close

rawa tripa

Kebijakan Lingkungan

Hakim Sita Lahan PT. Kalista Alam di Rawa Tripa

Ketua Hakim Majelis perkara perdata No.12/PDT.G/2012/PN-MBO di Pengadilan Negeri Meulaboh, Rahmawati SH mengabulkan permintaan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk menyita lahan seluas 5.769 hektar lahan milik PT. Kallista Alam yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa. Lahan berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

“Permohonan Kementerian Lingkungan Hidup atas sita jaminan ini dikabulkan,” kata Ketua Majelis Hakim saat berlangsung sidang penyerahan kesimpulan dan bukti tambahan, Kamis (7/11/2013) di PN Meulaboh, Aceh Barat.

“Kita minta penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dapat segera melengkapi berkas dan syarat-syarat terkait penetapan sita tersebut,” kata Rahmawati lagi.

Kuasa Hukum KLH, Syafruddin SH menegaskan permohonan sita jaminan lahan milik PT. Kalista Alam ini untuk menjamin pemenuhan kewajiban tergugat membayar ganti rugi sebagaimana dalam pokok perkara gugatan perdata.

Menanggapi masalah penetapan sita ini, Kuasa Hukum PT. Kalista Alam, Alfian C. Sarumaha SH mengatakan penetapan sita lahan PT Kalista Alam tidak mengganggu operasional perusahaan kelapa sawit tersebut.

“Operasional perusahaan tetap boleh dilakukan, tapi yang tidak boleh adalah lahan tersebut dipindahtangankan atau di jual kepada pihak lain,” ujar Alfian yang didampingi tim kuasa hukumnya yang lain, Rebecca F. E Siahaan dan Irianto Subiakto SH.

Selain menetapkan sita lahan, Rahmawati SH menunda agenda persidangan menjadi Kamis 14 November 2013 pekan depan dengan agenda penyerahan kesimpulan PT. Kalista Alam (KA).

“Sebenarnya kami sudah siapkan kesimpulan PT. Kalista Alam, tapi karena ada bukti tambahan dari KLH maka kami (red- kuasa hukum PT. KA) akan mempelajari kembali bukti tersebut, karena yang diklaim oleh KLH seluas 1.000 hektar lahan yang terbakar,” kata pengacara PT. KA, Alfian C. Sarumaha dalam persidangan tersebut.

“Pekan depan kami akan serahkan kesimpulan PT. Kalista Alam,” kata rekannya yang lain, Irianto Subiakto SH sembari mengatakan bukti tambahan itu harus kita tanggapi, karena kita ngak tahu penjelasan dari peta-peta tersebut.

Bukti tambahan KLH merupakan peta blok kebun.

Tuntutan Pidana

Selain kasus perdata menimpa PT Kallista Alam, kasus pidana juga menyeret Direktur Utama perusahaan ini, SR. Dakwaan pidana itu terkait pembukaan lahan hutan gambut Rawa Tripa tanpa izin dan melakukan pembakaran hutan secara ilegal.

Pengacara PT. Kalista Alam, Alfian C. Sarumaha mengaku surat dakwaan Pidana terhadap PT. Kalista Alam sudah masuk ke Pengadilan Negeri Meulaboh. “Dakwaan tersebut harus dibatalkan,” katanya Kamis (7/11/2013) di PN Meulaboh.

Ia mengatakan dakwaan pidana itu tidak lengkap dan tidak jelas. ” Kita akan ajukan tanggapan terhadap surat dakwaan pidana itu pada Selasa (12/11/2013),” katanya lagi.

Menurut sumber di PN Meulaboh, sidang perdana kasus pidana itu mulai digelar pada Senin (28/10/2013) dengan agenda pembacaan surat dakwaan. Sidang berikutnya yaitu mendengar tanggapan dari terdakwa melalui kuasa hukumnya akan berlangsung pada Selasa (12/11/2013).

Dakwaan Pidana ini terdaftar di PN Meulaboh nomor 131/pid.B /2013/PN MBO dengan Paniteranya Mawardi SH. Kemudian No. 132/Pid.B/2013/PN MBO Paniteranya bernama Zamzami dan 133/Pid.B/2013/PN MBO dengan Panitera M. Nazir.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kasus Pidana untuk dakwaan pidana ini bernama Rahmat Nur Hidayat SH. Sedangkan
para hakimnya bernama Arman Surya Putra SH, Dedy SH dan Rahma Novatiana SH. Terdakwa dalam dakwaan ini disebutkan yaitu PT. Kalista Alam/SR. Disebut-sebut jumlah saksi dalam dakwaan ini sebanyak 18 orang.[]

Sumber: acehterkini.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (bagian terakhir)

Perubahan ekonomi akan berdampak pada gaya hidup masyarakat. Meskipun ada ganti rugi lahan namun hak atas tanah tidak bisa digantikan. Sebagai pembanding, sebelum perusahaan perkebunan datang, kehidupan masyarakat berlangsung nyaman dan damai. Namun ketika perusahaan beroperasi, banyak masyarakat setempat yang bekerja diperkebunan meninggalkan kegiatan gotong royong misalnya pesta perkawinan. Akibatnya, terjadi kesenjangan hubungan diantara sesama masyarakat .

Perusahaan merekrut enam puluh penduduk lokal sebagai buruh dengan upah harian. Buruh perempuan bekerja memupuk pohon kelapa sawit dan menyemprotkan pestisida, sedangkan buruh laki-laki mengerjakan tugas yang lebih berat. Namun ada juga 100 orang tenaga kerja harian sementara yang dipekerjakan oleh perusahaan, mereka  mengerjakan tugas harian seperti memotong pohon kelapa sawit, membersihkan rumput dan pemupukan. Kadang-kadang mereka harus bekerja setiap hari, namun upah tidak dibayarkan setiap hari. Ada juga beberapa orang karyawan tetap yang hanya mendapatkan libur pada perayaan hari-hari besar saja.

