close

November 2013

Kebijakan Lingkungan

JPU Minta Agar Sidang Pidana Rawa Tripa Dilanjutkan

Sidang pidana kasus Rawa Tripa dengan terdakwa SR dan KY kembali berlangsung di PN Meulaboh dengan agenda pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi pengacara. JPU menolak semua eksepsi pengacara dan minta agar sidang pidana tetap dilanjutkan. Sedangkan pengacara meminta penangguhan terdakwa dan hakim mengabulkannya.

Sidang yang berlangsung, Selasa (26/11/2013) dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Arman Surya Putra SH, JPU Rahmat Nurhidayat SH dari Kejari Nagan Raya dan Tim Kuasa Hukum dari kantor pengacara Luhut B Pangaribuan. Hakim Arman Surya Putra sendiri telah mendapat sertifikasi hakim lingkungan dari Mahkamah Agung tahap pertama tahun 2013.

JPU Rahmat Nurhidayat, SH dalam pembacaan tanggapannya meminta hakim tetap meneruskan persidangan dan menolak eksepsi. Beberapa tanggapan yang disampaikan JPU antara lain menolak anggapan terjadi double jeopardy (orang yang sama disidang dua kali untuk kasus yang sama) dan locu (tempat kejadian), pemisahan berkas kedua terdakwa yang dituduhkan melanggar asas praduga dan dakwaan tidak cermat. JPU juga membantah bahwa kasus pidana ini merupakan desakan dari UKP4 di Jakarta.

Rahmat Nurhidayat mengatakan istilah Double Jeopardy tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Kasus perdata PT Kallista Alam yang sedang berjalan juga berbeda dengan kasus pidana ini. “Perdata membuktikan kebenaran formil saja, sementara pidana merupakan kebenaran sejati,” katanya. Sifat putusan kedua kasus ini juga berbeda, tambahnya.
Mengenai berkas yang dipisah atau tidak, menurut JPU itu merupakan kewenangan JPU. “Ini tidak ada hubungannya dengan pelanggaran asas praduga tidak bersalah,” katanya.

JPU mengatakan telah membuat dakwaan yang cermat dan teliti, memuat unsur ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah memasukan keterangan ahli agar fakta kasus bisa menjadi lebih terang, sudah menyebut lokasi secara detail, termasuk nama blok dan hari terjadi tindak pidana.  Lokasi-lokasi yang disebutkan juga berbeda, begitu juga luas lahan disebutkan berbeda dan rinci, serta penyebutan teknik pembukaan lahan yang dilakukan.

“ Saat terjadi kebakaran lahan, tidak ada upaya pemadaman yang dilakukan, tidak ada sistem penanganan kebakaran, peralatan pemadam kebakaran, akses mobil pemadam, petugas pemadam terlatih, dan program pengendalian kebakaran,” jelas JPU tentang rincian dakwaan.

Kedua terdakwa diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum/pidana dengan membuka lahan tanpa izin dan melakukan pembakaran yang merusak lingkungan di kawasan Suak Bakong kecamatan Darul Makmur kabupaten Nagan Raya, Aceh tahun 2012 lalu.

Penangguhan Penahanan
Usai pembacaan tanggapan dari JPU, tim kuasa hukum mengajukan surat penangguhan penahanan atas terdakwa SR yang merupakan Dirut PT Kallista Alam dan KY, manajer perkebunan. Mereka menyerahkan surat jaminan dari keluarga para tersangka, istri dan anaknya.  KY sendiri memiliki keluarga yang berdomisili di Riau.

Hakim Arman Surya Putra meminta agar para tersangka setelah mendapat jaminan tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mempersulit pemeriksaan dan tetap kooperatif.

Sidang pidana akan dilanjutkan pada Selasa (10/12/2013) di tempat yang sama. Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kalista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan tindak pidana kasus yang sama juga ditujukan kepada Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 33/Pid.B/ 2013/PN-MBO.

Perkara dimulai atas penyelidikan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti di Kejaksaan Agung di Jakarta.

Kemudian satu perkara pidana lagi terkait perizinan dengan terdakwa berinisial SR bernomor 132/Pid.B/2013/PN-MBO. Perkara pidana terkait perizinan ini berawal dari Surat Pemberitahuan Polda Aceh pada 22 Juni 2012 yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti Kejaksaan Tinggi di Aceh.[]

read more
Flora Fauna

Pemkab Aceh Barat Kembangkan Tanaman Kehati untuk RTH

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, mengembangkan 2,5 hektar taman keanekaragaman hayati (Kehati) untuk memenuhi kuota ruang terbuka hijau (RTH). Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan (BLHK) Aceh Barat Mulyadi saat dihubungi di Meulaboh  mengatakan dalam lokasi taman tersebut ditanami berbagai aneka tanaman pribumi yang akan dilestarikan.

“Selain memenuhi RTH Aceh Barat yang belum sampai pada target 30 persen yang dikelola oleh pemda, program ini juga langkah pemerintah untuk menjaga tanaman lokal yang sudah langka,” katanya, hari ini.

Ia menjelaskan, taman kehati tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan anak sekolah, lokasi penelitian, ekowisata/rekreasi dan pembibitan tanaman (nursery) serta pelestarian tanaman.

Mulyadi menjelaskan secara Undang-Undang Nomor 26/2007 tentang Tata Ruang diharapkan untuk suatu kawasan kota harus memiliki 30 persen dari luas kawasan, sementara Aceh Barat baru memiliki sekitar 10 persen.

