close

YEL

Green Style

YEL Dukung Sedotan Alami Harray, dari Hutan Hadabuan Hill

Penelitian Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada 2010, ada 275 juta ton sampah plastik di seluruh dunia, sekitar 4,8-12,7 juta ton terbuang dan mencemari laut. Setiap tahun, Indonesia menghasikkan 3,22 juta ton sampah plastik, sekitar 0,48-1,29 juta ton dari sampah plastik mencemari lautan.

Kampanye dari berbagai pihak mengajak stop menggunakan plastik sekali pakai mulai bergaung. Tidak sedikit pula yang membuat terobosan baru, seperti menggantikan bahan dari plastik dengan bahan ramah lingkungan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Sumatera Utara merupakan produsen sampah terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Jawa Timur.

Baru-baru ini Yayasan Ekosistem Lestari–Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) memiliki ide memproduksi bambu sebagai peganti pipet plastik sekali pakai.

Di Labuhanbatu Utara, Sumut, ide mengurangi penggunaan plastik sekali pakai juga jalan. Salah satunya oleh pegiat lingkungan dan perlindungan harimau Sumatera, Sumatran Tiger Rangers. Lembaga ini menemukan tumbuhan unik menyerupai bambu, pengganti sedotan plastik.

Direktur Sumatran Tiger Rangers, Harray Sam Munthe, memiliki ide membuat sedotan dari tumbuhan menyerupai bambu yang hidup di hutan Hadabuan Hill.

Harray menceritakan, tumbuhan yang bisa jadi pengganti sedotan plastik ini, banyak ditemukan di perbukitan Hadabuan Hill, dengan ketinggian 800 Mdpl. Tumbuhan ini dia temukan saat patroli dan penyisiran jerat harimau di hutan Labuhan Batu Utara.

Bentuk seperti rumput dengan panjang pangkal hingga pucuk memiliki ukuran sama, antara satu hingga satu setengah meter, dan lebar daun sekitar 20-30 cm. Selain ukuran sama dari pangkal hingga pucuk, tumbuhan ini juga akan mati kalau tumbuh tegak sempurna. Usia tumbuh sekitar satu hingga dua bulan.

Saat ini, kata Harray, setidaknya ada delapan hektar luas area dimana tanaman ini tumbuh liar dalam hutan tetapi di luar hutan lindung.

“Jika tumbuhan mirip bambu ini diproduksi untuk menggantikan sedotan dan kebutuhan lain pengganti plastik sekali pakai, akan sangat berguna sekali. Ini salah satu alternatif menekan limbah plastik,” katanya.

Dia sudah uji coba bikin sedotan, lumayan bertahan lama dan tak alami penjamuran. Mereka sudah eksperimen dengan merendam tumbuhan menyerupai bambu ini selama sepekan. Tak ada perubahan bentuk, tak mengerut, tidak layu, tetap kokoh.

“Tumbuh cepat, banyak di alam, menekan penggunaan pipet plastik, alam bisa diselamatkan dari limbah plastik sekali pakai. Kalaupun dipakai sekali, bisa memuai dengan cepat, hitungan hari atau bisa dibakar pengganti bahan bakar. Ini cocok sekali,” katanya. Dia pun memberi nama sedotan ini, pipet Harray.

Untuk mengkampanyekan pakai pipet ramah lingkungan, Harray bersama tim bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Target mereka, rumah makan, restoran, tempat anak muda berkumpul, lembaga pemerintahan, dan non pemerintahan. “Siapa saja yang datang ke ekowisata Hadabuan Hill, akan mendapatkan pipet Harray secara gratis.”

Mereka sudah bagikan 700 pipet Harray. Komunitas sepeda motor juga mereka bagikan pipet Harray ini. Sepekan setelah dibagikan, mereka lakukan pemantauan apakah pipet masih terpakai atau tidak. Ternyata, hampir 93% masih menggunakan.

Raja Rambe, pemuda yang aktif berkampanye lingkungan di Labuhanbatu Utara mengatakan, pipet ini bentuk unik, dan gampang dibawa kemana saja.

“Ukuran kecil, bisa disimpan di saku maupun di tas pinggang, juga tahan lama.”

I Putu Gede Parlida, peneliti tumbuhan jenis rumputan mengatakan, banyak melihat tanaman itu di dataran tinggi Sumatera seperti Toba. Untuk memastikan jenis, perlu spesimen agar bisa dipastikan jenis tumbuhan itu. Dugaan sementara, itu jenis rumput-rumputan.

“Jika melihat bentuk, saya duga itu bukan bambu. Melihat buluh silinder berlumen, kuat dugaan itu sejenis rumput-rumputan. Tapi, sekali lagi, saya perlu spesimen untuk menyakinkan,” katanya.

