close

rawa tripa

HutanKebijakan Lingkungan

KLHK Apresiasi Putusan Pengadilan Tinggi Hukum Kallista Alam Rp 366 Miliar

Pengadilan Tinggi (PT) Aceh menganulir vonis PN Meulaboh yang membatalkan putusan sebelumnya yang menghukum PT Kallista Alam. Alhasil, Kallista Alam tetap dihukum Rp 366 miliar atas kebakaran hutan di Rawa Tripa, Aceh.

Kasus bermula saat hutan di Rawa Tripa terbakar hebat pada 2012. Pemerintah bergerak dan menggugat PT Kallista Alam selaku pemegang izin atas pembukaan sawit di atas lahan itu. PT Kallista Alam tidak habis akal. Ia meminta permohonan perkara itu tidak bisa dieksekusi. Anehnya, PN Meulaboh mengabulkan dan membatalkan putusan-putusan sebelumnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terima dan mengajukan banding. Hakim Pengadian Tinggi pun sudah memutuskan.

“Menerima permohonan Banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 16/Pdt,G/2017/PN.Mbo, Tanggal 12 April 2018,” putus majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Senin (15/10/2018).

Putusan itu ditetapkan pada 4 Oktober 2018 dengan nomor perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA. Bertindak sebagai Ketua Majelis Djumali dengan hakim anggota Petriyanti dan Wahyono.

Putusan ini diapresiasi dengan baik oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan.

“Kami mengapresiasi putusan majelis hakim PT Aceh atas banding yang kami ajukan,” ujar Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, Senin (15/10/2018).

“Putusan ini merupakan penerapan prinsip in dubio pro natura oleh majelis PT Aceh,” ujar Rasio.

Prinsip in dubio pro natura adalah prinsip dalam kasus-kasus lingkungan hidup yaitu jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan, haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.

“Keberpihakan majelis hakim untuk mewujudkan keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rasio.

“Kami meminta Ketua PN Meulaboh untuk segera mengeksekusi ganti rugi dan pemulihan lingkungan akibat pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam. Dengan adanya putusan ini, tidak ada alasan lagi bagi Ketua PN Meulaboh untuk menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah berkeputusan tetap (inkrach van gewidjsde) di mana PT Kallista harus membayar ganti rugi dan biaya pemulihan sebesar Rp 366 mililar atas perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan,” pungkas Rasio.

Sumber: Detik.com

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Apa yang Disampaikan “Sahabat Pengadilan” kepada Hakim ?

Kamis (4/10/2018) kemarin, sejumlah pengacara lingkungan mengajukan dokumen Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pengajuan Sahabat Pengadilan ini dalam rangka mengadvokasi putusan yang telah berkekuatan hukum, memenangkan gugatan kepada PT Kalista Alam. Sayangnya, walaupun sudah inkrah, putusan ini tidak dieksekusi oleh pengadilan akibat aksi “akrobatik” hukum.

Praktek Sahabat Pengadilan sudah banyak dilakukan dalam dunia peradilan. Hal ini dilakukan untuk memberikan pandangan kepada hakim dari sejumlah tokoh atas kasus-kasus penting yang penanganannya dirasakan belum berkeadilan.

Apa saja isi dokumen Sahabat Pengadilan tersebut?

Pada bagian awal dokumen ditulis sebagaimana dibawah ini:

Dengan hornat,

Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang kami muliakan, ijinkan terlebih dahulu kami memperkenalkan diri. Kami yang bertandatangan di bawah ini merupakan warga Aceh, berasal dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian, yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan hutan, terlebih terhadap kawasan yang oleh negara telah diberikan status sebagai Hutan Lindung, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa. Kami tidak ingin disalahkan oleh anak cucu kami kelak di masa depan dengan mewariskan pada mereka lingkungan dan hutan yang luluh-lantak. Adalah tanggungjawab kami sekarang mencegah keadaan yang tidak diinginkan itu terjadi; kami ingin mewariskan yang terbaik buat generasi masa depan Aceh.