Dulu, masyarakat memiliki tanah ulayat yang dikelola dengan kesepakatan bersama. Sebelum terjadinya konflik di Aceh, masing-masing kepala keluarga mengelola dua hektar tanah. Pada masa konflik, masyarakat pergi meninggalkan lahan-lahan tersebut. Setelah proses damai, lahan tersebut telah terjual namun tanpa adanya proses pembayaran dan telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Yang disayangkan adalah tanah masyarakat tersebut dijual oleh calo yang berasal dari masyarakat itu sendiri.

“Pada tahun 1980, perusahaan telah membeli lahan seharga Rp. 800,000 per hektar. Calo meminta kami menjual lahan, namun banyak masyarakat yang tidak mau menjual. Kasus yang saya alami misalnya. Saya menanam pohon coklat di kebun saya, seminggu setelah berbicara dengan calo, pohon coklat tersebut telah dirusak dan diganti dengan pohon kelapa sawit,” kata seorang penduduk lokal bernama Ansari.

“Di desa saya, ada 100 hektar lahan yang digunakan bersama untuk menanam padi. Berdasarkan aturan hukum adat, tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Pada masa konflik, lahan banyak yang ditinggalkan dan tidak lagi digarap, setelah masa damai, kami kembali untuk menanam padi, beberapa bulan kemudian, tanah tersebut telah dijual dengan harga tertentu dan disahkan oleh Dinas Pertanian,” jelasnya.

Ansari menjelaskan bahwa pada tahun 1980, mereka mengelola tanah ulayat mengacu kepada aturan hukum adat, total lahan yang diterima adalah 2,000 hektar yang kemudian ditanami kapas, kelapa, coklat, dan tanaman lainnya. Kemudian pada masa konflik lahan tersebut terlantar dan tidak digarap. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke desa masing-masing dan melihat bahwa tanah tersebut telah dibersihkan dan siap untuk dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit oleh Perusahaan Surya Panen Subur II yang bernama Amara saat itu.

Perusahaan Surya Panen Subur II telah mendapatkan izin konsesi perkebunan  dikawasan hutan gambut yang terletak disekitar pemukiman penduduk. Meskipun sebagian masyarakat telah setuju untuk proses ganti rugi namun masyarakat Desa Suka Damai, Desa Panton Bayu, dan Desa Kaye Uno menolak menjual tanah mereka bahkan juga kehilangan sebagian tanahnya yang kemudian menjadi milik perusahaan.

Meskipun masyarakat yang terkena dampak tersebut telah melaporkan kasus tersebut kepada Pemerintah Aceh namun sejauh ini masyarakat masih harus menunggu jawabannya dan masyarakat diminta untuk tidak memperpanjang sengketa. Masyarakat dari beberapa desa ada yang kembali menggarap tanahnya namun masalah terjadi setiap bulannya.

Ketua kelompok tani telah ditangkap oleh polisi dengan dugaan perusakan pohon kelapa sawit yang tumbuh disekitar lahan pertanian masyarakat.

Sengketa yang terjadi antara masyarakat Desa yang ada di Kabupaten Aceh Singkil dengan Perusahaan Ubertraco yang kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Nafasindo adalah kasus yang paling parah dan memalukan. Menariknya,  izin konsesi yang dimiliki perusahaan tumpang tindih dengan hak kepemilikan tanah masyarakat. tidak ada batas yang jelas antara lahan konsesi, tanah terlantar, kantor pemerintahan desa, barak, lapas, jalan dan pemukiman masyarakat juga berada di lahan konsesi.

Pemerintah Aceh memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengembalikan lahan masyarakat yang telah dirambah oleh perusahaan secara illegal. Namun demikian, pemerintah daerah menyediakan bantuan kepada masyarakat dan meminta perusahaan membiayai proses pemetaan ulang batas lahan. Perusahaan menjawabnya dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan tata usaha Negara di Aceh pada tanggal 24 September 2011. Kemudian dilanjutkan ke tahap banding ke pengadilan tata usaha Negara Medan. Bersamaan dengan itu, unjuk rasa yang digelar masyarakat setempat dan mahasiswa tersebut berlangsung ricuh sehingga dua orang kepala desa ditangkap dan dipenjara setelah proses hukum berlangsung.

WALHI Aceh merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang focus pada isu lingkungan di propinsi Aceh dan seluruh Indonesia telah mendokumentasikan seluruh rangkaian kasus tersebut. Ada delapan kasus pelanggaran yang terjadi di hutan gambut rawa tripa. Perusahaan menggugat Gubernur Aceh dengan tuntutan mencabut kembali izin konsesi lahan, Menteri Lingkungan hidup menggugat perusahaan karena pembakaran lahan, masyarakat menggugat Gubernur Aceh karena melanggar aturan tata ruang, Jaringan konservasi hutan gambut rawa tripa menggugat Badan Perizinan Terpadu membuat dokumen palsu dan memberikan kesaksian palsu. Proses peradilan berlangsung lama dengan banyaknya strategi hukum yang harus dilalui, sementara itu, perusahaan tetap melanjutkan operasinya, lingkungan masih dalam proses penghancuran dan masih terjadinya kekerasan terhadap masyarakat.

Reformasi hukum berbasis masyarakat dan ekologi telah mencuatkan kasus-kasus sengketa sumber daya alam dan pertanian dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, ada 232 sengketa yang terjadi di Aceh, dan sepuluh kasus diantaranya telah melakukan invasi seluas 28.522 hektar .

Meskipun data kerusakan lahan dan degradasi hutan di propinsi Aceh merupakan data resmi, namun nilai kerusakannya masih berdasarkan asumsi. Kerusakan akibat illegal loging ada yang telah digantikan dengan reboisasi. Selain itu, kerusakan infrastruktur dasar dan acowisata yang telah hilang juga berdasarkan hasil perkiraan. Secara umum, dampak kerusakan social budaya dan semua aspek yang relevan lainnya adalah nilai yang sangat berharga dan tak tergantikan.

