close

lingkungan

Ragam

Kambing Janda di Taman Nasional Gunung Palung

Pada tanggal 20 – 24 Juni 2014 lalu, saya dari Aceh dan dua teman dari Riau berkesempatan mengunjungi Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) di Propinsi Kalimantan Barat. Kami bertiga merupakan pemenang lomba menulis dengan tema “Menyelamatkan Biodiversity, Menyelamatkan Hutan,” yang diselenggarakan oleh Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), organisasi jurnalis lingkungan berkedudukan di Jakarta. Sebagai hadiahnya, panitia membawa kami mengunjungi TNGP yang memiliki luas 90.000 hektar dan bersinggungan dengan dua kabupaten yaitu Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

TNGP merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang memiliki keaneka-ragaman hayati bernilai tinggi, dan berbagai tipe ekosistem antara lain hutan mangrove, hutan rawa, rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan pamah tropika, dan hutan pegunungan yang selalu ditutupi kabut.

Taman nasional ini merupakan satu-satunya kawasan hutan tropika Dipterocarpus yang terbaik dan terluas di Kalimantan. Sekitar 65 persen kawasan, masih berupa hutan primer yang tidak terganggu aktivitas manusia dan memiliki banyak komunitas tumbuhan dan satwa liar.

Kawasan ini ditumbuhi oleh jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), damar (Agathis borneensis), pulai (Alstonia scholaris), rengas (Gluta renghas), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), Bruguiera sp., Lumnitzera sp., Rhizophora sp., Sonneratia sp., ara si pencekik, dan tumbuhan obat.

Tumbuhan yang tergolong unik di taman nasional ini adalah anggrek hitam (Coelogyne pandurata), yang mudah dilihat di Sungai Matan terutama pada bulan Februari-April. Daya tarik anggrek hitam terlihat pada bentuk bunga yang bertanda dengan warna hijau dengan kombinasi bercak hitam pada bagian tengah bunga, dan lama mekar antara 5-6 hari.

Tercatat ada 190 jenis burung dan 35 jenis mamalia yang berperan sebagai pemencar biji tumbuhan di hutan. Semua keluarga burung dan kemungkinan besar dari seluruh jenis burung yang ada di Kalimantan, terdapat di dalam hutan taman nasional ini.

Satwa yang sering terlihat di TNGP yaitu bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo satyrus), bajing tanah bergaris empat (Lariscus hosei), kijang (Muntiacus muntjak pleiharicus), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), beruk (Macaca nemestrina nemestrina), klampiau (Hylobates muelleri), kukang (Nyticebus coucang borneanus), rangkong badak (Buceros rhinoceros borneoensis), kancil (Tragulus napu borneanus), ayam hutan (Gallus gallus), enggang gading (Rhinoplax vigil), buaya siam (Crocodylus siamensis), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan penyu tempayan (Caretta caretta). Tidak kalah menariknya keberadaan tupai kenari (Rheithrosciurus macrotis) yang sangat langka, dan sulit untuk dilihat (Dishut.go.id).

Perjalanan menuju TNGP kami tempuh dari Pontianak, Ibu kota Propinsi ini dengan menggunakan pesawat berukuran sedang dan mendarat di Bandara Rahadi Usman, di Ketapang. Ada yang menarik melihat pemandangan di Bandara Supadio Pontianak, penumpang berjejalan di pintu masuk, bagaikan suasana di terminal bus saja layaknya. Ragam penampilan penumpang sangat bervariasi, dari model penampilan orang desa hingga tampang pengusaha. Rupanya menurut cerita teman, seorang jurnalis lingkungan asal Pontianak, Daeng Rizal, transportasi darat di Kalimantan sangat buruk sehingga banyak masyarakat memilih pesawat untuk bepergian antar satu daerah.

Dari Ketapang untuk menuju TNGP masih dibutuhkan dua jam perjalanan darat lagi. Tapi ini sebenarnya belum masuk zona inti atau kawasan hutan lebat TNGP tetapi hanya kawasan pinggiran yang banyak pemukiman. Hari pertama ini kami langsung menjumpai masyarakat yang bermukim di pinggiran hutan TNGP untuk bersilaturahmi dan wawancara tentang program konservasi hutan.

Desa yang kami kunjungi pertama adalah Desa Sedahan, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Warga yang didukung oleh organisasi lokal bernama Yayasan Asri menjalankan program penyelamatan hutan sambil memberdayakan kehidupan masyarakat. Segudang problematika khas penduduk sekitar hutan ada di desa ini mulai dari batas hutan yang tidak jelas, tanah dan kebun mereka masuk ke dalam wilayah TNGP dan pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Namun kini banyak masyarakat desa yang dulunya merupakan penebang liar kini telah beralih menjadi petani atau menjalankan usaha lainnya.