Selain Aceh Barat, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh mengerakkan program pembangunan taman kehati kepada kabupaten lain yakni Kabupaten Aceh Singkil, Aceh Utara dan Pidie. Tiga kabupaten ini mendapat lima hektar.

“Karena luas kehati kita baru 2,5 hektare saya telah meminta pengajuan perluasan minimal 2,5 hektare lagi dan hal ini sedang menanti persetujuan Bupati Alaidinsyah,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakan, apabila ditotal secara keseluruhan Aceh Barat sudah memiliki lebih 30 persen RTH, akan tetapi tidak semua dikelola oleh pemerintah daerah karena wilayah itu memiliki tanah kosong yang tumbuh berbagai jenis pohon dan tanaman milik masyarakat.

Pada lokasi taman Kehati ini kata Mulyadi, dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti Balee Peuniyoh (tempat istirahat), MCK dan sekelilingnya di pagari dengan tanaman hijau.

Dalam tahap penyelesaian proyek sejak tahun 2013 itu, saat ini sudah disemai berbagai aneka pohon seperti Trem besi, sentang, Meranti, kayu kapur, gaharu, mahoni, kumbang, manee, pulai, Jati, Ketapang, Seumantok, matoa (tanaman papua) dan buah buahan.

“Untuk pemeliharaan berkelanjutan serta penyulaman didanai oleh Bapedal Aceh, nanti setelah diselesaikan baru taman ini diserahkan kepada Pemkab Aceh Barat,” katanya.

Sumber: waspada.co.id

read more
Hutan

Mendefinisikan Hutan Demi Meningkatkan Pemantauan REDD

Jika para pembuat kebijakan gagal mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana mereka mendefinisikan hutan, mereka mengambil risiko mengorbankan potensi keberhasilan program REDD+ yang didukung PBB, yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, kata para ilmuwan.

Suatu studi kasus baru-baru ini di Indonesia menemukan bahwa  tantangan seperti menentukan perkebunan eukaliptus dan jati sebagai “hutan” dapat memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana emisi karbon dari deforestasi dan degradasi diukur dan dilaporkan, dan bagaimana penyebab deforestasi dikaji, demikian menurut sebuah kajian.

“Definisi  menetapkan parameter yang dengan itu Anda menghimpun informasi mengenai hutan Anda di masa lalu, sekarang, dan masa datang, yang memungkinkan Anda mendesain skema REDD+ yang lebih efektif,” kata Louis Verchot, Direktur Penelitian Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang juga ilmuwan sekaligus penulis pembantu laporan baru.

“Jika definisi ini tidak jelas dan konsisten maka Anda akan mendasarkan penilaian keberhasilan Anda pada data yang tidak akurat. Anda mungkin berpikir mengalami dampak yang lebih besar dari yang sebenarnya.”

Penelitian tersebut, meninjau data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia dari 2000 sampai dengan 2009, menemukan bahwa tingkat deforestasi 28 persen lebih tinggi – 1,35 juta hektare lebih – bila menggunakan definisi nasional dibandingkan dengan definisi internasional, atau menggunakan definisi yang hanya mengakui hutan non-perkebunan.

Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terkemuka dunia — 85 persen di antaranya berasal dari konversi dan deforestasi lahan. Memilih definisi hutan yang tidak sesuai  dengan kondisi nasional dapat menyebabkan meluasnya area deforestasi yang dikecualikan oleh skema REDD+ dan tambahan 200 juta ton karbon yang dipompa ke atmosfer, ungkap laporan tersebut. Emisi ini harus diperhitungkan jika Indonesia ingin memenuhi janjinya untuk mengurangi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 26 persen pada 2020 dan untuk keberhasilan 44 proyek REDD+ yang saat ini sedang berjalan.

Studi kasus di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program REDD+, khususnya kebutuhan untuk secara akurat memonitor dan melaporkan emisi karbon dan tingkat deforestasi mereka.

Data yang dikumpulkan menggunakan citra satelit dan daftar persediaan karbon dipakai untuk menentukan referensi emisi pada tingkat nasional (REL) — patokan untuk mengukur keberhasilan tindakan REDD+ dan dasar untuk menghitung pembayaran kompensasi.

Dengan demikian, kegagalan dalam mengupas semua sumber utama deforestasi secara komprehensf karena kesulitan mendefinisikan hutan dapat mempengaruhi legitimasi skema, kata Verchot, dan itulah sebabnya mengapa pemerintah harus memilih dengan bijak.

“REDD+ memiliki insentif keuangan, sehingga pembuat kebijakan harus sadar ketika mengirimkan definisi kepada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim [UNFCCC] PBB bahwa mereka akurat dan menjaga cermat,” katanya menambahkan.

Perbedaan dalam Mendefinisikan Hutan 
Meskipun Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan agar negara-negara melaporkan hilangnya tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca menggunakan definisi yang diakui secara internasional, seperti definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi “deforestasi” dan “degradasi” dalam UNFCCC sendiri. Definisi tersebut berbeda-beda di setiap negara, bahkan di tingkat provinsi dan daerah dalam suatu negara.

Di Indonesia, sebagian besar definisi ditentukan oleh Kementerian Kehutanan (MOF) dan perkebunan (hutan tanaman tunggal, seringnya spesies non-pribumi) dianggap sebagai bagian dari domain hutan nasional.

Ini berarti bahwa di bawah Kementerian Kehutanan saat ini, perkebunan jati dan eukaliptus diklasifikasikan sebagai “hutan”, yang bisa memiliki implikasi emisi yang besar, kata Verchot.

