close

November 2013

Ragam

Sokola Rimba, Potret Pendidikan Anak Rimba

Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar, banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.

Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi, Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80 anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan peran mereka.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.

Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.

Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.

Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.

Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.

Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.

Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.

Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.

Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.

Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.

Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.

Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana, produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.

Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.

Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi. Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup antusias menonton bareng.

Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.

Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign, dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan Kupang.

Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik.

Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Energi

Indonesia Harus Fokus Kembangkan Energi Surya Secara Efisien

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi surya sebagai energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pemerintah perlu fokus pada upaya mengembangkan sel surya komponen panel surya dengan efisiensi tinggi. Serta merencakan kebijakan yang mendukung aplikasinya.

Rosari Saleh, dosen dan peneliti sel surya di Universitas Indonesia mengungkapkan hal itu dalam perbincangan dengan Kompas.com usai kuliah inagurasi sebagai anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rabu (20/11).

Menurut Rosari, untuk mengembangkan sel surya dengan efisiensi tinggi, Indonesia bisa melakukan dengan mengimpor produk negara maju yang punya efisiensi tinggi serta memproduksi barang dengan kualitas yang sama di dalam negeri. “Tiru gaya Cina saja,” cetus Rosari.

Pada saat yang sama, pemerintah bisa mendukung peneliti untuk mengembangkan produk sel surya yang diimpor sehingga memiliki efisiensi lebih tinggi. Langkah tersebut lebih efektif daripada harus memulai mengembangkan sel surya dari nol.

“Untuk produksi, saya yakin sumber daya manusia kita sudah bisa. Mahasiswa-mahasiswa kita bahkan sudah bisa karena pada dasarnya mereka sudah memahami komponen sel surya dan cara kerjanya,” jelas Rosari.

Panel surya yang telah dihasilkan bisa dijual kepada masyarakat. Namun agar terserap dan masyarakat bisa memakainya, perlu dukungan pemerintah dalam memberikan subsidi pembelian sel surya.

“Agar masyarakat bisa membeli panel surya dengan harga lebih murah,” katanya.

Mekanismenya, pemerintah bisa memberi subsidi perusahaan yang telah menghasilkan sel surya saat ini. Dengan demikian, harga jual sel surya lebih murah. “Misalnya masyarakat beli dengan tiga perempat harga sebenarnya, seperempatnya disubsidi pemerintah,” ujarnya.

Rosari mengatakan, efisiensi sel surya memang saat ini masih rendah. Namun, aplikasinya untuk memanen tenaga surya yang melimpah perlu dimulai saat ini. Walaupun efisiensi masih rendah, jumlah energi yang bisa dihemat besar.

“Memang efisiensinya rendah. Taruhlah efisiensinya cuma 10 persen, tetapi kalau dipakai banyak orang, kita bisa hemat kebutuhan energi kita sampai tahun 2050. Kita tidak pusing lagi dengan harga minyak,” jelasnya.

Rosari mengatakan, energi surya adalah salah satu cara untuk mewujudkan otonomi energi, dimana masyarakat mampu menghasilkan energi untuk kebutuhannya.

Pengembangan surya sebagai energi terbarukan adalah keharusan. Indonesia terletak di khatulistiwa dengan energi surya yang melimpah namun belum banyak dimanfaatkan. Sementara, Indonesia sudah tidak bisa lagi bergantung pada minyak.

Sumber: KOMPAS.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Tim Unsyiah Presentasikan Hasil Survey Rawa Tripa

Hasil survey hutan gambut Rawa Tripa yang terletak di Kawasan Ekosistem Leuser menemukan keberadaan orangutan dan jejak harimau serta berbagai macam spesies dalam hutan yang terancam punah tersebut. Hasil survey yang bertitel Scientific Studies for The Rehabilition Management of The Tripa Peat Swamp Forest, menghabiskan dana Rp1,8 miliar ini dipaparkan Tim Unsyiah, Kamis (21/11/2013) di Lantai III Ruang Tampilan Potensi Daerah Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh.