Seperti yang kami temui hari itu, satu kelompok tani yang dulunya merupakan penebang liar. Pak Jono, bekas penebang liar berkisah kepada kami tentang pekerjaannya dulu. “ Kalau dipikir-pikir duit yang kami dapat dulu tidak banyak. Memang totalnya banyak tetapi setelah potong hutang sana-sini paling bisa kami bawa pulang 1 juta. Sekarang dengan bertani kami bisa mendapat lebih,”katanya.

Yayasan Asri membantu masyarakat dengan berbagai program uniknya di bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka mendirikan klinik dan menyediakan obat-obat berkualitas bagi warga sekitar hutan. Program kesehatan ini menjadi menarik karena menerapkan sistem “reward and punishment” bagi warga yang menjaga hutan. Sebagai contoh, desa-desa di sekitar hutan diberi label zona merah dan zona hijau. Bagi warga desa yang tinggal di zona merah, jika berobat ke klinik hanya mendapat diskon 30 persen. Sedangkan bagi penduduk yang tinggal di zona hijau mendapat potongan harga jauh lebih besar yaitu 70 persen.

Zona merah berarti di desa tersebut ditemukan tumpukan kayu ilegal, kegiatan penebangan liar dan gergaji mesin. Sebaliknya jika zona hijau berarti desa tersebut telah aman dari kegiatan yang merusak hutan. Jadi masyarakat akan menjaga desanya agar tidak masuk dalam zona merah atau menjaga desanya tetap zona hijau mengingat pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berkualitas walaupun sebenarnya ada Puskesmas yang memberikan obat gratis di sekitar mereka. Warga lebih percaya kepada dokter-dokter klinik Yayasan Asri yang berasal dari berbagai daerah bahkan ada dokter dari luar negeri.

Program pemberdayaan yang dilakukan antara lain memberikan pelatihan pertanian organik bagi masyarakat seperti membuat pestisida alami, kompos dan sebagainya.  Selain itu masyarakat juga melakukan penanaman pohon-pohon untuk rehabilitasi hutan baik pohon yang menghasilkan kayu maupun pohon yang memiliki buah. Pohon yang berbuah ini sangat penting sebagai makanan satwa agar hewan-hewan ini tidak mengganggu pertanian penduduk.

Selain itu pohon-pohon yang berbuah dapat menjadi koridor satwa antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Bagi saya program pemberdayaan Yayasan Asri yang paling menarik adalah “ Kambing untuk Janda”. Ketika pertama mendengar kata “kambing janda”, saya pikir ini hanya becandaan orang setempat saja. Ternyata ini adalah program pemberian kambing kepada janda kurang mampu untuk dipelihara dan hasilnya nanti digulirkan (revolving) kepada janda lain. Konsultan Teknis Pemeliharaan kambing, Muhammad Yusuf menceritakan awalnya program Kambing untuk Janda ini idenya dari seorang janda warga negara Amerika Serikat yang berkunjung ke daerah TNGP. Janda ini kemudian berinisiatif mengumpulkan dana dari rekan-rekannya sesama janda dan dana ini dibelikan kambing yang diserahkan kepada janda miskin yang bermukim sekitar hutan.

“Syarat penerima bantuan adalah janda miskin berumur 50 tahun keatas, miskin, tidak punya anak atau cucu berkecukupan atau PNS. Kami mensurvey janda calon penerima yang nama-namanya diberikan oleh kepala desa. Saat ini ada sekitar 180 janda penerima kambing dari 9 desa, setiap janda mendapatkan sepasang kambing. Namun kambing jantannya digilirkan antara betina-betina lain. Kalau kambing sudah beranak maka anaknya diberikan kepada janda lain,” jelas Muhammad Yusuf. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2008 lalu dan sampai saat ini pelaksanaannya terus dimonitor oleh yayasan.

Salah seorang janda penerima kambing, Fatimah, 64 tahun, sempat kami jumpai saat sedang menggembalakan kambingnya di daerah berumput pinggir pantai. Ia mendapat bantuan kambing tahun 2012 dan kini telah mempunyai enam ekor kambing. Janda dengan 6 anak ini seharian menjaga kambingnya agar tidak dimakan anjing atau predator lainnya. Harga kambing sangat tinggi di daerah ini, harganya dihitung perkilogram berat tubuh kambing yang masih hidup.

“Kalau kambing jantan harganya 70.000 per kilo, kalau kambing betina 40.000 per kilo,” kata Fatimah. Kambingnya sendiri saat ini masih kecil-kecil selain induknya, jadi Fatimah belum bisa menaksir berapa harga total peliharaannya tersebut.

