close

lingkungan

Hutan

Mengelola Lingkungan Hidup Dan Hutan

Oleh: Saminoudin B Tou (Ahli Kehutanan, tinggal di Banda Aceh)

Pikiran dan pemahaman seseorang bisa dilihat dari tulisannya. Berapa kali aku menerima pertanyaan di messenger, kenapa tidak lagi menulis tentang lingkungan hidup atau hutan?

Terakhir aku menanggapinya serius dengan balik bertanya, “Akan kutulis dalam berapa hari ini. Kenapa, apa di tempat kerjamu tidak ada lagi yang mau memikirkannya?” Ia kemudian mengirimkan tawanya,” wkwkwkw…”

Dulu, di zaman kejayaan peradaban Islam, orang sangat gandrung dengan ilmu pengetahuan. Para pemikir tidak hanya menguasai satu dua ilmu pengetahuan. Seorang ahli filsafat misalnya, ia juga ahli matematika, ahli kimia, ahli fisika, ahli geografi, ahli kedokteran, ahli farmasi, dsb. Mereka juga penulis yang handal.

Jadi terlalu sedikit kalau sekarang kita hanya tahu satu ilmu pengetahuan saja. Orang di abad pertengahan jauh lebih hebat.

Memang passion-ku adalah lingkungan hidup dan hutan. Ketika masih di SMA aku sudah tertarik dengan ilmu lingkungan. Aku sangat giat membaca isu-isu lingkungan hidup. Waktu itu ilmu lingkungan baru mulai mau berkembang.

Selepas dari SMA, karena tidak menemukan jurusan lingkungan yang kuinginkan, lalu mengambil kehutanan. Kupikir itulah yang paling dekat kaitannya dengan lingkungan hidup.

Dua kali dalam seminggu aku mengunjungi pusat studi lingkungan hidup universitas. Membaca dan memfotokopi tulisan-tulisan tentang lingkungan hidup. Saat itu salah satu tokoh dan lokomotif lingkungan hidup Indonesia adalah Prof. Otto Soemarwoto. Buku-buku dan tulisannya sampai sekarang masih kusimpan mengisi rak pustaka.

Pernah kusarankan kepada teman yang baru belajar menggeluti isu lingkungan hidup, agar mempelajari laporan Kelompok Roma (Club of Rome) yang berjudul Limits to Growth. Laporan ilmiah yang seolah menjadi lonceng kematian itu, memproyeksikan masa depan bumi jika sumber daya alam terus dieksploitasi.

Itulah tonggak awal yang membawa isu lingkungan ke tingkat global. Pesimisme itu kemudian mendorong PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup tahun 1972.

Banyak konferensi dan pertemuan dengan berbagai variannya setelah itu hingga sekarang. Kalau dipelajari kronologisnya secara cermat, akan terlihat bagaimana trend inkonsistensi yang terjadi dari waktu ke waktu.

Dari situ juga bisa dipahami bahwa globalisasi isu lingkungan hidup adalah proyek negara-negara maju. Proyek kejahatan globalisasi, tapi kita ‘memakan’ saja apa yang diberikan.

Untuk negara berkembang, proyek itu hampir tidak ada manfaatnya. Kehadiran utusan negara berkembang di forum-forum internasional hanya seperti orang meramaikan pasar malam. Setelah sekian lama lihatlah, kalau ada, apa hasilnya bagi kesejahteraan rakyat? Tak ada! Cuma menjadi pertunjukan dan pemborosan di tengah kehidupan rakyat yang miskin.

Bagaimana dengan hutan? Baik kualitas maupun kuantitasnya terus merosot. Masa depan hutan sangat runyam. Tapi orang tidak melihat ada sesuatu yang salah. Inilah yang menjadi pokok persoalannya.

Hutan seperti barang bagus yang diletakkan di tempat yang keliru. Atau seperti benda seni di tangan orang yang tidak mengerti. Jadinya barang itu tidak memberi nilai apa-apa.

Celakanya lagi, sekarang hutan seolah menjadi penghambat pembangunan. Inilah akibat hutan di tangan pekerja salon. Waktu habis di salon citra hanya untuk berhias diri.

