close

rawa tripa

HutanKebijakan LingkunganRagam

Hutan Gambut Rawa Tripa Nasibmu Kini

Rabu 8 Januari 2014 yang cerah di Meulaboh. Hakim PN Meulaboh bersiap-siap membaca putusan. Para pihak yang terkait nampak sedikit tegang, mungkin dalam hatinya berharap hakim berdiri di pihaknya. Hakim pun memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan WALHI Aceh tersenyum cerah. Sementara pengacara tergugat tidak terima dan menyatakan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli. Pencarian keadilan untuk lingkungan pun bergulir panjang.

KA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi kemudian kalah. Masih tak puas, KA mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, rupanya hakim sependapat dengan PN, KA pun pulang dengan kekalahan. Tinggal satu peluang lagi dan ini digunakan juga oleh KA yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan mendapatkan bukti-bukti baru. PK pun tak memberikan kemenangan pada KA. Tergugat tetap diputuskan bersalah dan membayar denda sebagaimana diputuskan di atas. Apakah lantas perjuangan lingkungan menyelematkan hutan Rawa Tripa sudah selesai? Belum, jalan masih panjang. Rawa Tripa nyatanya masih saja diobrak-abrik oleh pihak-pihak tertentu. Denda pun yang rencananya untuk merehabilitasi Rawa Tripa tak kunjung di bayar. Bagaimana nasib Rawa Tripa kini?

Untuk mengetahui kondisi terkini hutan gambut Rawa Tripa, kami mewawancarai Koordinator Program Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), TM Zulfikar, beberapa hari lalu.

Zulfikar menjelaskan status hukum lahan 1.605 Hektar yang dimenangkan oleh WALHI Aceh status hukumnya sudah final atau inkrah. Karena pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Kallista Alam ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Secara aktual kondisi lahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Gambut tersebut seperti tanah tak bertuan. Padahal sudah sangat jelas, pengelolaannya sudah diberikan kepada Pemerintah Aceh. Bahkan tahun 2016 lalu Gubernur Aceh Zaini Abdullah memerintahkan Dinas Kehutanan Aceh segera melakukan rehabilitasi atau pemulihan. ” Lahan tersebut merupakan tambahan untuk Kawasan Lindung Gambut yang total mencapai 13.000 hektar jika mengacu pada RTRW Aceh 2013-2033. Tinggal sekarang kita dorong Pemerintah Aceh lebih serius melakukan upaya-upaya lanjutan terkait restorasi di Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa,”kata Zulfikar.

Seharusnya lahan tersebut masih utuh, namun hasil pemantauan yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) kondisi lahan semakin hari semakin berkurang akibat konversi lahan yang dilakukan secara illegal.
Beberapa oknum di lapangan bahkan mencoba-coba mengkapling-kapling lahan tersebut baik secara perorangan maupun kolektif. Seharusnya Pemerintah Aceh beserta Pemerintah Kabupaten setempat segera mengambil tindakan sebelum nantinya permasalahan akan semakin rumit, tegasnya.

YEL bersama beberapa LSM lingkungan lainnya mencoba melakukan berbagai upaya dan langkah strategis terkait hutan rawa gambut Rawa Tripa. Salah satunya adalah mendesak agar kawasan tersebut dijadikan Kawasan Lindung Gambut diluar Kawasan Hutan. “Alhamdulillah telah membuahkan hasil, yakni dengan ditetapkannya kawasan Rawa Tripa sebagai Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, lalu ditambah lagi dengan lahan sengketa dengan PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar, sehingga jika ditotal kawasan lindung gambut di Rawa Tripa mencapai 12.964 Hektar,”jelasnya. Jika lahan PT Surya Panen Subur II seluas 5000 Hektar yang pernah ditawarkan untuk dijadikan areal konservasi, maka jumlah kawasan lindung gambut mencapai + 18.000 Hektar. Namun hingga saat ini belum ada tindakan serius dari Pemerintah Aceh atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Disisi lain YEL sudah berusaha membantu melalui Program kerjasama TFCA Sumatera melakukan kegiatan restorasi di kawasan gambut Rawa Tripa. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti Pembangunan dam atau Blocking Canal sebanyak 31 titik untuk mempertahankan tinggi permukaan air sehingga kondisi rawa sebagai penyedia air dan perlindungan ekosistem dapat berjalan. Selain itu juga YEL melakukan penanaman ratusan ribu pohon di lokasi rawa gambut yang selama ini sudah hampir kritis, serta berbagai program kemasyarakatan lainnya.

