close
Aktivis WALHI Aceh sedang melakukan penanaman pohon di pinggir kali Kr. Aceh Banda Aceh | M. Nizar Abdurrani

Beberapa hari belakangan ini Indonesia, termasuk di Aceh, menjadi meriah dengan berbagai kegiatan penghijauan. Kegiatan penanaman pohon, terutama pohon Trembesi menjadi trend, berkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlibat langsung. Pak SBY dengan program ambisiusnya menanam 1 miliar pohon serta merta diikuti oleh jajaran pemerintahan yang lain.

Ada hal yang menarik ketika SBY melaksanakan penanaman pohon di Waduk Jatiluhur, Purwakarta Jawa Barat pada hari Minggu (28/11) kemarin. Dalam acara yang disiarkan secara langsung oleh televisi pemerintah tersebut beliau mengecam kegiatan penebangan liar yang dilakukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab, termasuk yang mengatasnamakan industri. Menurutnya pembangunan tidak seharusnya merusak alam.

“Saya ingin menyampaikan kepada mereka yang tidak bertanggung jawab. Yang kegemarannya merusak hutan dan lingkungan, membabat pohon untuk motif pribadi, karena kepentingan industri pertambangan yang tidak dikelola dengan baik,”kata Presiden SBY, sebagaimana dikutip oleh media massa.

Putra kelahiran Pacitan ini menambahkan bahwa sekarang bukan saatnya lagi berbicara soal pelestarian alam. Saat ini justru saatnya untuk bertindak menanam pohon untuk menyelamatkan lingkungan. Suatu pernyataan yang secara sekilas tampak menarik. Tapi jika ditilik lebih jauh, tentu tidak sesederhana itu. Menanam saja tanpa ada pengawasan dan kebijakan yang pro-lingkungan akan tidak efektif.

Menanam pohon tentu saja baik apalagi dilakukan sampai 1 miliar pohon. Seandainya penanaman ini benar-benar dilakukan sebanyak  jumlah tersebut dan semua pohon tersebut dapat tumbuh, bisa dibayangkan berapa luas hutan di Indonesia bisa bertambah. Namun seperti yang sudah-sudah, menanam pohon tak lebih dari sekedar upacara seremonial, yang hanya ramai diawal tetapi sepi di akhir. Penanaman yang dihadiri oleh puluhan pejabat sipil dan militer, melibatkan ratusan orang pada hari H-nya. Beberapa waktu kemudian tempat tersebut akan sepi kembali, termasuk tidak ada perawatan yang memadai.

Menjadi pertanyaan kita apakah penanaman pohon efektif untuk mencegah laju kerusakan hutan? Ataukah sebanding jumlah pohon yang ditanam dengan jumlah pohon yang ditebang? Penyebutan angka “1 miliar” lebih terdengar iming-iming daripada upaya nyata pencegahan penggundulan hutan ataupun alih lahan. Angka ini seperti membuai publik bahwa jumlah pohon yang ditanam sudah lebih dari cukup untuk mengganti pohon yang hilang.

Kerusakan Hutan Aceh

Antara satu data dengan data lain banyak terjadi perbedaan tentang berapa sebenarnya luas hutan Aceh yang telah rusak. Data dari WALHI Aceh sendiri menunjukkan dalam sepuluh tahun terakhir (1998-2008), luas hutan di Aceh berkurang hingga 914.222 hektare. Itu artinya setiap tahun hutan di berkurang rata-rata sekitar 32.657 hektare. Data ini menjadi polemik oleh banyak pihak, hal yang wajar mengingat perbedaan metode menghitung dan sebagainya.

Namun hal sangat penting yang ingin disampaikan adalah sudah berapa banyak pohon yang hilang akibat kerusakan hutan tersebut. Apalagi pohon-pohon yang hilang tersebut berada dalam suatu kesatuan wilayah makhluk hidup yang saling terkait atau yang biasa disebut dengan ekosistem. Hilangnya sebuah ekosistem akan menimbulkan bencana ekologi bagi makhluk sekitarnya terutama manusia yang paling merasakan dampak buruknya.

Apakah penanaman pohon dapat menggantikan hutan yang hilang tersebut? Program penanaman pohon yang dilakukan biasanya berada dalam wilayah yang terpisah-terpisah, dalam situs-situs kecil yang belum memiliki ekosistem tersendiri. Belum lagi jika penanaman pohon tersebut tidak diikuti dengan perawatan sehingga banyak pohon yang gagal tumbuh. Sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pohon yang hilang ditebang oleh pembalak liar ataupun pihak-pihak yang berdalih untuk kepentingan pembangunan.

Menanam pohon tentu saja penting namun ada yang jauh lebih penting dalam skala luas yaitu membuat kebijakan dan mengawasi kebijakan tersebut. Sebuah kebijakan yang pro-lingkungan akan dapat melindungi miliaran pohon dari kehancuran dan menumbukan pohon. Sebuah kebijakan yang baik tentu akan dibarengi dengan pengawasan. Kebijakan ditingkat nasional akan melindungi lingkungan hidup diseluruh Indonesia. Begitu juga dengan kebijakan propinsi.
Bagaimana dengan kebijakan Moratorium Logging  beserta program Aceh Green di propinsi Aceh? Kebijakan ini tampak bagus secara konsep namun masih lemah dalam penerapan dan pengawasannya.

Kebijakan Moratorium Logging tidak disertai dengan aturan bagaimana menyediakan kayu halal ditengah permintaan pasokan kayu yang terus meningkat. Namanya juga pasar, jika kayu “halal’ tidak ada maka kayu “haram” akan menjadi sasaran. Akibatnya pembalakan liar menjadi meningkat secara status. Karena bisa saja orang yang dulu membalak secara sah kini karena tidak diperbolehkan lagi, sedangkan permintaan tetap banyak, akan tetap saja memotong kayu. Ibarat ban dalam yang banyak lubang bocor, ketika satu lubang ditutup maka angin akan menekan kencang pada lubang yang lain.

Kembali lagi ke pernyataan SBY bahwa kini saatnya menanam pohon, bukan bicara tentang pelestarian alam. Sepertinya presiden mendapat konsultasi yang salah dari para ahlinya bahwa menanam lebih penting daripada melestarikan. Menanam tanpa melestarikan adalah sebuah kemubaziran semata. Seharusnya kita menanam sambil melestarikan lingkungan.

Program penanaman 1 miliar pohon jangan sampai menjadi “proyek pengadaan 1 miliar pohon”. Kedua hal ini mempunyai konotasi yang berbeda. Yang pertama untuk menyelamatkan lingkungan, yang kedua untuk memperkaya oknum atas nama lingkungan. Pohon yang telah ditanam jangan sampai dibiarkan mati, harus dirawat. Buatlah kebijakan yang pro lingkungan dan laksanakan kebijakan tersebut dengan sepenuh hati dan lakukan pengawasan. Jangan sampai kita dikatakan cuma pandai menanam saja.[m.nizar abdurrani]

Leave a Response