Tim menyebutkan banyak species burung dan ikan yang ditemukan dalam kawasan tersebut.

“Kami juga menemukan tapak harimau di kawasan gambut tripa,” kata Abdullah salah seorang tim ahli Unsyiah bidang Biodeversity pada presentasi hasil survey tim Unsyiah terhadap kawasan gambut di Tripa, Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

“Kami temukan banyak sarang Orangutan di kawasan gambut tripa pada lahan-lahan yang masih ada hutan,” kata Abdullah tegas. Hal yang sama juga diungkapkan Tim Ahli yang lain, Masimin.  “Saya melihat ada lima ekor Orangutan di Rawa Tripa, saat melakukan survey,” katanya.

Kritik terhadap Hasil Survey
Koordinator project, Agus Halim mengatakan banyak kendala oleh tim ahli sehingga hasilnya perlu disempurnakan lagi.

“Kita mendapat bantuan dana dari United Nations Development Advertisment Programme (UNDP) yang dikontrol oleh Satgas REDD+ dan UKP-4 sebesar Rp1,8 miliar untuk survey kajian lahan gambut di tripa,”katanya.

“Anggota tim ahli ada 20 orang, 17 dari tim Unsyiah dan tiga orang lagi dari Institute Pertanian Bogor (IPB),” kata Agus Halim juga ditegaskan kembali oleh salah seorang tim, Hairul Basri Kepada wartawan, usai menyampaikan presentasi. Kendala yang dihadapi tim ahli salah satunya karena bekerja dalam bulan puasa.

Selain itu juga ada beberapa perusahaan yang tidak memberi izin masuk ke lahan gambut. “Ada perusahaan PT. SPS dan PT. Kalista Alam, hanya dua perusahaan itu, sedangkan yang lain kita bisa masuk,” ungkapnya.
Salah seorang staff perusahaan dari PT. SPS yang hadir pada acara itu, M. Iqbal mengatakan kedatangan tim Unsyiah tidak diberitahukan jauh-jauh hari sebelumnya. “Tolong harga kami dari perusahaan, karena kami juga punya sistem kerja,” kata Iqbal.

Zulfansyah dari Dinas Kehutanan Aceh juga mengkritisi hasil survey tersebut.  “Dalam executive summary yang disampaikan ini ada kontradiksi yang menyembutkan kawasan hutan merupakan sebagian hutan lindung, tapi dibagian yang lain disebutkan juga secara yuridis kawasan hutan gambut itu belum ditetapkan sebagai kawasan yang lindung, ini mana yang betul,” kata Zulfansyah.

Kesempurnaan hasil survey ini diakui tim ahli Unsyiah belum sempurna. “Nanti kita akan sempurnakan kembali,” kata Agus Halim setelah mendapat masukan dan sumbang saran dari Perusahaan, Pemerintah Aceh dan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT).

Ada sembilan kajian yang dilakukan Unsyiah dalam survey lahan gambut di tripa, yaitu perencanaan restorasi lahan rawa, sosial ekonomi, biodeversity, ekologis, legal aspek, tehnical design, canal bloking, stock karbon di permukaan atas dan stock karbon di permukaan bawah.[]

Sumber: Sumber: Acehterkini.com

read more
Tajuk Lingkungan

Memaknai Darurat

Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata “Darurat” berarti (1) keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dl bahaya, kelaparan, dsb) yang memerlukan penanggulangan segera dari Pemerintah untuk mengatasi keadaan; (2) keadaan terpaksa: Pemerintah dapat segera memutuskan tindakan yang tepat; (3) keadaan sementara: mereka ditampung dl suatu bangunan. Definisi ini dapat dicari pada situs www.KamusBahasaIndonesia.org.

Pertanyaan selanjutnya adalaha adakah di Aceh berlaku kembali keadaan darurat akibat suatu keadaan? Sebagai perbandingan ketika di Aceh diberlakukan keadaan darurat militer maka pemerintah mengambil tindakan khusus saat itu. Banyak hal yang dalam masa normal boleh dilakukan namun dalam masa darurat tidak dapat dilaksanakan. Misalnya saja setiap orang yang berpergian harus membawa KTP. Jangan coba-coba lupa, urusan bisa jadi panjang dan berbuah maut terkadang.

