close

rawa tripa

Tajuk Lingkungan

Peluang Kerja dari Rehabilitasi Lahan

Keputusan PN Meulaboh yang menghukum PT Kallista Alam (KA) membayar ganti rugi materil Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar atas kerusakan lahan gambut Rawa Tripa memiliki dampak multidimensi. KA terbukti melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebuah Kawasan Strategis Nasional, yang bernilai tinggi dan tak tergantikan sebagaimana dinyatakan oleh badan dunia UNESCO. Sekitar Rp.366 Miliar harus KA bayar dimana jika putusan ini dilaksanakan maka akan memberikan peluang kerja bagi masyarakat sekitar Rawa Tripa.

Pada masa persidangan, KA sering menghembuskan isu bahwa mereka telah membuka lahan pekerjaan bagi banyak orang dan jika mereka dihukum oleh pengadilan maka akan banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Namun logika ini sepertinya bisa dibalik, dengan duit 366 miliar, akan banyak peluang kerja yang bisa diberikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa diajak bersama-sama merehabilitasi lahan yang terbakar seluas 1000 hektar. Kegiatan rehabilitasi ini juga bermacam-macam. Salah satunya adalah pembuatan kompos.

Kompos disebut-sebut memiliki sifat karakteristik yang mirip lahan gambut. Proses pembentukannya pun nyaris serupa. Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar (wikipedia).

Sementara kompos juga terbentuk dari pembusukan biomassa seperti tumbuhan dan makhluk hidup. Bedanya gambut terbentuk selama ribuan tahun sedangkan kompos dapat dibentuk relatif lebih cepat. Namun memiliki banyak kesamaan. Itulah sebabnya tim ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan biaya rehabilitasi lahan dengan menggunakan kompos.

Nah, untuk membuat kompos bagi 1000 hektar lahan yang lapisan gambutnya setebal 10-15 cm telah rusak dibutuhkan ribuan ton kompos. Ini merupakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar yaitu dengan membuat kompos. Masyarakat tentu saja dilatih terlebih dahulu agar bisa membuat kompos yang baik.

Selain pembuatan kompos ada biaya lain untuk ganti rugi materi. Jika dana ganti rugi ini dimanfaatkan dengan memberdayakan masyarakat maka bisa menampung ribuan tenaga kerja. Misalnya memperbaiki pengaturan tata air, pengendalian erosi dan sebagainya.

Jika jika KA menghembuskan isu akan banyak orang kehilang pekerjaan dari dihukumnya perusahaan maka sebaliknya yang benar adalah akan tercipta banyak lapangan kerja jika denda ini dilaksanakan. Tugas pemerintahlah untuk memastikan denda dibayarkan.[]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Apresiasi Putusan terhadap Perusak Lingkungan

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya mengatakan keberhasilan memenangkan gugatan perkara perdata
di PN Meulaboh terhadap PT. Kallista Alam merupakan pembelajaran yang baik. Kedepan KLH menggugat PT. SPS secara perdata dan pidana terhadap kebakaran lahan gambut di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

“Ini menunjukkan berlakunya prinsip. Polluter Pay Principle,” kata dia dalam konperensi Pers di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Senin (13/1/2014). Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp300 miliar ini dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya.

Upaya penegakan hukum lingkungan ini meningkatkan kepercayaan kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan pengadilan,” kata Balthasar Kambuaya.

Menteri LH mengemukakan, gugatan itu diajukan berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 yang menyebutkan, terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).

Data dan informasi tersebut lalu dijadikan sebagai dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melalui Deputi Penaatan Hukum Lingkungan untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli, Jaksa Pengacara Negara dari Kejagung dan Kejati Aceh beserta staf KLH dan perwakilan Pemerintah Provinsi setempat untuk melakukan verifikasi lapangan pada 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012.

“Dari laporan tim disimpulkan bahwa PT. Kallista Alam telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu pembakaran lahan, atau setidak-tidaknya telah membiarkan terjadinya kebakaran lahan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan luas total lahan yang terbakar seluas 1.000 hektar,” papar Menteri LH.

Berdasarkan hasil kesimpulan tim lapangan dan penelitian oleh Ahli Kebakaran Hutan dan Ahli Kerusakan Lahan, lanjut Balthasar, kebakaran lahan seluas 1000 hektar tersebut telah menimbulkan kerugian lingkungan yang harus dibayarkan PT. Kallista Alam kepada Negara.

Karena itu, Menteri LH melalui Kuasa Hukum bersama Jaksa Pengacara Negara Kejagung dan Kejati Aceh mengajukan gugatan ke PN Meulaboh pada tanggal 8 November 2012.