Meskipun hutan tanaman memang menyimpan karbon, mereka berkontribusi terhadap pengurangan emisi bila ditanam di lahan kritis dengan kepadatan karbon yang rendah pada awalnya, kata dia menambahkan, sehingga sejarah tanah yang akan ditanami harus dipertimbangkan.

“Beberapa yang tidak masuk ke dalam definisi terbaru adalah hutan tanaman yang menggantikan hutan alam, seperti rawa gambut, yang melepaskan sejumlah besar emisi ke atmosfer,” katanya. “UNFCCC sangat spesifik bahwa emisi dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman harus dipertimbangkan dalam skema REDD+ nasional.”

Dengan pemikiran ini, ilmuwan CIFOR memutuskan untuk kembali memeriksa data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia untuk mengungkap sejauh mana definisi FAO, definisi “hutan alam” yang mengecualikan hutan tanaman, dan Departemen Kehutanan akan berdampak pada penilaian laju deforestasi dan penyebab deforestasi.

Studi ini menemukan bahwa antara 2000 dan 2009, laju deforestasi seluas 4,9 juta hektare terjadi saat menggunakan definisi FAO, 5,8 juta hektare saat menggunakan definisi “hutan alam” (18 persen lebih tinggi), dan 6,8 juta hektare saat menggunakan definisi MOF (28 persen lebih tinggi).

Pemilihan definisi menyebabkan hasil yang sangat berbeda
Sebagai contoh, di bawah definisi internasional FAO, semak  belukar dianggap hutan sekunder, berdasarkan tutupan dan tinggi kanopi. Ini berarti bahwa di Kalimantan dan Sulawesi, antara 2003 dan 2006, sebagian besar kawasan hutan sekunder yang dikonversi ke semak belukar tidak dihitung sebagai “deforestasi” berdasarkan definisi FAO.

Oleh karena itu, laju deforestasi dua kali lebih tinggi untuk definisi hutan alam Kementerian Kehutanan daripada definisi hutan alam FAO di daerah-daerah ini.

Bahkan, lebih dari setengah total luas area yang terdeforestasi di Indonesia pada 2000-2009 disebabkan oleh konversi hutan sekunder ke semak belukar berdasarkan definisi hutan nasional dan hutan alam, yang tidak diakui oleh definisi FAO.

Baik definisi menurut FAO maupun Kementerian Kehutanan tidak membeda-bedakan perkebunan dan hutan alam. Ini berarti bahwa ketika lebih dari 130.000 hektare lahan gambut, hutan bakau, dan hutan dataran tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman di Sumatera pada 2006-2009, mereka diakui sebagai digunduli hanya dengan definisi hutan “alam”.

Tanpa membedakan antara hutan alam dan hutan tanaman, data sering bisa menyesatkan, kata Verchot. Dia menunjuk ke lonjakan dalam laju “deforestasi” di Jawa antara 2003 dan 2006 di mana kedua definisi Kementerian Kehutanan dan FAO mengakui konversi 650.000 hektare perkebunan hutan menjadi lahan pertanian sebagai “deforestasi”, sedangkan definisi alami tidak.

Sementara pentingnya definisi hutan alam semakin diakui oleh LSM, organisasi penelitian, dan dalam perundingan-perundingan REDD+ UNFCCC, Verchot dengan cepat menyebutkan bahwa pilihan definisi terletak di tangan para pembuat kebijakan di Indonesia.

Namun, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.

Pertama, Verchot mengatakan, definisi internasional yang tidak sesuai dengan keadaan nasional dapat menyebabkan deforestasi yang signifikan.

Kedua, kata dia, “Bagaimana Anda mendefinisikan hutan sangat mempengaruhi apa yang Anda nilai sebagai penyebab deforestasi dan apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Jika definisi Anda tidak mengurangi porsi deforestasi secara signifikan, kebijakan untuk mengurangi deforestasi mungkin melewatkan bagian besar dari masalah dan tidak efektif.”

Sumber: cifor

read more
Hutan

Mangrove Si Satpam Lingkungan

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanaman mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.

Para ahli dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim. Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat.

Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Sumberdaya pesisir dan laut memiliki potensi besar baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Potensi tersebut diantaranya termasuk ekosistem khas pesisir seperti vegetasi hutan pantai, rawa, laguna, muara, terumbu karang. Ironisnya, eksploitasi menyebabkan kerusakan yang berlarut dan ini adalah sebuah tragedi lingkungan yang memalukan bila direfleksikan.

Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan pula, bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk kawasan hutan mangrove, seringkali memarjinalkan kewajiban dan hak-kelola masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Bahkan yang terjadi, masyarakat seringkali diperalat sehingga seringkali dikambinghitamkan atas segala kerusakan ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik.

Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi, mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Tanaman mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut, “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae,1968).

Mangrove membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu telah ditemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989).

Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India. Fungsi-fungsi tersebut tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di Indonesia baik secara fisika kimia, biologi, maupun secara ekonomis.

Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. (Claridge dan Burnett,1993).

Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik) yang mampu menyuburkan perairan laut. Selain itupun ekosistem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur.
Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara.

Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan.

Secara garis besar fungsi hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi, fungsi fisik, biologi, dan ekonomi. Fungsi fisik, yaitu berupa menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai, dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting.

Sedangkan fungsi biologi berupa nursery ground, feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya. Kemudian berfungsi sebagai habitat berbagai kehidupan liar. Terakhir, fungsi ekonomi berupa akukultur, rekreasi, dan penghasil kayu.

Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut.

Keadaan ini menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti ikan, udang, moluska dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat tumbuh.