Nah, bagaimana kalau dikatakan Aceh berada dalam kondisi darurat ekologis? Apakah istilah ini sudah tepat dengan kondisi lingkungan Aceh saat ini? Jika memang darurat ekologis diterapkan berarti ada suatu tindakan khusus yang dilakukan, sebuah tindakan yang dalam masa normal sebenarnya tidak dilakukan. Kebijakan dimasa darurat tentu saja dikeluarkan demi kemaslahatan orang banyak.

Berbicara masalah lingkungan, sudah kita ketahui banyak terjadi perusakan hutan, alih lahan, penambangan di hutan lindung dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya. Kerusakan ini menimbulkan bencana yang merugikan umat manusia terutama manusia yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaatkan dari pengerukan sumber daya alam tersebut.

Berbagai kejadian bencana sudah terjadi melampaui intensitasnya. Berbagai lembaga pemerhati lingkungan secara rutin mencatat pelbagai bencana tersebut. Sehingga muncullah wacana untuk menerapkan Darurat Ekologi di Aceh.

Darurat ini dipandang penting dalam rangka pemulihan kembali lingkungan ekologi di Aceh. Tentunya dalam kondisi darurat dapat diambil langkah-langkah di luar kebiasaan oleh pemerintah Aceh, misalnya saja menghentikan atau mencabut izin tambang, menghentikan usaha galian C dan sebagainya. Tentunya tindakan ini harus didahului dengan kajian yang serius untuk mengurangi dampak dari penerapan darurat itu sendiri.

Ini memang faktanya yang tak terbantahkan walau tidak nyaman. Seperti meminjam istilah dari tokoh gerakan melawan perubahan iklim, Al Gore, yang memakai istilah Inconvenient truth untuk menyebut fakta-fakta yang tidak menyenangkan terkait dengan perubahan iklim. Saatnya untuk bertindak.[m.nizar abdurrani]

read more
Flora Fauna

Membangun Komunikasi dengan Gajah

Kondisi Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) kini diambang kepunahan. Sebuah badan dunia The World Conservation Union (IUCN) menetapkan status Gajah Sumatera  dalam kondisi kritis , terancam punah. Jika dicermati, disamping  rusaknya habitat gajah, ada sisi menarik lainnya yang dapat diamati, yaitu terganggunya komunikasi dan koordinasi antara manusia dan  gajah. Hal ini menjadi agak unik.

Komunikasi antara manusia dengan gajah terjadi melalui sinyal yang diberikan. Gajah sering merespon dan mengenal suara manusia ketika di usir oleh masyarakat. Sebaliknya, manusia mengetahui keberaadaan gajah dengan adanya suara. Menurut pakar gajah dari WWF Riau, Syamsuardi dalam Persentasi Materi Konflik Gajah, Sabang 26 Juli 2013 lalu, disebutkan dalam konflik gajah dibeberapa tempat menunjukkan bahwa ketika gajah diusir dengan meriam, mercon dan cara pengusiran lain, maka gajah melihat dan merespon  sistem komunikasi manusia itu dengan merekamnya.

Gajah dapat merespon pengusiran hal tersebut dengan baik dengan indikator gajah tidak kembali lagi. Jika gajah kembali lagi, maka sistem pengusiran tidak lagi digubris oleh gajah tersebut.

Zona Aman Gajah
Saat ini, zona aman Gajah Sumatra adalah Taman Nasional dan zona lainnya seperti Pusat Latihan Gajah PLG, Unit Patroli Gajah (UPG). Areal ini dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan melalui  Undang-Undang  No 5 tahun 1990, PLG. UPG  ini terdapat hampir diseluruh Provinsi di Sumatera.