Menurut dia, tidak semua jenis rerumputan bisa jadi sedotan. Ada yang berlumen sempit atau malah buluh tidak keras. Selama tak jamuran, aman digunakan.

Dia menyarankan, sebelum dipakai sebaiknya cuci terlebih dahulu bagian luar dan dalam dengan sikat khusus.

Dia setuju penggunaan bahan dari tumbuh-tumbuhan sebagai pengganti pipet plastik sekali pakai, asal jangan mengeksploitasi secara berlebihan. “Alangkah bagusnya tumbuhan itu dibudidaya jika ingin dimanfaatkan.”

Sumber: mongabay.com

read more
Flora Fauna

Dua Orangutan Asal Aceh Kurang Gizi, Diserahkan ke Pusat Karantina YEL

Medan – Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan yang dikelola Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Balai Besar KSDA Sumatera Utara dalam Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP) menerima dua orangutan Sumater dari Aceh diterima.

Keduanya adalah orangutan yang diberi nama Poni, betina, tiba tanggal 28 Agustus 2019, dan Pandi, jantan, tiba tanggal 29 Agustus 2019.

Orangutan Poni diperkirakan berusia 5 tahun, diserahkan oleh warga Gampong Kabu, Kecamatan Peurelak, Kabupaten Aceh Timur kepada Balai KSDA Aceh dan tim penyelamatan orangutan dari Orangutan Information Centre (OIC). Sementara Pandi yang diperkirakan berusia diatas 30 tahun dievakuasi oleh Balai KSDA Aceh bersama tim OIC dari hutan yang terfragmentasi oleh perkebunan kelapa sawit di Desa Sepang, Kecamatan Longkib, Kota Subulussalam Aceh.

Dokter Hewan Senior YEL-SOCP, drh Yenni Saraswati menjelaskan hasil pemeriksaan kesehatan tim medis di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan SOCP terhadap kedua orangutan tersebut ditemukan bahwa keduanya mengalami malnutrisi, dehidrasi, cacingan, dan berat badan kurang (kurus). Terutama orangutan Pandi yang menderita anemia dan masalah pada tulang persendiannya.

“Kami akan melakukan tes kesehatan lanjutan, khususnya untuk orangutan Pandi, untuk mengetahui lebih rinci masalah kesehatannya dan juga perawatan intensif untuk menstabilkan kondisi tubuhnya,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/9/2019).

Manager Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan SOCP, Arista Ketaren, menambahkan pihaknya akan melakukan yang terbaik untuk proses karantina dan rehabilitasi Poni dan Pandi. “Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada masyarakat atas kerjasamanya dalam memberikan informasi dan kesediaannya menyerahkan kedua orangutan tersebut,” ucapnya.

Sementara itu Kepala Balai Besar KSDA Sumatera Utara Hotmauli Sianturi memaparkan bahwa orangutan adalah jenis satwa liar yang sangat terancam punah dan dilindungi.

Sesuai pasal 21 ayat (2) huruf (a) JO pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Sanksi pidananya adalah penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,-.

“Balai Besar KSDA Sumatera Utara selanjutnya akan memonitor “Poni dan Pandi” selama menjalani rehabilitasi di PKOS Batu Mbelin, adapun SOCP akan memberikan laporan secara berkala kepada kami sebagai bahan evaluasi sebelum di lepasliarkan kembali ke habitat alaminya,” jelasnya.

Dia juga mengurai Orangutan Sumatera (Pongo abelii) berbeda dengan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dan juga berbeda dengan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara.

“Hanya sekitar 13.400 orangutan Sumatra dan kurang dari 800 orangutan Tapanuli yang tersisa di alam liar. Ketiga spesies orangutan terdaftar sebagai “sangat terancam punah” oleh International Conservation Union (IUCN) dalam “Daftar Merah Species Terancam,” pungkasnya.

Sumber: pojoksumut.com

read more
Green Style

PanEco Kerjasama Lindungi Orangutan Tapanuli dengan NSHE

Medan – Yayasan PanEco yang berpusat di Swiss dan perusahaan energi PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE) menjalin kerjasama dalam mendukung pemerintah, untuk melindungi masa depan orangutan Tapanuli. Dimana keberadaan orangutan Tapanuli yang baru-baru ini diidentifikasi dan habitatnya di ekosistem Batangtoru, Tapanuli, Sumatera Utara.

Adapun tujuan kerja sama tersebut menerapkan strategi konservasi baru yang komprehensif terhadap lebih dari 200 ribu hektar habitat orangutan yang ada melalui suatu pendekatan multi-pihak.

