close

rawa tripa

Ragam

GreenJournalist Raih Penghargaan Jurnalistik TFCA

Anggota Green Journalist Aceh (GreenJou), M. Nizar Abdurrani meraih penghargaan Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera yang diselenggarakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerjasama dengan Yayasan Kehati dan Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera. Sebanyak 51 karya jurnalistik dari para jurnalis se-Sumatera masuk ke meja panitia untuk mengikuti kompetisi ini dan M. Nizar Abdurrani meraih juara IV untuk region Sumatera Bagian Utara.

Anugerah Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera dibagi menjadi dua region: Sumatera Bagian Utara, dan Sumatera Bagian Selatan.

Para jurnalis diminta menulis kondisi terkini di salah satu dari 13 kawasan konservasi di Sumatera yaitu: Hutan Warisan Seulawah; Taman Nasional Leuser &  Ekosistem Leuser; Taman Nasional Batang Gadis; Ekosistem Angkola; Batang Toru; Daerah Aliran Sungai Toba Barat; TN Bukit Tigapuluh; Semenanjung Kampar; Ekosistem Tesso Nilo; TN Kerinci Seblat; Kepulauan Siberut & Mentawai; TN Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Way Kambas

Anggota GreenJou menuliskan tentang program TFCA yang dilaksanakan oleh LSM Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) di daerah hutan gambut Rawa Tripa. Hutan ini terletak di kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Artikel yang ditulis oleh M. Nizar Abdurrani mengupas program pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Rawa Tripa agar mereka punya mata pencarian alternatif selain merambah hutan gambut.

Karyanya berjudulbertajuk,”Masyarakat Berdaya Rawa Tripa pun Lestari.” Tulisan ini dimuat dalam website berita lingkungan www.greenjournalist.net, edisi tanggal 3/1/2014.

Berikut adalah daftar lengkap pemenang Anugerah Jurnalistik Konservasi Hutan Sumatera yang diumumkan pada 20 Maret 2014 oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

daftar-pemenang

read more
Hutan

TKPRT Minta Pemerintah Tindak Pembakar Tripa

Terhitung sejak 1 – 14 Maret 2014, sepanjang pantai barat khususnya dikawasan Rawa Tripa terdapat 69 titik Api yang  berada dalam wilayah Izin Usaha Perkebunan, 51 titik api terdapat di areal konsesi PT. GSM, sementara PT. Kallista Alam (KA) menjadi HGU penyumbang terbanyak kedua, yaitu 14 titik. Selanjutnya ada PT. SPS 2 dan PT. CA yang menduduki peringkat 3 bersama dengan masing-masingnya menyumbang 2 titik api.

Sampai saat ini belum ada upaya nyata yang dilakukan oleh para pemegang HGU untuk memadamkan api. ” Jika terus dibiarkan maka akan semakin menambah parah kerusakan ekosistem Rawa Tripa, ” ujar juru bicara Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Fadila Ibra kepada media hari ini.

Rawa Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya, dengan luas mencapai + 61.803 Ha. Rawa Tripa merupakan 1 dari 3 (Tripa, Kluet dan Singkil) kawasan rawa gambut di pantai barat Provinsi Aceh.

Setiap pemegang ijin dapat dipastikan telah menanda-tangani surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengelolaan lahan.

” Coba cek ke lapangan, direalisasikan ngak ? Fakta lapangan ini harus menjadi rujukan bagi tim evaluasi HGU yang telah di-SK-kan oleh Gubernur Aceh, hasil kerjanya kita nantikan, ” kata Fadila.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan upaya pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas usaha perkebunan. Jika kewajiban ini tidak dilaksanakan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten telah melakukan tindak pidana korupsi, sanksi pidana menanti, ujar Kepala Rumoh Transparansi Atjeh (RUTAN Atjeh) Ilham Sinambela, S.Hut, MT.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan Kabupaten meminta pertangung jawaban dari para pemegang ijin, wajib hukumnya bagi mereka untuk memastikan tidak terjadi pembakaran lahan di areal konsesi mereka. Jika mereka tidak memenuhi kewajiban, cabut izinnya, ujar Ilham lebih lanjut.