Dengan kepentingan dan tanggungjawab itulah karni memohon pada Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mengijinkan kami bertindak sebagai “Amicus Curiae” atau “Friends of the Court” (Sahabat Pengadilan) pada Perkara Banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo yang telah dimohonkan banding oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Akta Pernyataan dan Permohonan Banding No.16/Pdt.G/2017/PN. Mbo tanggal 25 April 2018 Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tersebut terasa menikam langsung ke jantung rasa keadilan kami. Betapa tidak, rasanya sungguh sulit bisa diterima akal sehat sebuah putusan pengadilan negeri mengadili putusan yang diputuskan oleh pengadilan di atasnya, yaitu Mahkamah Agung. Apalagi putusan yang diadili itu adalah sebuah putusan dari upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung.

Sulit bagi kami memahami putusan yang kini dalam proses banding tersebut. Ketua Majelis Hakim Banding yang kami muliakan, sebelum memberikan pendapat kami terhadap perkara ini, kami terlebih dahulu merasa perlu menjelaskan tentang “Amicus Curiae” itu.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar–gambar dibawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Advokasi Rawa Tripa, Pengacara Ajak “Sahabat Pengadilan” ke Pengadilan

Amicus curiae (secara harfiah, “teman pengadilan”; plural, amici curiae) adalah seorang, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak. Dalam hal-hal tertentu sejumlah pengacara memakai Sahabat Pengadilan dalam menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik.

Seperti yang dilakukan oleh pengacara lingkungan dalam kasus perusakan hutan gambut Rawa Tripa dengan terdakwa PT Kalista Alam. Kasus yang sudah ada keputusan tetap dan mengikat (inkrah), bergulir sejak  tahun 2012 KLHK dan telah KLHK memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha. Putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000.

Salah satu pengacara lingkungan tersebut, Nurul Ikhsan, SH, Rabu (3/10/2018) kepada greenjournalist mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan Amicus curiae (Sahabat Pengadilan/SP) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada Rabu tersebut. SP tersebut berisikan pendapat, pokok-pokok pikiran beberapa tokoh masyarakat terkait dengan kasus perusakan Rawa Tripa. Pendapat para tokoh masyarakat ini menjadi tambahan wawasan kepada pengadilan dalam sebuah kasus.

“Secara formil sahabat pengadilan tidak mempengaruhi kasus. Paling tidak membuka wacana hakim,”ujar Ikhsan. SP sudah dipraktekkan di beberapa kasus di Indonesia seperti  Amicus Curiae yang diajukan kelompok aktifis kemerdekaan pers kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus “Majalah Time versus Soeharto”, Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, dan Amicus Curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang –dimana Amicus Curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari. Selain itu ada pula Amicus Curiae yang diajukan untuk mendukung Peninjauan Kembali kasus Erwin Amada-dan terakhir Amicus Curiae untuk Kebijakan Bailout Century pada Pengadilan Tipikor.

“Melihat praktik yang sudah berjalan itu, besar harapan kami permohonan kami ini diterima oleh Majelis Hakim Banding memeriksa perkara ini,”ujar Ikhsan.

Tokoh-tokoh yang memberikan pendapatnya adalah tokoh independen, memberikan pendapatnya bisa apa saja tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Kalaupun pendapat tersebut mengarah atau cenderung kepada sesuatu hal, maka sah-sah saja.

“Untuk Aceh, baru pertama kali kita gunakan Sahabat Pengadilan ini,”kata Ikhsan.

Sejumlah tokoh yang memberikan pendapatnya kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh yaitu Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Mahidin ST MT, Prof. Dr. Syahrizal Abbas MA, Suraiya Kamaruzzaman ST, LL.M.MT, Prof.Drs. Yusny Saby MA.PhD,  Prof. Dr.Ir.Ahmad Humam Hamid MA, Dr. Mawardi Ismail SH.M.Hum, Farwiza Farhan, Nasir Nurdin dan Ir. T.M. Zulfikar, MP.

Tokoh-tokoh masyarakat ini dalam pendapatnya melihat ada pnnsip paling fundamental yang dilanggar oleh PN Meulaboh dalam memeriksa gugatan oleh PT Kalista Alam (PTKA) tersebut, yaitu prinsip “nemo iudex in causa sua” atau “nemo iudex in sua causa“. “Tidak seorangpun boleh mengadili suatu kasus dimana ia mempunyai kepentingan atas kasus tersebut (no person can judge a case in which they have an interest).