Jika hutan mangrove hilang akan terjadi abrasi pantai yang dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan dan dapat mengakibatkan banjir, yang menyebabkan perikanan laut menurun serta sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang.

Ternyata tak ada ruginya menanam tanaman seperti ini. Selain sebagai penetral emisi karbon juga bisa sebagai penyeimbang ekosistem lokal. Pilih mana? Meningkatkan ekonomi dengan merusak alam, atau menjaga alam tapi bonusnya adalah peningkatan ekonomi[]

Sumber: teluk tomini

read more
Perubahan Iklim

COP-19 Warsawa Hasilkan Keputusan Implementasi REDD

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim ke-19 (COP19 UNFCCC) di Warsawa, Polandia berakhir pada Sabtu (23/11/2013) sekitar pukul 23.00 malam atau lebih lambat 29 jam dari jadwal penutupan. Hal ini disebabkan sulitnya mendapatkan kesepakatan akan keputusan tentang arsitektur kerangka kerja global untuk perubahan iklim pasca 2020 yang seharusnya disepakati eleman-elemen pentingnya pada pertemuan di Warsawa.

Beberapa keputusan penting yang berhasil disepakati, antara lain mengenai penajaman rencana kerja menuju kesepakatan 2015, the Warsaw Framework for REDD+, the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage, dan yang terkait dengan peningkatan dan penyaluran pendanaan perubahan iklim.

Negara-negara UNFCCC menyepakati bahwa pada COP21, akhir tahun 2015 di Paris, Perancis, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca 2020. Keputusan di Warsawa menegaskan perlunya tahap-tahap persiapan menjelang COP21, antara lain upaya setiap negara di dalam negeri masing-masing untuk menyiapkan kontribusi mereka yang akan menjadi bagian dari komitmen global pasca 2020, yang ditetapkan sendiri (nationally determined contribution) dan tanpa pretensi atas sifat hukum dari kontribusi tersebut (without prejudging the legal nature of the contributions).

The Warsaw Framework for REDD+ merupakan paket dari tujuh keputusan terkait implementasi lebih lanjut skema “reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) plus”, termasuk di dalamnya metodologi, koordinasi dan kelembagaan, safeguards, penyebab deforestasi dan pendanaan.

The Warsaw Framework for REDD+ diperkuat dengan komitmen penyediaan dana dari Amerika Serikat, Norwegia dan Inggris sebesar USD280 juta. Keputusan COP19 tersebut memberikan panduan perlindungan lingkungan dan membuka jalan untuk pelaksanaan penuh skema REDD+ di lapangan yang transparan dan terjamin pendanaannya.
Selain itu, telah disepakati operasionalisasi sistem MRV (measurement, reporting and verification) untuk aksi mitigasi perubahan iklim, termasuk untuk REDD+.

Sedangkan keputusan the Warsaw International Mechanism for Loss and Damage merupakan hasil kompromi perundingan antara negara berkembang –khususnya least developed countries (LDCs) dan aliansi negara kepulauan kecil (AOSIS) yang menginginkan mekanisme penggantian tersendiri atas kehilangan dan kerusakan (loss and damage) dari dampak perubahan iklim yang bukan bagian dari adaptasi–dan kelompok negara maju seperti Australia, Jepang, Uni Eropa, Norwegia dan Amerika Serikat yang menginginkan mekanisme penggantian tersebut masuk dalam konteks adaptasi. Mekanisme tersebut bersifat interim dan akan ditinjau kembali tiga tahun mendatang (2016).

Delegasi Indonesia melihat kompromi tersebut merupakan kemajuan perundingan walaupun komitmen negara maju dalam hal pendanaan, teknologi dan penguatan kapasitas masih dinilai kurang kuat dalam upaya menekan loss and damage sebagai dampak perubahan iklim.

Dari hasil perundingan pendanaan, COP19 memutuskan bahwa akan dilaksanakan high level ministerial dialogue on climate finance setiap dua tahun sekali mulai 2014 hingga 2020 untuk memastikan dilaksanakannya komitmen pendanaan sebesar USD100 milyar hingga 2020. Untuk mendukung pelaksanaan dialog tersebut, negara-negara maju diminta untuk menyampaikan informasi—setiap dua tahun sekali—mengenai strategi dan pendekatannya untuk memobilisasi pendanaan, dan Sekretariat UNFCCC diminta untuk melaksanakan beberapa lokakarya terkait peningkatan aliran pendanaan dari sumber publik, swasta dan alternatif.

Sementara itu, beberapa negara maju memberikan pledge kontribusi pendanaan kepada Adaptation Fund yang tengah mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu mendanai proyek yang telah disetujuinya. Total komitmen pendanaan dari negara maju yang dibuat di Warsawa mencapai lebih dari USD100 juta.

Menuju kesepakatan 2015
Menanggapi keseluruhan keputusan konferensi, Presiden COP19 yang juga Menteri Lingkungan Hidup Polandia, Marcin Korolec dalam siaran pers resmi COP19 mengatakan hasil konferensi Warsawa menjadi pintu pembuka menuju kesepakatan iklim yang universal pada tahun 2015, dengan meletakkan rancangan teks negosiasi perjanjian iklim baru yang universal untuk dibahas pada COP20 di Lima, Peru dan bakal diadopsi pada COP21 di Paris, Perancis pada tahun 2015.

Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim melihat adanya berbagai keputusan COP19 menjadi pijakan negosiasi selanjutnya untuk pencapaian keputusan yang mengikat pada 2015.

