close
Perubahan Iklim

Menyaksikan Perubahan Iklim Menyelimuti Saree

Petani sedang menanam ketela di kebun yang terletak di pegunungan Seulawah | Foto: M. Nizar Abdurrani

Menyusuri jalan menanjak berkelok, sepanjang mata memandang yang tampak adalah kebun-kebun milik penduduk yang berada di punggung-punggung perbukitan. Petani sedang mencangkul ladang, menanaminya dengan ubi, jagung, kacang dan berbagai palawija lain. Berbatasan dengan kebun-kebun tersebut tampak daerah yang rimbun dengan pepohonan. Ini adalah bagian dari hutan lindung sepertinya. Namun tampak juga beberapa titik dalam keadaan gundul.

Kami sedang menyusuri pegunungan di Saree, Aceh Besar, sebuah tempat yang terkenal sebagai daerah yang sejuk dengan hasil pertaniannya yang melimpah. Saree berada sekitar 70 km dari kota Banda Aceh dan dilewati jalur utama transportasi dari Banda hingga Medan. Masyarakat yang tinggal di Saree umumnya memakai pakaian tambahan untuk menangkal udara dingin menusuk kulit. Jika berada di Saree malam hari, kalau berbicara maka tampak keluar asap tipis dari mulut kita. Tapi itu dulu.

Sejak beberapa tahun belakangan ini temperatur udara di Saree sudah lebih hangat. Masyarakat setempat sudah jarang mengenakan jaket bahkan tidak mesti berselimut lagi kalau tidur malam. Kipas angin dan AC sudah menjadi barang umum di sebagian rumah warga. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah perubahan iklim mikro ini mengancam sektor pertanian Saree di masa depan.

Sekelompok peneliti dari Aceh Climate Change Studies (ACCeS) pernah melakukan penelitian selama bulan Oktober – November 2009. Salah satu anggota tim peneliti, Evalina Z, MURP, kepada mengatakan bahwa banyak terjadi perubahan di Saree.

Alumni dari S2 University of South Australia mengatakan sebagian besar penduduk Saree adalah warga yang menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Air merupakan kebutuhan vital yang kini semakin sulit diperoleh. Masyarakat desa memperoleh air dari hutan di pegunungan yang dialirkan melalui pipa untuk keperluan memasak, mandi, mencuci dan keperluan sehari-hari. Sumber air ini dikelola sendiri oleh masyarakat desa.

Evalina mengungkapkan dalam sepuluh tahun terakhir sebagian besar petani masih menanam tanaman yang sama. “Tapi sebagian kecil beralih jenis tanaman dengan alasan perubahan harga, mudah merawat dan mengikuti perubahan musim penghujan,”kata Evalina yang juga merupakan dosen di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Hasil pertanian Saree sangat bergantung pada intensitas hujan. “Bila cuaca bagus, hujan tidak terlalu banyak dan tidak kering, para petani bisa untung 80 persen. Namun bila hujan terlalu banyak ataupun cuaca terlalu kering maka maksimal hanya 30 persen,”kata Evalina lebih lanjut.

Seorang masyarakat Masyarakat yang dijumpai umumnya mengatakan adanya perubahan suhu air yang kini dirasakan tidak terlalu dingin lagi. Musim hujan dan musim kemarau yang bergeser. “Mayoritas responden kami yang petani mengatakan musim hujan terlambat datang sejak 10 tahun terakhir. Begitu pun musim kemarau yang sudah semakin panjang,”sebut Evalina.

Kini situasi telah banyak berubah. Masyarakat harus pandai-pandai menentukan kapan musim hujan telah tiba untuk memulai musim tanam. Hal ini sangat penting dimana pada awal masa pertumbuhan sangat membutuhkan air. Seorang Kejruen Blang (tokoh adat Aceh yang mengatur musim tanam), Tgk Idris mengatakan beberapa kali masyarakat keliru dalam menentukan mulainya musim hujan (false rain).

“Ketika hujan turun, masyarakat mengira sudah masuk musim hujan. Padahal setelah itu tidak ada lagi hujan turun, sehingga tanaman yang sudah dimulai ditanam jadi rusak,” katanya.

Masyarakat Saree dimasa lalu tidak begitu mengenal adanya perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Dalam kedua musim tersebut keadaan iklim tidak banyak berbeda, hujan tetap ada dan udara tetap saja dingin di musim kemarau. Beberapa tumbuhan pun dapat ditanami sepanjang tahun tanpa takut kekurangan air. “ Perebutan sumber air disaat musim kemarau terkadang menimbulkan konflik, padahal dulu hal semacam ini tidak pernah terjadi,” kata Tgk Idris.

Seorang penduduk Saree lain yang ditemui, Halimah Ishak menyampaikan ukuran buah yang mereka panen kini sudah semakin kecil. Baik itu secara alamiah ataupun karena panen dini atau panen karena terpaksa mengingat musim yang tidak cocok. Serangan satwa liar seperti babi hutan dan monyet juga menjadi penyebab panen lebih cepat. Gangguan satwa dirasakan menjadi lebih sering dibandingkan 10 tahun yang lalu.

Masyarakat sangat menyadari adanya perubahan iklim yang terjadi pada di wilayah mereka walau mereka tidak mengenal “perubahan iklim”. Bagi mereka hutan adalah sumber air yang harus dijaga kelestariannya. Halimah berujar,”Hutan itu ibarat rambut pada kepala manusia, jika rambut gundul maka kepala akan kepanasan dan bisa meletus.”. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak selain menatap kerusakan lingkungan yang terjadi seperti penggundulan hutan. Banyak orang-orang “kuat” yang terlibat dalam perusakan hutan. Baik itu dari kalangan masyarakat sendiri maupun orang-orang kota.

Evalina Z mengutarakan keresahannya. Secara kasat mata perubahan tata guna lahan terjadi begitu drastis. Maklum Saree merupakan jalur transportasi utama sehingga sangat mudah mengamati perkembangannya. “Tidak tahu di dalam (pedalaman-red) sana bagaimana. Perubahan signifikan di Saree. Perubahan ini otomatis mempengaruhi iklim mikro yang bisa mempengaruhi iklim global juga,” tegasnya. Ia sendiri penasaran bagaimana dengan masalah perizinan. “ Kok masih dikasih izin orang membuka lahan disana,” tanyanya.

Perubahan iklim sepertinya pelan-pelan sedang “menyelimuti” wilayah Saree ini. Walaupun belum ada penelitian komprehensif tentang hal ini tetapi paling tidak kerusakan hutan di sekitarnya telah memberikan dampak negatif. [M. Nizar Abdurrani | GreenJou]

Sumber: theglobejournal.com

Leave a Response