Belum lama berselang, untuk kesekian kalinya, ada yang tanya, apakah tepat kelembagaan lingkungan hidup digabung dengan kehutanan? Dari dulu aku sudah mengatakan, tidak tepat. Karena masing-masing beban tugasnya sangat berat. Bukan hanya asal bisa membuka atau menghadiri rapat dan menuliskan tanda tangan.

Tapi pusat menggabungkannya dalam satu kementerian. Begitulah maunya orang-orang yang hanya berpikiran politik. Seperti biasa, daerah pun mengikutinya, karena mengira mereka itu telah berada di jalan yang benar.

Apa sebenarnya yang terjadi selama ini adalah tidak dipahaminya akar permasalahan. Banyak program yang seolah merupakan obat, ternyata hanya mengulang kesalahan lama. Boro-boro mengobati, yang terjadi justru menciptakan masalah baru di masa depan.

Sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, ada banyak persoalan mendasar yang tidak disadari. Ada masalah kecakapan SDM, soal kelembagaan dan kebijakan yang akut. Perubahan harus dimulai dari cara berpikir. Cara berpikir ala salon jelas merupakan kesalahan metodologis.

Hiduplah di habitatmu di hutan. Supaya tahu persis apa sesungguhnya yang terjadi, paham bagaimana proses kegagalan demi kegagalan itu terjadi. Bukan pergi bertanya kepada orang asing, mereka tidak tahu apa-apa juga.

Kalau kondisi lingkungan dan hutan bertahun-tahun menjadi makin buruk, itu pasti karena ada penanganan yang salah. Berat untuk mengakuinya, tapi fakta tak pernah akan bohong..![]

read more
Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
Flora Fauna

Satwa Liar KEL Terancam Jerat Pemburu Ilegal

Banda Aceh – Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari. Sejumlah lembaga melakukan pemantauan terhadap habitat satwa liar tersebut.

Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, mereka memiliki 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

KEL Aceh masuk dalam 13 kabupaten/kota di Aceh dengan total luas 2,25 juta hektar dan sisanya saat ini sebesar 1,8 juta hektar. KEL berada di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menggunakan teknologi penginderan jarak jauh dari citra satelit. Untuk periode Januari-Juni 2018 ditemukan kerusakan hutan di KEL Aceh sebesar 3.290 hektar.

Ada banyak satwa terdapat di sana, seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii). Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung. KEL merupakan tempat terakhir di bumi yang memiliki empat jenis satwa terancam punah dan hidup secara bersamaan.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

Kata Ibnu, selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Lanjutnya, pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan Lindung KEL Alami Kerusakan Paling Tinggi

Banda Aceh – Laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Manager Geographic Information System  (GIS) Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya mengatakan tutupan hutan KEL Aceh terus berkurang akibat berbagai kegiatan ilegal. Namun, menurutnya pembangunan jalan di dalam areal hutan lindung juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan.

Padahal KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan pantauan Yayasan HAkA melalu NASA dan satelit VIIRS dan MODIS, kerusakan hutan di dalam KEL periode Januari – Juni 2018 seluas 3.290 hektare. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare.

Kerusakan areal tutupan hutan itu terjadi merata di 13 kabupaten di Provinsi Aceh yang masuk dalam KEL Aceh. Namun, Agung menyebutkan terdapat tiga kabupaten dengan kerusakan dan luas hutan yang hilang paling parah pada periode Januari – Juni 2018.

Tiga kabupaten itu yaitu Kabupaten Nagan Raya (627 hektare), Aceh Timur (559 hektare), dan Gayo Lues (507 hektare). Data tersebut diperoleh oleh Yayasan HAkA melalui citra satelit setiap harinya.

“Dari data itu baru kemudian dibuat peta panduan monitoring yang di-update setiap bulan untuk dicek oleh teman lapangan. Dari hasil cek lapangan dibuatlah peta hasil monitoring. Datanya berupa foto, database, dan titik koordinat,” kata Agung.

Hutan Lindung Tertinggi Deforestasi

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Ilegal Logging Faktor Utama Deforestasi

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevie menyebutkan ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

“Berdasarkan data ground checking atau cek lapangan selama enam bulan oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 kabupaten dalam KEL, terdapat 1.892 kasus aktivitas ilegal,” kata Tezar.