“Berbagai keputusan COP19 memberikan dasar yang kuat untuk pembahasan yang lebih mendalam di tahun mendatang dalam rangka merumuskan elemen-elemen kesepakatan 2015 yang mengikat (legally binding) dan melibatkan semua negara Pihak (applicable to all Parties),” kata Rachmat Witoelar .

Indonesia mengharapkan semua keputusan COP19 tersebut akan ditindaklanjuti dengan peningkatan komitmen negara – negara dalam upaya pengendalian perubahan iklim, khususnya komitmen penurunan emisi pra-2020 oleh negara-negara maju.

Melemahnya komitmen beberapa negara seperti Jepang dan Australia memberikan sinyal negatif atas kepastian pelaksanaan komitmen-komitmen yang dibuat di Warsawa.

Seperti diketahui, Jepang telah mengumumkan penurunan yang sangat drastis dari komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari 25 persen pada level emisi tahun 1990, menjadi 3,8 persen dari emisi tahun 2005 atau setara 3,1 persen dari level emisi tahun 1990.

Sedangkan Australia membuat kebijakan baru terkait perubahan iklim yaitu membubarkan Climate Change Authority dan Clean Energy Finance Company, serta membatalkan skema pasar karbon domestik.

Sekjen PBB Ban Ki-Moon sendiri akan menggelar UN Climate Summit yang dilaksanakan sehari sebelum Sidang Umum PBB pada 23 September 2013 yang bertujuan untuk mendorong seluruh kepala negara dan kepala pemerintah memberikan dan bahkan meningkatkan komitmen untuk penanganan perubahan iklim, mengingat urgensi akibat buruk dari berbagai dampak perubahan iklim.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Kejamnya Masyarakat Kota

Dewasa ini, pembangunan di kota-kota yang ada di Indonesia sudah semakin maju seiring tuntutan modernisasi. Gedung-gedung pencakar langit, perumahan mewah, dan perkantoran elit serta sekolah-sekolah megah ada di setiap sudut kota. Semua pembangunan yang dilakukan di Kota menimbulkan efek yang besar bagi lingkungan di sekitarnya. Tidak hanya itu, masyarakat yang tinggal di perkotaan sering tidak pernah berpikir bahwa akibat bangunan yang mereka tempati telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang tinggal di desa-desa yang dekat dengan sungai, hutan, dan pegunungan.

Bagi kita yang berdomisili di Kota Banda Aceh misalnya, mudah kita melihat sendiri secara langsung hasil pembangunan yang telah dilakukan selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi kembali Aceh pasca bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada bulan Desember 2004 yang lalu.

Jika kita bicara pembangunan di sebuah kota, maka kita akan bicara tentang perencanaan pembangunan yang dilakukan disana oleh Bupati/Walikota. Biasanya, berbagai konsep pembangunan kota lahir dari para pengambil kebijakan tanpa memandang akibat yang akan ditimbulkan ketika pembanungan mulai dilakukan hingga selesai dilaksanakan. Strategi pembangunan yang demikian tentu saja membuat lingkungan hidup rusak. Masyarakat pedesaan menanggung akibat yang begitu besar dari pembangunan yang terus terjadi di kota.

Secara sosial, kota seharusnya menjembatani berbagai kehidupan masyarakat yang menyentuh pemenuhan ekonomi, budaya, politik, dan hal-hal lainnya yang berkaitan juga untuk kesejahteraan penduduk yang tinggal di pedesaan. Karena semua bahan baku bangunan di kota berasal dari desa sudah seharusnya pemerintah kota dan masyarakatnya memiliki perilaku yang ramah lingkungan. Jangan hanya memaksakan kehendak demi kemajuan kota yang ditinggali tanpa memikirkan efek besar bagi masyarakat yang bermukim di desa-desa.

Pembangunan di kota membutuhkan kayu, pasir, tanah, semen, dan batu. Semua bahan-bahan bangunan tersebut diambil dari hutan, gunung, perbukitan, dan sungai yang ada sumbernya dekat dengan tempat tinggal penduduk desa. Batu bata yang menjadi bahan baku utama sebuah bangunan memang berasal dari desa hasil karya masyarakat disana. Akan tetapi, tuntutan kebutuhan untuk pembangunan di kota membuat masyarakat mencari sumber tanah yang berasal dari perbukitan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Hal ini, berdampak buruk ketika curah hujan tinggi yang membuat longsor area tempat tinggal mereka. Juga, semen yang paling dibutuhkan didirikan pabriknya oleh pengusaha dengan izin dari pemerintah telah menimbulkan efek yang begitu besar bagi kelangsungan hidup masyarakat di desa sekitar pabrik tersebut.

Bencana banjir bandang akibat penebangan hutan yang sembarangan sering memakan korban banyak dari penduduk desa yang tinggal di dekat sungai. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut digunakan untuk kepentingan pembangunan di kota. Aturan yang sudah dibuat oleh pemerintah seharusnya menjadi payung hukum bagi masyarakat desa menuntut masyarakat kota dan pemerintah berwenang atas tindakan mereka menebang hutan sehingga merusak ekosistem di sekitar tempat masyarakat desa tinggal.

Bahan bangunan berupa pasir dan bebatuan juga berasal dari sungai-sungai dan pegunungan yang dekat dengan tempat tinggal masyarakat desa. Izin Galian C terhadap para pengusaha diberikan begitu mudah oleh pejabat di perkotaan. Tanpa ada proses uji kelayakan sama sekali akan dampak yang ditimbulkan setelah galian dilakukan. Hal ini, sering sekali menghadirkan petaka besar bagi masyarakat desa di pinggiran sungai. Sudah terlalu banyak bencana yang telah terjadi akibat proses Galian C yang dilakukan oleh pengusaha nakal tersebut. Hal ini harus menjadi perhatian besar pemerintah kita. Selain kerusakan alam di sekitar area pengerukan pasir, aktivitas galian C juga telah mematikan  sumber mata air di lereng pegunungan. Air yang begitu penting bagi kehidupan masyarakat di desa pun telah berkurang.