Ketua Majelis Hakim yang memeriksa kasus gugatan PTKA ini adalah Ketua PN Meulaboh yang sebelumnya telah mengeluarkan Penetapan atas permohonan perlindungan hukum oleh PTKA. Maka sangat sulit menghindari adanya conflict of interest disini; Majelis dengan demikian menjadi tidak imparsiality lagi. Selain itu, Putusan PN Meulaboh tersebut jelas sudah mengadili putusan sebelumnya yang lebih tinggi, yaitu Mahkamah Agung. Termasuk mengadili sendiri Putusan PN Meulaboh sebelumnya, karena pokok materi sengketanya sama.

“Kami jadi bertanya-tanya, kok bisa pengadilan tingkat pertama membatalkan seluruh amar yang sudah diputuskan oleh pengadilan tingkat akhir? Begitu juga, kami juga bertanya-tanya, dapatkah suatu perkara yang sudah diputuskan diadili kembali oleh pengadilan negeri yang sama? Tidakkah ini menimbulkan situasi ketidakpastian hukum? Adalah tugas pengadilan tingkat banding meluruskan ini kembali, mengembalikan hukum kembali pada relnya yang benar,”jelas Sahabat Pengadilan dalam dokumennya.

 

 

read more
Tajuk Lingkungan

Aktivis Minta Mahasiswa Nagan Perkuat Pelestarian Rawa Tripa

Banda Aceh – Hutan gambut Rawa Tripa menghadapi ancaman kerusakan dari berbagai pihak secara massive pasca tsunami. Semua pihak yang peduli terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan Rawa Tripa harus ikut membantu pelestarian hutan tersebut. Mahasiswa Nagan Raya terutama yang berdiam disekitar kawasan Rawa Tripa merupakan tulang punggung utama untuk menjaga hutan yang juga merupakan tempat tinggal orangutan tersebut.

Kesimpulan ini merupakan hasil pertemuan Focus Group Discussion (FGD) antara aktivis lingkungan yang tergabung dalam Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Komunitas Mahasiswa Tripa (KOMTRI) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Darul Makmur (Ipelmasdam), Kamis (20/09/2018) di Kafe 3 in 1 Banda Aceh.

FGD tersebut dihadiri oleh T. Muhammad Zulfikar (YEL), Indrianto (Koordinator Proyek Tripa YEL) dan Halim Bangun (pengacara lingkungan) serta 10 orang dari perwakilan mahasiswa.

T. Muhammad Zulfikar dalam FGD tersebut mensosialisasikan tentang keadaan hutan Rawa Tripa saat ini, termasuk fungsi dan manfaat hutan bagi makhluk hidup. Gambut di Rawa Tripa memiliki ketebalan diatas 3 meter dibeberapa tempat sehingga harus dilindungi agar tidak mengalami kekeringan dan beralih fungsi lahan. Ancaman terhadap Rawa Tripa paling besar datang dari sektor perkebunan sawit dan kegiatan pertambangan. Saat ini Rawa Tripa sedang dalam proses penetapan sebagai kawasan lindung gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal-hal merupakan beberapa point penting dalam pemaparan T. Muhammad Zulfikar.

Sementara Indrianto juga kembali memaparkan secara rinci kondisi hutan gambut Rawa Tripa secara teknis. Pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan oleh sejumlah ilmuan seperti kedalaman lapisan gambut, jumlah orangutan yang tinggal di Rawa Tripa, kondisi iklim mikro Rawa Tripa menjadi perhatian presentasi Indrianto. Selanjutnya Indrianto mengajak mahasiswa bersama-sama untuk mengadvokasi lingkungan.

“Rawa Tripa butuh energi baru dari mahasiswa,”ujarnya.

Menurutnya sudah selayaknya mahasiswa Nagan Raya, sebagai masyarakat yang berada di sekitar hutan Rawa Tripa ikut memperkuat advokasi lingkungan. Apapun yang terjadi dengan hutan gambut tersebut, masyarakat sekitar lah yang paling merasakan dampaknya untuk waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat luar Rawa Tripa. Selain itu, kelompok masyarakat tertentu sekitar Rawa Tripa juga merupakan pelaku perusakan sehingga perlu diberikan pemahaman bersama.