Strategi baru ini akan mencakup pembangunan koridor hutan, guna menghubungkan habitat yang sudah terfragmentasi, merestorasi hutan bekas tebangan, serta meningkatkan perlindungan kawasan yang saat ini belum dilindungi.

Sebagaimana diketahui, yayasan PanEco memiliki rekam jejak panjang dalam konservasi alam dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, sejak tahun 70-an. Tahun 1999, PanEco bekerja sama dengan mitra lokal di Indonesia, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) membentuk Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP).

Penelitian lapangan di Tapanuli Selatan sejak tahun 2000, menjadi dasar ditemukannya spesies baru orangutan Tapanuli, Pongo Tapanuliensis pada tahun 2017.

Sedangkan PT NSHE, selaku pelopor dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sumatera Utara, telah mulai membangun PLTA baru di Tapanuli Selatan, yang berlokasi di dalam ekosistem Batangtoru, di lahan yang diklasifikasikan sebagai Area Penggunaan Lain (APL).

Dimana, menghasilkan 510 MW energi listrik, di wilayah yang sering mengalami pemadaman sekaligus menggantikan penggunaan tenaga diesel, dengan potensi untuk merealisasikan pengurangan emisi karbon sebanyak 1,6 juta ton per tahun. Tentunya hal ini, merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari komitmen untuk memitigasi perubahan iklim global.

Dengan demikian, NSHE dan PanEco memasuki kemitraan baru dengan strategi konservasi jangka panjang yang komprehensif, untuk melindungi ekosistem Batang Toru secara utuh demi masa depan orangutan Tapanuli.
Nota Kesepahaman (MOU) telah ditandatangani. Didukung sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia.

Presiden PanEco, Regina Frey menyatakan, di seluruh dunia, ada tren dan tekanan publik kuat untuk mengubah ‘business as usual’ dengan pendekatan pembangunan baru yang lebih berkelanjutan. Kolaborasi ini menawarkan suatu peluang menarik untuk mengembangkan suatu model solusi untuk mencapai tujuan dalam pembangunan berkelanjutan di mana pun di dunia.

Sementara Wiratno, sebagai Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK manyampaikan, pihaknyamenyambut baik kemitraan baru ini, dan akan melakukan yang terbaik untuk mendukung sepenuhnya, melalui kontribusi solusi administratif dan masalah teknis lainnya.

“Menghargai semangat besar dalam kolaborasi tersebut, merangkul pemerintah di semua tingkatan, LSM, kelompok masyarakat dan kearifan lokal terhadap lingkungan, termasuk satwa liar, ilmuwan, dan perusahaan melalui pendekatan lintas pemangku kepentingan,” ujarnya.

Sementara Direktur Komunikasi PT NSHE Firman Taufick mengatakan, kemitraan tersebut terjadi atas dasar saling pengertian tentang perlunya kerjasama antara sektor bisnis dan berbagai pemangku kepentingan.

“Untuk memperkuat kerjasama ini, kami mengharapkan para ahli orangutan dan LSM lingkungan Indonesia turut tampil dan berperan aktif mendukung perwujudan upaya konservasi ini,” ucap Firman.

Sementara itu, profesor Carel van Schaik, pakar orangutan dunia yang juga menjabat sebagai anggota dewan PanEco menambahkan, tanpa adanya proyek PLTA baru ini, spesies orangutan Tapanuli yang hanya tersisa kurang dari 800 individu dalam populasi yang sudah terfragmentasi, menghadapi masa depan suram.

Dengan adanya kerjasama Pemerintah Indonesia dan PT NSHE saat ini, ada potensi besar dalam hal strategi konservasi baru dan besar yang akan menjamin perlindungan terhadap mereka dan seluruh habitat ekosistem Batang Toru, dalam jangka panjang.[]

Sumber: faseberita.id

read more
Ragam

SOCP YEL Rawat Orangutan Korban Penyelundupan di Riau

Pekanbaru – Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau menitipkan tiga ekor bayi orangutan korban penyelundupan satwa dilindungi di Kota Dumai, ke konservasi orangutan di Batu Mbelin, Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara.

“Alhamdulillah, si orangutan sudah sampai di pusat konservasi orangutan Batu Mbelin Sibolangit dengan selamat,” kata Kepala BBKSDA Riau, Suharyono, di Pekanbaru, Kamis (27/6/2019) sebagaimana dikutip dari Antaranews.

Ia mengatakan tiga ekor orangutan itu dititipkan ke Batu Mbelin karena di kandang transit BBKSDA Riau di Pekanbaru tidak ada tenaga medis yang punya kemampuan khusus untuk merawat orangutan.