Sejak akhir 80-an kawasan rawa gambut Tripa menjadi areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Di kawasan Tripa terdapat 5 perkebunan besar swasta, yaitu PT. Kallista Alam, PT Surya Panen Subur 2 (eks PT Agra Para Citra), PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi dengan total luas areal konsesi keseluruhan mencapai 35.000 ha. Operasi perkebunan pernah terhenti karena konflik di Aceh.

“Informasi terakhir yang kita terima dari masyarakat, kabut asap yang tebal, abu sisa-sisa pembakaran lahan berterbangan di wilayah pemukiman penduduk Alue Bilie,” ujar Fadila. [rel]

read more
Hutan

LSM Cemaskan Lahan Gambut Rawa Tripa yang Menyusut

Yayasan Ekosistem Leuser mengkhawatirkan penyusutan gambut akibat dari pengeringan yang dilakukan perusahaan perkebunan kelapa sawit  berdampak pada penurunan permukaan tanah sekitar 20 – 50 cm/tahun untuk tahun-tahun pertama pascapengeringan (drainase).

“Untuk  beberapa tahun ke depan diperkirakan sebagian daratan di Kabupaten Nagan Raya (Kecamatan Darul Makmur) dan Aceh Barat Daya  (Babahrot) yang dalam dua tahun terakhir ini sering mengalami banjir akan berada di bawah permukaan laut,” kata Staf Komunikasi YEL, TM Zulfikar di Banda Aceh, Jumat.

Dampak lain dari pengeringan itu juga akan menghilangkan semua potensi pertanian dan perkebunan serta perikanan darat di areal tersebut, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri, kata dia menjelaskan.
Lima perusahaan besar yang memperoleh konsesi untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah itu masing-masing  PT Kalista Alam , PT Surya Panen Subur 2 (eks PT Agra Para Citra), PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari, dan PT Cemerlang Abadi.

Dijelaskan, salah satu kontribusi terbesar bagi emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari konversi hutan rawa gambut. Gambut pada dasarnya adalah karbon dan air, dan rawa-rawa gambut secara alami menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Sementara hutan hujan tropis di tanah mineral juga menyimpan karbon dalam jumlah yang relatif besar dibanding padang rumput misalnya, jumlah yang disimpan hutan di lahan gambut adalah 10 sampai 20 kali lebih besar.
Diperkirakan bahwa hutan primer yang tersisa di Tripa mengandung sekitar 110  ton karbon/hektare di atas permukaan tetapi sampai 1.300 ton/hektare di bawah permukaan di gambut. Secara keseluruhan stok karbon di Tripa diperkirakan tidak  kurang dari 50 sampai 100 juta ton.

Zulfikar juga menyebutkan ketika tsunami menerjang pesisir pantai barat Aceh 26 Desember 2004, Rawa Tripa merupakan benteng alami yang mencegah kerusakan bagi wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

Karenanya, YEL yang juga tercatat sebagai anggota Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang  peduli terhadap kerusakan kawasan rawa gambut Tripa telah melakukan kajian hukum tentang legalitas perkebunan kelapa sawit dan telah memantau terhadap kerusakan.

Selain YEL, juga terdapat beberapa lembaga lainnya yang telah melakukan survey dan penelitian di wilayah rawa gambut Tripa. Salah satunya adalah Tim Peneliti dari Universitas Syiah Kuala.

“Untuk itu TKPRT bekerja sama dengan YEL berinisiatif melaksanakan lokakarya hasil penelitian gambut di kawasan rawa Tripa-Babahrot, sehingga dapat menjadi bahan bersama guna menggali potensi yang ada sehingga pengelolaan lebih lanjut menuju atas kawasan lestari dalam dilaksanakan secara tepat,” kata TM Zulfikar.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Tolak Tawaran Lahan 5000 hektar dari PT SPS

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bakal menolak proposal mediasi PT Surya Panen Subur (SPS) yang mengusulkan 5 ribu hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU)-nya di wilayah Aceh untuk areal konservasi. Pihak KLH lebih memilih ganti rugi sesuai gugatan ketimbang menyetujui usulan konservasi sebagian lahan HGU.

Sinyal penolakan itu disampaikan Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLH, Sisilia, usai mengikuti sidang mediasi gugatan KLH kepada PT SPS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, (13/2/2014). “Soalnya, proposal SPS tidak menjawab gugatan,” tandasnya.

Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara, menilai penolakan proposal konservasi 5 ribu hektar oleh pihak KLH dan lebih membahas ganti rugi uang dan pemulihan lahan terbakar kiranya tidak bijak dan sulit diterima akal, karena yang patut membayar ganti rugi tersebut adalah siapa yang melakukan pembakaran.

Pasalnya, pembakaran itu bukan dilakukan oleh PT SPS. Sebaliknya, SPS merupakan korban yang telah dirugikan akibat kebakaran itu. “PT SPS sudah sejak 2 tahun lalu sudah melakukan pemulihan tanaman dan perawatan yang diperlukan,” ungkapnya.

Menurut Rivai, upaya tersebut telah dilakukan pihak PT SPS karena lokasi terbakar adalah lahan usahanya. “Bisa dilihat di lapangan, di mana tanaman sawit dan pakis-pakisan (cover crop) di areal yang terbakar, kini tumbuh subur,” katanya.

Sejak awal, SPS sudah menyerahkan sejumlah bukti tertulis, saksi, maupun ahli dari akademisi dan balai penelitian
pemerintah yang menerangkan, SPS tidak pernah membakar lahan dan tidak terjadi kerusakan tanah berdasarkan hasil uji laboratorium.

“Jadi kami yakin pada saatnya kebenaran akan terungkap sepanjang proses hukum dijalankan secara obyektif tanpa ada tekanan atau intervensi pihak manapun,” tegas.

Rivai menilai, persoalan ini lebih bermuatan politis dibanding penegakan hukum, dengan mencermati upaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing yang ingin mengkonservasi Rawa Tripa sejak 2011 lalu.

Sebagai jalan tengah dan komitmen untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hidup, maka PT SPS menawarkan kerjasama konservasi lebih dari 5 ribu hektar dari 12 ribu total HGU-nya. Namun tawaran tersebut ditolak KLH.

Dengan gugatan KLH bernilai Rp 302 milyar lebih, tuntutan pidana korporasi dan pribadi, serta upaya UKP4 pada tahun 2012 agar izin PT SPS dicabut, maka Rivai menilai pemerintah lebih mengutamakan isu yang digulirkan LSM asing daripada memberi keadilan bagi perseroan. Padahal, pengusaha sawit telah memberi pendapatan bagi negara, membuka ribuan kesempatan kerja, dan menggerakan roda perekonomian setempat, serta kemanfaatan bagi masyarakat Aceh.

“Kiranya ini akan menjadi catatan sejarah kelam bagi penegakan hukum dan iklim investasi di Indonesia,” pungkas Rivai.

Kuasa hukum KLH, Bobby Rahmat, mengatakan bahwa proses mediasi hampir rampung dilakukan dan hanya menyisakan 4 hari lagi untuk menjawab proposal mediasi yang diajukan PT SPS atas gugatan sebesar Rp 302 milyar lebih itu.

“Kalau nilai gugatan SPS sudah ada, tapi kan sejauh ini respon mereka dalam mediasi tidak menjawab gugatan,” ucapnya.

Sisilia menegaskan, saat ini sikap KLH di posisi menolak. Namun demikian, dirinya berjanji akan menyampaikan perkembangan hasil sidang mediasi hari ini kepada pimpinannya di KLH untuk diambil putusan menolak atau menerima proposal konservasi 5 ribu hektare lahan HGU yang diajukan PT SPS itu.

“Batas waktu 40 harinya sampai Senin-ya, Senin besok. Kalau Senin besok kami menyatakan deadlock antara penggugat dengan tergugat dan dinyatakan oleh hakimnya deadlock, maka kita ke pokok perkara. Tentunya kita maju,” tandas Sisilia.

Kasus gugatan KLH sebesar Rp Rp 302 milyar lebih kepada PT SPS bernomor 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel ini kembali bergulir dan sudah memasuki babak mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dipimpin Mediator Yuningtyas Upiek, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan ini, karena bukan termasuk wilayah hukumnya. []

Sumber: gatra

read more
Kebijakan Lingkungan

Pembukaan Lahan di Rawa Tripa Masih Terjadi

Landscape Protection Specialist Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dalam presentasinya menyatakan bahwa di lahan gambut Rawa Tripa sampai hari ini masih ada pembukaan. Hal ini tampak dari gambar citra satelit dimana titik hutan gambut yang dibuka bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hasil survey YEL pada 59 titik di Rawa Tripa menunjukan kedalam gambut yang bervariasi.