Untuk rencana ke depan, sesuai hasil diskusi dengan parapihak, termasuk hasil workshop yang dilakukan bersama antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, maka perlu segera dicari format yang tepat untuk status lahan tersebut. Beberapa tawaran yang muncul seperti Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), Kawasan Lindung serta Kawasan Konservasi. “Jadi untuk pilihan-pilihan ini harus diputuskan sehingga nantinya bisa ditetapkan melalui regulasi yang mengikat semua pihak,”kata Zulfikar.

Selain itu harus secepatnya ditentukan Badan atau Lembaga Pengelola, misalnya Unit Perlindungan Gambut, Badan Restorasi Gambut Aceh, atau apa saja namanya yang tepat, dan nantinya badan atau lembaga ini di SK kan melalui Ketetapan Gubernur Aceh.

Kawasan Rawa Gambut di Tripa ini sebagian besar merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 sudah jelas sekali Kawasan ini menjadi Kewenangan Pemerintah Aceh. Selain itu Rawa Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, maka perlu juga dilibatkan kedua Pemerintahan Kabupaten tersebut. Jadi ketika nanti sudah dibentuk lembaga pengelola lahan gambut, maka selain pihak Provinsi, maka Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya harus ada perwakilannya. Termasuk juga mengajak pihak lainnya seperti LSM, masyarakat setempat, perguruan tinggi serta perusahaan untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa. []

read more
Hutan

Aktivis Rawa Tripa Desak Hakim Lingkungan Berlaku Adil

Tim Koalisi Penyelematan Rawa Tripa (TKPRT) memberi apresiasi kepada hakim-hakim yang bersertifikasi lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Provinsi Aceh yang telah menghukum perusahaan dan direksi perusahaan yang membakar lahan gambut di Rawa Tripa dalam Kawasan ekosistem Leuser (KEL) di Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

TKPRT mencatat perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam dan direksinya telah divonis bersalah oleh pengadilan baik perdata maupun pidana di PN Meulaboh.

Kemudian kasus pidana perusahaan kelapa sawit, manager PT. Dua Perkasa Lestari di Aceh Barat Daya juga telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Tapak Tuan karena kebakaran lahan gambut masing-masing seluas 1.000 hektar.

Dari rentetan kasus tersebut, masih ada satu perusahaan kelapa sawit PT. Surya Panen Subur 2 (SPS 2) yang diduga telah melakukan pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektar di kawasan Rawa Tripa KEL, Kabupaten Nagan Raya belum mendapat vonis pengadilan secara pidana di PN Meulaboh.

Pengadilan Negeri Meulaboh akan membacakan vonis kepada PT. SPS 2  pada Kamis, 28 Januari 2016 besok, TKPRT mendesak hakim yang sudah bersertifikasi lingkungan menghukum perusahaan dan para direksinya dengan hukuman yang seadil-adilnya dan lebih memperhatikan kelestarian serta penyelamatan lingkungan hidup di Kawasan Rawa Tripa dalam KEL.

TKPRT mencatat proses persidangan perkara pidana PT. SPS 2 ini sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak tahun 2013 lalu. TKPRT meminta hakim memberikan putusan yang bijak terhadap perkara pidana PT. SPS.

Belajar dari pengalaman persidangan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan di Pengadilan Negeri Palembang beberapa waktu lalu, dimana gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai 7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Sebaiknya hal tersebut tidak terulang kembali di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat. Saat itu Ketua Majelis Hakim PN Palembang Parlas Nababan memenangkan perusahaan tersebut dan menganggap tuduhan yang diberikan kepada perusahaan tidak bisa dibuktikan.

Kasus yang kemudian menjadi perhatian publik tersebut diduga/ada indikasi telah terjadi pelanggaran kode etik atau adanya perilaku hakim yang menyimpang ketika melakukan proses persidangan. Untuk itu kepada semua pihak diharapkan dapat melakukan pemantauan secara bersama-sama, ungkap TM Zulfikar, Communication Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang juga salah seorang anggota TKPRT yang selama ini sangat aktif melakukan advokasi di Kawasan Lindung Gambut Tripa tersebut.