Sedangkan, di Batu Mbelin ada pusat karantina yang dikelola Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melalui Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP).

Menurut dia, tiga orangutan itu sempat mengalami dehidrasi dan stres sehingga sempat takut melihat manusia.

Sebelumnya, tim gabungan dari Bea Cukai Dumai, Polisi Militer TNI AL dan AD menggagalkan upaya penyelundupan satwa dilindungi berupa tiga ekor orangutan di Kota Dumai pada Senin (25/6).

Orangutan tersebut diperkirakan berumur satu tahun, bahkan ada seekor yang masih bayi diperkirakan masih tiga bulan dan menggunakan popok seperti bayi manusia. Orangutan tersebut dipastikan bukan berasal dari Riau karena daerah tersebut bukan habitat primata itu.

Selain orangutan, ada juga satwa dilindungi lainnya seperti dua ekor monyet putih (albino) (Presbytis melalophos), seekor Uwa (Symphalangus syindactylus) dan seekor Musang Luwak (Paradoxurus hermaphroditus). Monyet albino dan musang luwak kini berada di kandang transit BBKSDA Riau di Pekanbaru.

Kasus penyelundupan ini ditangani oleh Penyidik pegawai negeri sipil Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan wilayah I Sumatera.

Kepala Bea Cukai Madya Pabean Dumai Fuad Fauzi mengatakan, petugas gabungan berhasil menggagalkan penyelundupan hewan dilindungi ini setelah mendapat informasi masyarakat, dan dua pelaku sebagai pengangkut turut diamankan.

Dijelaskan, dua pelaku berinisial SP (40) dan JD (27) mengangkut hewan dilindungi ini dari Kota Pekanbaru menggunakan mobil jenis minibus, dan ditangkap petugas di salah satu pelabuhan rakyat di Jalan Cut Nyak Dien Kelurahan Purnama, Kecamatan Dumai Barat.

“Pelaku tidak bisa memperlihatkan dokumen pengangkutan satwa dilindungi ini, dan rencana akan diselundupkan ke Malaysia melalui pelabuhan tikus di Dumai,” sebutnya.

Kerugian materi dari upaya penyeludupan satwa liar ini ditaksir bernilai Rp1,422 miliar. Selain itu, akibat perdagangan ilegal bisa mengancam kepunahan dan kerusakan ekosistem.

Para pelaku akan dijerat dengan undang undang konservasi sumber daya alam dan ekosistem serta kepabeanan.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Green Style

Populasi Orangutan Sumatera Turun 10 Kali Lipat dalam Satu Abad

Medan – Berdasarkan hasil Population and Habitat Viability Assesment (PHVA) orangutan 2016, orangutan sumatera (Pongo abelii) tercatat sebanyak 14.470 individu tersebar di 52 meta populasi (kelompok terpisah/kantong populasi) dan 38 persen di antaranya diprediksi lestari dalam 100 -150 tahun mendatang. Namun,100 tahun yang lalu jumlahnya orangutan sumatera 10 kali lipat atau sekitar 140.000 ekor.

Hal tersebut dikatakan Panut Hadisiswoyo, pendiri Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), saat konferensi pers dan rilis program NOWUC3 (Sekarang Anda Melihat Saya-red), Senin (13/5/2019) malam.

Ia menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan penurunan populasi orangutan yaitu mulai dari deforestasi (penebangan hutan) hingga ekspansi perkebunan, pertambangan, dan pembangunan lainnya. “Atau misalnya pembangunan hidro dam, PLTA. Ini akan jadi ancaman terhadap orangutan. Artinnya kita perlu berusaha untuk mempertahankan habitatnya yang tidak banyak lagi tersisa,” katanya. Menurutnya, jumlah populasi tersebut adalah angka yang tersisa dan harus dipertahankan.

Namun secara umum, kepedulian masyarakat terdahap orangutan sangat rendah karena dianggap tidak ada keterkaitan dengan hidup orang banyak. Padahal, menurut Panut, berbicara penyelamatan orangutan sama halnya berbicara tentang upaya penyelamatan habitatnya. “Habitat orangutan itu memberi banyak manfaat. Menjaga kelangsungan jasa ekosistem yang sangat penting,” katanya.

Menurut Panut, pihaknya akan terus berjuang meningkatkan kesadaran masyarakat, mengedukasi, mengajak untuk berbuat nyata dengan tidak merusak hutan, tidak menembaki orangutan, dan tak menganggapnya hama. “Kolaborasi semua pihak menyelamatkan spesies ini sangat penting. Kita harus bisa berbagi ruang dengan mereka,” ujarnya.