Fatimah menjaga kambingnya sepenuh hati dan jiwanya. Sehari bisa 4-5 jam ia menggembalkan kambing yang dimulai dari pagi hari. Sorenya ia masih mencari umpan untuk dimakan kambingnya di dalam kandang. Ini sangat berbeda dengan yang saya lihat di Aceh, dimana pemilik kambing seenaknya saja melepaskan hewan bertanduk ini sehingga merusak tanaman orang lain.

Unik, ini sepertinya baru saya mendengar ada program khusus untuk janda yang tinggal sekitar hutan.  Program pelestarian hutan yang disatukan dengan program pemberdayaan masyarakat memang sangat penting. Apa artinya hutan lestari jika masyarkat tidak sejahtera, ungkapan seorang tokoh masyarakat setempat. Ini seperti motto Yayasan Asri, Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.

Memang tiga hari yang melelahkan melakukan perjalanan sambung menyambung antara pesawat terbang dan jalan darat. Tetapi Insya Allah perjalanan ini memberikan banyak inspirasi bagi saya.[]

read more
Ragam

Perusakan Lingkungan Hidup Masih Terjadi Massif

Pemerhati Lingkungan Hidup, dan Dosen Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, Ir. T. M. Zulfikar, MP, dalam siaran persnya dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni, mengatakan perusakan bumi, air, udara, dan hutan, terus berlanjut secara sistematis, masif, dan cepat. Tak terkecuali di Aceh. Maraknya bencana alam diberbagai tempat selama ini juga dapat dijadikan salah satu tolok ukurnya. Penduduk dunia terus bertambah dan sumber daya alam terus dipakai untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Ancaman perubahan iklim juga mempengaruhi kehidupan kita dan masa depan bumi. Bisnis kehutanan meskipun menguntungkan tapi juga sangat menghancurkan sumber daya alam kita. Dibutuhkan regulasi yang baik sehingga efek-efek buruk seperti bencana dapat dihindari. Selain itu, perilaku kehidupan kita juga sangat mempengaruhi tingkat deforestasi hutan yang pada akhirnya akan membawa bencana alam.

Provinsi Aceh merupakan wilayah yang saat ini memiliki jumlah penduduk lebih dari 5 juta jiwa dan memiliki kawasan yang sangat kaya akan sumber daya alam (SDA). Namun ternyata kekayaan alam Aceh tersebut belum sesuai dengan keadaan penduduk Aceh yang 19% dari total jumlah penduduknya dalam katogori penduduk miskin (Sumber data: BAPPEDA, 2013). Padahal, kita semua tahu bahwa Aceh memiliki potensi alam yang sangat menjanjikan, seperti hutan, tambang, ikan di laut dan terumbu karang serta aneka flora dan fauna lain yang dapat menjadi sumber penghidupan juga pendapatan bagi masyarakat Aceh jika dikelola dengan baik.

Namun, sayangnya sebagian besar sumber daya alam di Aceh lebih banyak dimanfaatkan oleh investor asing dan masyarakat hanya menerima dampak buruk kerusakan lingkungan akibat dari pemanfaatan sumber potensi alam di kawasan mereka.

Aceh saat ini berada dalam kondisi darurat lingkungan. Bayangkan, kerusakan lingkungan yang dimulai dari kerusakan hutan masih terus terjadi. Tercatat dari luas daratan lebih dari 5,6 juta hektar, Aceh memiliki kawasan hutan seluas 3,5 juta hektar, namun deforestasi dan degradasi hutan masih terus terjadi dengan berbagai sebab, antara lain pembukaan lahan untuk pembangunan jalan dan rumah, perkebunan, pertambangan dan penebangan liar menyebabkan bencana dan kerugian yang sangat besar.

Catatan melalui berbagai sumber yang ada, ternyata dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini saja, dampak kerugian dari kerusakan hutan yaitu terjadinya banjir dan longsor yang menguras Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) menembus angka lebih dari 800 milyar. Kesalahan pengelolaan sumber daya alam juga telah menjadikan Aceh sebagai kawasan yang rawan bencana. Pembangunan Aceh yang selama ini hanya fokus pada pembangunan fisik saja dan mengesampingkan faktor kestabilan lingkungan. Padahal, faktor lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan Masyarakat Aceh.

Padahal, sejak 2008, hingga akhir bulan Mei lalu, Aceh telah menerima dana pembangunan lebih dari Rp 100 triliun, yang menempatkan daerah ini sebagai salah satu daerah terkaya dengan tingkat penerimaan perkapita ke lima tertinggi di Indonesia.

Faktor penyebab timbulnya berbagai permasalahan dalam pembangunan di Aceh bahwa pembangunan di Aceh sering menjadi proyek mengeruk keuntungan bagi sebagian orang. Padahal, berbagai peraturan tentang pembangunan telah diatur dengan baik oleh pemerintah Aceh dengan visi “Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan undang-undang pemerintahan aceh sebagai wujud MoU Helsinki” dan memiliki misi :

(1) memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah melalui Implementasi dan penyelesaian turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) untuk menjaga perdamaian yang abadi.