Bahkan, kata dia, tim monitoring turut menemukan 63 kamp pembalak liar dan 53 kamp perambah hutan. Tezar mengatakan menemukan 1048 kasus pembalakan liar, menyita sebanyak 2.102,69 meter kubik kayu ilegal, dan bertemu dengan 25 orang pembalak kayu ilegal. Sementara perambahan liar sebanyak 779 kasus seluas 3623 hektare.

Pembangunan jalan tembus menurut Tezar, juga menjadi alasan berkurangnya tutupan hutan. Tim monitoring FKL menemukan sebanyak 65 kasus kerusakan hutan akibat pembangunan jalan seluas 105,55 kilometer di dalam KEL. Misalnya jalan tembus Pining – Lesten di Kabupaten Gayo Lues.

“Jalan ke Lesten misalnya tempat dibangun PLTU Tampur I, buat apa jalan, sedangkan penduduk di Lesten nanti akan direlokasi,” kata Sekretaris HAkA, Badrul Irfan.

Menurut dia, HAkA bukan anti terhadap pembukaan jalan tembus. Akan tetapi setiap ada pembangunan jalan baru harus dipertimbangkan untung dan ruginya. Apakah lebih menguntungkan atau mengalami kerugian.[]

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PT Cemerlang Abadi Garap Lahan di Eks HGU

BANDA ACEH – Siang itu ruang pertemuan kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh tampak penuh. Ada tujuh pimpinan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi di Aceh Barat Daya (Abdya) berkumpul.

Sedikit riuh saat Muhammad Nasir sedang sibuk mempersiapkan proyektor untuk mempresentasukan temuan baru koalisi ini. Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur pun mulai menyapa peserta diskusi. Hari itu, Kamis (24/5/2018), koalisi ini menggelar konferensi pers untuk memaparkan temuannya.

Semua tatapan tertuju ke arah layar putih. Muhammad Nasir yang didapuk menjadi juru bicara koalisi langsung memaparkan temuan koalisi 7 lembaga yang melakukan investigasi. Dia memperlihatkan melalui slide proyektor, perusahaan sawit PT Cemerlang Abadi menggarap tanah di bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir 31 Desember 2017.

Muhammad Nasir tampak semangat menjelaskan satu slide ke slide lainnya. Sesekali dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir HGU sudah berakhir masih saja berani menggarap lahan untuk ditenam sawit.

Pada slide ke empat, Muhammad Nasir mencoba mendekati layar proyektor. Lalu dia jelaskan, ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Atas dasar temuan itu juga kemudian Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5/2018). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Ketujuh lembaga itu adalah Walhi Aceh, GeRAK, Forum LSM Aceh, HAkA, JKMA, LBH dan MaTA. Ketujuh lembaga inilah membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Kami berharap kepolisian segera melakukan penyelidikan atas perkara ini,” kata Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir.

Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat. Namun, perusahaan sawit itu hampir saja bisa mendapatkan kembali perpanjangan HGU saat gubernur Aceh dipimpin oleh Plt Soedarmo.

Pada tanggal 20 Desember 2016 Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menerbitkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Ini menjadi angin segar bagi perusahaan sawit tersebut.

Di sisi lain, pihak yang menolak HGU milik PT Cemerlang Abadi meradang. Masyarakat sipil, warga dan juga pemerintah Kabupaten Abdya terus menolak rencana tersebut. Pemerintah Kabupaten tidak mengeluarkan surat rekomendasi sehelai pun untuk perpanjangan HGU tersebut.

Setelah Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Aceh yang baru, terbitlah surat pembatalan HGU milik PT Cemerlang Abadi pada tanggal 21 Februari 2018 Nomor 590/6993, perihal Pembatalan Izin HGU PT Cemerlang Abadi.

Yang menjadi persoalan kemudian, Pemerintah Aceh belum mencabut surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Plt Gubernur Soedarmo tentang rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Menurut Muhammad Nasir, ditakutkan surat pembatalan izin HGU yang dikeluarkan Gubernur Irwandi Yusuf tidak memiliki kekuatan hukum kuat.

“Ini karena surat sebelumnya belum dicabut, bisa saja ini bermasalah nantinya dan kekuatan surat pembatalan bisa lemah,” ungkap Muhammad Nasir.