“Kami dari LSM ini, tentu tidak selamanya mempunyai program di Rawa Tripa. Jadi masyarakat lah yang paling utama berhak menjaganya,”kata T. Muhammad Zulfikar.

Ketua KOMTRI, Ibnu Kasir, mengatakan siap melakukan advokasi Rawa Tripa dan berharap dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan advokasi hutan Rawa Tripa.

 

 

read more
Flora Fauna

Lahan Sawit Membuat Orangutan di Rawa Tripa Terancam Punah

BANDA ACEH – Pembukaan lahan sawit secara bersar-besaran sejak tahun 1990 telah membuat habitat Orangutan semakin sempit di kawasan Rawa Tripa. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, pada tahun 2018 hanya tersisa sekitar 150-200 individu.

Pembukaan lahan sawit dengan cara membakar telah membuat Orangutan dan sejumlah hewan lainnya kehilangan habitatnya. Semakin hari ruang gerak semakin sempit. Pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam misalnya, telah banyak berkotribusi menyembitnya wilayah jelajah satwa yang ada di Rawa Tripa.

Perusahaan sawit ini bahkan kemudian didugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke pengadilan. Pengadilan telah memvonis perusahaan sawit itu harus membayar denda Rp 366 miliar untuk memperbaiki lahan gambut yang dibakar itu.

Meskipun hingga sekarang putusan itu belum dilaksanakan. Padahal penting mengembalikan lahan tersebut seperti semula. Sehingga dengan alam pulih kembali, Orangutan bisa semakin luas memiliki arial untuk ditempati.

Pembakaran lahan di Rawa Tripa membuat habitat satwa dilindungi ini semakin sempit. Rawa Tripa yang menjadi rumahnya Orangutan semakin terdesak, sehingga mengakibatkan terancam punah saat ini.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Namun akibat adanya pembukaan perkebunan sawit sejak 1990, rawa gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.

Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, jumlah Orangutan yang sudah tewas sejak tahun 1990 sebanyak 2.850 ekor. Populasi Orangutan di Rawa Tripa tahun 1990 tercatat 3000 individu.

Jumlah tersebut semakin susut seiring tingginya pembukaan lahan sawit di Nagan Raya dan beberapa kabupaten yang masuk Rawa Tripa. Akibatnya pada tahun 2012 jumlah Orangutan yang tersisa hanya 250-300 individu.

Populasi tersebut semakin susut seiring maraknya pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan sawit. Pada tahun 2016 lalu, jumlah Orangutan hanya tersisa 150-200 indivusu.

“Pada tahun 2018 ini kita yakini hanya tersisa 150 indivisu,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo beberapa waktu lalu.

Sapto menyebutkan, bila Rawa Tripa tidak segera diselamatkan dan kawasan lindung yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak diimplementasikan dan dikawal dengan baik. Maka Orangutan yang masih tersisa di Rawa Tripa saat ini hanya menunggu waktu akan habis.

Cara satu-satunya selamatkan Orangutan di Rawa Tripa, sebutnya, maka harus dilakukan pemulihan lahan gambut yang sudah terlanjur rusak. Kalau pun tidak bisa dipulihkan di kawasan HGU, minimal di kawasan hutan lindung seluas 11 ribu hektar harus segera diselamatkan dan dipulihkan.

“Orangutan terdesak di areal sawit saat ini, perlu segera diselamatkan Ratwa Tripa untuk selematkan Orangutan,” tegasnya.

Adapun jumlah populasi Orangutan di seluruh Aceh saat ini berdasarkan data tahun 2010, tercatat 6.600-9.000 individu yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser. Sedangkan di Rawa Singkil data tahun 2014 lalu tercatat sebanyak 1.472 individu.

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

“M. Salah”, Diselamatkan di Rawa Tripa, Dilepasliarkan di Jantho

Satu individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) berjenis kelamin Jantan berhasil diselamatkan oleh tim dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia dalam program Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Orangutan tersebut terisolir sebuah fragmen hutan kecil dan sempit yang dikelilingi oleh kelapa sawit di Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang merupakan sebagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, Indonesia.