Faktor inti invasi perusahaan perkebunan kelapa sawit diseluruh Indonesia adalah; Pertama, kebijakan strategis pemerintah yang luas dan terbuka terhadap investasi modal nasional dan multinasional membuka kesempatan besar bagi perkebunan kelapa sawit tanpa aturan yang berfungsi control. Kedua, peningkatan konsumsi minyak sawit dan minyak mentah sebagai bahan baku energy terbarukan di masa depan.

Tidak diragukan lagi, hutan hujan tropis dan hutan gambut yang merupakan bagian dari lahan produktif dan terbesar didunia dirambah dan dibakar dengan cepat oleh perusahaan perkebunan. Hal ini secara langsung merusak sistem ekologi hutan hujan tropis yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim, sumber mata air, pelindung saat banjir dan bencana alam lainnya. Setelah perkebunan beroperasi, dampaknya secara langsung dapat dirasakan masyarakat setempat seperti pencemaran lingkungan melalui pembuangan limbah kimia dan debu. Kebijakan kehutanan yang lemah dan tidak adanya fungsi kontrol terhadap penggunaan lahan menyebabkan perlindungan terhadap sistem ekologi dan hak-hak rakyat tidak sebagaimana yang diharapkan.

Secara strategis, masyarakat setempat yang terkena dampak kurang berpengalaman dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah dan pemilik modal. Namun pengalaman proses mengajukan tuntutan, hasil evaluasi, pendampingan dan kampanye, proses peradilan, juga pendampingan yang dilakukan oleh NGO dan masyarakat sipil memberikan kekuatan untuk melakukan perjuangan.

Sebagai rekomendasi jangka panjang, masyarakat dan LSM dapat mengambil pembelajaran berharga dan best practices tentang sebuah gerakan yang dapat diperhitungkan melalui advokasi kebijakan publik berkelanjutan, perlindungan lingkungan dan regulasi pembangunan ekonomi yang menjaga lingkungan. Yang penting adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan mendistribusikan hak kepemilikan lahan secara adil.[]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (2)

Investor kelapa sawit berbondong-bondong ke Indonesia ketika Pemerintah menerapkan kebijakan membuka seluas-luasnya izin perkebunan. Tak pelak lagi, ini menjadi ajang kampanye terbuka dan fasilitas yang mudah bagi investor mendapatkan izin konsesi lahan dan hutan di Pulau Sumatera.  Namun, kebijakan kehutanan tersebut memperlihatkan dampak serius sebagaimana yang terlihat pada pemetaan kehutanan terkini.

Di area tertentu, permasalahan kehutanan tidak terkontrol lagi. Pembalakan liar difasilitasi oleh oknum pemerintah, dan oknum yang berada dibalik proses perizinan. Pertukaran hutan dengan sejumlah uang dapat dilakukan dengan mudah karena tidak ada kontrol prosedur penetapan harga penebangan kayu. Ketika aturan hukum dan penegakannya saling berbenturan, Badan Pertanahan Propinsi Aceh tetap melajutkan memberikan izin lahan konsesi. Bahkan, banyak lahan konsesi yang ditinggalkan setelah proses penebangan dan pembersihan lahan dilakukan.

Seharusnya kebijakan pengelolaan hutan menerapkan mekanisme satu pintu agar berjalan efektif. Pemetaan hutan, izin konsesi dan pemukiman dikelola oleh satu lembaga saja. Sehingga tidak ada celah penyalahgunaan prosedur sebagaimana telah terjadi.Bahkan, sampai ada kesalahan pada perumusan data geografis yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Mekanisme izin dan biaya serta denda untuk pelanggaran yang dilakukan juga tidak ada aturan yang jelas. Ini seperti sebuah lubang hitam bagi pemerintah Indonesia.

Tahapan persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dimulai dengan pengurusan izin konsesi lahan, pembersihan, penebangan kemudian pembakaran. Kondisi menimbulkan masalah dengan masyarakat, serta menyebabkan banyak kerusakan lainnya. Sistem kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak berorientasi melindungi lingkungan dan masyarakat.

Konflik Investor Nasional: Studi kasus Hutan Gambut Rawa Tripa
Sejak 1980, konflik di hutan gambut Rawa Tripa telah dimulai. Pemerintah Aceh telah mengeluarkan izin konsesi lahan kepada Perusahaan Kalista Alam untuk membuka perkebunan seluas 1,605 hektar pada tahun 2010.

Hutan gambut Rawa Tripa telah rusak akibat invasi pembukaan lahan untuk perkebunan dan perambahan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan data assessment terakhir, hutan gambut rawa Tripa telah berkurang hingga 50 persen dari total 61,803 hektar, 36,185 hektar telah menjadi lahan konsesi.

Perusahaan Surya Panen Subur mengelola lahan konsesi seluas 13,177 hektar dan Perusahaan Kalista Alam mengelola lahan konsesi seluas 6,888 hektar. Perusahaan Gelora Sawita Makmur mengelola lahan konsesi seluas 8,604 hektar dan Perusahaan Cemerlang Abadi mengelola lahan konsesi seluas 7,516 hektar. Jumlah keseluruhan lahan konsesi mencapai 20,200 hektar mencakup dua tahap pemberian. .

Mengacu kepada konflik yang terjadi di hutan gambut Rawa Tripa, Perusahaan Kalista Alam telah melanggar peraturan karena membuka lahan di gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Semua kasus pelanggaran tersebut telah diproses secara hukum.

Kasus serupa lainnya terkait perusakan hutan gambut Rawa Tripa adalah Perusahaan Surya Panen Subur II yang menjalankan bisnisnya dibawah manajemen perusahaan Amara.