Zona aman lainnya bagi Gajah Sumatra adalah gajah yang berada di kantung habitat kecil dikelola oleh Lembaga Konservasi seperti yang dilakukan oleh WWF –  Indonesia bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan,  disebut Flying Squad. Areal ini  berada  di Riau dan Lampung. Di Provinsi Aceh disebut Conservation Response Unit (CRU), dikelola oleh Flora Fauna International bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan. Selebihnya, diluar kawasan ini maka gajah setiap saat akan berhadapan dengan maut.

Saat ini gajah terus mencoba masuk ke perkebunan yang sebenarnya memang merupakan lintasannya. Gajah akan terus belajar dari tindakan penanganan yang kita dilakukan. Kita juga seharusnya belajar dari tindakan yang dilakukan gajah. Apabila gajah bisa melewati tindakan penanganan manusia, maka perbaikan penanganan konflik  harus dilakukan oleh pengelola.

Pengurangan konflik manusia dan gajah memang tidak mudah bahkan berbahaya bagi para penghalaunya. Tetapi bagaimana pun usaha ini harus dilakukan secara terus menerus untuk melindungi gajah dan masyarakat. Tim penanganan konflik manusia dan gajah harus terus dilakukan, tentu dengan motivasi yang tinggi. Ketidaknya, keberhasilan suatu teknik pengusiran gajah bukan merupakan kelemahan teknik tersebut, hanya saja seringkali salah dalam penerapannya.

Tugas-tugas PLG, CRU atau flying Squad adalah untuk meminimalkan konflik manusia dengan gajah dengan tujuan utama mengembalikan gajah liar ke habitatnya, melaksanakan patroli rutin dan melindungi masyarakat sekitar hutan.

Keuntungan yang diperoleh dari  keefektifan pengusiran  gajah dapat menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat bahwa gajah liar dapat ditanggulangi.

Pendekatan ini digunakan sebagai entry point kepada masyarakat, mendayagunakan gajah captive sebagai upaya dalam mecegah konflik yang berkepanjangan.  Gajah-gajah PLG, flying squad dan CRU juga dapat digunakan sebagai salah satu obyek ekowisata. Usaha ini membantu dalam pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan tertentu.

Elephant Trail Konsep
Lintasan satwa atau Elephant Trail adalah rute migrasi tradisional yang dilakukan secara berulang sesuai dengan musim, baik saat kemarau, saat hujan, angin barat dan timur. Biasanya pola ini bergerak secara periodik dan digunakan gajah untuk makan, berkembang biak dan aktivitas sosial lainnya.

Jika diumpamakan dengan sebuah kawasan pemukiman manusia, di sana pasti sangat dibutuhkan jalan sebagai sarana transportasi. Demikian juga halnya dengan gajah. Hutan adalah rumah tempat gajah bermukim. Gajah-gajah itu membutuhkan jalan sebagai tempat melintas. Pemilihan jalan bagi gajah mereka sesuaikan dengan keberadaan alamiah punggungan bukit, lembah dan daerah yang cukup sumber airnya. Kondisi demikian  merupakan lintasan utama gajah.

Masalah muncul ketika tanaman hutan diganti dengan tanaman kebun oleh manusia. Lintasan gajah pun menjadi terbuka dan tidak lagi sesuai.

Prof. Emil Salim, memberikan contoh saat memberikan materi Lingkungan di WWF, 2012. Beliau menceritakan saat menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup dari tahun 1978 hingga 1983, era Presiden Soeharto. Saat itu Pemerintah Indonesia sedang menggalakan program pemerataan pembangunan melalui proyek transmigrasi. Proyek transmigrasi ini telah membuka lahan besar-besaran di Sumatera Selatan yang dahulunya adalah habitat gajah Sumatera.

Pada saat itu, Prof. Emil Salim merekomendasikan agar pembangunan tersebut  harus melihat dan mengkaji secara mendalam tentang lintasan gajah (Elephant Trail). Sayangnya, rekomendasi beliau tidak digubris.