Tim YEL-SOCP yang terdiri dari dokter hewan drh. Pandu Wibisono dan Manajer Operasional SOCP Asril Abdullah, S.Si serta petugas Balai KSDA Aceh berhasil menyelamatkan orangutan dari lokasi tepatnya di Desa Blang Mee (Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan kemudian dibawa ke Pusat Reintroduksi Orangutan SOCP, di kawasan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, dan telah dilepasliarkan kembali ke hutan alam Kamis pagi  (31/08/2018).

Orangutan jantan dewasa ini diberi nama “M. (Mawas) Salah” oleh tim penyelamat di lokasi, karena sambil melaksanakan tugasnya, tim membahas piala dunia sepakbola dan pemain terkenal tim Liverpool di Inggris, Mohamed Salah.

Dari hasil pemerikasaan kesehatan awal, Orangutan “M Salah” diperkirakan berumur antara 30-35 tahun, dan berat badannya sekitar 65 kilogram. Informasi oleh drh. Pandu juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya cukup sehat, apalagi untuk orangutan yang sudah cukup lama hidup di habitat yang sumber makanan alaminya sangat terbatas.

Drh. Pandu Wibisono, menjelaskan, “Hasil cek kesehatan awal, orangutan “M Salah” ini terlihat sehat, hanya saja dia terlihat sedikit stress. Hal tersebut dapat disebabkan karena dia telah terisolasi di daerah seperti ini”.

Manajer Operasional SOCP, Asril, S.Si menyampaikan, “Jika kita tidak melakukan penyelamatan, besar kemungkinan orangutan akan mati disana akibat kelaparan ataupun dibunuh oleh masyarakat. Orangutan Jantan ini dikabarkan sudah mengganggu lahan pertanian masyarakat, termasuk memakan bibit kelapa sawit muda dalam upayanya untuk bertahan hidup.”

Sebenarnya bibit sawit bukan diet alami atau yang sehat untuk orangutan, akan tetapi jika tidak ada sumber makanan lain orangutan ini terpaksa turun dan mencobanya”.

Direktur SOCP, Dr. Ian Singleton dari PanEco Foundation yang juga ikut dalam kegiatan penyelamatan menjelaskan, “Sebenarnya kami merasa sedih jika harus menangkap orangutan liar dan bebas dari habitat aslinya. Tetapi dalam kasus seperti ini dimana habitat aslinya sudah dimusnahkan, tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan ke tempat yang lebih aman di Jantho.”

Orangutan “M Salah” ini akan memiliki kesempatan bertahan hidup dan tetap berkontribusi terhadap generasi orangutan Sumatera, sekaligus untuk pelestarian spesiesnya. Kemungkinan besar dia akan dibunuh jika tidak diselamatkan, maka tidak punya pilihan selain mencoba membantu mentranslokasinya. Dengan begitu, setelah ditranslokasi ke hutan yang lebih aman, “M Salah” akan bergabung dengan lebih dari 100 individu orangutan lain yang telah dilepasliaarkan, sebagai upaya untuk membangun populasi baru spesies sangat terancam punah ini di alam liar”.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, M. Si mengatakan, “Dengan jumlah orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 13.000-an, orangutan Sumatera terdaftar oleh IUCN (Badan Konservasi Alam Dunia) sebagai jenis satwa yang ‘Sangat Terancam Punah’. Selain itu, Orangutan juga dilindungi secara tegas dibawah hukum Indonesia, dengan potensi denda sebesar Rp 100,000,000 dan hukuman kurungan selama 5 (lima) tahun jika membunuh, menangkap, memelihara atau menjualnya”.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal”, tegasnya.

Lokasi penyelamatan orangutan “M Salah” berada di Kawasan Rawa Gambut Tripa, di Kawasan Ekosistem Leuser, yang menjadi fokus masyarakat dunia tahun 2012 ketika terdapat banyak titik api dan kebakaran berskala besar di perkebunan kelapa sawit, yang memusnahkan ribuan hektar hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayatinya, dan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfir. Kejadian ini mengakibatkan beberapa kasus hukum berupa tuntutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Beberapa tuntutan tersebut berhasil memberikan denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara terhadap pengusaha dan pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal,”tegasnya.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 370 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan yang berada di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lebih dari 280 diantaranya telah dilepasliarkan di kedua pusat reintroduksi yang dikelola YEL-SOCP di Provinsi Jambi dan di Jantho, Aceh. Sebanyak 105 orangutan lainnya telah dilepaskan ke hutan Jantho, Provinsi Aceh sejak 2011.[rel]

 

 

read more
Flora Fauna

Orangutan Kembali Dievakuasi dari Kebun Masyarakat Abdya

Seekor Orangutan jantan kembali dievakuasi dari kebun masyarakat yang terletak di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Tim yang beranggotakan personil dari BKSDA Aceh, YEL dan SOCP menyelamatkan orangutan yang berada dalam kondisi malnutrisi. Evakuasi dilakukan pada hari Kamis (30/8/2018).