Dia mengaku heran ketika ada beberapa pihak yang menyebut kelompok yang menyuarakan penyelamatan hutan dianggap menghambat pembangunan. “Itu tudingan kekanakan. Ketika menyuarakan kepentingan orangutan dianggap sebagai pembawa pesan pihak lain yang tak punya kepentingan. Toh pembangunan PLTA itu juga didorong oleh kepentingan perusahaan yang bukan dari Indonesia. Ketika menyuarakan orangutan kita, hutan kita, lalu dianggap menyuarakan kepentingan orang luar. Itu sama sekali tidak relevan,” katanya.

Sementara itu, General Manager Hotel Santika Medan, Ariestra Prasetio mengatakan, program NOWUC3 adalah sebuah ajakan bersama YOSL-OIC dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), untuk memperkaya informasi dan pengetahuan tentang orangutan. “Jadi hari ini kita launching NOWUC3, artinya anda bisa melihat saya, tidak hanya ketika ada kabar penganiayaan atau kematian orangutan,” katanya.

Santika Premiere Dyandra Hotel & convention Medan akan menggunakan seluruh sumber dan jaringan yang cukup besar tersebut untuk mendukung jerih payah YOSL-OIC dan YEL untuk menyokong kehidupan orangutan. “Dalam hal ini Santika Dyandra Medan menginisiasi agar jaringan Santika Indonesia untuk peduli kepada orangutan,” katanya.

Sumber: kompas.com

read more
Pejuang Lingkungan

Duo Srikandi Penjaga Orangutan Tapanuli Batang Toru

Tapanuli – Sudah sekitar 2 jam berjalan kaki dari desa terakhir dan kami masih jauh dari Camp Mayang. Jalur yang kami lewati semakin ke dalam hutan semakin liar, rapat dan berlumpur. Sepatu bot sebelah kiri saya sempat terperangkap. Jauh di depan, Sheila Kharismadewi Silitonga memimpin rombongan kecil kami; sesekali ia menjelaskan tentang Pongo tapanuliensis yang doyan memakan biji-bijian agatis. Kami lalu rehat di sebatang anak sungai.

Saya yang kebetulan sedang menstruasi, mulai tak nyaman. Saya mencolek Sheila. Harus ganti. “Ganti di sini aja, mumpung ada sungai. Nanti sampahnya dibawa, ya.” Saat mencuci, saya membatin Sheila harus melakukan kerepotan ini setiap bulan. Repot? Ternyata tidak.

Setelah 7 jam perjalanan atau setara 12 kilometer, kami tiba di Camp Mayang, sebuah stasiun monitoring flora dan fauna di ekosistem Batang Toru yang dibangun tahun 2007 oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Sumatran Orangutan Conservation Programme. Terpal biru yang menaungi pondok membuat kamp itu terlihat menonjol di tengah-tengah rimba hijau Tapanuli. Ada lima pondok utama dan satu pondok yang sedang dibangun.

Di sanalah kami bertemu rekan Sheila, Andayani Oerta Ginting, manajer monitoring di kamp itu. Sementara Sheila bertanggungjawab sebagai manajer riset. Keduanya dibantu lima staf laki-laki yang seluruhnya adalah warga lokal. Ekosistem Batang Toru memiliki luas sekitar 150 ribu hektare dan terbagi menjadi dua blok: timur dan barat. Camp Mayang berlokasi di blok barat, berada dalam kawasan Tapanuli Tengah. Di blok itulah habitat terpadat orangutan Tapanuli alias Pongo tapanuliensis.

Menjadi Sahabat Pongo tapanuliensis
Anda, panggilan akrab Andayani, lulusan kehutanan Institut Pertanian Bogor, bekerja lebih awal di Camp Mayang. Sebulan setelahnya, Sheila menyusulnya; lebih tepatnya: kembali masuk hutan. Sebelumnya Sheila, yang lulusan biologi IPB, sempat meneliti di kamp tentang perilaku orangutan di Batang Toru, yang saat itu masih dianggap satu spesies dengan Pongo abelii atau orangutan Sumatera.

Selagi mengerjakan penelitiannya, pada November 2017, sekelompok peneliti dari IPB, salah satunya dosen Sheila, Puji Rianti, mengidentifikasi bahwa orangutan di Batang Toru berbeda dari Sumatera. Spesies itu bernama Pongo tapanuliensis. Jumlahnya ditaksir 800-an individu.
Habitat orangutan Tapanuli kini terancam akibat proyek PLTA Batang Toru, yang dikerjakan oleh konsorsium bernama PT North Sumatera Hydro Energy, didanai oleh Bank of China senilai Rp21 triliun. Sejak itulah Sheila bertekad untuk memfokuskan riset mengenai Pongo tapanuliensis.