Ditambahkan Balthasar, setelah gugatan diterima, Majelis Hakim lalu memanggil para pihak untuk melakukan proses mediasi yang pada akhirnya gagal dan persidangan pada pokok perkara dilanjutkan, setelah melewati beberapa persidangan di PN Meulaboh dan 2 (dua) kali sidang lapangan / Pemeriksaan Setempat (untuk mengetahui kondisi kebakaran dan mengukur luasan kebakaran) maka telah dijadwalkan rencana pembacaan putusan persidangan.

Pada kesempatan konperensi pers itu, Balthasar Kambuaya menyampaikan apresiasi Jaksa Pengacara Negara (JPN)
dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Aceh atas kemenangan gugatan pemerintah itu. Selain itu, penghargaan kepada Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Rachmawati, SH yang merupakan hakim bersertifikat lingkungan yang pertama kali memutus perkara lingkungan hidup.

PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Menurut Menteri LH, selain kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, terdapat beberapa kasus yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu Gugatan Menteri LH terhadap PT. Merbau Pelalawan Lestari (PT.MPL) di Kab. Pelalawan – Riau, Gugatan Menteri LH terhadap PT. Surya Panen Subur (PT.SPS) di Meulaboh – Aceh, dan Pengajuan Peninjauan Kembali perkara gugatan KLH terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa di Bangka Belitung.[]

Sumber: acehterkini.com

read more
Ragam

Masyarakat Berdaya, Rawa Tripa pun Lestari

Hutan gambut Rawa Tripa, sebuah kawasan yang terletak bersilangan antara Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Hutan ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang mulai dari wilayah tengah Aceh, Pantai Timur, Pantai Barat dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Memiliki luas sekitar ± 61.803 hektar.

Rawa Tripa adalah salah satu dari 3 kawasan gambut pantai yang sangat penting yang ada di Aceh, yang dua lainnya adalah Rawa Kluet (18.000 ha), dan Rawa Singkil (100.000 ha). Ketiga lokasi hutan gambut dataran rendah ini  telah lama mengalami kerusakan karena dirambah oleh berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak puluhan tahun lalu.

Hampir 50 persen daerah Rawa Tripa  telah mengalami deforestasi karena pembukaan perkebunan dan pembuatan kanal untuk mengeringkan rawa gambut. Kerusakan ini menyebabkan berbagai satwa langka seperti Orangutan kehilangan habitat yang paling ideal dan terancam punah. Karena pembukaan lahan rawa Tripa ini penduduk yang tinggal di sekitarnya yang sering tertimpa bencana banjir di musim hujan dan mengalami kekeringan yang parah dimusim kemarau.

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Kawasan Rawa Gambut Tripa adalah terjadinya penurunan permukaan gambut secara perlahan-lahan menurun dan akan semakin tenggelam dimasa mendatang. Dapat dipastikan nasib hutan gambut Rawa Tripa akan punah tanpa ada tindakan nyata oleh semua pemangku kepentingan khususnya pemerintah Aceh untuk mencegah dan membatalkan konsesi yang telah diberikan kepada perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa memasuki babak baru tahun 2012. Dari segi advokasi,  kampanye penyelamatan Rawa Tripa dilakukan secara intensif oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang dipimpin oleh WALHI Aceh. Kampanye ini mendapat dukungan internasional secara luas. TKPRT telah berkali-kali mendesak pemerintah, baik pusat maupun provinsi Aceh, untuk menyelesaikan permasalahan rawa gambut Tripa dan masalah lingkungan yang semakin memburuk di kawasan ini.

Salah satu pencapaian TKPRT adalah dicabutnya Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. Kallista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha. Izin perkebunan yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa ini dicabut oleh Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah setelah sebelumnya TKPRT memasukan gugatan di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pencabutan izin tersebut diikuti dengan gugatan hukum perdata dan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia terhadap perusahaan terkait kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan akibat pembakaran lahan.

Pemberdayaan Masyarakat
Selain melaksanakan advokasi, pemberdayaan masyarakat sekitar Rawa Tripa dan konservasi hutan harus tetap dilaksanakan. Salah satu lembaga yaitu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melakukan pendampingan terhadap masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa sejak tahun 2008 melalui program-program pemberdayaan masyarakat dan konservasi hutan. YEL yang berdiri awal tahun 2000, merupakan lembaga yang fokus pada isu-isu lingkungan dan pengembangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar daerah konservasi. YEL memiliki kantor utama di Medan dan kantor-kantor lapangan dimana proyek mereka sedang berjalan dewasa ini.

Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), T. Muhammad Zulfikar kepada Greenjournalist menyampaikan, pada tahun 2012, YEL dengan dukungan program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa.  “ Tahap awal program ini mengembangkan bibit secara partisipatif bersama masyarakat setempat untuk rehabilitasi kawasan rawa yang terdegradasi,” kata T. Muhammad Zulfikar.
**
TFCA adalah proyek pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap) Pemerintah Amerika Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan utang kepada Amerika Serikat. Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Penggunaan dana ini untuk rehabilitasi Rawa Gambut Tripa akan sangat menguntungkan.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia.
**

YEL sedang mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan Rawa Tripa, yang merupakan bagian dari program besar untuk merehabilitasi dan melindungi kawasan tersebut. Belajar dari pengalaman panjang, banyak proyek-proyek konservasi yang sangat strategis dari bantuan asing yang tidak berkelanjutan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lokal.

Masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pelestarian hutan harus diberdayakan agar mereka tidak melakukan kegiatan mencari nafkah yang merusak hutan, kata T. Muhammad Zulfikar. Selama ada kecenderungan lembaga-lembaga konservasi hanya fokus pada flora dan fauna saja, sehingga masyarakat sekitar hutan terabaikan, sambung alumni Pascasarjana Konservasi dan Sumber Daya Lahan Unsyiah ini.

T. Muhammad Zulfikar mengatakan rehabilitasi kembali kawasan Rawa Tripa yang rusak perlu segera dilakukan. “ Jikapun nantinya wilayah ini menjadi wilayah lindung maupun konservasi, tentunya akses masyarakat untuk mengelolanya tentunya tetap terbuka,” ujarnya. Namun kegiatan ekonomi untuk daerah tertentu yang secara ekologi sangat sensitif di kawasan Rawa Tripa sebaiknya diterapkan prinsip kehati-hatian. Itulah sebabnya studi yang lebih komprehensif sangat perlu dilakukan di kawasan ini.

Hal ini sejalan dengan niat Pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka selayaknya hutan Gambut Rawa Tripa dikembalikan seperti fungsi semula. “ Untuk itu mari kita tunggu langkah konkrit Pemerintah melalui lembaga yang menangani isu perubahan iklim dan juga Pemerintah Daerah baik di Provinsi Aceh maupun di Kabupaten Nagan Raya dan Abdya, ucap T. Muhammad Zulfikar. **

Koordinator Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat, TFCA, Rahmadani, kepada Greenjournalist bercerita banyak tentang program pemberdayaan yang dilaksanakannya bersama masyarakat.

Rahmadani yang biasa dipanggil Dani menjelaskan ada tiga program utama YEL di Rawa Tripa, sejak pertengahan April 2012. “ Tiga program itu yang pertama kampanye Lingkungan, kemudian pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan gambut Rawa Tripa dan yang terakhir survey Biodiversity hutan gambut Rawa Tripa,” ujar Dani.

Penelitian tentang biodiversity hutan gambut Rawa Tripa mencakup survey kedalaman gambut, menghitung stok karbon, vegetasi tanaman, pencemaran dan sebagainya. Juga dilakukan survey populasi Orangutan yang rencananya akan dilakukan awal tahun 2014. Hasil penelitian ini akan dimasukan ke dalam jurnal internasional sehingga bisa dibaca banyak pihak terutama komunitas internasional.

Namun tantangan penelitian ini juga sangat besar. Banyak titik-titik survey yang berada dalam lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sehingga untuk masuk ke dalamnya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu. Perusahaan-perusahaan yang lahannya menjadi lokasi penelitian biasanya enggan memberikan izin masuk kepada peneliti.

Dalam melakukan pengembangan ekonomi masyarakat, mereka membuat program pembibitan dengan mengembangkan berbagai bibit tanaman lokal, meliputi tanaman kayu dan buah buahan yang biasa dijumpai di kawasan rawa. Masyarakat tidak diberikan bibit yang sudah jadi tetapi mereka diajarkan cara melakukan pembibitan sendiri seperti cara melakukan okulasi, pencangkokan, stek dan sebagainya. Ini merupakan proses alih pengetahuan.

Pembibitan yang sudah berhasil antara lain pembibitan tanaman seperti Jabon, Sengon dan pohon-pohon lain untuk rehabilitasi hutan. Selain itu juga dilakukan pembibitan tanaman yang bernilai ekonomis seperti pohon rambutan, durian dan sebagainya. “ Lebih kurang 9000 bibit sudah disebarkan kepada masyarakat,” kata Dani.