Orangutan jantan ini diperkirakan berumur sekitar 30 tahun dengan berat badan antara 70-80 kilogram. Jika orangutan ini tidak segera diselamatkan maka keberadaannya terancama oleh pemilik kebun. Orangutan tersebut sudah merambah isi kebun seperti sawit, pisang dan tanaman-tanaman lain yang ada didalam kebun. Masyarakat segera melaporkan keberadaan orangutan tersebut agar hewan yang dilindungi ini dapat diselamatkan.

Staf lapangan YEL, Indrianto, kepada Greenjournalist, Jumat (31/8/2018) mengatakan Orangutan tersebut bisa jadi dulunya merupakan bagian dari orangutan yang habitatnya berada di hutan gambut Rawa Tripa. Namun akibat adanya pembuatan sungat buatan, yang kini dikenal dengan sebutan Krueng Ikueh, maka habitatnya menjadi terpisah. Orangutan ini pun tidak dapat kembali lagi ke habitat asalnya karena sudah terpisah oleh sungai buatan tersebut.

“Sedangkan hutan di sekitar desa Blang Mee nyaris sudah tidak ada lagi, jadi orangutan kesulitan untuk bertahan hidup disitu,”ujar Indrianto. Indrianto sendiri adalah staf YEL yang sehari-hari juga bertugas memantau keberadaan orangutan di kawasan hutan gambut Rawa Tripa.

Orangutan jantan yang diselamatkan tersebut hari Jumat (31/8/2018) sudah dilepasliarkan kembali di Cagar Alam Jantho, Aceh Besar. Dia tidak perlu menjalani perawatan serius karena kondisinya masih tergolong baik dan bisa dilepaskan ke alam liar secepatnya.

Dalam bulan Agustus ini sudah 2 ekor orangutan yang dievakuasi dari Kuala Batee. Tim memperkirakan masih ada sejumlah orangutan yang terjebak dikawasan tersebut dan perlu untuk dievakuasi segera, sebelum menjadi sasaran kejahatan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Temui Ketua PT Banda Aceh, KLHK Minta Percepat Putusan PT. Kalista Alam

Banda Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hari ini menemui Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pertemuan yang diinisiasi oleh Ditjen Gakkum KLHK ini untuk meminta agar supaya Pengadilan Tinggi Aceh mendukung upaya eksekusi yang telah berkekuatan hukum mengikat.

Diketahui bahwa tahun 2012 KLHK telah memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha dan telah memperoleh kekuatan hukum mengikat putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000

Dalam proses pengajuan eksekusi putusan Ditjen Gakkum KLHK telah 3 kali mengajukan permohonan eksekusi tapi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tetap belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga pelaksanaan putusan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum.

Menurut Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK, Jasmin Ragil Utomo, S.H., M.M, mengatakan bahwa KLHK sangat serius mengawal pelaksanaan putusan atas kasus kebakaran lahan PT. Kalista Alam. Walaupun kekuasan pelaksanan ada di Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tapi dalam hal ini KLHK sangat berkepentingan karena menyangkut aspek kepastian hukum mengenai pelaksanaan putusan Peninjauan Kembali dan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sebagaimana mandat konstitusi.

Pertemuan dengan Ketua Pengadilan Tinggi Bamda Aceh hari ini mencapai titik temu bahwa putusan inkracht harus disegerakan pelaksanaannya. Dengan demikian PN Meulaboh tidak ada alasan untuk menunda pelaksanaan putusan. KHLK akan terus melakukan segala tindakan hukum guna mempercepat pelaksanaan putusan ini, termasuk juga melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang berkompeten. []

 

 

read more
1 2 3 4 8
Page 2 of 8