Oleh karena itu kepada majelis hakim lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat sedapat mungkin bisa berlaku adil dan punya komitmen untuk menjaga lingkungan kita dari bencana kebakaran hutan dan lahan yang beberapa waktu ini kerap terjadi di beberapa tempat di Indonesia. (rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

Rawa Tripa Resmi Menjadi Kawasan Lindung Gambut

Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul  Makmur, Kab.Nagan Raya hari Sabtu (21 Maret 2015). Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Peresmian ini dilakukan setelah proses restorasi seluas 500 Ha berupa penanaman pohon dan penutupan kanal (tabat) sebanyak 18 titik oleh Gubernur Aceh melalui Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Husaini Syamaun.

Pembuatan tabat dimaksudkan untuk menahan air agar tidak keluar dari kawasan, sehingga diharapkan dapat kembali menjadi ekosistem lahan basah yang penting untuk menjaga subsidensi gambut, pertumbuhan vegetasi hutan, dan juga menjaga stabilitas hidrologis kawasan dan sekitarnya. Penutupan kanal ini dilakukan pada saluran drainase yang pernah dibuat oleh perusahaan.

Sementara itu rehabilitasi berupa penanaman pohon sebanyak 120.000 batang dilakukan pada areal yang terlanjur rusak, terbuka dan pada lahan tanaman kelapa sawit yang sempat tertanam.

Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir.Husaini Syamaun, mengatakan Pemerintah Aceh tetap berkomitmen menjadikan kawasan gambut yang memiliki kedalaman minimal 3 meter sebagai kawasan lindung di luar kawasan hutan. “Kawasan lindung gambut ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Aceh, namun tetap membuka ruang kepada masyarakat dan organisasi masyarakat untuk mengelola secara kolaboratif untuk kelestarian fungsi rawa gambut” ujar Husaini.

Acara peresmian ini dihadiri juga oleh Muspika Kec.Darul Makmur, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Nagan Raya, Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah IV, Yayasan Ekosistem Lestari, TFCA-Sumatra, Tim Koalisi Penyelamata Rawa Tripa, dan perwakilan masyarakat, serta media massa.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh Sebut Perlu Aksi Nyata Lindungi Rawa Tripa

Pertemuan antara aktivis lingkungan Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Peduli Rawa Tripa (TKPRT) dengan Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah, berlangsung Rabu pagi (20/8/2014) di Pendapa Gubernur, Banda Aceh. Gubernur Aceh yang didampingi oleh kepala dinas dan sejumlah stafnya menyatakan komitmennya untuk menjaga hutan Rawa Tripa dan meminta jajaran terkait di bawahnya segera merealisasikan rencana menjadikan Rawa Tripa sebagai hutan konservasi.

Pertemuan antara TKPRT dan Gubernur Aceh ini membicarakan tentang masa depan hutan gambut Rawa Tripa, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan isu penambangan liar (ilegal mining). Sebanyak 15 aktivis dari TKPRT memenuhi ruang pertemuan namun dikarenakan waktu yang singkat hanya beberapa orang saja mendapat kesempatan berbicara.

Dalam kesempatan pertama, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar menjelaskan tentang kondisi hutan gambut Rawa Tripa terkini secara umum. Mantan Direktur Walhi Aceh periode 2009-2013 menceritakan kondisi Rawa Tripa sejak dikeluarkannya izin perkebunan untuk perusahaan dimasa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2007-2012) hingga kasus bergulir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) di Banda Aceh. Kasus ini sendiri telah dimenangkan oleh aktivis lingkungan dimana MA telah mengeluarkan putusan hukum tetap mencabut izin perkebunan yang diberikan kepada PT Kallista Alam.

Pasca pengembalian hutan Rawa Tripa seluas 1.605 hektar maka menurut TKPRT hutan tersebut perlu direstorasi kembali hingga kembali seperti sediakala. Hutan gambut yang sebagian besar memiliki kedalaman lebih dari tiga meter tersebut banyak dikonversi menjadi sawit sehingga merusak ekosistem dan menghilangkan habitat satwa liar.

