close
Hutan

Laporan UNDP: Aceh Peringkat Terbawah Indeks Tata Kelola Hutan

Hasil pengukuran indeks Tata Kelola Hutan di 10 Propinsi di Indonesia | Gambar: UNDP

United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan, UKP4/Satgas REDD+ dan Bappenas, Senin (2/12/2013) mempresentasikan laporan Indek Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia di Banda Aceh. Ada sepuluh propinsi yang dinilai indeksnya, Aceh menduduki peringkat terbawah.

covre indeksAnggota tim penyusun laporan yang hadir dalam presentasi tersebut, Dr. Abdul Wahib Situmorang (UNDP), Purwadi Soeprihanto S.Hut, ME (Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia) dan Dr. Sunaryo (staf ahli Menteri Kehutanan). Acara ini dihadiri oleh para aktivis lingkungan dan sejumlah awak media.

Abdul Wahib mempresentasikan laporan yang bertitel “ Penilaian Tata Kelola yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA)” yang memaparkan beberapa temuan tata kelola kehutanan di Aceh. Dari skala 1-5 (makin besar makin bagus-red) Aceh mendapat indeks 2,07. Sementara sembilan propinsi lain Riau (2,28), Jambi (2,38), Sumatera Selatan (2,19), Kalimantan Barat (2,73), Kalimantan Tengah (2,64), Kalimantan Timur (2,42), Sulawesi Tengah (2,52), Papua Barat (2,29) dan Papua (2,41).

Selain tingkat propinsi, untuk Aceh juga diukur indeks tingkat kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat (1,52) dan Aceh Tenggara (1,85). “Dari hasil pemetaan dengan scorecard tidak ada satupun komponen penilaian di Aceh yang mendapat kategori warna hijau (bagus-red). Sebagian besar masuk warna kuning (sedang-red), bahkan warna merah terutama pada tingkat kabupaten,” jelas Abdul Wahib.

Berdasarkan hasil penilaian ini, indeks Propinsi Aceh dan dua kabupatennya, lebih rendah dari indeks rata-rata nasional yaitu 2,33.

PGA mempergunakan 117 indikator untuk menilai kondisi tata kelola hutan, lahan dan REDD+ 2012. Kesemua indikator ini ditelaah melalui tiga komponen yaitu kerangka hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor (pemerintah, CSO, masyarakat adat/lokal dan pebisnis) dan kinerja. Ada enam isu tata kelola hutan dan prinsip tata kelola diidentifikasi dan menjadi prioritas dalam penilaian indeks ini. Keenam isu tersebut adalah perencanaan ruang dan hutan, pengaturan hak, pengorganisasian hutan, pengelolaan hutan dan kontrol dan penegakan hukum serta kesiapan infrastruktur REDD+.

“Saat presentasi laporan ini dihadapan Pemerintah Aceh, Kadishutbun bertanya Aceh memiliki hutan yang luas, sekitar 60% dari wilayahnya, tapi kenapa kok indeksnya rendah. Saya menjawabnya bahwa pengukuran ini bukan berdasarkan output (hutan) saja. Ini bukan soal hutan bagus atau tidak tetapi ini merupakan agregat dari beberapa indikator. Komponen kinerjanya masih rendah begitu juga kapasitas pemerintah dan pebisninsnya,” jelas Dr. Sunaryo.

Total luas hutan Aceh sesuai SK Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan 170/Kpts-II/2000 tahun 2000 adalah 3.549.813 Ha. Ini menempatkan Aceh diperingkat 12 propinsi yang memiliki kawasan hutan di Indonesia.

Sementara yang menggembirakan, dari penilaian komponen kapasitas aktor, diperoleh indeks kapasitas masyarakat sipil (CSO) yang mencapai 2,75. Laporan menyebutkan kelompok masyarakat sipil cukup aktif memberikan masukan pada perencanaan wilayah dan kehutanan yang cukup memadai. Beberapa kelompok masyarakat yang cukup aktif tersebut antara lain Walhi Aceh, WWF, Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), Institute Green Aceh, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) dan Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA).

Indeks Sebagai Baseline
Jadi apa manfaat pengukuran indeks ini? “ Indeks ini menjadi kerangka acuan, baseline data, sehingga bisa dipantau bersama bagaimana kemajuannya dimasa depan,” jawab Abdul Wahib. Selain itu indeks tata kelola hutan bisa menjadi rujukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah.

Pada Minggu malam (1/12/2013) tim sudah berjumpa dengan tokoh Aceh, Mentroe Malik di Banda Aceh. Dalam pertemuan tersebut, Mentroe Malik mengatakan hasil studi ini penting dan ia berjanji akan mengkomuniskasikan laporan UNDP tersebut kepada pihak terkait. Ini disampaikan oleh Dr. Sunaryo kepada peserta pemaparan.

Dr. Sunaryo menambahkan hasil studi ini bisa masuk ke dalam revisi tata ruang nantinya. “ Harus ada redesain ulang tata kelola hutan Aceh sesuai dengan Undang-undang pemerintah Aceh,” katanya.

Posisi studi yang menghasilkan indeks ini adalah baseline yang nanti akan terus dipantau perkembangannya di masa mendatang. Studi ini memberikan informasi agar tata kelola hutan bisa ditingkatkan. Seluruh stakeholder diharapkan berpartisipasi dalam mengelola hutan.

Laporan juga membeberkan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan hutan. “Bukan hanya kondisi hutan, tetapi juga infrastruktur kehutanan,” kata Purwadi Soeprihanto. Laporan ini dapat dianggap sebagai prakondisi, dimana diharapkan jika prakondisi bagus maka outputnya (hutannya) bagus juga.

Selain itu, Dr. Sunaryo meluruskan pendapat bahwa REDD+ merupakan proyek. “ REDD bukanlah proyek, tetapi merupakan insentif yang diberikan kepada pemerintah pusat dan propinsi yang menjaga hutannya atau mengurangi emisi, “ katanya. Nanti akan ada sharing benefit antara berbagai stakeholder.

Insentif diberikan setelah tata cara pemberiannya disusun dengan jelas. Sampai hari ini, menurut Dr. Sunaryo, tata cara pemberian insentif di Indonesia belum jelas. “ Jadi belum ada pembayaran REDD di Indonesia, yang ada baru komitmen dari negara maju. Insentif akan diberikan tahun 2015, saat ini kita baru menyiapkan pra kondisi. Jika tidak punya baseline maka kita tidak bisa mengklaim dana insentif tersebut,” jelasnya.[m.nizar abdurrani]

Tags : hutanREDD