Setelah bibit-bibit ini siap tanam maka bibit segera didistribusikan ke masyarakat. Untuk tanaman hutan seperti jabon dilakukan penanaman pada lahan kritis. Sedangkan pohon rambutan dan durian ditanam dalam kebun milik masyarakat.

Jika pohon-pohon tersebut tumbuh dengan baik maka dalam jangka waktu lima tahun diharapkan masyarakat sudah dapat memetik hasilnya. Pemberian bibit tanaman pohon dilaksanakan di daerah Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL
Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL

Selain pemberian bantuan bibit, Dani mengatakan program TFCA di Rawa Tripa juga membantu masyarakat melakukan budidaya ikan lele. Pada awalnya sekitar 15 kolam yang masing-masing berukuran 3 x 6 meter dengan kedalaman 1,2 meter, diberikan kepada masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 8 orang. Kini jumlah kolam sudah berkembang menjadi 27 kolam setelah berhasil melaksanakan panen beberapa kali.

Setiap kolam ditaburkan 3000 benih ikan yang merupakan bantuan dari Balai Benih Ikan setempat. Masyarakat juga diajarkan cara pemijahan ikan atau membuat benih ikan. Bantuan benih ikan diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggir hutan Rawa Tripa melalui pemberdayaan ekonomi, selain dua program bantuan di atas juga dibagikan bantuan kambing, bebek petelur dan ayam potong. Warga dari dua kecamatan di atas mendapat bantuan tersebut.

Siapa yang layak menerima bantuan ini ? Dani menjawab penerima bantuan adalah masyarakat yang telah menjadi kader lingkungan dan dibina oleh YEL. Kader ini diharapkan turut menjaga kelestarian lingkungan hidup hutan gambut Rawa Tripa.  Program ini berjalan bukannya tanpa tantangan. Keterbatasan alokasi dana dan jumlah masyarakat pinggir hutan membutuhkan bantuan jauh lebih banyak dari jumlah bantuan tersedia menjadi tantangan utama pelaksanaan program. Banyak penduduk yang bertanya-tanya, “Mengapa kami tidak dapat bantuan sedangkan yang lain dapat?”, Dani menceritakan.

Menurut Dani tidak semua bantuan pemberdayaan ekonomi yang diterima masyarakat berjalan sukses. Misalnya saja ada panen ikan lele yang gagal dan ada juga sistem pengelolaan yang kurang terbuka membuat munculnya rasa tidak percaya dalam anggota kelompok. Namun Dani memperkirakan sekitar 80 persen bantuan yang mereka berikan berkembang baik.

Sementara ini YEL masih berperan  menjadi penggerak dan pemberi semangat namun realisasinya semuanya terletak di pundak masyarakat yang melanjutkan program. Program yang akan berakhir pada April 2015 ini selalu dimonitor dan dievaluasi oleh donor setiap enam bulan sekali untuk mengecek dan membandingkan antara laporan dan fakta lapangan. Namun donor berjanji akan memperpanjang program ini untuk beberapa daerah selama dua tahun jika hasilnya memuaskan.**

Salah satu peneriman bantuan yang sempat dihubungi GreenJournalist adalah Nurdin, warga kampung Blang Luah Kecamatan Darul Makmur. Saat diwawancarai, ia hendak menjual ikan lele hasil panen dari kolam bantuan. Lele yang mereka pelihara adalah lele jenis Sangkuriang. Ia juga mendapat bantuan itik yang baru berusia 1,5 bulan.

Nurdin menceritakan kelompoknya mengelola lima kolam ikan dan mendapatkan bantuan itik sebanyak 100 ekor. Selama ini mereka telah tiga kali melakukan panen ikan dan hasil yang diperoleh terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat panen pertama, mereka meraup sekitar 97 kg ikan lele dari satu kolam. Pada panen kedua  hasilnya sedikit menurun, diperoleh 184 kg ikan lele dari satu kolam dan ketika panen ketiga diperoleh hasil yang memuaskan yaitu sekitar 150 kg/kolam.

“ Untung dari penjualan ikan kami bagai ke anggota kelompok setelah dipotong modal untuk usaha lagi,” kata Nurdin. Nurdin juga mendapat bantuan bibit pohon seperti pohon mahoni, jabon, durian dan rambutan. Semua bibit ini sudah ditanamnya di kebun dan ia pun rutin melakukan perawatan di tanamannya. Nurdin menyampaikan program bantuan yang dilakukan YEL berjalan dengan transparan. “ Tidak ada istilah balas budi atau apa-apa dibelakangnya,” ujar Nurdin. Namun ia tidak menampik bisa saja ada oknum yang membonceng program ini untuk popularitas.

