close
Hutan

Tangani Hutan Perlu Langkah Khusus

Tak ada kata lebih tepat menggambarkan nasib hutan Aceh saat ini; mengenaskan. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1998-2008), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat luas hutan di Aceh berkurang hingga 914.222 hektare. Ada dua penyumbang besar kerusakan hutan ini, pertama proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pascatsunami dan pembalakan hutan. Pada periode rehabilitasi dan rekonstruksi ini, Aceh kehilangan sekira 200.329 hektare tutupan hutan.

National Program Coordinator Greenomics Indonesia, Vanda Mutia, pernah mengatakan proses rekonstruksi Aceh mendorong hilangnya hutan dalam waktu cepat. Kerusakan hutan tersebut terjadi di seluruh wilayah Aceh dengan rincian seluas 56.539 hektare di wilayah pantai barat, 48.906 hektare di pantai selatan, 30.892 hektare di utara dan timur serta 19.516 di pegunungan bagian tengah Aceh.

Sementara di Simeuleu, Greenomics mendapati hutan seluas 44.000 hektare rusak. Di kawasan ekosistem Leuser ini juga terjadi deforestasi seluas 67.479 hektare. “Luas kerusakan hutan di Simeulue sama dengan luas Singapura. Berarti secara keseluruhan hutan Aceh mengalami deforestasi seluas tiga kali lipat Singapura,” tambahnya.

Bagi masyarakat Aceh, hutan adalah sumber kehidupan. Hampir seluruh daerah di Aceh, mengalir sungai-sungai yang berasal dari belantara Aceh. Di pedalaman, penduduk Aceh menggantungkan hidup dari hasil hutan. Hutan Aceh bahkan memberi manfaat bagi seluruh dunia. Ia menjadi salah satu “paru-paru bumi”.

Sayang, belakangan ini, fungsi sebagai penopang kehidupan di bumi berganti kepentingan ekonomis sesaat. Tutupan hutan Aceh menjadi berkurang karena pembalakan dan peralihan fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit.

Selain dampak langsung, seperti banjir dan bencana alam lainnya, penghancuran hutan juga melepas karbon dalam jumlah besar. Ini kemudian menjadi penyumbang pemanasan bumi, dan menjadi faktor perubahan iklim.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) meletakkan Indonesia di posisi utama sebagai penyumbang utama mitigasi global untuk pengurangan emisi dari deforestasi.

Di seluruh dunia, Indonesia adalah negara nomor tiga terbesar yang menyumbang gas-gas yang menyebabkan pemanasan bumi setelah negara China dan Amerika Serikat. Sebagian besar gas-gas tersebut dihasilkan dari pembukaan dan pembakaran hutan, khususnya yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Indonesia juga menyandang rekor sebagai perusak alam asli di Asia-Pasifik.

Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius; konflik penguasaan tanah, konflik perburuhan, lenyapnya bahan pangan penting, semakin terbatasnya sumber daya kesehatan dan bahan bangunan, pencemaran dan peracunan akibat penggunaan pestisida, dan juga potensi lenyapnya ekosistem hutan untuk selama-lamanya. Di Aceh, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, juga kerap terjadi konflik antara manusia dan satwa.

Selain itu, sebanyak 47 Daerah Aliran Sungai (DAS) juga mengalami kerusakan sebab tepat berada di wilayah kegiatan pembalakan liar sehingga mengancam fungsi ekologi. Greenomics juga memperkirakan Aceh kehilangan US$ 551,3 juta setiap tahunnya akibat kehilangan tutupan hutan tersebut.

Sementara Walhi Aceh mencatat dampak terus berkurangnya luas kawasan hutan di Aceh, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor meningkat. Pada 2007 peristiwa banjir dalam setahun baru sekitar 46 kejadian, tahun 2008 naik menjadi 100 kejadian, dan naik lagi menjadi 134 kejadian pada 2009. Selain banjir, peristiwa tanah longsor juga meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2007 masih delapan kejadian namun pada 2008 naik drastis menjadi 37 kejadian, dan 2009 40 kejadian.

Jika tak ada perubahan sikap dari seluruh masyarakat Aceh, terutama pemerintah Aceh, musnahnya hutan Aceh dalam 10 tahun ke depan bukan tak  mungkin. “Jika tak ada langkah luar biasa dari Pemerintah Aceh dan seluruh warga Aceh, satu generasi Aceh ke depan akan kerap menjadi bulan-bulanan bencana alam. Kerusakan alam di Aceh adalah kejadian luar biasa dan perlu penanganan luar biasa pula, tak cukup hanya dengan jeda tebang. [m.nizar abdurrani]

Leave a Response