Akibatnya, konflik antara manusia dan gajah secara terus-menerus melebar di Indonesia, dimana saat itu  ratusan gajah mengamuk.  Presiden Soharto akhirnya membentuk Tim Khusus untuk menangani Penanganan konflik Gajah dengan nama Operasi Ganesha yang melibatkan militer dan pasukan khusus. Apa daya, konflik gajah dan manusia sudah terlanjur merebak dan hutan sudah terlanjur rusak.

Ini adalah sebuah contoh kasus dari pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis.

Lintasan  gajah digunakan oleh gajah untuk bermigrasi dari utara selatan, mengikuti arah angin dan musim. Selama musim buah, sebagian besar gajah kemudian akan kembali lagi seiring waktu sekitar beberapa  bulan kemudian. Namun, dengan penanaman perkebunan kelapa sawit di koridor ini, rute migrasi tradisional terblokir.

Arti penting Elephant Trail sebenarnya sederhana, yaitu pembangunan harus menghargai gajah dan habitatnya. Pemerintah sebagai pengelola kawasan tidak boleh merubah seenaknya tata hutan di Sumatera, tetapi harus memikirkan aspek ekologi dengan memahami lintasan gajah, sehingga pembangunan  tidak menimbulkan efek bagi masyarakat dan gangguan bagi gajah itu sendiri. Jika tidak, maka hanya akan merugikan pemerintah itu sendiri.

Tata Ruang wilayah provinsi dan kabupaten di Pulau Sumatera juga harusnya  memperhatikan elephant trail. Pemerintah harusnya berpikir seimbang ketika mengundang investor. Keputusan membuka hutan harus dikaji secara benar. Saatnya menjadikan  masyarakat dan gajah sebagai subjek pembangunan. Memang sepintas kasus kasus gajah kelihatannya remeh. Tetapi jika terjadi berulang, maka akan menyita waktu  dan  biaya bagi pemerintah setempat dalam menyelasaikannya, hinggga konsentrasi pembangunan terganggu.

Sebenarnya kawasan Elephant trail bisa menjadi solusi terbaik bagi pembangunan, konsep ini bisa  diaplikasikan  bagi pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Sumatera. Fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan yang sangat tinggi, yaitu 12 juta ha atau penurunan sebesar 48 persen tutupan hutan dalam 22 tahun akibat konversi hutan, penebangan dan kebakaran hutan.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurangnya dari 40 % untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih miskin keanekaragaman hayati dibanding dataran rendah., tidak ada salahnya konsep ini dipertegas sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan di Pulau Sumatera.

Solusi Elephant Trail adalah membuat koridor satwa yang secara alami sebagai lintasan aktif satwa liar, dan dapat dikukuhkan dalam kebijakan tata ruang wilayah dan dituangkan dalam aplikasi pembangunan Pulau Sumatera. Tentu kawasan elephant trail ini terlebih dahulu di identifikasi dengan baik. Kawasan diletakkan bersama dalam Peta Lintasan gajah, harus ada Road Map (Peta Jalan) untuk  kawasan ini. Konsep ini juga dapat di implementasi di perkebunan dan kebun masyarakat.

Yang harus dilakukan adalah dengan membuat dan memperkuat lintasan gajah. Jika perlu Elephant Trail (Lintasan gajah) dikuatkan dengan Peraturan Gampong, Perda  dan Peraturan Prersiden. Jadikan kawasan ini sebagai daerah khusus lintasan gajah sebagai dearah lalu lintas Gajah Sumatra. Pengawasan area lintasan gajah dapat dilakukan bersama, baik Pemda, LSM, Masyarakat dan Perusahaan. Merevitalisasi pola dan hubungan  harmonis antara pembangunan dan  gajah sangat diperlukan, sebab gajah adalah adalah aset bangsa Indonesia.