Sementara Anda berkomitmen untuk bekerja sesuai studinya, terutama dipupuk saat kegiatan pencinta alam di kampus. Bagi kamu yang suka petualangan, mungkin pengalamannya sama dengan Anda: Kamu capek luar biasa saat naik kali pertama ke hutan, menghadapi serangga dan ketakutan dan kesepian dan kegembiraan dan kehujanan di tengah jalan, tetapi kamu tahu kamu ketagihan ingin kembali ke hutan setelah tiba di tujuan.

Di Camp Mayang, Sheila dan Anda berfokus mencari dan mengawasi orangutan Tapanuli, meski selalu ada banyak hal dalam hutan selagi kamu mencari tujuanmu. Misalnya, mereka menemukan harimau Sumatera atau tapir yang sudah jarang terlihat. Pulau terbesar keenam di dunia ini kehilangan setengah hutan aslinya akibat perkebunan sawit, karet, dan kertas, menyetor perubahan iklim global sekaligus menyusutkan jumlah hewan paling endemik di Sumatera.

“Tiga bulan pertama kerja di sini masih ngeluh capek karena tiap hari kerjanya jalan menyusuri hutan,” ujar Anda, yang Maret lalu sudah setahun bekerja di Camp Mayang. Saat kegiatan observasi itu, biasanya mereka menghabiskan waktu 10 hari untuk mengikuti kegiatan satu individu orangutan saja. Tetapi tidak setiap hari mereka bisa mengamati orangutan. Bahkan bisa lebih dari sebulan tak satu pun individu orangutan yang ditemukan mereka.

“Kalau sudah begitu aku frustrasi banget. Frustrasi antara kami enggak bisa capai target riset sekaligus khawatir keadaan mereka,” ujar Sheila. “Jangan-jangan mereka mati…” Mereka pernah menemukan satu individu orangutan betina, yang mereka namakan Indah, membawa anaknya yang sudah mati. “Kemungkinan mati karena terjatuh,” ujar Anda. Setelah itu mereka tak pernah melihat Indah. “Dugaan kami juga meninggal karena stres anaknya mati.”

Bekerja di Hutan
Sheila, besar di Kota Bekasi, dan Anda yang lahir di Medan memutuskan bekerja di hutan dan meninggalkan yang serba praktis di belakangnya. Selamat tinggal internet. Selamat tinggal media sosial. Mereka berteman dengan penerangan malam karena genset cuma dinyalakan selama dua jam di kamp. Mereka kadang rindu dengan hiburan seperti bioskop atau sekadar makan di restoran cepat saji.

Maka, tiap hendak masuk hutan usai mengambil jatah libur, mereka tak hanya menyiapkan logistik bulanan tapi juga unduhan beragam film dan serial untuk tiga minggu ke depan. “Game of Thrones. Oh, please, kamu jangan kasih spoiler! Aku belum nonton,” seru Sheila. “Drama Korea, dong,” timpal Anda saat menjawab koleksi tontonannya.

Satu hari, usai menemani rombongan kami ke air terjun sembari mencari orangutan Tapanuli, saya melihat Anda kemulan di bawah selimut sambil menonton tutorial make up di YouTube. Kendati di hutan, Anda rajin merawat wajahnya dengan rangkaian skin care, dengan sejumlah merek yang saya kenal, bertumpuk di pondok tempat saya menginap bersama mereka.

Menjadi perempuan di hutan adalah perkara yang susah-susah gampang, tetapi Anda dan Sheila memiliki rekan kerja laki-laki yang respek terhadap mereka. “Awalnya sih diperlakukan kayak perempuan banget. Dibawain barang-barangnya. Enggak boleh kerja yang berat-berat. Sekarang mah boro-boro.

‘He… potong kayu bakar dulu kau, sana!’” Sheila menirukan salah satu staf seniornya sambil terkekeh. Mereka terbiasa bercanda, sekaligus mereka bisa menempatkan atasan maupun teman, bekerja dan bersenang-senang di hutan.

‘Love Struck’ dengan Orangutan
Keduanya sama-sama putus dengan pacarnya, tak lama setelah memulai pekerjaan ini. Keduanya terkikik geli saat saling mengakui cerita itu. “Love struck aku ya sama orangutan, bukan sama manusia,” cerita Sheila, tergelak.

“Waktu bertemu Togos aja aku sampai takjub. Ya ampuuun … dia ganteng banget!” Togos adalah pejantan orangutan Tapanuli yang biasanya menemui orangutan betina dengan anaknya.

Sementara “love struck” Anda saat menemukan Tarida, orangutan betina yang punya anak kembar, Domu dan Dame. Itu temuan yang sangat jarang karena betina orangutan melahirkan bayi kembar sulit diketahui, dan betina orangutan melahirkan bayi kembar umumnya lewat penangkaran atau karantina.