(2) menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Nilai-Nilai Dinul Islam di semua sektor kehidupan masyarakat.

(3) memperkuat struktur ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.

(4) melaksanakan pembangunan Aceh yang proporsional, terintegrasi dan berkelanjutan.

(5) mewujudkan peningkatan nilai tambah produksi masyarakat dan optimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).

Namun, keadaan di lapangan berkata lain, pada penerapannya, banyak yang belum berjalan dengan baik.
Pembangunan di Aceh sudah diiatur dalam peraturan pemerintah Aceh (UUPA dan Qanun), disebutkan bahwa pembangunan di Aceh akan dilaksanakan sesuai mengoptimalkan pelayanan publik, menjaga kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan melalui terciptanya supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia.

Disebutkan juga bahwa pembangunan terintegrasi dengan berbagai sektor pembangunan secara berkelanjutan melalui berbagai komitmen terhadap pemanfaatan tataruang dan dokumen perencanaan yang telah ditetapkan; pembangunan infrastruktur diseimbangkan antara Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA)  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) dan dokumen lainnya secara merata dan proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatan masyarakat dengan tetap memperhatikan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan dalam mengantisipasi dampak resiko bencana secara seimbang hingga terwujudnya pembangunan berkelanjutan dengan memperbaiki mutu lingkungan dan meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Selama ini Aceh sering mengalami bencana karena tidak seimbangnya porsi pembangunan fisik dan pembangunan hijau. Pembangunan berwawasan lingkungan dapat diterapkan dengan perencanaan pembangunan yang matang. Hal ini harus sinergis dan disesuaikan dengan RTRWA, RPJPA, RPJMA serta keterlibatan semua pihak antara lain pemerintah, akademisi, dan stakeholder sebagai pelaksana pembangunan di Aceh.

Semoga melalui peringatan hari lingkungan hidup yang dilaksanakan setiap tanggal 5 Juni tersebut dalam menjadi momentum bagi kita semua untuk lebih peduli akan lingkungan agar tetap asri dan lestari, serta Aceh mampu meminimalisir kerusakan lingkungannya. Salam Lestari.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Pantau Program Lingkungan Capres

Tanggal 9 Juli 2014 nanti seluruh Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yaitu memilih presiden untuk periode 2014 – 2019. Semua pihak berharap presiden terpilih nanti dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang sepertinya masih jauh panggang dari api. Seluruh sektor di Indonesia semenjak kemerdekaan hingga kini masih babak belur. Sektor lingkungan tak ketinggalan, masih merupakan sektor yang telah lama tidak dikelola dengan serius secara praktek. Padahal kualitas lingkungan yang baik dapat membawa kesejahteraan rakyat ke level yang lebih tinggi.

Pencapaian kesejahteraan ini sangat minim dirasakan terutama bagi masyarakat pedesaan, dimana sebagian besar penduduk Indonesia tinggal dan kerusakan lingkungannya semakin hari semakin parah. Kedua calon presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo tampaknya menyadari akan pentingnya lingkungan. Keduanya telah memasukan isu lingkungan ke dalam visi dan misinya.

Sebagaimana yang telah dianalisis oleh Alamendah dalam blognya, kedua pasang capres dan cawapres telah memuat isu-isu lingkungan hidup dalam visi, misi, dan program aksi yang mereka serahkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla dengan visi misi setebal 42 halaman yang dilabeli judul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dengan visi misi setebal 9 halaman yang berjudul “Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur, serta Bermartabat”.

Pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan Jusuf Kalla memiliki visi dan misi terkait lingkungan hidup yang lebih detail dan panjang dibandingkan pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang lebih singkat. Secara kasat mata hal ini seolah-olah Jokowi lebih serius memandang masalah lingkungan dibanding rivalnya Prabowo. Tetapi semuanya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.

Ada hal yang juga tak kalah pentingnya dibanding hanya memelototi visi dan misi kedua kandidat di atas kertas yaitu track record kedua capres ini. Secara kebetulan kedua mempunyai hubungan yang erat dengan “kehutanan”, salah satu wilayah Indonesia yang rusak berat. Prabowo adalah pengusaha di bidang kehutanan, memiliki beberapa lahan penguasaan hutan. Sementara Jokowi adalah sarjana Kehutanan keluaran kampus terkenal Universitas Gajah Mada. Selain itu Jokowi juga adalah pengusaha mebel yang notabene juga menggunakan kayu, produk dari kehutanan.

Perlu ada tracking yang jelas untuk melihat rekam jejak keduanya dalam bidang kehutanan, apakah kedua bermasalah dengan sektor kehutanan atau tidak. Jangan sampai jika ada rekam jejak negatif terulang kembali. Kalaupun jejak positif, ya silahkan saja mengulangnya.

