close
Sungai Bah di Aceh Tengah saat terjadi bencana alam | Foto: Fahreza Ahmad

Selalu saja ada dua pihak yang berseberangan dalam sebuah upaya penyelematan lingkungan. Misalnya saja upaya melestarikan hutan. Di satu sisi ada sekelompok orang yang mencari nafkah, katakanlah dengan menebang hutan ataupun membuka lahan di tengah hutan. Di sisi lain ada kelompok konservasionis yang tidak ingin hutan tersebut diganggu sama sekali dengan alasan akan merusak ekosistem yang kemudian berdampak pada bencana alam. Siapa yang mesti dituruti?

Persoalan klasik ini mungkin sama tuanya dengan umur manusia, dimana upaya bertahan hidup alias mencari makan dipertentangkan dengan upaya melestarikan alam atau memperpanjang hidup. Kok memperpanjang hidup? Ya jelas saja dengan lingkungan yang lestari diharapkan semua makhluk yang bergantung kepadanya dapat memanfaatkan sumber-sumber pendukung kehidupan. Jadi sebenarnya ada irisan yang sama antara kedua belah pihak. Sama-sama ingin bertahan hidup dengan kualitas lebih baik.

Kabar terakhir kita dengan bagaimana 14 perusahaan pertambangan di Pidie Propinsi Aceh menghentikan operasionalnya. Disitu disebutkan bahwa mereka menghentikan operasinya karena belum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Logika sederhana, jika perusahaan ini tutup akan banyak karyawannya hilang pekerjaan. Dari sisi ekonomi ini terlihat seperti hal yang buruk. Namun jika dikaji sebenarnya belum tentu juga. Bisa jadi perusahaan-perusahaan tersebut dalam operasinya tidak banyak memakai karyawan. Atau bisa jadi karyawan yang dipakai juga sebenarnya mempunya pekerjaan lain.

Namun sisi positif dari penghentian operasi perusahaan tambang ini adalah alam dapat bernapas dengan lega setelah sekian lama perutnya digali dan digali demi mencari logam berharga. Berhentinya kegiatan yang dikatakan baru eksplorasi ini mengeliminasi kemungkinan rusaknya ribuan hektar hutan Aceh. Ribuan hektar hutan ini bisa berarti ribuan kehidupan yang bisa didukungnya, baik satwa ataupun manusia sendiri. Secara tidak langsung ini membuat ada pihak lain yang mendapat mencari nafkah lebih jangka panjang dibanding dengan usaha tambang yang tidakd berkelanjutan.

Manusia cenderung mencari yang instan saja tanpa perlu memikirkan bagaimana dengan anak-cucu mencari nafkah di masa depan. Manusia bertambah dengan cepat tentu saja manusia-manusia masa depan butuh makanan dan sebagainya. Kalau kita menghabiskan sumber daya alam secepat mungkin, bagaimana kita mempertanggungjawabkan nanti? Itulah sebabnya perlu adanya konsensus lingkungan.

Konsensus lingkungan dimana manusia tetap bisa mencari nafkah dari kekayaan (sekarang masih kaya) sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Dengan kata lain manusia bisa sejahtera tanpa merusak. Ini pasti bisa karena di belahan dunia lain selain Indonesia atau Aceh banyak daerah yang sudah mempraktekkannya. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan dan kerelaan untuk tidak menjadi rakus.[]

Tags : alamhutansatwa

Leave a Response