Aktivitas penambangan yang dilakukan pengusaha Galian C telah membuat mata air di lereng pegunungan dan di bawah mengering. Sejauh apapun tanah yang digali tetap akan sulit mendapatkan air jika aktivitas itu terus dilakukan. Akibatnya, ketika hujan deras turun selama 2 (dua) hari saja maka longsoran tanah akan terjadi. Belum lagi rusaknya jalan, jembatan, dan debu berterbangan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota. Akibat negatif dari proses penambangan galian C di Aceh telah banyak dibicarakan media cetak baik lokal maupun nasional. Sungguh telah mencapai titik nadir akibat kerusakan alam yang ditimbulkannya.

Tak salah, apabila penulis mengatakan bahwa penduduk yang tinggal di kota atau masyarakat yang ada di perkotaaan termasuk di Aceh memang kejam. Secara tidak langsung, mereka telah berpartisipasi terhadap timbulnya bencana alam yang diderita sepihak oleh saudara-sauadara mereka yang bertempat tinggal di desa-desa yang dekat dengan hutan, sungai, dan pegunungan yang ada di wilayah Aceh.

Dampak negatif dari pembangunan kota terhadap kualitas kehidupan sosial masyarakat desa sangat besar. Kehadiran bangunan-bangunan baru di kota untuk menjadikan kota tempat kita tinggal sebagai kota impian ternyata berdampak besar bagi kelangsungan ekosistem di pedesaan.

Sekali lagi, Pemerintah Aceh yang sekarang harus lebih komit terhadap isu kerusakan lingkungan akibat dari sebuah proses permbangunan. Hal ini mejadi begitu penting mengingat masa depan generasi muda Aceh dipertaruhkan kelangsungan hidupnya dari baik buruknya sebuah kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup. Apalagi, hutan, pegunungan, sungai, dan lautan adalah sumber kehidupan yang besar apabila dipelihara dengan baik dan diikat dengan peraturan yang bijaksana tata pengelolaannya.

Masyarakat yang tinggal di kota harus bersikap lebih adil terhadap saudaranya yang ada di desa-desa. Jangan jadikan alasan kemajuan di kota untuk menyerobot lahan masyarakat desa seenak udelnya saja. Tindakan pengusaha kota yang yang merusak hutan, menggali sungai, dan mencari bahan tambang penting lainnya tak bisa termaafkan bila memakan korban jiwa dari bencana yang ditimbulkan. Sikap kejam  masyarakat kota sudah selayaknya diubah bila ingin melihat Aceh damai dan sejahtera selamanya.[]

read more
Ragam

Rio Tinto : Perusahaan Tambang Paling Bahaya di Dunia

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTL) Kutai Barat mendesak Pemerintah Indonesia menunda dan tidak tergesa-gesa menandatangani nota penutupan tambang dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai seluas 6.750 Ha dari PT. Kelian Equatorial Mining (KEM) milik Rio Tinto. Nota tersebut akan memindahkan beban tanggung jawab mengurus 77 juta ton tailing di dam Namuk, pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan dan sosial yang belum juga dipulihkan dari PT. KEM/Rio Tinto ke Pemerintah Indonesia.

PT KEM milik Rio Tinto, perusahaan tambang mineral dan batubara terbesar di dunia asal Inggris, beroperasi sejak 1992 hingga 2004. Pertambangan ini menghasilkan 14 ton emas serta 13 ton perak setiap tahunnya. Sejak mulai eksplorasi terjadi rentetan kasus pelanggaran HAM, mulai perampasan tanah masyarakat adat dayak, serta pertambangan rakyat, kekerasan hingga kejahatan seksual Perhadap perempuan, kematian Edward Tarung di Tahanan Polres Kutai Kertanagara.

Masalah-masalah serius yang ditinggalkan Rio Tinto, Pertama, dua dam berisi 80 juta ton limbah tailing di dam Nakan dan Namuk, berada di hulu Sungai Kelian dan Sungai Nyuatan yang mengalir hingga Sungai Mahakam. Jelas ini bom waktu yang akan meneror Mahakam dan warga Kutai Barat.; Kedua, kasus kejahatan seksual terhadap puluhan perempuan Kelian oleh karyawan PT KEM sampai hari ini tidak jelas nasibnya.

Kasus itu seolah dicuci lewat pemberian uang pengganti ‘malu’, tidak menggoreskan nota predikat kejahatan Rio Tinto sebagai pemilik 80 persen saham dalam PT KEM. Bahkan salah satu pelakunya, Ismail Thomas, kini menjabat sebagai Bupati Kutai Barat;

Ketiga, jaringan listrik yang dijanjikan tidak kunjung terwujud, bahkan di Kampung Tutung dan Kelian Dalam masyarakat hanya mengandalkan Genset. Ditambah lagi kehidupan ekonomi masyarakat yang tidak menentu memaksa mereka masuk ke kawasan bekas tambang PT. KEM untuk mendulang emas secara tradisional. Ini lah yang memicu bentrok masyarakat dengan aparat keamanan, yang berujung dengan penembakan salah satu warga pada 2008;

Keempat, Pengelolaan dana abadi sebesar USD 11,2 juta seperti yang tertuang dalam Komunike KPPT No 5 27 Februari – 1 Maret 2002, sama sekali tidak transparan. Dana abadi yang tersimpan di bank HSBC Singapura tersebut bunganya dikelola oleh PT. Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL), sebuah badan hukum bentukan PT. KEM untuk melaksanakan reklamasi dan reboisasi kawasan pinjam pakai tersebut.