 

HGU Puluhan Tahun Terlantar

Muhammad Nasir menjelaskan, seperti dilansir merdeka.com, perusahaan mendapatkan HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, ada tiga periode HGU milik PT Cemerlang Abadi. Pertama adalah HGU atau izin dari Badan Pertanahan Negara (BPN), kedua Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUPB) dari Gubernur dan Bupati setempat dan ketiga izin lingkungan dan Amdal.

“Nah izin lingkungan dan Amdal mereka ini tidak ada, sedangkan rekomendasi bupati dan gubernur juga tidak dimiliki,” jelasnya.

Menurut Askhalani yang merangkap jadi kuasa hukum Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi menyebutkan, proses penolakan perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah dilakukan sejak 2015 lalu, masa kepemimpinan Bupati Jufri.

“Sejak itu sudah dilakukan penolakan, dan sekarang bupati Akmal juga menolak, ucapnya.

Menurutnya, penolakan ini tidak terlepas dari tidak ada keuntungan apapun masuk ke pemerintah kabupaten Abdya sejak berdirinya perusahaan sawit tersebut. Akan tetapi hanya yang didapatkan oleh pemerintah setempat kerusakan jalan yang semakin parah.

“Ini harus mendapat perhatian dari penegakan hukum,” pintanya.

Undang-Udang yang dilanggar adalah UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang pokok Agraria, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dan sejumlah peraturan lainnya. Termasuk UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

 

Janji Perusahaan

Dihubungi terpisah, Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

“Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum,” tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017, diakui pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua persyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Pihak perusahaan akan menyerahkan kepada kuasa hukum dan siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
Hutan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan ancaman bencana ekologi. Mega proyek ini juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

Spesies badak dan harimau yang paling terancam punah saat ini. Konon lagi bila PLTA Tampur di Gayo Lues dan PLTA Kluet di Aceh Selatan dibangun. Tentunya rumah satwa dilindungi ini semakin susut dan ancaman konflik satwa dan kepunahan semakin di depan mata.

KEL  juga sangat berjasa untuk keberlangsungan kehidupan manusia, karena tidak hanya menyimpan karbon dunia juga bisa mencegah dampak perubahan iklim. Ekosistem Leuser berdampak langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia dan hewan saat ini, sehingga bisa menjaga keseimbangan iklim.

Mirisnya, Pemerintah Indonesa masih saja berencana untuk membangunan mega proyek tersebut, yang kemudian banyak ditentang oleh lembaga lingkungan di Aceh. Padahal, keberadaan Ekosistem Leuser juga tidak hanya mengancam keberadaan satwa dilindungi, juga mengancam kehidupan ribuan penduduk di Sumatera.

Memang tak dapat dipungkuri, Aceh yang berada paling ujung sumatera ini memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi yang dapat diandalkan. Namun dibalik banyaknya SDA, pemerintah juga harus memperhatikan banyak aspek saat mengekploitasi.

Aspek keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial harus menjadi perhatian serius dari masyarakat. Sehingga penggunaan SDA yang dimiliki, terutama dalam KEL harus diperhatikan dampak besar dalam jangka panjang.

Pembangunan dua mega proyek tersebut, merupakan noktah hitam yang masuk dalam KEL. Noda hitam inilah yang kemudian akan mengancam berbagai persoalan kemudian hari, tak hanya merusak lingkungan juga konflik sosial bisa saja terjadi nantinya.

Kenapa pentingnya perlindungan KEL dari kerusakan? Sedekar diketahui, KEL merupakan hutan yang paling lebat saat ini di Asia Tenggara. KEL memiliki tiga lahan gambut yang kaya karbon, begitu penting bagi lingkungan global saat ini.

Lokasi proyek PLTA Tampur-1 yang dibangun oleh PT Kamirzu berada di kawasan sungai Tampur, Gampong Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Gampong tersebut luas sekitar 200 hektar berjarak 18 Km dari ibukota Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga April 2017 PT Kamirzu baru tahap pengeboran dan pengambilan sampel sebanyak 6 titik.

Lembah Gampong Lesten sebagian besar berlokasi yang kaya hasil hutan, seperti madu, walet dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Kekayaan hutan di kawasan itu telah menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat.