“Perlu ada peta yang jelas tentang hutan gambut, (sehingga tahu) berapa hutan Tripa yang perlu diselamatkan dengan cepat. Kami pihak LSM bersedia membantu melakukan restorasi di Tripa yang telah rusak,” kata T. Muhammad Zulfikar.

Selanjutnya Efendi Isma dari Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) lebih menyoroti tentang Qanun RTRW Aceh yang menurut kajian pihaknya masih mengandung banyak kekeliruan. Ia mengatakan penyusunan RTRW Aceh tidak aspiratif dan tidak melibatkan masyarakat luas. Qanun RTRW Aceh tidak memasukan Kawasan Ekosistem Leuser dan tidak memasukan permintaan masyarakat tentang pengakuan hutan adat.

“Kami beberapa waktu lalu menjumpai Kemendagri di Jakarta, mereka mengatakan bisa saja membatalkan dikarenakan substansinya banyak bertentangan. Menurut kami bila rumusnya saja sudah salah maka hasilnya bisa babak belur,” kata Efendi Isma.

Menanggapi pernyataan oleh dua aktivis lingkungan tersebut, Dr. Zaini Abdullah memberikan respon dengan mengatakan bahwa masalah kehutanan merupakan problem yang luar biasa yang dihadapinya sejak menjabat Gubernur Aceh. “Ada pihak-pihak yang tidak senang sehingga membawa kasus ini ke PTUN. Namun Alhamdulillah kita menang,”ujarnya.

Zaini berharap masyarakat sipil yang diwakili oleh LSM lingkungan dapat memberikan kritik yang membangun, bukan kritik yang meminta semuanya dibongkar.

“Tentang Rawa Tripa sendiri sudah bagus, kami akan buat telaahan staf. Aksinya yang perlu sekarang. Banyak (lahan) yang diserobot sekarang, sayang sekali. Padahal kita hanya bekerja untuk rakyat,”ucapnya.

Zaini Abdullah berharap pertemuan antara aktivis lingkungan dan Pemerintah Aceh bukan hanya berlangsung hari ini saja tapi juga perlu bertemu lagi lain hari. “Jika perlu duduk lagi, silahkan beritahu kami,” kata Gubernur Aceh yang terpilih dari Partai Aceh tersebut.[]

read more
Sains

Peneliti Usulkan Rawa Tripa Jadi Laboratorium Alam

Tim ahli Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh mengusulkan agar  Rawa Gambut Tripa di Propinsi Aceh dijadikan laboratorium alam (science park). Luas yang diusulkan mencakup 12 ribu hektar yang masih memiliki tutupan hutan. Ini adalah salah satu cara manajemen pengelolaan Tripa yang paling memungkinkan dilakukan oleh pemerintah.

Ketua tim ahli Unsyiah, Agus Halim menyebutkan wacana menjadikan Rawa Tripa sebagai laboratorium alam merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan oleh tim ahli Unsyiah pada tahun 2013.

“Hasil studi kita mendapatkan ada 12 ribu hektar hutan yang masih bagus di Rawa Tripa yang bisa dikelola dengan manajemen konservasi berbasis masyarakat. Pilihan terbaik adalah menjadikan Tripa sebagai laboratorium alam yang bisa dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, ekowisata dan pengembangan ekonomi masyarakat,” kata Agus sebagaimana dirilis Senin (14/7/2014).

Dari 12 ribu hektar sisa hutan yang ada di Rawa Tripa sebagian besar sudah menjadi areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit milik PT. Surya Panen Subur (SPS) II dan PT. Kalista Alam. Agus mengatakan, pemerintah, perusahaan dan masyarakat diharapkan bisa membangun komitmen bersama menyelamatkan rawa gambut Tripa.

Menurut Agus, Rawa Tripa Science Park tidak hanya bicara konservasi tapi perlu keterlibatan pemerintah dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Kita berharap 12 ribu hektar itu sepakat untuk diselamatkan sebagai plasma nuftah (sumber genetik) yang dikembangkan ke depan untuk isu perubahan iklim,”katanya.