Sudah dua tahun program ini berjalan dan dirasakan manfaatnya. Nurdin mengakui bantuan-bantuan pemberdayaan ekonomi yang ia dan warga desa terima telah memberikan kemajuan ekonomi walaupun belum begitu banyak. Ia berharap, YEL dapat terus membantu masyarakat ke depannya.

Rahmadani mengharapkan dampak dari program ini dapat meningkatkan kemandirian masyarakat penerima manfaat. Program ini ingin menyampaikan kepada masyarakat pinggiran hutan gambut Rawa Tripa bahwa mereka tidak perlu menanam sawit di lahan gambut karena masih banyak usaha alternatif yang sangat ekonomis untuk meningkatkan pendapatan. Percontohan kegiatan ekonomi alternatif harus terus disosialisasikan. Memang ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi harus terus dicoba.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Terkait KEL, Anggota DPR Aceh Kelabui Masyarakat

Seorang anggota DPR Aceh dihadapan demontrans Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mengatakan bahwa yang dihapus dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) hanya lembaga Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), bukan KEL-nya. Namun faktanya, KPHA tidak menemukan lagi sebutan KEL lagi dalam qanun tersebut.

Senin kemarin (30/12/2013) ratusan demonstran dari KPHA dan masyarakat berbagai wilayah melakukan unjuk rasa menolak penghapusan KEL dan tidak dicantumkannya hak ulayat dalam qanun RTRWA. Pengunjuk rasa berorasi bergantian mengecam DPRA yang dinilai tidak pro rakyat. Selain itu pengunjuk rasa menyebutkan penghapusan KEL dalam qanun menyebabkan potensi bencana meningkat di Aceh.

Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Adnan Beuransyah, menjumpai demonstran di halaman gedung dewan terhormat. Dalam jawabannya terhadap pemrotes, ia mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.

Tapi yang sebenarnya berlawanan dengan apa yang dikatakan Adnan Beuransyah dihadapan pengunjuk rasa. Juru bicara KPHA, Effendi Isma, S.Hut, kepada Greenjo, Selasa (31/12/2013) mengatakan pihaknya telah mempelajari qanun RTRWA tersebut dan ternyata istilah KEL memang sudah dihapus di dalamnya.

” Adnan Beuransyah adalah pembohong, nomenklatur KEL tidak ditemukan lagi dalam substansi RTRW Aceh dan bila dipaksakan terus berlaku, kita akan somasi dan judicial review bila tidak dikoreksi,” ujar Effendi Isma. DPR Aceh telah telah melakukan pelangaran regulasi, tambahnya.

Menurutnya, implikasi tidak tercantumnya KEL dalm Qanun menyebabkan tidak akan ada lagi pengelolaan KEL dan tidak ada lagi program-program pemberdayaan KEL secara terintegrasi. ” Izin konsesi sudah boleh dengan mulus beroperasi di sana dengan mudah,” sesalnya.

Sementara itu hal senada disampaikan oleh aktivis lingkungan yang juga merupakan akademisi dari Universitas Serambi Mekkah, T. Muhammad Zulfikar.

Ia mengatakan pemahaman anggota DPR Aceh terhadap KEL masih sangat minim. ” Dia (anggota dewan-red) tidak bisa membedakan antara KEL sebagai sebuah kawasan kelola hutan dengan BPKEL sebagai lembaga pengelola. Sayangnya lagi masih ada anggota DPRA yang tidak paham regulasi, terutama sejumlah regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam penyusunan qanun RTRWA, sepertu UU PA, UU tentang Penataan Ruang dan PP RTRW Nasional.Menyedihkan sekali,” kecamnya.

 

read more
Hutan

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tidak Pro Masyarakat

Masyarakat peduli lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Senin (30/12/2013) siang menggelar aksi penolakan qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW) Aceh  di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Demonstran menganggap qanun RTRW Aceh tidak berpihak pada masyarakat karena tidak mencantumkan kawasan ulayat dan menghilangkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Sebelum menggelar aksi damai, KPHA mengadakan pers conference dimana dalam pers conference tersebut juru bicara KPHA Effendi Isma, S.Hut mengungkapkan kekhawatiran mengenai penghilangan KEL dalam RTRW Aceh. KPHA khawatir  adanya perluasan izin Hak Guna Usaha (HGU), izin tambang dan konversi lahan di kawasan Leuser. Dalam RTRW Aceh, Ulu Masen dan Leuser digeneralisir menjadi hutan Aceh.