Landscape Protection Specialist YEL, Graham Usher, dihadapan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Senin (3/2/2014) melakukan presentasi kondisi Rawa Tripa terkini. Dalam presentasi yang dilaksanakan di kantor Yayasan Leuser International, Graham mengatakan berdasarkan peta satelit yang diperolehnya pada Januari 2014 tampak ada perluasan atau pembukaan lahan di kawasan 1605 hektar hutan gambut Rawa Tripa milik PT Kallista Alam (KA) dan PT SPS.Lahan ini sendiri telah dicabut izin usaha budidaya perkebunan-nya oleh Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah sehingga seharusnya tidak boleh dijamah siapapun.

Ada dugaan masyarakat membuka lahan tersebut namun dibekingi oleh pemodal karena melibatkan alat-alat berat untuk membuka kanal untuk mengeringkan gambut.

Selain itu juga ada pembukaan jalan oleh Pemkab Aceh Barat Daya yang membelah hutan gambut menuju pelabuhan yang akan dibangun dalam waktu dekat.

” Kami memakai peta dasar yang dulu dipakai Wetland sebagai perbandingan. Survey gambut di 59 titik Rawa Tripa mendapatkan hasil bahwa gambut di lahan PT KA merupakan gambut dalam, antara 4 sampai 7 meter,” ujar Graham. Sampel gambut masih berada di Bogor untuk dianalisa jenis gambutnya dan juga sedang dibor lebih banyak titik lagi di lahan gambut agar diperoleh hasil yang lebih akurat tentang kedalaman gambut dan luasnya.

Gambut terdalam yang pernah diukur mencapai 8,5 meter dimana daerah gambut ini akan dilintasi oleh jalan tembus ke pelabuhan baru di kabupaten Aceh Barat Daya. ” Ini butuh investasi yang besar untuk penimbunan dan jalan kemungkinan akan amblas,” kata Graham.

Selain survey yang dilakukan YEL, Tim dari Universitas Syiah Kuala juga melakukan survey yang sejenis di daerah yang sama. Namun bagi Graham dan sebagian besar anggota TKPRT, Survey dari Unsyiah ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

“Survey Unsyiah menyatakan jenis tanah aluvial di lahan gambut yang bisa ditanam, padahal lahan ini malah memiliki kedalaman gambut hingga 7 meter,” ungkap Graham.

Senada dengan Graham, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar juga meminta diadakan konsolidasi hasil survey antara YEL dengan Tim Unsyiah mengingat hakikat dari dua survey ini sama, yaitu meneliti kondisi gambut di Rawa Tripa.

” Kita minta dilakukan telaah hasil survey atau penelitian antara tim peneliti dari YEL dengan tim peneliti Unsyiah dan akan melakukan kolaborasi hasil temuan para pihak untuk menjadi hasil bersama,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Blokir Kanal

YEL juga saat ini sedang mengusulkan pemblokiran kanal di kawasan seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa dimana daerah ini telah mendapat penetapan dari PN Meulaboh sebagai sitaan negara. ” Kami mengusulkan kepada program TFCA (sebuah program yang didanai USAID-red) untuk memblokir kanal dalam beberapa bulan ke depan. Ada 4 kanal utama yang akan diblokir,” jelas Graham.

Menurutnya Bupati Nagan Raya bersedia mengeluarkan surat dukungan pemblokiran lahan dengan terlebih dahulu YEL dan TFCA mempresentasikan rencananya dihadapan bupati.

Hutan gambut Rawa Tripa saat ini sudah terbelah-belah dalam konsesi milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya pemanfaatan lahan gambut yang bertekstur lembut dan mudah amblas dalam jangka panjang akan merugikan pengelola sendiri.

Saat ini tidak jelas berapa luas daerah berhutan yang masih bersisa di Rawa Tripa karena dari total luasnya 61.803 hektar, hampir seluruhnya telah menjadi konsesi kebun sawit. Sebagian besar sudah dibuka, sebagian masih hutan namun terfragmentasi, sebagian ada yang sudah dibuka namun ditinggalkan karena tidak cocok untuk ditanami sawit.