Banyak hal menarik yang bisa diteliti di Tripa untuk isu perubahan iklim. Para peneliti menemukan adanya tumbuhan khas rawa yang dapat beradaptasi pada genangan aerob yang merupakan pertemuan antara genangan air rawa dan pasang surut air laut. Tumbuhan tertentu didapatkan menggunakan zat aktif tertentu secara alami sehingga tahan hidup di daerah genangan pasang surut.

Rawa Tripa juga merupakan pusat kajian biologi akuatik karena merupakan daerah genangan yang memiliki banyak jenis ikan dan kerang (lokan) yang bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar berada di dua kabupaten yakni Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit sejak 1990 menyebabkan hutan gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.
Menurut Agus, dari 12 ribu hektar sisa hutan, hanya 8 ribu hektar saja yang masih terakumulasi dalam satu bentang besar, yang lainnya sudah terfragmentasi.

“Salah satu yang penting dilakukan adalah segera mengeluarkan regulasi untuk membangun koridor di sepanjang badan sungai dan sepadan pantai untuk menghubungi koridor yang terputus itu, agar satwa-satwa masih bisa bergerak bebas,” jelasnya.

Sejumlah pihak telah melakukan penelitian di Tripa di antaranya Unsyiah, ICRAF, Wetland, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dan Pusat Penelitian Ilmu Tanah Bogor. Data yang didapat oleh para peneliti ini didorong untuk dijadikan kebijakan satu peta (one map) oleh Badan REDD+ agar tidak membingungkan para pihak di lapangan.

“Kami sudah memetakan ke dalam gambut yang mencapai lebih dari 3 meter yang layak untuk dilindungi,” kata Agus.
Data yang didapat menyebutkan Rawa Tripa  kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan spot penting di Kawasan Ekosistem Leuser yang layak dipertahankan hutannya. Pilihan untuk mengkonversi rawa gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit telah berdampak pada terancamnya flora dan fauna khas (endemik) di Rawa Tripa.

Dari kajian biodiversitas, Tripa merupakan ekosistem rawa gambut yang unik kaya akan jenis tumbuhan dan hewan, namun sangat rentan dan sulit untuk kembali ke bentuk semula jika rusak. Hasil survai lapangan menunjukkan jenis fauna yang ditemukan di Rawa Tripa saat ini tinggal sebanyak 91 jenis, di mana 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis memiliki nilai endemik dan harus dilindungi.

Hewan langka seperti orangutan, harimau, beruang madu, lutung hitam, rusa, trenggiling, burung bangau tongtong, burung punai, burung serindit hitam masih ditemukan keberadaannya di dalam hutan rawa gambut Tripa yang tersisa. Namun populasinya terus menyusut dan dilaporkan mulai jarang terlihat.  Keberadaan flora fauna dalam kawasan berada dalam daerah terisolir dan di lokasi yang terfragmentasi di sepanjang pantai.

Sumber: TGJ/Mongabay

read more
Hutan

Tuntutan Kepada Direktur PT Kalista Alam Terlalu Ringan

Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) menyambut baik atas kemajuan proses penegakan hukum terhadap PT. Kallista Alam (KA) pelaku pembukaan Lahan tanpa izin yang saat ini telah sampai pada penyempaian tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun TKPRT menilai tuntutan ini terlalu ringan dibandingkan dengan dampak kerusakan alam yang ditimbulkan paska pembukaan lahan di rawa gambut tripa tersebut. Dampak ekologis sering kali di abaikan dalam penegakan hukum lingkungan selama ini.

“Gugatan Pidana terhadap PT Kalista Alam Perkara no 132/pid.B/2013/PN MBO tentang pembukaan Lahan tanpa izin yang melanggar UU NO 18 tahun 2004 tentang perkebunan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dari kajari Suka Makmur, Kabupaten Nagan Raya atas nama terdakwa Subianto Rasyid selaku Direktur PT Kalista Alam dengan tuntutan 10 Bulan dan denda 150 Juta dengan Subsider kurungan selama 3 bulan,”ujar Juru Bicara TKPRT Fadillah Ibra dalam siaran persnya kemarin.

Selain itu, dengan tuntutan seperti itu, sama sekali belum memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan.