Padahal kedua kawasan tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Nama Leuser dan Ulu Masen telah ada sejak zaman nenek moyang dulu dan itu merupakan warisan yang tidak bisa diubah. Bahkan Leuser telah dijadikan sebagai ekosistem warisan dunia oleh UNESCO dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional.

Masyarakat dari Tamiang Peduli, Kamal Faisal,  mengatakan, Tamiang dalam kondisi sangat mengkhawatirkan, karena banyak perluasan lahan illegal yang merusak hutan Leuser. Akibatnya, jika hujan dalam waktu 2 jam saja, bisa menyebabkan banjir. Ia juga mengharapkan RTRW Aceh segera direvisi demi kelestarian ekosistem Leuser.

Jaringan Masyarakat Gambut Rawa Tripa juga menyatakan penolakan tegas terhadap RTRW Aceh.

Setelah mengadakan pers conference massa berjalan menuju ke gedung kantor DPRA. Mereka membawa beberapa spanduk yang menuliskan penolakan terhadap RTRW Aceh. Setelah beberapa jam menyuarakan aspirasi, akhirnya perwakilan DPRA, Adnan Beuransyah, keluar bertemu massa. Effendi Isma membacakan pernyataan penolakan RTRW Aceh, dihadapan perwakilan tersebut yaitu:

1.    Menolak keseluruhan qanun RTRW Aceh
2.    Meminta Kemendagri untuk melakukan koreksi qanun RTRW Aceh
3.    Qanun RTRW Aceh telah mengabaikan masyarakat adat Aceh (mukim) berarti juga mengabaikan bangsa Aceh.
4.    Meminta pemerintah Indonesia untuk membentuk tim independen pemantau penyusunan tata ruang wilayah Provinsi Aceh

5.    Menghimbau masyarakat untuk memilih wakil-wakilnya yang pro terhadap masyarakat Aceh dan lingkungan.

6.    KPHA akan terus melakukan advokasi sampai dengan terakomodirnya tuntutan-tuntutan masyarakat sipil Aceh untuk tata ruang yang berkeadilan.

Adnan Beuransyah dari Partai Aceh yang menemui massa mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.”

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa dalam RTRW Aceh tidak menghilangkan hutan ulayat yang dikelola mukim. Mukim tetap ada, tapi nantinya akan berada langsung dibawah lembaga Wali Nanggroe. Untuk membuktikan hal tersebut, Adnan Beuransyah mempersilahkan perwakilan massa yang hadir untuk mengambil berkas Qanun RTRW Aceh di Biro Hukum DPRA. Berkas diambil untuk dipelajari lebih lanjut, kemudian massa bubar.[]

read more
Hutan

KPHA: Penghapusan KEL dalam qanun RTRW Adalah Konspirasi

Seratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Senin, (30/12/2013). Pada aksi tersebut KPHA secara tegas menolak Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan 27 Desember 2013. Demonstran meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan qanun tersebut.

Peserta aksi yang berlangsung di depan gerbang DPRA membentang beberapa spanduk dan poster yang mengecam pengesahan qanun RTRW yang menghilangkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan juga tidak memasukan Rawa Tripa sebagai hutan lindung.

“KEL dihilangkan dalam RTRW Aceh, ini presiden buruk terjadi di Aceh, karena KEL merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang telah diakui oleh dunia internasional,” tegas Juru Bicara (Jubir) KPHA, Efendi Isma, Senin (30/12/2013) di Banda Aceh.

Efendi Isma mencium ada konspirasi dibalik penghilangan KEL tersebut. Ada upaya agar lebih memudahkan pemberian izin untuk eksploitasi tambang di kawasan KEL tersebut.

“Selama ini KEL itu menjadi penghambat merusak ekosistem Leuser tersebut, dengan hilangnya KEL tentu akan lebih memudahkan pengeluaran izin,” tegasnya.

Massa aksi yang datang dari perwakilan masyarakat dari 13 Kabupaten yang masuk dalam KEL secara tegas menolak qanun RTRW Aceh tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh masyarakat dari Aceh Tamiang, Kamal Faisal. Ia menyebutkan bila benar-benar dijalankan qanun RTRW Aceh itu, maka malapetaka akan semakin besar bencana melanda Aceh Tamiang.