Karena itu mari kita pantau bersama-sama program lingkungan kedua capres. Bukan saja tentang hutan, tetapi masih banyak isu lain yang perlu perhatian. []

read more
Ragam

Membangun Agama Ramah Lingkungan

Republik ini memang negeri multibencana. Setelah bencana yang satu berlalu, datang bencana baru. Saat kemarau tiba, kekeringan dan kebakaran hutan melanda, kini di musim hujan, datang banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana. Ketika Jakarta dan Menado dilanda banjir, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai ‘takdir’ Tuhan.

Kenapa Tuhan selalu ‘dikambinghitamkan’ setiap terjadi malapetaka. Hampir tidak pernah kita menuduh diri kita sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai ‘siksa’ atau ‘cobaan’ dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdoa, mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil berderai air mata dan begitu seterusnya.

Saya tidak bermaksud meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini, akan tetapi ‘terapi spiritual’ jenis ini, hemat saya, di samping merendahkan (bahkan ‘mengolok-olok’) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang ‘Maha Buas’, juga dengan cara demikian berarti kita seolah hendak ‘cuci tangan’, melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for The Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta, sehingga alam pun ‘marah’ dan ‘mengutuk’ kita dengan banjir, tanah longsor, dan sebagainya.

Perusakan lingkungan, penebangan liar, illegal loging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan ‘sumber’ malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alquran sendiri juga telah mengingatkan bahwa, “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab” ?

Jika Alquran sendiri menganggap manusia sebagai mastermind dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia – jika mengikuti alur cerita kitab suci Agama Semit – pada dasarnya ‘terlempar’ ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab, Adam dan Hawa telah memakan dan merusak pohon kekekalan (buah kuldi).

Wawasan Teologi
Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan.

Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik). Bahwa pahala dan dosa dipandang hanya berkaitan dengan moralitas individual (bukan moralitas sosial). Bahwa ibadah yang fardlu ‘ain hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal), dan seterusnya.

Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum muslim: agama sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Pemikiran demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam (monarki Islam) klasik-skolastik, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Alquran.

Kita tahu watak, semangat, dan mentalitas sebuah monarki adalah stabilitas. Logika stabilitas selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan, dan seterusnya.

Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Alquran adalah terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Ini sejalan dengan cita-cita Islam yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang, tetapi juga alam semesta.

Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi living tradition-meminjam istilah Seyyed Hosein Nasr-dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan, tragisnya para ulama fikih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Syathibi, misalnya, dalam kitabnya yang sangat populer, Al-Muwafaqat, merumuskan maqashid al-syari’ah menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl).

Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-’irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam berijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fikih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fikih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Alquran dan Alsunnah.

Walhasil, bahwa bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia. Karena itu, jika Republik ini ingin bebas banjir maka seluruh komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan belaka. Saatnya membangun agama yang ramah lingkungan. Semoga.

Sumber: padangekspress.com

read more
Green Style

Coca-cola Lakukan Aksi Peduli Lingkungan di Lima Kota

Memperingati Hari Bumi yang dilakukan setiap 22 April, Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI) menggelar program Company Social Responsibility (CSR), serta mengkampanyekan pentingnya pelestarian bumi bagi kelangsungan hidup saat ini dan generasi yang akan datang.

”Kami percaya bahwa sukses dapat diraih melalui cara kami mengintegrasikan pertimbangan sosial dan lingkungan ke dalam aktivitas-aktivitas inti bisnis kami. Sebagai perusahaan global yang mempunyai akar lokal, kami selalu berkomitmen untuk membuat perubahaan yang positif di tengah-tengah komunitas di mana pun kami berada, sekaligus bekerjasama dengan partner-partner bisnis lokal dan mendorong karyawan kami untuk terlibat secara aktif dalam perubahan positif ini,” ujar  Head of Corporate Communications CCAI, Putri Silalahi.

Didasari komitmen ini, CCAI melakukan serangkaian aksi peduli lingkungan di berbagai area operasi di seluruh Indonesia seperti Bali, Semarang, Bandung, Medan, dan Lampung. Aksi ini bertujuan untuk terus meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan karyawan, dan terutama, masyarakat yang tinggal di sekitar unit operasi CCAI.

Di Bali, peringatan Hari Bumi dilakukan pada tanggal 19 April 2014 dengan cara menggelar aksi bersih-bersih pantai. CCAI bekerjasama dengan Garuda Indonesia dan Quiksilver serta Perwakilan Hotel di area Pantai Kuta: Hard Rock Hotel, Harris Hotel, Mercure Kuta, Grand Inna, Kuta Paradiso juga Komunitas Peduli Pantai Bali Bersih, berhasil mengumpulkan lebih dari 600 peserta untuk turut serta dalam kegiatan bersih-bersih pantai Kuta, Legian, Seminyak, Jimbaran, dan Kedonganan, serta berhasil mengumpulkan lebih dari 3 ribu kilogram sampah.