“Aku sempat berdebat … takutnya salah lihat. Tapi ternyata benar, anaknya ada dua! Aku kagum banget,” kata Anda. Populasi Pongo tapanuliensis didominasi oleh pejantan dan cuma segelintir betina yang aktif bereproduksi; itu pun umumnya hanya sembilan tahun sekali.

Orangutan Tapanuli dinilai spesies tersendiri karena memiliki genetika, morfologi, dan ekologi yang sangat berbeda dari orangutan Sumatera dan Kalimantan. “Rambutnya paling pirang di antara tiga spesies dan paling panjang. Yang jantan semakin tua biasanya akan memiliki janggut,” ujar Puji Rianti, dosen Sheila.

Kehadiran PLTA Batang Toru dikhawatirkan oleh para peneliti dan aktivis lingkungan, termasuk oleh Shiela dan Anda, menyusutkan habitat mereka serta memangkas jelajah orangutan di tiga kawasan hutan Tapanuli.

Terbaru, satu individu orangutan Tapanuli terekam melewati tapak proyek PLTA Batang Toru, mengafirmasi kecemasan para aktivis dan organisasi lingkungan bahwa habitat Pongo tapanuliensis sudah sangat terancam.

Sheila dan Anda mengambil pelajaran hidup dari segala keterbatasan hidup di hutan, menjadi sahabat orangutan Tapanuli dan jatuh cinta pada hewan paling endemik di dunia itu. Mereka merasa tak mengorbankan banyak hal. Manusia adalah spesies jawara perihal beradaptasi dengan lingkungan, tetapi manusia juga yang menjadi faktor determinan menghancurkan keanekaragaman hayati, termasuk mempercepat kepunahan orangutan.

“Hidup jadi terasa lebih sederhana di sini,” ungkap Sheila. “Dan itu membuat kami lebih bahagia.”[]

Sumber: tirto.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Proyek PLTA Batangtoru Munculkan Ancaman Kerusakan Lingkungan

Medan – Ekosistem Batangtoru di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diprediksi banyak aktivis lingkungan dan para ahli baik dari dalam maupun luar negeri, ke depan bakal menghadapi ancaman kerusakan serius. Setelah diobrak-abrik perusahaan tambang dan aktivitas illegal logging, saat ini kawasan seluas 168.658 hektare (ha) tersebut dihadapkan dengan ancaman proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yang sumber baku utamanya menggunakan air Sungai Batangtoru, di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tak hanya itu, warga lokal yang menentang pembangunan PLTA dan bendungan senilai USD1,6 miliar tersebut, semakin meluas menurut laporan dari sebuah misi pencarian fakta. Banyak dari masyarakat yang awalnya mendukung, kini bergabung dengan penentang lama dari kelompok lingkungan lokal dan internasional. Mereka bersatu menyerukan agar proyek yang didanai oleh Tiongkok tersebut, dihentikan.

Meski ditentang keras, namun North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek masih kukuh untuk menyelesaikan proyek pada 2022 seperti yang direncanakan. Sikap tak acuh perusahaan menyusul penolakan yang baru-baru ini dikeluarkan pengadilan Sumut atas gugatan yang dilayangkan oleh Walhi terkait proyek ini. Di mana, dalam gugatannya LSM lingkungan terbesar di Indonesia ini menentang pemerintah daerah karena mengabaikan bahaya lingkungan ketika mengeluarkan izin untuk proyek, dan telah menimbulkan kecemasan serius bagi penduduk setempat.

“Saya tidak ikut dalam addendum Amdal 2016,” tegas Onrizal dalam diskusi sekaligus konferensi pers di hadapan sejumlah wartawan lokal dan dari Jakarta, yang digagas Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Koalisi Penyelamatan Orangutan, di Hotel Wisata Indah Sibolga, Sumut, Selasa (30/4).

Selain Onrizal, hadir juga narasumber lainnya, yakni Hardi Baktiantoro (Founder & Principal Center for Orangutan Protection/COP), Panut Hadiswoyo (Founding Director – OIC), Puji Rianti (Peneliti dari Institut Pertanian Bogor/IPB), dan Burhanuddin (Manager Area Batangtoru Yayasan Ekosistem Lestari/YEL) serta tim dari YEL dan Sumatera Orangutan Conservation Program (SOCP).