“Bila RTRW Aceh itu benar-benar disahkan, maka akan menghanncurkan Tamiang, sekarang saja 2 jam hujan, Tamiang banjir, kami sudah tak sanggup tahan banjir kiriman daru gunung terus gara-gara hutan sudah gundul,” ungkap Kamal Faisal.

Pasalnya, kata Faisal, bila RTRW Aceh itu dijalankan, maka lebih 2500 hektar hutan lindung akan dijadikan perkebunan di Tamiang dan akan semakin menambah terjadi bencana banjir.

Sementara itu, warga yang datang dari Nagan Raya sangat menyayangkan RTRW Aceh itu tidak memasukkan lahan gambut Rawa Tripa dalam hutan lindung. Ini tentu membuat warga kecewa, karena Rawa Tripa itu merupakan warisan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, termasuk harus dimasukkan dalam qanun tersebut.

“Kalau ini terjadi tentu Rawa Tripa akan dikuasai oleh perusahaan sawit, tentu ini akan sangat berbahaya terhadap keselanatan lahan gambut Rawa Tripa,” tegas Indrianto.

Selain itu, massa aksi juga meminta kepada seluruh rakyat Aceh agar dalam menentukan pilihan pada pemilu 2014 mendatang agar tidak memilih wakilnya yang tidak peduli lingkungan. “Jangan pilih wakil rakyat nanti orang yang tidak peduli lingkungan,” tandas Indrianto.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Kebakaran terjadi Di Lahan Kallista Alam menurut Saksi

Dalam sidang lanjutan perkara pidana perusakan lingkungan dengan terdakwa SR, pemilik perusahaan PT Kallista Alam (KA) dan manajer perkebunan KA, KY, saksi dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Harimuddin SH mengatakan melihat bekas kebakaran di lahan KA. Di lahan tersebut terdapat batang sawit yang daunnya masih dalam keadaan utuh atau hijau dan tidak terbakar.

Sidang yang berlangsung Senin (16/12/2013) di PN Meulaboh dengan agenda pemeriksaan saksi untuk perkara bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO (terdakwa SR) dan 132/Pid.B/ 2013/PN-MBO (terdakwa KY). Sidang ini tergolong unik karena dengan dakwaan yang sama namun berkas dipecah menjadi dua.

Saksi pertama, Harimuddin SH, ditanyakan oleh majelis hakim Arman Surya Putra SH bersama hakim anggota Rahma Novatiana SH dan Dedy, SH seputar kegiatannya menyangkut pembakaran lahan di Rawa Tripa. Harimuddin menceritakan ia mendapat tugas ke Aceh untuk melihat langsung keadaan hutan Rawa Tripa yang terletak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Nagan Raya. Ia mengechek apakah benar ada kejadian kebakaran sesuai dengan informasi hot spot dan laporan masyarakat yang UKP4 peroleh.

Saksi di lapangan melihat arang bekas kebakaran di lahan namun ia tidak melihat api dan asap, karena api sudah padam. Ia bersama rombongan melihat tugu penanda bahwa lahan tersebut berada dalam KEL. “ Saya mengunjungi lokasi dua kali,” katanya kepada hakim.

Berdasarkan peta yang ia pegang, titik panas terdapat di lahan garapan KA dan perusahaan lain seperti PT SPS2.
Hakim menggali informasi tentang kondisi perkebunan saat saksi datang ke lahan. Harimuddin menceritakan suasana perkebunan dan kondisi lahan gambut yang ia temui.

Sementara pengacara dari KA, Irianto SH, mencecar saksi dengan pertanyaan tentang lahan yang dikunjunginya, latar belakang lembaga tempat saksi bekerja dan tugas-tugas UKP4. Juga sempat ditanyakan keterlibatan negara Norwegia dalam UKP4. Namun saksi menjawab tidak tahu tentang keterlibatan Norwegia karena ia hanya staf saja.
KA belum punya HGU

Saksi kedua yaitu Dede Wahyudi, yang merupakan pegawai Badan Pertanahan Propinsi (BPN) Aceh saat kasus perusakan lingkungan terjadi, ditanyakan tentang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik KA. Dede yang kini bekerja di BPN Bireuen mengatakan bahwa proses sertifikasi baru sampai tahap pemetaan bidang, yang dilakukan pada tahun 2010.

“Selain itu belum ada izin apa-apa. Kami mengukur seluas 900 ha sesuai dengan permohonan perusahaan selama satu minggu,” ujarnya. Ia menambahkan, mereka baru melakukan pemetaan awal, sesuai dengan permohonan izin lokasi di Desa Pulo Kruet Kabupaten Nagan Raya. Izin lokasi sendiri dikeluarkan oleh bupati, sedangkan HGU dikeluarkan oleh Kanwil BPN.