Hutan gambut rawa Tripa berperan penting dalam sistem ekologi. Hutan gambut ini berfungsi sebagai penahan gelombang besar seperti tsunami, tempat daur ulang air, mencegah banjir dan habitat keanekaragaman hayati. Jika proses pembersihan lahan untuk perkebunan dilakukan maka akan memicu hilangnya sistem ekologi dan penahan alami dari bencana tsunami, banjir, kekeringan, dan ketidakseimbangan alam. Dampak penggundulan hutan adalah banjir besar yang akan melanda kawasan pemukiman dan mengakibatkan sejumlah kerusakan.

Konflik Investor Multinasional: Studi kasus Kabupaten Aceh Singkil
Pada tahun 1986, perusahaan Ubertraco, yang merupakan milik Teungku Muslim, warga Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mulai beroperasi. Perkebunan kelapa sawit tersebut mulai dibuka di Kecamatan Simpang Kiri. Kemudian pada tahun 1988, perusahaan tersebut mendap atkan izin nomor 1/1988 untuk menggunakan lahan seluas 10,917 hektar di Kecamatan Kota Baharu dan Kecamatan Gunung Meriah, Singkil Utara dan Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.

Enam tahun kemudian, sekitar tahun 1994, perusahaan tersebut memperoleh izin konsesi lahan tahap kedua dengan nomor 2/1994 dengan total lahan seluas 3,000 hektar, letaknya sepuluh kilometer dari Kecamatan Singkohor, Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 1998, sebagian saham kepemilikan perusahaan dialihkan kepada pengusaha dari Malaysia bernama Haji Muhammad Sobri yang mengelola perkebunan tidak sesuai target dan meninggalkan lahan terbengkalai.

Dampak terhadap kesehatan dan sistem ekologi
Sebelumnya, hutan gambut rawa Tripa merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Perahu merupakan alat transportasi yang digunakan pada saat itu. Setelah perusahaan mulai beroperasi kondisi nyaman tersebut berubah, jumlah ikan dan siput berkurang,  hutan menjadi gundul, air tercemar, hewan yang hidup di air mati dan sumber makanan menjadi langka .

Abdul Majid menggambarkan dampak yang disebabkan oleh Perusahaan Surya Panen Subur II. Sejak perkebunan mulai dibuka disekitar pemukiman penduduk telah terjadi perubahan cuaca, polusi udara mengakibatkan masalah pernapasan dan gangguan penglihatan,  sejauh ini sudah ditemukan tiga jenis penyakit mata di masyarkat setempat.

Kondisi ini memicu bencana lebih sering terjadi. Jika hujan turun sepanjang hari maka akan menyebabkan banjir dan sebaliknya, jika musim kemarau datang maka akan terjadi kekeringan. Jika kondisi normal, maka musim hujan akan dimulai sejak bulan September sampai bulan Januari, namun saat ini musim tidak lagi dapat diprediksi.

Polusi air merupakan persoalan utama yang dihadapi masyarakat dan harus segera ditemukan solusinya. Polusi air tersebut diakibatkan oleh sampah dan racun yang dibuang ke sungai. Meskipun bahaya limbah tersebut tidak secara langsung mengalir ke sungai, namun ketika hujan turun maka limbah pupuk berbahan kimia dan pestisida yang terakumulasi tersebut akan mengalir ke sungai hingga akhirnya mengalir ke laut.

Perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan sejumlah besar lahan dibersihkan. Ini merupakan factor kunci perubahan sistem penyimpanan air di hutan dan terjadinya kebakaran hutan, fungsi hutan gambut Rawa Tripa sebagai penyimpan karbon akan berubah.
(bersambung)

 

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (1)

Seorang peneliti dari Thailand, Ruayrin Pedsalabkaew, mempublikasikan hasil risetnya tentang penyerobotan lahan oleh perkebunan kelapa sawit di Aceh, dampaknya terhadap ekosistem dan hak masyarakat setempat. Penelitian telah dilaksanakan selama setahun di Aceh, terutama di kawasan Rawa Tripa, Nagan Raya. Pembukaan kebun sawit oleh investor asing telah menyebabkan rakyat kehilangan mata pencarian dan kerusakan ekosistem, demikian kesimpulan penelitiannya.

Ruayrin Pedsalabkaew, yang merupakan fellow pada Asian Public Intellectual (API), mengatakan penelitian bertujuan untuk mengetahui dampak bisnis kelapa sawit di Aceh terhadap masyarakat dan pemanfaatan sumber daya alam disekitarnya. Penelitian dilakukan antara lain mengumpulkan data, observasi lapangan, wawancara tokoh kunci. Hasil penelitian berbentuk artikel dipublikasikan di website.

Temuan utama penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia merupakan faktor kunci luasnya penyebaran pembukaan perkebunan kelapa sawit. Pemerintah Indonesia mempunyai target menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar, ini terlihat dalam rencana strategis pengelolaan hutan nasional yang terbuka bagi investor lokal maupun internasional.

Seiring meningkatnya konsumsi minyak sawit dan industri minyak mentah mengakibatkan lingkungan dan ekologi setempat rusak secara dramatis, hutan yang subur hancur. Terjadi perampasan terhadap hak milik dan struktur ekonomi masyarakat setempat.

Masyarakat setempat bergerak memperjuangkan haknya melalui kampanye, protes, termasuk melalui proses peradilan. Sayangnya, hak-hak warga Negara tidak terlindungi akibat dari lemahnya aturan hukum. Gerakan masyarakat ini didukung oleh lembaga swadaya masyarakat.

Propinsi Aceh kaya akan sumber daya alam hutan dan tanah yang sering memicu lahirnya konflik dan kekerasan untuk perebutan penguasaannya. Pemerintah setempat mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya alam. Kondisi ini mendorong investasi besar baik investor lokal maupun internasional di sektor perkebunan di Aceh.

Ketika perusahaan besar berinvestasi dan mengelola lahan-lahan tersebut, masyarakat setempat mengalami berbagai kesulitan untuk mengakses lahan milik mereka. Bahkan ada masyarakat yang dipaksa pindah dari tanah mereka. Dulunya, masyarakat memiliki akses untuk mengelola tanah mereka sendiri melalui mekanisme yang diatur dalam hukum adat.