Jika melihat keadaan hutan gambut yang terus menerus mengalami kehancuran, sulit rasanya bisa menjalankan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi) pada tahun 2020 atau sampai dengan 41persen dengan bantuan internasional, sebagaimana yang diumumkan Presiden Yudhoyono pada tahun 2009.

“Ada yang tidak nyambung antara impian, aturan konservasi dan kenyataan di lapangan. Upaya penurunan emisi bisa nonsens. Kebakaran hutan terbesar terjadi di hutan gambut,” ucap Graham.

TKPRT berharap restorasi lahan gambut Rawa Tripa dapat dimulai dari penutupan kanal di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Aceh. Penutupan kanal bertujuan agar air dari gambut tidak mengalir keluar kawasan sehingga menyebabkan lahan kering. Penutupan juga dilakukan agar terjadi penghutanan kembali kawasan yang telah dibuka secara alami.

read more
Sains

Menanam di Lahan Gambut untuk Tekan Emisi

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) akan mengoptimalkan lahan-lahan gambut yang terlantar guna meredam emisi gas rumah kaca. Caranya dengan menanam tanaman sela di lahan gambut.

Pemanfaatan lahan gambut tidur ini sudah dilakukan di lima provinsi. Salah satunya di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang telah dilakukan sejak 2010 lalu.

Syamsidar Thamrin, Kepala Sekretariat ICCTF menjelaskan, lahan ini sempat terbakar pada 2005 sehingga mengalami degradasi.

“Karbon yang tersimpan dalam lahan gambut (carbon sink) sangat tinggi. Setiap perubahan penggunaan lahan gambut, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar,” ucap Syamsidar saat dihubungi, beberapa waktu lalu.

Untuk itu, lahan gambut seluas lima hektare tersebut ditanami tanaman pokok karet (seedling) dan tanaman sela diantaranya padi, jagung dan nanas. “Lahan gambut di Kalimantan Tengah ini bertujuan meningkatkan usaha mitigasi terhadap peningkatan karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga memperoleh model usaha tani yang ramah lingkungan,” jelas Syamsidar.

Guna menekan emisi karbon, ICCTF bekerjasama dengan Kementerian Pertanian menebar amelioran atau sejenis pupuk organik (pupuk kandang ayam dan tanah mineral) sehingga mampu menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 36%-47%.

Pencatatan data iklim di lokasi ini menggunakan Automatic Weather Station alias AWS. Pengambilan GRK atau CO2 dilakukan rutin setiap tiga hari di posisi lahan bawah tanaman karet, antar tanaman karet dan tanaman sela. Pengukuran emisi CO2 menggunakan Mobile GC.

Sumber: perubahaniklim.co

read more
Tajuk Lingkungan

Harapan Baru dari Rawa Tripa

Hingga saat ini, perusakan lingkungan di Aceh oleh oknum yang tidak bertanggung jawab masih kerap terjadi. Belum ada upaya serius dari pemerintah Aceh untuk menghentikan aksi itu. Ironis memang, janji untuk menyelamatkan lingkungan yang sering diucapkan belum ada realisasinya.

“Kita akan meninjau kembali perusahaan yang bergerak pada lingkungan. Apabila lingkungan rusak, maka pihak pertama yang dirugikan adalah masyarakat. Jika dibiarkan akan merusak lingkungan,” kata Gubernur Zaini Abdullah sebelum dilantik kepada sejumlah awak media.

Pernyataaan itu telah memberikan harapan baru untuk rakyat Aceh dalam menata lingkungannya menjadi lebih baik. Namun, hal tersebut bukan hanya sebatas opini yang hanya didengungkan untuk menyenangkan hati rakyat sesaat, melainkan adanya perwujudan di lapangan. Ini penting, mengingat dengan adanya kerusakan lingkungan telah memberikan trauma yang mendalam serta hilangnya mata pencaharian masyarakat Aceh.