Saat ia ke lapangan bersama tim, Dede melihat bekas kebakaran di sebagian wilayah. Wilayah pengukuran sebagian termasuk dalam daerah yang terbakar.

Dede mengatakan sampai saat ini proses HGU untuk KA sudah terhenti prosesnya. Namun ia tidak tahu kenapa terhenti.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Saksi Sebut Perusahaan Sebagai Penghancur Rawa Tripa

Persidangan kasus pembakaran lahan dan pembukaan kebun illegal dengan terdakwa pemilik perusahaan PT Kallista Alam (KA), SR dan Manajer Perkebunan KY, berlangsung, Senin (16/12/2013) di PN Meulaboh. Seorang saksi, Elvis (34 tahun) yang juga merupakan rekanan KA diakhir pemeriksaan mengatakan sudah tidak ada hutan lagi di Rawa Tripa Nagan Raya, perusahaan-perusahaan telah menghancurkannya.

Persidangan kemarin dengan agenda pemeriksaan para saksi untuk tiga kasus yaitu Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kallista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 132/Pid.B/ 2013/PN-MBO. Sedangkan satu lagi adalah kasus dengan nomor perkara 133/pid.B/2013/PN MBO adalah pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa SR secara pribadi. Sidang ketiganya dilangsungkan secara serial dengan tempat dan hari yang sama.

Saksi Elvis adalah rekanan KA yang mendapat kontrak mengerjakan land clearing (pembersihan lahan) dalam lahan 1.605 hektar yang belum memiliki izin perkebunan.  Sekitar 200 hektar lahan sudah dibersihkannya sebelum pekerjaan diberhentikan oleh perusahaan karena bermasalah dengan perizinan.

Elvis yang ditanya hakim yang terdiri dari Arman Surya Putra SH bersama hakim anggota Rahma Novatiana dan Juanda Wijaya, mengaku tidak mengenal terdakwa SR sebelum mendapat kontrak. Ia meneken kontrak dengan manajer perkebunan, KY. Namun hakim mengkonfrontir keterangan tersebut dengan berita acara pemeriksaan (BAP) yang mengatakan bahwa Elvis mengerjakan pembersihan lahan atas perintah lisan KY.

Elvis tetap bersikukuh pada keterangan di muka sidang. Jaksa Penuntu Umum (JPU) Rahmat Nurhidayat SH menanyakan apakah saksi berada dalam tekanan ketika membuat BAP. Elvis menjawab ia tidak dalam keadaan tertekan. JPU terus mendesak keterangan bahwa Elvis tidak mengenal SR sebelumnya.

Hakim sampai mengingatkan Elvis bahwa ia sudah bersumpah di persidangan. Elvis menyatakan mencabut keterangan di BAP. Saksi bersikeras belum pernah bertemu SR, ia bekerja melalui terdakwa KY.

JPU kembali mengingatkan bahwa Elvis tidak berada dalam tekanan ketika memberikan BAP yang menyebutkan Elvis mengerjakan kontrak atas perintah lisan dari SR dan lahan tidak memiliki izin. Elvis mengatakan tidak pernah melihat izin perkebunan untuk lahan yang dikerjakannya. Ia tidak tahu izin-izin apa saja yang diperlukan untuk membuka perkebunan.  Luas lahan yang dikerjakan sebagaimana tercantum dalam kontrak adalah 500 hektar.

Namun Elvis meragukan keterangannya sendiri dalam BAP tersebut. Ia lagi-lagi mengaku tidak ingat isi BAP yang dibuatnya.

Pengacara KA, Irianto SH, menanyakan kepada Elvis apakah ia membakar lahan ketika melakukan pekerjaannya? Elvis menjawab ia tidak melakukan pembakaran lahan.

Kepada majelis Elvis menjelaskan pekerjaan apa saja yang dilakukannya di lahan yang menjadi sengketa, 1.605 hektar yang terletak di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yaitu hutan gambut Rawa Tripa.

SR diakhir pemeriksaan mengatakan tidak tahu kebenaran cerita Elvis. Ia baru mengenalnya lebih kurang enam bulan lalu.

Ketika sidang hendak diskor, Elvis diberikan kesempatan berbicara. “ Tidak ada hutan lagi di Rawa Tripa sejak dahulu. Hutan-hutannya telah ditebang dan banyak panglong disana. Perusahaan-perusahaan telah merusak daerah itu,” katanya tegas.[]

read more
1 4 5 6 7 8
Page 6 of 8