Oleh karena itu, JATAM dan LKMTL dengan tegas menuntut kepada Pemerintah Indonesia untuk menunda penandatanganan dan serah terima Kawasan Pinjam Pakai hingga PT. KEM menyelesaikan semua tanggung jawabnya dan memulihkan hak masyarakat Lingkar tambang.

Mengapa publik perlu mengetahui seluruh cerita pemburukan kehidupan sosial ekologi masyarakat Kelian?

Karena Rio Tinto hingga saat ini masih tetap dengan leluasa membuka dan merencanakan lokasi-lokasi tambang baru di Indonesia dengan berbagai macam wajah. Pada tanggal 13 Desember 2012, Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Kepmen No 3323 K/30/MEM 2012 tentang penciutan IUP Eksplorasi PT Sulawesi Cahaya Mineral yang semula seluas 50.700 (lima puluh ribu tujuh ratus) hektar (luas wilayah semula) dikurangi 6.633 Hektar menjadi 44.067  Hektar.

Lokasi tambang ini berada di dua Kabupaten dan Provinsi, yakni Morowali Sulawesi Tengah dan Konawe Utara Sulawesi Tenggara. Sudah sepatutnya Rio Tinto dihukum sebagai perusahaan paling berbahaya di dunia, atas kejahatan mereka di masa lalu. Agar tidak leluasa menciptakan ketidakadilan di bumi Sulawesi.

Sumber: jatam.org

read more
Green Style

Hijrah Purnama Sulap Sampah Plastik Jadi Kerajinan

Keprihatinan dan kecemasan Hijrah Purnama terhadap limbah sampah plastik mulai ia rasakan ketika duduk di bangku kuliah. Bermula dari mencuci sampah plastik yang dilakukannya bersama teman-temannya, lalu sampah-sampah tersebut dikumpulkan dalam kamar kost.

Sejenak, ia bingung dan belum tercetus ide untuk mengolah sampah plastik tersebut menjadi bermanfaat dan berdaya guna.  Ide untuk mendaur ulang sampah menjadi barang-barang layak guna akhirnya lahir. Ia bersama koleganya menamakan usaha daur ulang sampah mereka yaitu Project B Indonesia. Berikut wawancara dengan Mas Hijrah sebagaimana dilansir oleh Mongabay-Indonesia.

Mongabay-Indonesia: Apa yang melatarbelakangai anda untuk membuat saur ulang sampah, Project B Indonesia ?
Keprihatinan.  Awalnya hanya itu, banyaknya kantin/cafe atau yang biasa kita sebut burjo di lingkungan kampus menggerakkan kami untuk berbuat sesuatu. Di bangku kuliah selalu disuguhkan materi-materi tentang pengelolaan lingkungan membuat kami merasa risih dengan sampah yang dibiarkan begitu saja, hanyut di sungai, ditimbun ataupun dibakar. Orang-orang melakukan hal tersebut karena tidak paham, jadi kalo bukan kami? Siapa lagi yang peduli? Begitu yang terbesit didalam pikiran beberapa tahun yang lalu.

Mongabay-Indonesia: Siapa saja yang terlibat awal dalam project ini dan kapan dimulainya ?
Kami memulai project ini pada April 2008 dengan anggota berjumlah empat orang dan semuanya masih berstatus mahasiswa, dua mahasiswa S1 dan dua lagi mahasiswa S2. Boleh dibilang kegiatan ini tanpa modal, berawal dari hobi sering nongkrong di burjo, akhirnya memberanikan diri untuk meminta pemilik burjo untuk mengumpulkan sampah plastik kemasan. Satu minggu sekali diambil dan selama satu tahun pertama setiap Sabtu dan Minggu, kegiatan kami adalah menghitung, mencuci dan menjemur sampah plastik. Setelah kering sampah dipilah sesuai jenisnya. Sambil berjalan kami melatih kemampuan komunikasi kepada masyarakat. Kegiatan awal kami lakukan dengan sosialisasi pengelolaan sampah di beberapa desa di wilayah Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta. Sambutannya luar biasa, satu tahun pertama kami sudah bisa membuat beberapa desa secara sukarela mengumpulkan sampah plastik yang dihasilkan setiap rumah untuk disetorkan kepada kami.

Mongabay-Indonesia: Mengapa diberi nama Project B Indonesia?
Tidak ada alasan khusus kenapa kami namai kegiatan kami dengan Project B Indonesia, banyak usul nama dari empat orang anggota awal, tapi kami memilih Project B Indonesia. Banyak plesetan yang kami buat, B bisa berarti burjo karena awal idenya berasal dari tongkrongan burjo. Ato bisa juga B itu adalah awal, akan ada bisnis selanjutnya karena alphabet masih 24 huruf lagi..