Contohnya, kawasan hutan gambut rawa tripa, Kabupaten Nagan Raya yang dulunya pernah menjadi kawasan terkaya pada level Sumatera dengan keanekaragaman hayati kini diambang lenyap. Sampai Mei 2012, hutan yang awalnya seluasa 62.000 hektar kini hanya tertinggal 50 persennya saja. Kawasan yang dulunya dijadikan sebagai
tempat untuk mengais rezeki oleh masyarakat setempat, kini sudah tidak ada lagi.

Karena itu, kepemimpinan baru Aceh bisa memberikan terobosan yang bisa memberikan memanfaat nyata bagi rakyat, bukan hanya umbar janji. Sekarang, kebijakan dan ketegasan dari pemerintah baru Aceh sangat dinanti-nantikan oleh tiga juta rakyat Aceh. Janji yang pernah diucapkan dulunya harus segera ditepati bukan dilupakan sehingga kehidupan rakyat Aceh akan semakin baik.[]

read more
Ragam

Rahmawati, Hakim yang ‘Selamatkan’ Rawa Tripa

Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh ini belum lama mengikuti sertifikasi sebagai hakim lingkungan oleh Mahkamah Agung di akhir tahun 2013. Hakim yang juga Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh ini menjadi ketua majelis hakim mengambil keputusan yang pro lingkungan. Ia menghukum perusahaan PT Kallista Alam (KA) untuk membayar denda sebesar Rp.366 miliar sebagai biayar ganti rugi material dan rehabilitasi lahan gambut. Putusan ini bisa menyelamatkan rawa gambut dari ancaman kerusakan lanjutan oleh berbagai kegiatan.

Ia bernama Rahmawati, kelahiran Cot Girek, 16 Desember 1962 memberi angin segar bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia bahkan dunia. Rawa Gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya mengalami kerusakan parah karena dibakar oleh perusahaan kepala sawit, KA dan lainnya.

Ia mengabulkan permohonan Kementerian Lingkungan Hidup dalam perkara perdata No.12/PDT.G/2012/PN MBO. Putusan bijak ini berpengaruh besar terhadap pelestarian lingkungan hidup dan menentukan hajat hidup orang banyak.

Sebagaimana dikutip dari situs resmi Pengadilan Tinggi Aceh, Rahmawati menjadi hakim sejak 2002 dimulai dari Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Kemudian tahun 2006, Rahmawati SH menjadi hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Karirnya meningkat, tahun 2010, Ia dipindahkan ke Pengadilan Negeri Meulaboh menjabat sebagai Wakil Ketua.
Lalu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tahun 2012.

Tahun 2013, Rahmawati menerima sertifikasi hakim lingkungan di Provinsi Aceh dari Mahkamah Agung.

Baru-baru ini tepat 8 Januari 2014, Alumni Fakultas Hukum Unsyiah ini memutuskan perkara lingkungan yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di rawa gambut tripa atau lebih dikenal sebutan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.

Sejak 27 November 2012, Rahmawati mulai memimpin sidang kasus lingkungan tersebut. Saat itu ia dibantu Ferry Hardiansyah SH dan Juanda Wijaya SH. Ia menyarankan para pihak untuk melakukan mediasi. Kemudian Ferry Hardiansyah digantikan oleh hakim Rahma Novatiana.

Dalam perjalanannya, mediasi “deadlock” sehingga kemudian gugatan masuk dalam pokok perkara.

Pada tanggal 28 Agustus 2013, Rahmawati bersama hakim anggota Rahma Novatiana dan Juanda Wijaya SH turun ke lokasi dimana lahan gambut dibakar oleh KA, di Suak Bahong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya melakukan sidang Pemeriksaan Setempat (PS).

Ia melihat langsung kawasan gambut yang masih ada bekas-bekas kebakaran. Di bawah terik matahari, ia berjalan kaki selama dua jam perjalanan. Diapit Kuasa Hukum KLH dan PT. Kallista Alam, Ia berdiskusi di lapangan, memimpin sidang PS di atas rawa gambut tripa. Bukan hanya satu atau dua titik yang dikunjungi namun ia bersikeras mengunjungi nyaris semua titik yang terbakar. Sidang PS ini guna memberikan gambaran utuh tentang lokasi kebakaran.

Semoga semakin banyak hakim yang pro kepada lingkungan dimasa mendatang.

Sumber: acehterkini.com

 

read more
1 3 4 5 6 7 8
Page 5 of 8