Berdasarkan hukum adat, hak milik tanah diwariskan secara turun temurun. Sepuluh tahun kemudian, perubahan demi perubahan yang berbenturan dengan hukum adat terjadi dan menimbulkan dampak hampir di segala lapisan masyarakat Aceh. Tanah telah diserobot sehingga menyebabkan sumber mata pencaharian hilang dan budaya berubah. Disisi lain, pemerintah telah mengabaikan hak-hak, keamanan dan kesejahteraan masyarakat, dan mengakibatkan gerakan perlawanan dari masyarakat. Hasilnya, kekerasan dan kerusakan terjadi selama masa sengketa lahan tersebut.

Perubahan yang terjadi di Aceh sama dengan perubahan yang terjadi di belahan dunia yang lain sebagai akibat dari invasi kapitalisme yang difasilitasi oleh pemerintah. Secara teori, pondasi inti ideologi kapitalisme adalah pertumbuhan statistik ekonomi. Investor menggalang kerjasama yang berkelanjutan dengan pemerintah, menggunakan kekuasaan struktural dalam rangka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari sumber daya alam. Kekuasaan dan wewenang pemerintah inilah yang digunakan untuk melanggar hak-hak dasar masyarakat setempat.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan yang signifikan. Pertama, melakukan investigasi terhadap dampak penggunaan tanah masyarakat. Kedua, mempelajari dampak rencana strategis pemerintah Aceh. Ketiga, mendistribusikan pembelajaran dan informasi kepada sesama peserta Asian Public Intelectual. Hasil akhirnya diharapkan dapat memberikan pembelajaran dan menjadi awal kerjasama jejaring masyarakat lokal yang terkena dampak penyerobotan lahan di Propinsi Selatan Thailand dan Propinsi Aceh, Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metodologi studi lapangan ke daerah penelitian selama dua bulan pertama, di Propinsi Aceh. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari tentang tradisi dan cara hidup masyarakat setempat, sehingga pengumpulan data dan wawancara yang akan dilakukan akan lebih mudah.

Pengumpulan data dilakukan melalui proses dokumentasi, wawancara dengan lembaga terkait dan masyarakat yang terkena dampak dari konflik dengan perkebunan. Kemudian, langkah kedua adalah mengumpulkan data dan informasi dari media cetak dan elektronik. Kemudian, semua data tersebut dianalisis, sintesis dan dituliskan dalam bentuk artikel berita.

Langkah terakhir adalah mempublikasikannya di website www.prachatai.com, sepuluh artikel akan dipublikasikan dalam dua bahasa (Bahasa Thailand dan Bahasa Inggris). Kemudian, artikel tersebut akan dipublikasi dalam versi bahasa Indonesia di website http://theglobejournal.com dan greenjournalist.net serta versi bahasa Aceh dipublikasikan di
http://acehclimatechange.org.

Kemudian, setelah semua artikel dipublikasikan maka akan didokumentasikan dalam bentuk buku saku yang akan didistribusikan sebagai media berbagi pengetahuan dan pembelajaran. Seluruh proses akan dilakukan selama dua belas bulan.

Sekarang penggunaan minyak kelapa sawit telah menjadi sumber bahan makanan dan juga menjadi sumber energi terbarukan. Misalnya penggunaan kelapa sawit di Thailand mencapai 42 persen untuk minyak, industri makanan 17 persen, biodiesel 28 persen, industri sabun7 persen dan lain-lain 6 persen.

Perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara merupakan yang terbesar di dunia. Area terbesar terletak di Indonesia dengan produksi 51,7 persen pada tahun 2012, Malaysia 35,4persen, Thailand memiliki lahan terluas ketiga sebanyak 3,3 persen, Kolumbia 1,7 persen, Nigeria 1,6 persen, dan Negara lainnya 6,4 persen. Indonesia bersama Malaysia memiliki keuntungan tersendiri karena memiliki sumber lahan yang luas membuat investor membuka perkebunan yang luas di kawasan dua Negara tersebut, sedangkan di Thailand hanya perkebunan berskala kecil.

Saat ini, ada tujuh kelompok investor besar asing yang membuka perkebunan sawit di Indonesia:
1. Investor Malaysia. Perusahaan bernama Gutrhrie Berhad. Perkebunannya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan juga Aceh. Luasnya 220,204 hektar. Perusahaan Kulim Berhad, mengelola perkebunan di Sumatera dan Kalimantan dengan luas perkebunan 92,263 hektar. Perusahaan Golden Hope Berhad, luas perkebunannya 96.000 hektar. Perusahaan Kuala Lampur Kepong Berhad di Riau dan Kalimantan seluas 91,170 hektar.
2. Investor Singapura, perusahaan Wimar Holding yang mengelola 198.282 hektar di Sumatera dan Kalimantan.
3. Investor Inggris, perusahaannya bernama Rea Holding. Perkebunannya ada di Kalimantan dengan luas 66.136 hektar. Ada juga perusahaan MP Evans Group, lokasi perkebunannya di Propinsi Sumatera Utara dan Aceh dengan luas 47.290 hektare. Terakhir adalah perusahaan Anglo Easter yang mengelola lahan seluas 37.502 hektar di Sumatera.
4. Investor Belgia, perusahaannya bernama SA Slpef NV yang mengelola lahan seluas 65.993 hektar di Propinsi Aceh dan daerah Sumatera lainnya.
5. Luxembourg, perusahaan Socfianisa Luxemburg SA mengelola lahan seluas 44.992 hektar di Sumatera Utara.
6. Perusahaan Srilanka, Carson Cumberbatch & Co.Ltd mengelola lahan seluas 27.500 hektar di Kalimantan.
Di propinsi Aceh sendiri ada 51 perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit, lokal maupun multinasional.