Kemudian di Semarang, CCAI Bawen, Jawa Tengah, bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro menggelar kegiatan bertema “Earth in our Hand,” pada 20 April. Kegiatan tersebut diisi dengan seminar dan talk show mengenai konservasi energi, serta parade dengan orasi dan teatrikal mengenai kondisi bumi saat ini dan harapan untuk bumi di masa yang akan datang.

Di Bandung, rangkaian kegiatan Hari Bumi dilakukan oleh CCAI Bandung Plant bersama warga sekitar pabrik dengan melakukan kerja bakti memperbaiki tanggul jebol. CCAI memberikan bantuan berupa 120 karung bekas. Perwakilan karyawan CCAI dan warga RW 01 Desa Cihanjuang juga mengadakan kerja bakti untuk membersihkan area sekitar lingkungan tempat tinggal warga dan bantaran sungai yang berada di belakang Pabrik CCAI.

Sementara di Medan, CCAI Medan Plant bersama Pemkot Medan menggelar kegiatan “Clean up Day” yang melibatkan sekitar 300 orang. Acara yang dipusatkan di Martubung, Kecamatan Medan Labuhan digelar 25 April lalu ini dirancang bersama untuk menggugah dan menginspirasi semangat untuk tetap menjaga kebersihan untuk kelestarian lingkungan di setiap wilayah hunian warga kota di Medan.

Sedangkan di Lampung, CCAI akan memperingati Hari Bumi pada 1 Mei 2014 bertempat di Desa Sukanegara Kecamatan Tanjung Bintang. Dalam kesempatan itu akan dilakukan penghijauan dengan menanam tanaman buah di sekitar rumah warga. Selain itu, CCAI juga akan menempatkan beberapa tong sampah di area zona 1 untuk mengedukasi publik akan pentingnya menjaga kebersihan mulai dari lingkungan terdekat.

Sumber: neraca.co.id

read more
Green Style

GreenNet Indonesia Lestarikan Lingkungan di Brunei Darussalam

Yayasan Green Network Indonesia (GreenNET Indonesia) telah melakukan kunjungan silaturahmi lingkungan ke Brunei Darussalam pada 25 – 28 April 2014, sebagai upaya mempererat tali persahabatan dengan stakeholders sektor lingkungan, pertanian, dan kehutanan. Delegasi GreenNet Indonesia terdiri dari 19 orang dan dipimpin oleh Ketua Umumnya Transtoto Handadhari.

Tujuan diadakannya kunjungan tersebut adalah untuk mengembangkan jaringan kerjasama pelestarian lingkungan hidup di wilayah ASEAN melalui diskusi/tukar-menukar informasi dalam rangka membangun kesepahaman persepsi dan pelestarian lingkungan diantara para pemangku kepentingan kedua bangsa.

Selama berada di Brunei Darussalam, selain melakukan Kunjungan Kehormatan kepada Duta Besar RI, delegasi GreenNET Indonesia telah mengadakan kegiatan Penanaman Pohon Persahabatan; pertemuan Silaturahmi Lingkungan dengan Yayasan “Sultan Haji Hasanal Bolkiah”, the Beach Bunch, Brunei Darussalam – Indonesia Friendship Association (Brudifa), Persatuan Masyarakat Indonesia (Permai) dan “Friends of Indonesia” pecinta lingkungan; penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU); dan wisata alam.

Sebagai bentuk hubungan ramah tamah antar Negara, pada 26 April telah dilakukan penanaman pohon di halaman Kantor KBRI-Bandar Seri Begawan, sebagai lambang kuatnya persahabatan Indonesia dengan Brunei Darussalam. Penanaman pohon dilakukan oleh Duta Besar RI bersama-sama dengan GreenNET Indonesia, Yayasan “Sultan Haji Hasanal Bolkiah”, the Beach Bunch, Brunei Darussalam-Indonesia Friendship Association (Brudifa), dan Persatuan Masyarakat Indonesia di Brunei Darussalam (Permai).

Dalam sambutannya Duta Besar RI Nurul Qomar menyampaikan, “Seperti terjadi pada akar pohon yang tumbuh, maka begitu juga hubungan global akan tumbuh lebih kuat, dan bekerjasama lebih baik di masa depan. Persepsi tentang memperkuat persahabatan ini akan dapat membantu pembentukan sikap, sebagai latar belakang dalam pengambilan keputusan.” Sarasehan Lingkungan Pertemuan Silaturahmi Lingkungan telah dilaksanakan pada tanggal 26 April 2014 bertempat di Kantor KBRI-BSB.