PT KA terindikasi telah melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan karena beroperasi tanpa izin. Termasuk telah melanggar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya karena beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser yang berstutas sebagai Kawasan Strategis Nasional. Jika mengacu pada Pasal 108 tentang pembakaran hutan dan lahan, tuntutan minimalnya seharusnya 3 hingga 10 tahun penjara dan denda 3 hingga 10 milyar rupiah. Untuk itu diharapkan kepada Jaksa untuk menelaah kembali tuntutanya tersebut.

Dari tuntutan JPU tersebut sangatlah ringan jika dibandingkan dengan tuntutan yang termuat didalam UU  perkebunan yakni  dengan hukuman maksimal mencapai 5 tahun penjara dan denda  2 Milyar Rupiah,  begitu juga dengan UU Konservasi. Sedangkan dari Tuntutan yang di berikan oleh JPU tidak mencapai setengahnya, hal ini dikhawatirkan tidak akan menimbulkan efek jera kepada pelaku perusakan lingkungan.

Seharusnya JPU menuntut pelaku minimal setengah dari maksimal tuntutan yang berlaku didalam UU, sehingga akan menimbulakn efek jera yang nantinya akan menjadi pengalaman bagi pelaku lainnya.

Dalam hal ini TKPRT meminta agar Pemerintah Aceh Segera menetapkan Kawasan 1.605 eks IUp-B PT kalista Alam agar segera Ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi daerah, mengingat sejak pencabutan IUP-B terhadap kawasan tersebut dari akhir tahun 2011 hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah daerah, hal ini sangat di khawatirkan akan menjadi sumber konflik baru.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Kampanye Hitam Kelapa Sawit Harus Dilawan

Potensi pengembangan kelapa sawit di Aceh sangat besar, selain banyak lahan yang masih kosong, tanaman tersebut juga dapat ditanam di lahan kritis, sehingga memberikan dampak yang besar bagi peningkatan perekonomian Aceh. Selama ini, banyak para pakar mengklaim bahwa  tanaman kelapa sawit merusak lingkungan dan merusak mengganggu keseimbangan alam.

Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpian Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Asmar Arsjad, dalam Workshop Industri Perkebunan Kelapa Sawit yang Berkelanjutan, yang diselenggarakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Rabu (2/4) di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh.

Asmar Arsyad mengatakan, isu kelapa sawit banyak menyerap air dan mengganggu keseimbangan lingkungan hanya diisukan oleh para pakar untuk kepentingan negara-negara asing sebagai  pemasok minyak kedelai, minyak matahari dan berbagai minyak goreng lainnya yang dapat menggantikan minyak kepala sawit. Di Indonesia termasuk Aceh, katanya, kepala sawit telah berkembang dan menjadi komoditi andalan sebagai penyumbang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di Aceh, katanya, perkebunan kepala sawit telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, dan hingga kini lebih dari setengah kabupaten/kota di Aceh memiliki perkebaunan sawit.

Ia mengatakan, kampanye lingkungan yang mengatakan kelapa sawit merusak lingkungan hanya diisukan untuk kepentingan dagang negara-negara eropa, dimana mereka ingin mengambil keuntungan dengan kampanye negatif terhadap perkebunan kopi di Aceh dan Indonesia. Untuk skala Aceh, ujar Asmar Arsyad berharap masyarakat memahami mamfaat tananam kelapa sawit mendukung perekonomian masyarakat Aceh dari sektor perkebunan sawit.

Selain menyerap tenaga kerja, katanya, perkebunan kelapa sawit juga banyak menciptakan industri lain dengan bahan baku kelapa sawit.”Saya melihat lebih banyak mamfaat ketimbang pengaruh buruk terhadap kerusakan lingkungan akibat pengembangan budidaya kelapa sawit,” ujar Asmar Arsyad.

Pakar Lingkungan Universitas Syiah Kuala, Dr Mahidin ST MT mengatakan, banyak mamfaat dari tanaman kelapa sawit. Namun, masyarakat salah mengelola kelapa sawit paska panen. Akibat pengelolaan yang salah, maka menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, seperti pembuangan ampas yang salah, dan manfaat pelepah dan cangkang kelapa sawit yang kurang maksimal.