Secuil harapan, kapan kiranya gajah dan manusia hidup damai tanpa saling mengganggu?  Mungkin ini tidak akan tercapai secara utuh, tapi setidaknya harus ada konsep yang bisa menjawab itu. Konsep yang dilandasi dengan perbaikan dan aksi nyata, baik dari sistem hukum, lalu mengujinya di tataran Gampong, Kecamatan hinggga Kabupaten, bahkan di tingkat Provinsi  di Sumatera.

Hal lainnya adalah upaya untuk terus  membangun  sistem komunikasi yang baik antara gajah dan masyarakat, hal ini  akan menjadikan gajah ditempatkan pada posisinya sebagai bagian dari kenakeragaman hayati di Pulau Sumatera. Hubungan yang baik antara kedua belah pihak harusnya menjadi konsep pembangunan di Pulau Sumatera. Gajah liar  di hutan Sumatera dapat menjadi Indikator dan bukti berhasilnya implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan atau sebaliknya.

Jika tawaran konsep semacam ini diabaikan, maka susah untuk memperbaiki hubungan antara gajah dan manusia. Dengan demikian maka semakin sulit untuk menjadikan gajah sebagai aset pembangunan Daerah dan Nasional [Azhar].

Penulis adalah  Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk Chik Pantee Kulu Banda Aceh & Pegiat Lingkungan Aceh /Satwaliar Indonesia

read more
Flora Fauna

Orangutan Terluka Dievakuasi Dari Kebun Salak Warga

Tim rescue orangutan dari Orangutan Information Centre (OIC) dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) mengevakuasi Orangutan yang mengalami luka di salah satu Kebun Salak warga di Desa Sugi Tonga, Kecamatan Marancar Kab. Tapanuli Selatan, 18 November 2013 lalu. Evakuasi itu dilakukan setelah adanya laporan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara.

“Menurut pemantauan dari staf BBKSDA, Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan tim Sumatera Rainforest Institute (SRI), orangutan tersebut mengalami luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuh dan sangat membutuhkan perawatan medis secepatnya. Tim rescue OIC dan SOCP bersama BBKSDA Sumut langsung menuju ke lokasi,” ujar Panut Hadisiswoyo, Direktur OIC dalam rilisnya, Kamis (21/11/2013).

Masih menurutnya, Orangutan tersebut merupakan orangutan liar yang terisolasi di ladang masyarakat dan kondisinya terluka yang kemungkinan diakibatkan oleh terkena jerat dan kemungkinan besar dipukul dengan benda tajam.

“Dalam pemeriksaan fisik ditemukan luka di bagian dahi dan bagian belakang kepala, 2 luka besar dengan diameter sekitar 7 cm pada bagian punggung kanan, luka-luka di jari tangan kiri sehingga orangutan tidak bisa menggengam, luka di bibir yang tembus sampai ke rahang kiri, dan luka dalam di kaki kanan dan bagian lutut yang cukup dalam dan juga myasis, dan banyak bagian lain yang luka-luka kecil,” jelasnya.

Saat ini, Orangutan tersebut sudah mendapatkan perawatan. Mereka berharap, Orangutan tersebut dapat diselamatkan untuk dikembalikan ke alam dengan pelepasliaran di salah satu pusat reintroduksi orangutan SOCP di Jambi atau Aceh.

Panut menambahkan, dalam dua tahun terkahir, kasus-kasus seperti ini semakin meningkat. Insiden konflik orangutan dengan manusia terjadi begitu massif. Dia berharap, masyarakat dapat menyadari betapa Orangutan perlu dilindungi sehingga perlu diinisiasi langkah pencegahan terhadap perilaku kekerasan terhadap Orangutan.