Dalam sambutannya, Deputy Chief of Mission (DCM) KBRI-Bandar Seri Begawan Dr. Pribadi Sutiono menyambut baik upaya GreenNET Indonesia membangun kesepahaman persepsi dan pelestarian lingkungan dengan stakeholders di Brunei Darussalam untuk lebih meningkatkan derajad lingkungan masyarakat kedua negara. “Momentum pertemuan silaturahmi lingkungan ini bisa digunakan sebagai upaya untuk melakukan refleksi tentang apa yang dapat kita berikan bagi lingkungan. Kita masih harus bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja ikhlas, dan bekerja tuntas untuk mencapai sasaran- sasaran pembangunan lingkungan dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif,” tambahnya.

Ketua the Beach Bunch Rizan Latif menyampaikan aktifitas mereka dalam ikut melestarikan lingkungan Brunei Darussalam, yaitu dengan menyelenggarakan sejumlah kegiatan khususnya untuk menjaga dan merawat pantai-pantai Brunei dari polusi. Selain itu, “the Beach Bunch juga melaksanakan program kesadaran pengelolaan dan pengurangan sampah di pantai bekerjasama dengan asosiasi lain.”

Sementara itu, Ketua Umum GreenNET Indonesia Dr. Transtoto Handadhari dalam presentasinya menyampaikan tekad GreenNET Indonesia untuk membangun watak dan karakter anak bangsa yang berwawasan lingkungan, mendorong perilaku pelestarian alam lingkungan, dan mendorong pemanfaatan nilai-nilai lingkungan sejak usia sangat dini. Ditambahkan bahwa “tujuan kunjungan GreenNET Indonesia ke Brunei Darussalam yaitu untuk mengembangkan jaringan pelestarian di kawasan ASEAN, agar setiap negara memiliki persamaan persepsi dan berkomitmen dalam pelestarian alam.”

Transtoto juga menyampaikan permasalahan lingkungan di Indonesia seperti terjadinya pembakaran hutan dan banjir karena kurangnya kesadaran pribadi terhadap lingkungan hidupnya. “GreenNET Indonesia bersedia menjadi jembatan dalam hubungan kerjasama pelestarian lingkungan dengan pihak pemerintah maupun para pemangku kepentingan di Brunei Darussalam”, tegasnya.

Dalam testimoninya, perwakilan dari Persatuan Masyarakat Indonesia di Brunei Darussalam (Permai), Saudara Agus Djamil, berbagi cerita mengenai program Permai Green Club yang secara berkala ikut membersihkan lingkungan di Brunei. “Sejak berdiri tahun 2010 hingga sekarang, Permai Green Club telah berkontribusi dengan mengumpulkan 15 ton sampah di Brunei Darussalam”, tambahnya. Disarankan agar GreenNET Indonesia bisa melakukan kerja sama kongkret dengan asosiasi-asosiasi di Brunei Darussalam dalam melestarikan lingkungan, terutama terkait masalah pelestarian hutan dan laut. []

Sumber: gatra.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Oxfam Tuding Perbankan Australia tidak Peka Lingkungan

LSM Oxfam menuding sejumlah bank besar Australia tidak peka secara sosial dan lingkungan karena mendukung pembiayaan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam illegal logging, mempekerjaan anak-anak, serta merampas tanah hak ulayat masyarakat.

Demikian terungkap dalam laporan Oxfam, Senin (28/4/2014). Menurut CEO Oxfam Dr Helen Szoke, empat bank utama Australia yakni National Australia Bank (NAB), Commonwealth (CAB), Westpac dan ANZ, tidak bisa menjaga citranya sebagai bank yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Laporan Oxfam berjudul Banking on Shaky Ground, menunjuk empat kasus di Kamboja, Papua Nugini, Indonesian dan Brasil, dimana bank-bank besar Australia secara langsung dan tidak langsung membiayai perusahaan yang dituduh melakukan perampasan lahan masyarakat.

“Terdapat kesenjangan antara apa yang dikampanyekan keempat bank ini dengan apa yang mereka lakukan di lapangan,” jelas Dr Szoke.

Menurut to Dr Szoke, penelitian Oxfam menunjukkan bank-bank tersebut terlibat dalam pendanaan sebesar 20 miliar dollar dalam perusahaan-perusahaan agrikultur.

Laporan ini menyatakan Bank Westpac di Papua Nugini ikut membiayai perusahaan kayu asal Malaysia WTK Group, yang dituduh melakukan illegal logging.

Westpac menolak dikonformasi atas kaitannya dengan WTK, namun menurut Siobhan Toohil dari bank tersebut, bank ini telah meninggalkan pembiayaan bagi klien yang tidak memenuhi standar lingkungan dan sosial yang ditetapkan.

Pengacara WTK di Port Moresby Robert Bradshaw membantah tuduhan ini.

