aceh dan sekitarnya. Jika sebelumnya warga sudah terbiasa dengan wisata pantai atau air terjun kini wisata irigasi menjadi pilihan utama. Selain tempatnya sejuk dan rimbun, tempat pemandiannya juga relatif aman, tidak dalam. Bahkan di pinggirannya bisa berdiri anak usia tujuh tahun. Mau berperahu pun enak, tinggal sewa perahu karet yang tarifnya Rp.20 ribu/jam. Mau lebih murah juga bisa, tunggu saja menjelang jam enam sore, ketika pengunjung sudah sepi dan tempat juga mau ditutup. Anda bisa puas berperahu tanpa takut disemprit pluit petugas yang mengingatkan waktu telah habis.

Pemandangan menjelang sampai di lokasi sangat memanjakan mata. Di kiri-kana jalan tampak sawah, bukit yang rimbun serta barisan pohon durian yang bisa meneteskan air liur jika musim durian tiba. Jalanan memang tidak terlalu lebar, hanya pas untuk dua mobil, dimana salah satu mobil harus berhenti sejenak jika berpapasan dengan mobil lain.

Bagaimana dengan biaya yang harus disiapkan? Beberapa orang mengeluhkan tentang biaya di tempat wisata lokal yang tidak jelas. Pengelola atau yang pura-pura menjadi pengelola selalu saja mengutip uang kepada pengunjung tanpa perhitungan yang jelas. Umumnya para pria yang berdiri di gerbang masuk selalu saja mengutip uang Rp.10 ribu kepada mobil pengunjung. Tanpa tiket masuk dan hitungan yang jelas. Namun di Brayeung saat penulis mengunjungi kemarin, perhitungan tiket pengunjung sudah fair. Tiap pengunjung dewasa dikenakan tiket masuk Rp.3000, anak-anak bebas tiket.

Pada sebuah tikungan sempit sudah berdiri beberapa anak muda yang mengatur keluar masuk mobil. Lumayan juga pelayanan yang diberikan. Tidak cuma pandai mengutip uang masuk tapi juga sudah mulai profesional dalam mengatur pengunjung. Tapi sayangnya pengaturan yang sudah baik itu diperburuk dengan kutipan uang parkir yang mencapai Rp.10 ribu! Ntah untuk apa kutipan parkir itu, sebab tanpa disertai tanda bukti pembayaran dan layanan apapun. Tapi sudahlah, mari kita nikmati kesejukan air irigasi Brayeung saja.

Memasuki lokasi pemandian, mulai tampak keramaian para pengunjung. Lazimnya tempat wisata lokal, disepanjang jalan masuk dipenuhi oleh penjual makanan ringan. Mereka menjual berbagai makanan yang berbeda tapi ada satu yang sama. Setiap lapak menyediakan goreng-gorengan seperti pisang goreng, tahu goreng, risol dan lain-lain. Penjual memanfaatkan selera manusia yang suka akan makanan panas setelah berdingin-dingin ria.

Mata kembali dimanjakan oleh hamparan kolam irigasi Brayeung tersebut. Kolam yang kira-kira seluas lapangan sepakbola mempunyai hulu di kaki gunung yang rimbun. Pemandangan masih tampak asri. Di beberapa tempat tampak dinding tembok irigasi yang roboh, mungkin suatu waktu pernah dihantam banjir bandang. Jenis banjir ini memang sangat sering melanda kawasan pegunungan. Ramai pengunjung, terutama anak-anak muda yang mandi di kolam tersebut. Anak-anak juga tak ketinggalan mandi di kolam berair sejuk, umumnya mandi disisi pinggir kolam yang memang dangkal, sekitar setengah meter. Jika ingin berenang yang puas silahkan melompat ke tengah kolam yang lebih dalam. Beberapa anak muda menampilkan atraksi lompat jumpalitan dari sebatang pohon yang berada dipinggir kolam.

Indah dan nyaman memang menikmati pemandian Brayeun Leupung ini. Apalagi jika pengelola mampu menjaga kerapian dan kebersihan lokasi. Sebuah masalah klasik tempat wisata yang nyaris terdapat disemua tempat. Apalagi lahan parkir yang sempit, jalan yang belum beraspal menjelang lokasi, jangan sampai hambatan-hambatan ini membuat orang enggan berwisata. Bayangkan saja, mandi di kolam berair yang sejuk dikelilingi pohon duren, amboi enaknya…[m.nizar abdurrani]

read more