Bila proses pengolahan kelapa sawit dilakukan dengan benar, katanya, maka perkebunan kelapa sawit tidak membawa dampak buruk bagi lingkungan. “Dari hasil penelitian yang dilakukan, budidaya kelapa sawit secara besar-besaran tidak menyebabkan banjir dan tanah longsor, juga tidak banyak menyerap air,” ujar Mahidin, staf pengajar di Universitas Syiah Kuala itu.

Ia berharap, masyarakat Aceh ikut membudidayakan tanaman kelapa sawit masing-masing kepala keluarga, dengan cara itu dapat mendongkrak perekonomian masyarakat. Ia juga mengimbau agar warga mengelola bio-massa (ampas padat) secara benar sehingga tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

Sementara itu, wartawan senior, Nurdin Syam mengatakan, kampanye negatif yang dilancarkan oleh pihak asing harus mampu dilawan dengan kampanye positif oleh petani dan pengusaha kepala sawit. Pengusaha sawit harus mampu meyakinkan pihak asing dan pembeli luar negeri bahwa budidaya kelapa sawit tidak merusak lingkungan. Dalam workshop itu juga dihadiri pengusaha kelapa sawit dari Aceh dan Sumatera Utara.[]

Sumber: Serambinews.com

read more
Perubahan Iklim

Perusahaan Sawit Siapkan Tim Pemburu Api

Direktur PT. Surya Panen Subur (SPS) 2, Teuku Arsul Hadiansyah mengatakan, operasional perusahaannya di lahan gambut, khususnya di Nagan Raya, berpatokan pada tiga langkah utama dalam mengelola perusahaan, yaitu manajemen pengaturan air, pemupukan, dan pengendalian kebakaran.

Melalui tiga langkah ini, PT. SPS beroperasi tanpa melakukan hal-hal yang menyalahi aturan hukum tentang perkebunan. Artinya, upaya pencegahan jangan sampai terjadinya kebakaran menjadi prioritas perusahan di areal gambut sejak beroperasi pada tahun 2008.

Menurut Asrul, sebelumnya lahan ini merupakan milik perkebunan kelapa sawit PT. Wolya Raya Abadi dan PT. Astra Agro Lestari yang dialihkan kepada PT SPS pada 2008. Luas areal perkebunan di lahan gambut yang kini menjadi milik PT. SPS yaitu sekitar 12.000 hektare yang sebagian juga dijadikan sebagai lahan konservasi.

Petugas Pemburu Api
Untuk mengawasi kebakaran lahan gambut di kabupaten Nagan Raya, PT SPS 2 menugaskan petugas pemburu api. Perusahaan ini membentuk regu pemantau titik api yang masing-masing regu berjumlah tujuh orang.

Upaya ini untuk mengantisipasi kebakaran lahan gambut khususnya di area perkebunan sawit. Di areal perkebunan SPS ada tujuh tower pemantau titik api.

“Khusus untuk memantau titik api, perusahan memiliki tujuh tower pemantau yang dilengkapi petugasnya pemantau dan setiap saat akan bertugas secara bergiliran,” kata Suardi, manajemen SPS.

Selain itu pihak perkebunan  juga telah menyediakan satu unit mobil pemadam kebakaran mini jika sewaktu-waktu ada kebakaran akan cepat ditangani oleh petugas untuk memadamkan api di areal perkebunan, terutama saat musim panas atau kemarau.

“Perusahan juga telah membangun parit-parit yang berisi air mengelilingi areal perkebunan. Hal ini diperlukan demi menjaga agar kondisi tanah tetap basah sehingga dapat mencegah munculnya titik api khususnya pada musim kemarau,” tambah Suardi.

Dia turut membantah apabila perusahaannya dituduh melakukan pembakaran beberapa waktu lalu.

“Artinya, titik api itu bukan di lahan kami, tapi muncul di areal okupasi atau lahan HGU PT. SPS. Namun belum dikelola dan pemanfaatannya oleh masyarakat,” katanya.

Sejauh ini perusahaan tetap akan menjalankan komitmen untuk tidak membakar lahan. Karena setiap sudut areal perkebunan kelapa sawit PT. SPS di kawasan lahan gambut ini telah dilengkapi rambu-rambu berupa larangan menghidupkan api. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
1 2 3 4 5 6 8
Page 4 of 8