Khusus di Kabupaten Aceh Singkil, ada tujuh perkebunan kelapa sawit sebagai berikut; pertama, Perusahaan Socfindo yang mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Gunung Meriah hingga 4.414,18 hektar, yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 4.210 hektar. Kedua, Perusahaan Lemban Bakit juga mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Singkil Utara hingga 6.570 hektar. Total area yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 5.923 hektar. Ketiga, Perusahaan Delima Makmur memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Danau Paris hingga 12.173,47 hektar dan yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 8.969 hektar.

Ke empat, Perusahaan Ubertraco mempunyai izin konsesi lahan di Kecamatan Kota Baharu hingga 13.924,68 hektar, dan yang telah ditanami kelapa sawit sejumlah 5.869 hektar. Kelima, Perusahaan Lestari Tunggal Pratama mempunyai izin membuka lahan perkebunan di Kecamatan Danau Paris hingga 1.861 hektar, dan telah ditanami kelapa sawit sejumlah 1.200 hektar. Ke enam, Perusahaan Telaga Zam-zam memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Gunung Meriah hingga 100,05 hektar dan seluruhnya telah ditanami kelapa sawit. Ketujuh, Perusahaan Jaya Bahni Utama memiliki izin konsesi lahan di Kecamatan Danau Paris hingga 1.800 hektar dan seluruhnya telah ditanami kelapa sawit.

Rekomendasi utama hasil penelitian adalah advokasi untuk perubahan, mendorong lahirnya kesejahteraan masyarakat, adanya keseimbangan kebijakan publik sebagai bagian dari perlindungan terhadap lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. (bersambung)

 

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

 

read more
Hutan

Warga Rawa Tripa Terjepit Kebun Kelapa Sawit

Saat ini merupakan periode emas pertumbuhan bisnis perkebunan kelapa sawit, baik yang dikembangkan oleh investor lokal maupun investor internasional di lahan subur di Indonesia. Pembersihan dan pembakaran hutan terus saja dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan dengan skala besar. Pemerintah Indonesia percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Namun, tak dapat dipungkiri peralihan fungsi lahan sebagai perkebunan kelapa sawit akan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Yang menjadi catatan penting adalah hutan gambut rawa tripa di propinsi Aceh mencakup area seluas 60.000 hektar. Sejak tahun 1980, 20.000 hektar telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, masyarakat dan lingkungan setempat menjadi korban pertama yang terancam dengan zat-zat berbahaya.

Masyarakat setempat telah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman terkait regulasi tentang lingkungan dan dampak investasi perkebunan kelapa sawit. Setidaknya melalui kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh WALHI Aceh di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.  Peserta terutama berasal dari masyarakat yang terkena dampak diwilayah sengketa lahan.

Nurdin, warga desa Blang Luah dan Abdul Majid tokoh masyarakat Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya memberikan kesaksian. Nurdin menjelaskan bahwa lahan ini merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat seperti rotan dan  hasil hutan lainnya. Rawa Tripa merupakan “Bank Makanan”. Keadaan berubah setelah PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II beroperasi. Banyak pohon telah ditebang, air tercemar, hewan mati, dan populasi ikan berkurang. Masyarakat setempat akan dihadapkan pada kelangkaan sumber makanan. Dulu, sungai digunakan sebagai jalur transportasi dengan menggunakan perahu tanpa takut akan banjir.

Abdul Majid, yang berasal dari desa lain menambahkan bahwa dulu, sebelum jalan dibangun, perahu merupakan sarana transportasi yang tersedia karena susahnya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Namun semuanya berubah ketika PT Kallista Alam datang dengan menanam kelapa sawit di hutan gambut Rawa Tripa.

Cuaca dan iklim telah berubah, jika hujan turun sepanjang hari maka akan terjadi banjir. Jika dalam dua minggu hujan tidak turun maka kekeringan akan terjadi. Biasanya musim hujan dimulai pada bulan September sampai januari namun sekarang tidak dapat diprediksi lagi. Sejak dulu, lahan dikawasan ini dikenal sebagai penghasil padi, musim hujan yang teratur, cuaca yang bagus dan tidak ada masalah berarti.

Abdul Majid mengatakan bahwa hal tersebut berdampak serius bagi perekonomian masyarakat setempat karena tidak lagi bisa mencari nafkah seperti sebelumnya. Seharusnya masyarakat setempat mendapatkan kompensasi atas perambahan lahan konsesi, namun tidak dapat diberikan karena tidak memiliki surat kepemilikan lahan.

Baik Abdul Majid dan Nurdin memberikan gambaran perbandingan mata pencaharian masyarakat sebelum dan sesudah perkebunan beroperasi. Sebelumnya, masyarakat setempat hidup dengan praktek ekonomi konvensional. Sebaliknya, setelah beberapa orang masyarakat setempat bekerja di perkebunan sawit keadaan berubah. Kesenjangan terjadi, praktek-praktek tradisional hilang seperti budaya pernikahan atau tradisi lainnya.

Tenaga kerja lokal yang telah dipekerjakan oleh perusahaan kelapa sawit berjumlah 60 pemuda dari lima desa. Mereka adalah buruh harian bukan karyawan tetap. Pekerjaan dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, buruh perempuan melakukan pemupukan dan pembasmian hama, buruh laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat.
Meskipun demikian, buruh harian yang bekerja setiap hari belum tentu dibayar setiap harinya. Perusahaan mempekerjakan 20 karyawan tetap yang mendapatkan gaji rutin dan cuti hari libur umum.

Dulu, tanah adat diatur dengan hukum adat. Selama masa konflik, banyak tanah adat yang dijadikan hak milik dengan metode pembagian masing-masing dua hektar. Selama masa konflik, banyak lahan yang dibiarkan terlantar dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah menjadi daerah damai sayangnya lahan di Aceh tidak ada proses ganti rugi.
Kemudian, PT Kallista Alam mendapatkan hak konsesi untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Yang menariknya adalah masyarakat setempat menjadi agen yang memperjual belikan tanah kepada perusahaan.