Hijrah Purnama Putra (paling kiri) bersama para pengunjung dari Salatiga | Foto: Dok: Project B indonesia

Mongabay-Indonesia: Mengapa sampah plastik yang menjadi objek daur ulangnya mengapa tidak kertas dan yang lainya?
Plastik itu banyak jenisnya, kalau menurut referensi ada tujuh jenis plastik.. HDPE, PE, PP dan lain-lain. Kami memilih jenis plastik kemasan dengan lapisan alumunium foil. Berbeda dengan plastik yang lain dapat didaur ulang menjadi produk lain. Tapi jenis plastik beralumuniumlah yang kami fokusi, plastik jenis ini tidak laku dijual, membuat pemulung-pun tidak mau mengambil jenis plastik ini. Padahal kita tahu jumlah sampah jenis ini terus meningkat, hampir semua produk dibungkus dengan kemasan. Kadang orang membeli produk tidak mementingkan isi tapi lebih tergoda karena melihat kemasannya.

Mongabay-Indonesia: Dari mana sampah-sampah plastik itu anda dapatkan? membeli dari pemulung sampah atau bagaimana?
Dari masyarakat, kami mengelolanya dalam bentuk Bank Sampah. Tapi berbeda dengan bank sampah pada umumnya, kami hanya menerima sampah kemasan. Tentunya sebelum menabung kami mensosialisasikan tata cara penabungan, pengelolaan rekening, dan pencairan dana. Saat ini telah ada 150 nasabah yang tercatat dalam sistem kami. 150 nasabah ini bukan berarti 150 orang, tapi jika dihitung jumlah orangnya bisa mencapai 600 orang, karena 1 nomor rekening bisa terdiri dari 60 sampai 80 orang. Pengelolaan Bank Sampah ini juga cukup unik, jika bank sampah lain hidup dari hasil tabungan nasabah melalui pemotongan langsung berupa biaya adminitrasi, berbeda dnegan sistem kami. Kami tidak melakukan pemotongan sedikit pun dari sampah yang ditabungkan oleh masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kami menghidupi bank sampah kami? Ya, dari jualan produk, kami memutar semua keuntungan penjualan untuk biaya pengelolaan, termasuk kegiatan sosialisasi yang kami lakukan setiap bulannya, promosi, pameran dan kegiatan lainnya. Jadi, kami selalu mengatakan jika memakai produk daur ulang ini tidak hanya membuat kami untung, tapi lebih dari 600 orang juga akan diuntungkan dengan program ini. Disamping nilai-nilai lingkungan yang begitu besar yang bisa kita dapatkan dari program ini.

Mongabay-Indonesia: Apakah ada komunitas atau kelompok yang diuntungkan dari Project B Indonesia ?
Pasti ada, keuntungan terbesar adalah bagi nasabah yang berasal dari berbagai wilayah di Yogyakarta.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana dengan respon masyarakat (pasar) terhadap procuk hasil daur ulang sampai saat ini ? Apakah tidak ada ketakutan dengan persaingan produk terkenal ?
Respon masyarakat semakin hari semakin baik, masyarakat saat ini sudah terbiasa dengan slogan 3R (reduse. reuse and recycle). Sudah lumayan tidak risih lagi melihat produk daur ulang. Sudah jauh sekali peningkatannya ketika kami baru mulai di tahun 2008. Setiap produk tentunya sudah dipikirkan segmennya, kami mengejar segmen mahasiswa dan ibu-ibu. Mahasiswa kami sediakan berbagai produk seperti tempat pencil, tas laptop, backpack dan lainnya. Sedangkan ibu – ibu kami sediakan tas belanja ke pasar, tas laundry dan lain-lain. Bersaing dengan produk terkenal? Wah tidak ada apa-apa nya, produk kita dibandingkan produk mereka.

Berbagai sampah plastik berdaya guna untuk kebutuhan rumah tangga kerja dan kuliah

Mongabay Indonesia: Konsep daur ulang sampah di Jogja dan Indonesia saat ini seperti apa ?
Sebenarnya di Jogja sendiri sudah cukup baik dibandingkan dengan kota-kota lain di wilayah Indonesia. Jogja telah memiliki paguyuban pengelola sampah mandiri, saat ini kalau saya tidak salah sudah ada 50-an desa yang telah melakukan pengelolaan sampahnya secara mandiri. Kebanyakan dari desa tersebut memang tidak dilayani oleh pengangkutan dinas kebersihan, jadi mereka mau tidak mau harus mengolah sampahnya sendiri selain menimbun, menghanyutkan disungai ataupun membakar.

Mongabay-Indonesia: Apa kendala yang dihadapi selama berjalannya Project B Indonesia ?
Pasti setiap usaha ada kendalanya. Selam ini yang kami alami, mulai dari bahan baku, bank sampah, pegawai, produk, pemasaran pernah menjadi masalah. Kesempatan “bermasalah” itu kita jadikan sebagai sarana belajar. Konsepnya adalah learning by doing. Jadi enjoy-enjoy saja pas ada masalah.

Mongabay Indonesia: Apa saja capaian yang sudah didapat sejak dimulainya Project B Indonesia ?
Sejak berdiri sampai sekarang alhamdulillah sudah banyak capaian yang dapatkan, awal bekerja tanpa pegawai sekarang sudah ada lima pegawai tetap yang membantu kami. Dulu belum punya showroom, sekarang sudah ada walaupun bentuknya masih minimalis. Dulu belum pernah kirim barang keluar negeri, sekarang sudah beberapa kali “mengimpor” sampah ke Philipine, Jepang, Amerika dan Jerman. Tentunya semua itu kita syukuri dengan rasa syukur yang luar biasa.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana dengan respon dan peran pemerintah terhadap pelaku usaha daur ulang seperti yang anda geluti?
Responnya cukup baik, beberapa instansi sudah rutin memesan produk daur ulang kami untuk kegiatan yang mereka lakukan. Tapi untuk respon yang lain belum ada sampai saat ini.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
1 2 3 4 5 18
Page 3 of 18