Onrizal mengaku, dirinya memang pernah dilibatkan sebagai tim ahli untuk penyusunan Amdal mengenai izin PLTA Batangtoru. Namun keterlibatannya tersebut hanya untuk Amdal yang disahkan pada 2014. Setelah Amdal tersebut disahkan, Onrizal meyakinkan dirinya tidak pernah terlibat lagi. “Namun ternyata saya baru tau ada addendum Amdal 2016, dan nama saya dicatut di dalamnya termasuk tandatangan saya. Makanya saya keberatan,” ujarnya.

Keberatan Onrizal tentu bukan tanpa alasan, terlebih dalam dokumen amdal 2016 tak menyebutkan apapun tentang Orangutan atau harimau. Sementara dalam dokumen amdal 2014, yang dia tahu menyebutkan kedua spesies itu. “Sudah jelas orangutan bukan satu-satunya spesies terancam punah, ada juga harimau Sumatera di sana. Dokumen amdal yang baru tak mencantumkan orangutan atau harimau. Ada juga spesies yang dilindungi lain hilang [dari dokumen baru],” tegas Onrizal.

Onrizal sendiri bersama Walhi telah mengajukan laporan kepada Kepolisian Sumut sebanyak tiga kali atas tuduhan pemalsuan tanda tangan, tetapi polisi menolak. Alasan pertama penolakan, karena polisi memerlukan surat kuasa untuk memproses laporan. Kedua kali, polisi mengatakan, Onrizal perlu mengajukan laporan langsung, sebagai pihak pengadu. Ketiga kali, Onrizal mengajukan laporan langsung, tetapi polisi mengatakan mereka perlu amdal asli dan bukan salinan, serta bukti tanda tangan palsu untuk mendapatkan izin lingkungan.

“Itu tidak mungkin karena bukan saya yang membuat dokumen amdal terbaru. Tugas polisi mencari bukti. Alih-alih, kami disuruh mencari bukti dan dokumen asli sendiri,” kata Onrizal.

Perkembangan hukum atas kasus pemalsuan tandatangan dokumen Amdal untuk syarat pembangunan PLTA Batangtoru telah membawa dorongan baru yang kontroversial, dengan banyaknya penduduk setempat sekarang yang bergabung dengan koalisi penentang proyek. Mereka mengintensifkan upaya untuk membujuk pemerintah Indonesia dan mitranya dari Tiongkok, maupun mitranya dari Indonesia untuk menghentikan proyek.

Masuk ke dalam kontroversi, awal bulan ini The International Union for Conservation of Nature (IUCN), pemerintah dan badan ahli masyarakat sipil terkemuka dalam konservasi spesies, secara terbuka menyerukan moratorium pada semua proyek yang berdampak pada “Orangutan Tapanuli yang terancam punah.” Pesan tersebut secara khusus ditujukan untuk mendesak penghentian proyek NSHE.

Sumber: sindonews.com

read more
Green Style

Surga Tersembunyi Air Terjun Bulu Boltak di Batangtoru

Batangtoru – Air Terjun Bulu Boltak salah satu surga tersembunyi di dalam kawasan hutan lindung ekosistem Batangtoru. Berjarak 1 Km dari camp mayang, mata anda akan dimanjakan oleh pemandangan asri nan eksotik yang belum terjamah oleh manusia.

Ketinggian air terjun ini diperkirakan 20 meter lebih, dengan kedalaman lebih kurang 12 meter, sangat masih terjaga keasriannya.

Di sekitar air terjun masih terdapat tumbuhan liar khas hutan hujan Sumatera. Hamparan dedaunan hijau menambah keindahan alam ciptaan sang Maha Pencipta.

Salah seorang staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Project Batangtoru, Jhon Fery Manurung mengatakan bahwa Air Terjun Bulu Boltak ini sangat terjaga keasriannya. Ia pun berharap kondisi ini tetap alami tanpa adanya campur tangan manusia.

“Kalau lokasi ini terbuka untuk umum, bisa kita lihatlah seperti apa kerusakan yang bakal terjadi,” ucapnya sebagaimana dilansir Waspada Online, Kamis (2/5/2019).

Jhon menambahkan, Air Terjun Bulu Boltak ini merupakan salah satu penyuplai cadangan air untuk PLTA Sihaporas. Meskipun masih ada sumber air lainnya, namun keberadaan air terjun ini sangat membantu.

“Ini yang perlu kita jaga seterusnya bang. Biarkanlah air terjun ini tetap alami selamanya,” ucapnya.

Kelestarian Ekosistem Batangtoru sangat bergantung kepada manusia. Jika manusia tidak mengedepankan hawa nafsunya dengan mengeksplorasi seluruh kekayaan hasil buminya, maka keberadaan biodiversity yang ada di dalamnya dapat terjaga dengan baik.

Sumber: waspada.co.id

read more
1 2 3 5
Page 1 of 5