Sungai Lesten dan Sungai Pining memiliki arus  yang deras dan kedua sisi merupakan hutan lindung berkarakteristik tebing serta tingkat kecuraman tinggi dan ada beberapa titik air terjun. Kondisinya pun rawan terhadap bencana, karena kawasan tersebut juga rawan terhadap terjadi gempa.

PLTA Tampur-1 merupakan proyek pembangkit energi terbarukan dan masuk dalam daftar percepatan pembangunan di Indonesia. Ini seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2004, tentang perubahan keempat Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan energi terbarukan.

Perusahaan pengembangan ini berasal dari Hongkong yaitu PT Kamirzu yang merupakan salah satu Perusahaan Modal Asing (PMA) bidang kelistrikan, rencannnya pembangunan PLTA Tampur-1 ini berkapasitas 443 MW.

Mega proyak PLTA Tampur-1 menggunakan lahan seluas 4.090 hektar yang berada untuk rencana genangan. Meskipun tidak semua lahan pembangunan mega proyek ini masuk dalam hutan lindung. Proyek ini dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Timur dan Aceh Tamiang

“Yang harus diketahui, tidak semua lahan itu masuk dalam hutan lindung,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dari Walhi Aceh, pembangunan mega proyek tersebut dengan nilai investasi Rp 4,158 triliun tersebut mencaplok Hutan Lindung (HL) seluas 1.226,83 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 2.565,44 hektar Area Pengguna Lain (APL) seluas 297,73 hektar. Sedangkan untuk pembangunan bendungan/DAM dan power house seluas 10 hektar dan mirisnya itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung.

Penggunaan lahan dalam HL tak hanya lokasi pembangunan mega proyek tersebut. Setelah pembangunan selesai, ada sejumlah hutan lainnya ikut dicaplok. Seperti pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sepanjang 45 kilometer.

Lagi-lagi pembangunan SUTET masih tetap menggerus HL sepanjang 9,34 kilometer, HP 21,4 kilometer, APL sepanjang 14,26 kilometer. Selain itu, mega proyek ini juga memerlukan pembangunan atau peningkatan jalan akses sepanjang 68,14 kilometer yang masuk dalam beberapa fungsi kawasan hutan.

Seperti pembangunan jalan akses Simpang Melidi-Babo sejauh 27,14 kilometer, di antarannya 1,08 kilometer masuk dalam HL, 11,03 masuk APL. Sedangkan jalan Babo-Pulau Tiga sepanjang 11,08 Km dan Jalan Pulau Tiga-Simpang Semadam sepanjang 15,97 Km  seluruh masuk dalam APL.

“Karena tidak ada 100 persen di hutan lindung sehingga tidak memproses dokumen AMDAL di nasional. Kalau hutan lindung semua di Kementerian,” jelasnya.

Adapun izin yang sudah dimiliki oleh PT Kamirzu pembangunan mega proyek PLTA Tampur-1, sudah mengantongi sembilan rekomendasi dan izin dari pemerintah provinsi dan nasional. Seperti Izin Prinsip dari Gubernur Aceh Nomor 671.21/BP2T/2523/2015 tanggal 20 November 2015 tentang izin prinsip. Izin prinsip BKPM Pusat, surat kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016. Surat Kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016 hasil telaah titik koordinat.

Lalu berita acara rapat kesesuaian dengan  Rencana Tatat Ruang dan Wilayah Aceh pada 10 Oktober 2016, surat keterangan kesesuain dari Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Aceh Nomor 050/25/Bappeda/I/2016, Perpanjangan izin prinsip Gubernur Aceh melalui surat Nomor 671.21/BP2T/2039/2016 tanggal 27 Oktober 2016.

Kemudian keputusan Kepala Bapedal Nomor 660.46/092/XI/AMDAL/2016 tentang persetujuan kerangka acuan (KA), untuk selanjutnya wajib dilengkapi dokumen Studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). PT Kamirzu juga telah merampungkan dokumen studi AMDAL PLTA Tampur-1 tanggal 28 Desember 2016, Komisi Penilaian Amdal (KPA) Aceh membahas proyek ini dengan melibatkan masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan.

“Pada rapat pembahasan itu Walhi Aceh selaku anggota KPA menolak AMDAL PLTA tersebut, karena ada masuk dalam hutan lindung bisa berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Ini tulisan bagian satu dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Lingkungan Hidup”

read more
1 2 3 8
Page 1 of 8