Sementara itu, Bank ANZ dituduh terkait dengan perusahaan gula di Kamboja, Phnom Penh Sugar, milik seorang politisi setempat bernama Ly Yong Phat.

Menurut laporan media lokal di tahun 2013, anak-anak umur 7 tahun dipekerjakan di kebun tebu yang menjadi pemasok pabrik gula tersebut. Dilaporkan, sekitar 500 KK harus kena gusur karena pembukaan lahan kebun bagi perusahaan ini.

Pihak ANZ kepada ABC menyatakan terus mereview aktivitas Phnom Penh Sugar dalam memenuhi tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Laporan Oxfam juga menuding Bank NAB terkait dengan perusahaan minyak sawit raksasa asal Singapura Wilmar, serta Bank CBA dengan perusahaan gula Brasil bernama Bunge.

Majalah Newsweek menyebut Wilmar sebagai perusahaan dengan kebijakan lingkungan paling buruk di tahun 2012.

NAB kepada ABC menyatakan, pihaknya tidak bisa menyampaikan informasi terkait kliennya, namun menyatakan mendukung aksi yang mempromosikan aspek sosial dan lingkungan.

Sementara itu CBA menginvestasikan dana 14 juta dollar bagi Bunge, perusahaan komoditas pertanian terbesar di dunia, yang dituduh memasok gula tebu dari perkebunan yang lahannya dirampas dari penduduk asli Guarani  di Brasil. Pihak CBA membantah punya kaitan langsung dengan Bunge.
Sumber: radioaustralia.net.au

read more
Green Style

Hari Bumi, Bola Dunia Menggelinding di Aceh

Puluhan aktivis lingkungan di Aceh menggelar aksi memperingati hari bumi sedunia, Selasa (22/4) di Banda Aceh. Massa aksi yang sempat berjalan kaki di Jalan Daud Beureuh menuju ke Simpang Lima Banda Aceh dengan menggelindingkan bola bumi raksasa setinggi 3 meter yang terbuat dari goni.

Pada aksi tersebut tidak hanya diikuti oleh aktivis lingkungan, tetapi juga ikut dimeriahkan oleh seniman, mahasiswa serta beberapa komunitas lainnya. Pada aksi memperingati hari bumi sedunia ini menyampaikan pesan-pesan untuk penyelamatan lingkungan. Diantaranya ada yang berperan theaterikal manusia berlumpur, bertopeng satwa liar seperti gajah, harimau dan juga kupu-kupu.

Massa aksi juga berjalan kaki sepanjang 1 kilometer dengan menggelindingkan bola bumi raksasa dan membuat jalan menjadi padat merayap sampai menuju samping Masjid Raya Baiturrahman. Kendati demikian pihak kepolisian bisa mengantisipasinya sehingga bisa mengurai kemacetan dengan mengalihkan arus lalu-lintas ke arah lainnya.

Koordinator Aksi, Andri Munazir pada wartawan mengajak seluruh rakyat Aceh untuk menjaga kelestarian lingkungan, perlindungan satwa dan juga mencegah pencemaran lingkungan. Karena bila tidak dijaga, maka tidak tertutup kemungkinan bencana akan menimpa bumi ini.

“Masyarakat itu harus sadar bagaimana cara melestarikan dan menghargai alam dan lingkungan sekitar kita, penting untuk menjaga keseimbangan siklus dan ekosistem di alam, jangan kita biarkan pemanasan global mengancam kita,” kata Andri Munzir.

Sementara itu, seorang Pengamat Lingkungan, T M Zulfikar yang ikut hadir langsung pada aksi tersebut meminta kepada Pemerintah Aceh agar Sumber Daya Alam (SDA) tidak dijadikan sebagai nilai bargaining untuk kekuasaan. “Setelah mendapat kekuasaan menjadikan politik dagang sapi untuk menguasai SDA, agar ini tidak perlu terjadi,” ujar T M Zulfikar.

Dikatakannya, selama ini banyak pihak kecendrungan kurang peduli terhadap lingkungan dan disibukkan dengan situasi politik kekuasaan. Padahal lingkungan cukup baik menjadi sorotan utama, karena perebutan kekuasaan tidak terlepas dari perebutan SDA.

“Bencana akibat ulah tangan manusia semakin meningkat, menjadi banjir misalnya di Aceh Tenggara dan beberapa tempat lainnya justru pemerintah tidak memperdulikannya,” tukas dia.

Oleh karena itu dia menghimbau kepada Pemerintah Aceh agar bisa memandang bumi, lingkungan, untuk kepentingan masa depan anak cucu untuk kehidupan setelah kita dan bumi ini pinjaman dari pendahulu kita.

Sumber: merdeka.com

read more
1 2 3 4 5 8
Page 3 of 8