“Kejadian ini jelas melanggar hukum. Orangutan Sumatra merupakan jenis orangutan yang berbeda secara genetik dengan orangutan Kalimantan dan sanggat dilindungi oleh undang-undang seperti Undang-Undang no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memberi ancaman hukuman pidana bagi pelaku kejahatan kehutanan dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal 5 miliar,” ancamnya tegas. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Air Akan Menjadi ‘Minyak’ Baru di Dunia

Setelah 14 tahun mengalami kekeringan, Danau Lake Powell sekarang kurang dari setengahnya sudah terisi air.  Air mengalir ke Danau Powell, yang terletak antara Utah dan Arizona, dari ketinggian Pegunungan Rocky melalui Sungai Colorado. Lebih dari 30 juta orang di tujuh negara bagian kebutuhan airnya tergantung pada danau Colorado untuk bercocok tanam, pembangkit listrik dan menjaga kota-kota seperti Las Vegas hidup. Tapi tahun ini kekeringan terburuk dalam satu abad terakhir telah memperlambat aliran ke danau.

Pada bulan Agustus , Biro Reklamasi Federal AS mengurangi sebesar 9 persen jumlah orang yang memanfaatkan air Danau Power di barat daya Amerika Serikat. Sebagai dampak penjatahan air di negara bagian, di tahun-tahun mendatang  pembangkit listrik tenaga air (termasuk satu di Hoover Dam) bisa berhenti beroperasi dan produksi pertanian berkurang.

Kesulitan air yang menimpa daerah bagian Selatan Amerika ini juga merupakan masalah di seluruh dunia dimasa mendatang. Tak kurang dari 2,7 miliar orang di seluruh dunia menghadapi kelangkaan air, menurut sebuah studi dalam jurnal PLoS ONE tahun 2012. Pertikaian atas hak air menyebabkan konflik politik dan ketidakstabilan di tempat-tempat seperti lembah Nil dan anak benua India. Ketika populasi meningkat, konflik terjadi lebih intens, menurut laporan Dewan Intelijen Nasional, yang menyarankan direktur intelijen nasional untuk Amerika Serikat tentang isu-isu keamanan nasional .

Pemodelan populasi terbaru memperkirakan bahwa akan ada 11 miliar orang penduduk bumi pada tahun 2100, menurut sebuah laporan PBB yang dirilis musim panas lalu. Mengingat bahwa populasi yang ada sudah berlebihan dibanding pasokan air yang tersedia, bagaimana planet menyediakan air bagi semua orang?

” Air adalah minyak baru, ” kata Bill Davies, seorang ahli biologi tanaman di Pusat Pertanian Berkelanjutan di Lancaster University di Inggris . ” Orang-orang akan berebut untuk air. ”

Untuk menyediakan air bagi planet ini sangat penting untuk memahami pasokan air yang tersedia dengan membuat peta rinci di mana air langka atau berlimpah dan meningkatkan infrastruktur air, kata para ahli. Membuat pertanian yang lebih efisien juga penting. Tetapi bahkan langkah-langkah tersebut mungkin tidak cukup untuk menyediakan air untuk semua orang. Ekonomi global juga perlu memperhitungkan biaya sebenarnya dari air sehingga produk air dibuat di daerah yang kaya air dan diimpor ke daerah yang lebih kering.

Saat ini tak seorang pun tahu berapa banyak air yang benar-benar tersedia di dalam tanah. Ada perkiraan global atau tingkat regional – misalnya, California dapat memompa sekitar 14,5 miliar galon ( 54,9 miliar liter ) air tanah per tahun, menurut Asosiasi Tanah Nasional ( NGA ) .

Tapi petani individu atau orang mengambil air dari sumur pribadi mungkin tidak tahu berapa banyak air di sumur mereka sampai akhirnya kering atau terkontaminasi dengan arsenik atau nitrogen. Di Amerika Serikat ada sekitar 15,9 juta sumur dan sekitar 500.000 sumur baru dibor setiap tahun untuk perumahan menurut NGA.

Di sebagian besar dunia pemakaian air secara individu tidak terukur dan siapa saja dapat memompa air tanah tanpa memberitahukan otoritas.

Banyak tempat yang bergantung pada sumber air mereka, membuat kebijakan konservasi bagus yang sulit untuk dijalankan di tingkat lokal . Misalnya Sungai Tigris mengalir dari Turki ke Irak sehingga menjamin pasokan air Irak namun perlu tindakan konservasi dari Turki – merupakan masalah politik yang membutuhkan negosiasi internasional.