Seorang warga bernama Suratman mengatakan bahwa pada tahun 1980, perusahaan telah membeli tanah seharga 800.000 rupiah per hektar, namun, beberapa penduduk desa termasuk dirinya tidak menjual. Kemudian, broker datang kepadanya dan meminta membeli tanah, tapi dia bersikeras. Akibatnya, satu minggu kemudian pohon coklat di kebunnya ditebang dan digantikan pohon kelapa sawit.

Kasus lainnya adalah yang dialami Idin, warga desa Panton Bayu, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya yang diwawancara melalui saluran telpon mengatakan bahwa desanya memiliki tanah ulayat yang dikelola secara tradisional. Total lahannya seluas 100 hektar dan menurut hukum adat tidak boleh diperjualbelikan. Selama konflik Aceh, tanah tersebut dibiarkan terlantar dan tidak digarap. Setelah damai, penduduk kembali ke desanya dan bercocok tanam dan beberapa bulan kemudian lahan tersebut dijual dan diberikan kompensasi.

“Saya dan warga desa lainnya belum menjual, belum menandatangani dan tidak menerima kompensasi. Saya juga ingin tahu bagaimana membuat sertifikat tanah, namun sayangnya sampai sekarang saya belum mengetahuinya”.
Meskipun masyarakat setempat dapat mengakses dan melakukan aktivitas ditanah hak milik mereka yang berbatasan dengan perkebunan namun polisi memberikan halangan karena dianggap mengganggu perkebunan kelapa sawit.

Pada musim penghujan maka banjir akan merendam pemukiman dan apabila musim kemarau maka akan terjadi kekeringan. Meskipun berbagai laporan telah disampaikan hingga ke namun belum ada tanggapan. Oleh karena itu, gerakan masyarakat setempat sangat dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan hutan sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

Perjuangan panjang yang dialami Ansari, warga desa Kaye Uno, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya sejak tahun 1980 yang telah mengelola tanah ulayat sesuai aturan adat. Lahan yang dikelolanya sekitar 2.000 hektar ditanami coklat, kelapa dan jenis tanaman lainnya.

Selama konflik Aceh berkecamuk, masyarakat terpaksa pindah dengan membiarkan tanah garapannya terlantar menjadi hutan belantara. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke kampung halaman dan yang mengejutkan ternyata lahan yang mereka kelola telah dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan Surya Panen Subur II yang berada dibawah manajemen perusahaan Amara.

“Kami ingin mengambil kembali lahan milik kami namun perusahaan menampiknya. Kami telah berusaha dua sampai tiga kali bernegosiasi dengan perusahaan dan juga melaporkan ke pemerintahan kabupaten Nagan Raya namun belum mendapatkan solusi apapun”.

Jika merujuk ke sejarah, kawasan sekitar hutan gambut Rawa Tripa merupakan wilayah pemukiman kerajaan yang pernah jaya dulunya. Berdasarkan bukti sejarah, ditemukan batu nisan yang bertuliskan nama H. Nyak Dom. Diperkirakan daerah tersebut ditempati oleh masyarakat sejak abad ke 18. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Ujung Raja.

Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat setempat harus berjuang mendapatkan kembali tanah hak milik yang telah mereka miliki secara turun temurun agar dapat kembali mencari nafkah. []

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh, Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal.  Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner. 

Blogazine…Lahan dan Hutan di Aceh…Ruayrin Pedsalabkaew  

Suara Warga Rawa Tripa Tersumpal Industri Kelapa Sawit.

Saat ini merupakan periode emas pertumbuhan bisnis perkebunan kelapa sawit, baik yang dikembangkan oleh investor lokal maupun investor internasional di lahan subur di Indonesia. Pembersihan dan pembakaran hutan terus saja dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan dengan skala besar. Pemerintah Indonesia percaya bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat.

Namun, tak dapat dipungkiri peralihan fungsi lahan sebagai perkebunan kelapa sawit akan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan.

Yang menjadi catatan penting adalah hutan gambut rawa tripa di propinsi Aceh mencakup area seluas 60.000 hektar. Sejak tahun 1980, 20.000 hektar telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya, masyarakat dan lingkungan setempat menjadi korban pertama yang terancam dengan zat-zat berbahaya.

Masyarakat setempat telah dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman terkait regulasi tentang lingkungan dan dampak investasi perkebunan kelapa sawit. Setidaknya melalui kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh WALHI Aceh di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.  Peserta terutama berasal dari masyarakat yang terkena dampak diwilayah sengketa lahan.

Nurdin, warga desa Blang Luah dan Abdul Majid tokoh masyarakat Kecamatan Seunagan Timur Kabupaten Nagan Raya memberikan kesaksian.

Nurdin menjelaskan bahwa lahan ini merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat seperti rotan dan  hasil hutan lainnya. Rawa Tripa merupakan “Bank Makanan”. Keadaan berubah setelah PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II beroperasi. Banyak pohon telah ditebang, air tercemar, hewan mati, dan populasi ikan berkurang. Masyarakat setempat akan dihadapkan pada kelangkaan sumber makanan. Dulu, sungai digunakan sebagai jalur transportasi dengan menggunakan perahu tanpa takut akan banjir.

Abdul Majid, yang berasal dari desa lain menambahkan bahwa dulu, sebelum jalan dibangun, perahu merupakan sarana transportasi yang tersedia karena susahnya melakukan perjalanan dengan berjalan kaki atau bersepeda. Namun semuanya berubah ketika PT Kallista Alam datang dengan menanam kelapa sawit di hutan gambut Rawa Tripa.

Cuaca dan iklim telah berubah, jika hujan turun sepanjang hari maka akan terjadi banjir. Jika dalam dua minggu hujan tidak turun maka kekeringan akan terjadi. Biasanya musim hujan dimulai pada bulan September sampai januari namun sekarang tidak dapat diprediksi lagi. Sejak dulu, lahan dikawasan ini dikenal sebagai penghasil padi, musim hujan yang teratur, cuaca yang bagus dan tidak ada masalah berarti.