Tentu saja, efisiensi penggunaan air yang ketat bisa menghemat air lebih banyak terutama melalui praktek pertanian. Pertanian menggunakan sekitar 70 persen air tawar di planet ini, kata Giulio Boccaletti, direktur Program Air Tawar Global di Nature Conservancy.

Tetapi bagaimana mengubah air yang digunakan belum tentu cukup. Banyak model perubahan iklim memperkirakan bahwa beberapa daerah, akan menghadapi lebih sering kekeringan. Bahkan saat ini , kelangkaan air merupakan ancaman rutin bagi petani. Untuk menyediakan air bagi 11 miliar orang, petani harus tahu bagaimana untuk memanipulasi sistem tanaman ‘ sendiri untuk menghadapi kekeringan.

Secara teori , mungkin ada cukup air untuk semua orang di planet ini . Caranya adalah dengan menggunakannya secara cerdas dan mendistribusikannya kepada orang-orang paling membutuhkan.

Idealnya daerah kaya air seperti Argentina harus mengekspor barang-barang yang memerlukan banyak air (seperti daging sapi) , sementara daerah kering harus mengabdikan upaya mereka untuk lebih banyak produk air hemat , kata Nico Grove , seorang peneliti di Institut Ekonomi dan Manajemen Infrastruktur di Jerman . Sapi membutuhkan sekitar 4.000 galon ( 15.000 liter ) air untuk setiap £ 2,2 . ( 1 kilogram ) produksi.  Sebaliknya , daerah kering seperti Timur Tengah – dipompa air tanah yang cukup untuk mengisi Laut Mati, menurut sebuah studi dalam jurnal Penelitian Sumber Daya Air 2013 – sehingga bisa memanen buah dari tanaman yang tahan kekeringan seperti tanaman xerophyte, tanaman kaktus.

Meningkatkan efisiensi tanaman dan menciptakan insentif positif bagi petani untuk menghemat air adalah kunci. Salah satu pilihan adalah sewa air di mana petani mengantisipasi tahun kering dan disaat lain menyewakan air untuk kota yang membutuhkannya.

Tapi hanya waktu yang akan membuktikan apakah langkah-langkah seperti ini akan cukup dan apakah masyarakat dan pemerintah akan bersedia untuk bertindak.

Sumber: livescience.com

read more
Green Style

Infrastruktur Indonesia Belum Ramah Lingkungan

Pembangunan infrastruktur Indonesia belum menggunakan konsep pembangunan ramah lingkungan. Itu karena terganjal beberapa hal, ungkap kalangan insinyur.

“Penerapan green infrastructure di Indonesia masih terkendala banyak hal yang kemudian membuat pemanfaatannya pun menjadi tidak optimal dan tidak sesuai dengan rencana awal,” kata Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Bobby Gafur Umar, dalam konferensi pers “Konferensi Federasi of Engineering Organisations se-Asean ke-31 (31th Conference of Asean Federation of Engineering Organisations 2013/Cafeo)” di Jakarta Convention Center, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Bobby memaparkan beberapa penyebab yang mendorong pembangunan tersebut tidak optimal yakni kurangnya pengetahuan dan pemahaman sistem green infrastructure itu.

“Lalu, ada banyaknya perbedaan persepsi tentang kepentingan pembangunan green infrastructure oleh pemangku kepentingan (stakeholder) sampai lemahnya teknologi yang digunakan dalam perencanaan pembangunan,” ujarnya.

Sebenarnya, tutur Bobby, Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa mendorong pembangunan ramah lingkungan. Hal ini dilihat dari potensi sumber daya alam Indonesia yang cukup baik, seperti luas lahan subur yang luas dan iklim yang baik.

“Walau banyak tantangan, prospek pembangunan dan pengembangan green infrastructure di Indonesia cukup baik,” ungkapnya. ()

Sumber: vivanews.com

read more
1 3 4 5 6 7 18
Page 5 of 18