Abdul Majid mengatakan bahwa hal tersebut berdampak serius bagi perekonomian masyarakat setempat karena tidak lagi bisa mencari nafkah seperti sebelumnya. Seharusnya masyarakat setempat mendapatkan kompensasi atas perambahan lahan konsesi, namun tidak dapat diberikan karena tidak memiliki surat kepemilikan lahan.

Baik Abdul Majid dan Nurdin memberikan gambaran perbandingan mata pencaharian masyarakat sebelum dan sesudah perkebunan beroperasi. Sebelumnya, masyarakat setempat hidup dengan praktek ekonomi konvensional. Sebaliknya, setelah beberapa orang masyarakat setempat bekerja di perkebunan sawit keadaan berubah. Kesenjangan terjadi, praktek-praktek tradisional hilang seperti budaya pernikahan atau tradisi lainnya.

Tenaga Kerja Perkebunan

Tenaga kerja lokal yang telah dipekerjakan oleh perusahaan kelapa sawit berjumlah 60 pemuda dari lima desa. Mereka adalah buruh harian bukan karyawan tetap. Pekerjaan dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, buruh perempuan melakukan pemupukan dan pembasmian hama, buruh laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat.

Meskipun demikian, buruh harian yang bekerja setiap hari belum tentu dibayar setiap harinya. Perusahaan mempekerjakan 20 karyawan tetap yang mendapatkan gaji rutin dan cuti hari libur umum.

Dulu, tanah adat diatur dengan hukum adat. Selama masa konflik, banyak tanah adat yang dijadikan hak milik dengan metode pembagian masing-masing dua hektar. Selama masa konflik, banyak lahan yang dibiarkan terlantar dan ditinggalkan pemiliknya. Setelah menjadi daerah damai sayangnya lahan di Aceh tidak ada proses ganti rugi.

Kemudian, PT Kallista Alam mendapatkan hak konsesi untuk membuka perkebunan kelapa sawit. Yang menariknya adalah masyarakat setempat menjadi agen yang memperjual belikan tanah kepada perusahaan.

Seorang warga bernama Suratman mengatakan bahwa pada tahun 1980, perusahaan telah membeli tanah seharga 800.000 rupiah per hektar, namun, beberapa penduduk desa termasuk dirinya tidak menjual. Kemudian, broker datang kepadanya dan meminta membeli tanah, tapi dia bersikeras. Akibatnya, satu minggu kemudian pohon coklat di kebunnya ditebang dan digantikan pohon kelapa sawit.

Kasus lainnya adalah yang dialami Idin, warga desa Panton Bayu, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya yang diwawancara melalui saluran telpon mengatakan bahwa desanya memiliki tanah ulayat yang dikelola secara tradisional. Total lahannya seluas 100 hektar dan menurut hukum adat tidak boleh diperjualbelikan. Selama konflik Aceh, tanah tersebut dibiarkan terlantar dan tidak digarap. Setelah damai, penduduk kembali ke desanya dan bercocok tanam dan beberapa bulan kemudian lahan tersebut dijual dan diberikan kompensasi.

“Saya dan warga desa lainnya belum menjual, belum menandatangani dan tidak menerima kompensasi. Saya juga ingin tahu bagaimana membuat sertifikat tanah, namun sayangnya sampai sekarang saya belum mengetahuinya.

Meskipun masyarakat setempat dapat mengakses dan melakukan aktivitas ditanah hak milik mereka yang berbatasan dengan perkebunan namun polisi memberikan halangan karena dianggap mengganggu perkebunan kelapa sawit.

Pada musim penghujan maka banjir akan merendam pemukiman dan apabila musim kemarau maka akan terjadi kekeringan. Meskipun berbagai laporan telah disampaikan mulai tingkat kabupaten, propinsi namun belum ada tanggapan. Oleh karena itu, gerakan masyarakat setempat sangat dibutuhkan untuk menjaga dan melestarikan hutan sebagai warisan untuk generasi yang akan datang.

Perjuangan panjang yang dialami Ansari, warga desa Kaye Uno, Kecamatan Senagan Timur, Kabupaten Nagan Raya sejak tahun 1980 yang telah mengelola tanah ulayat sesuai aturan adat. Lahan yang dikelolanya sekitar 2.000 hektar ditanami coklat, kelapa dan jenis tanaman lainnya.

Selama konflik Aceh berkecamuk, masyarakat terpaksa pindah dengan membiarkan tanah garapannya terlantar menjadi hutan belantara. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke kampung halaman dan yang mengejutkan ternyata lahan yang mereka kelola telah dibersihkan dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan Surya Panen Subur II yang berada dibawah manajemen perusahaan Amara.

“Kami ingin mengambil kembali lahan milik kami namun perusahaan menampiknya. Kami telah berusaha dua sampai tiga kali bernegosiasi dengan perusahaan dan juga melaporkan ke pemerintahan kabupaten Nagan Raya namun belum mendapatkan solusi apapun.  

Jika merujuk ke sejarah, kawasan sekitar hutan gambut Rawa Tripa merupakan wilayah pemukiman kerajaan yang pernah jaya dulunya. Berdasarkan bukti sejarah, ditemukan batu nisan yang bertuliskan nama H. Nyak Dom. Diperkirakan daerah tersebut ditempati oleh masyarakat sejak abad ke 18. Kawasan tersebut dikenal dengan sebutan Ujung Raja.

Dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat setempat harus berjuang mendapatkan kembali tanah hak milik yang telah mereka miliki secara turun temurun agar dapat kembali mencari nafkah. Ini merupakan perjuangan mendapatkan kembali hak kepemilikan atas lahan yang telah dimiliki secara turun temurun.

“Pendapat penulis tidak mencerminkan pendapat Program Beasiswa API, The Nippon Foundation, Lembaga Koordinasi, dan / atau Lembaga Mitra”.

 

 

read more
1 6 7 8
Page 8 of 8