close

February 2014

Green Style

IFW 2014, Kental Sentuhan Ramah Lingkungan

Direktur Indonesia Fashion Week (IFW) 2014, Dina Midiani, mengatakan pada ajang yang akan berlangsung hari ini hingga 23 Februari, akan kental dengan Green Movement. Gerakan ramah lingkungan ini sebagai arus baru di dalam fashion lokal.

Kepada media, beberapa waktu lalu, Dina menjelaskan pentingnya produk fashion yang ramah lingkungan yang biasa disebut sustainable fashion atau eco-fashion.

“Artinya adalah produk yang diproduksi dengan memperhatikan dampaknya terhadap Bumi dan efek sosial yang ditimbulkan. Pada penggunaan bahan ramah lingkungan, produk yang tahan lama, meminimalisir jejak karbon hingga kesejahteraan pekerja adalah hal-hal yang termasuk dalam eco-fashion,” kata Dina.

Dia juga menerangkan tentang tempat tinggal sebagai hal yang mendukung green movement. Menurutnya, selama kita masih tinggal di Bumi, tentu segala hal yang terjadi di Bumi akan mempengaruhi kehidupan kita.

“Rasanya, bagaimana mungkin kita bisa hidup tenang sementara udara yang kita hirup semakin terpolusi? kemudian bagaimana juga caranya hidup sehat apabila semakin banyak sampah yang tidak bisa didaur ulang? Lalu soal air tercemar dan sebagainya. Karena itu, tanggung jawab kita  menjaga Bumi masih berada di pundak kita. Dan menjadikan bumi ini dengan ramah lingkungan,” ungkapnya panjang lebar.

Kemudian Dina juga menjelaskan tentang resiko tang tanggung jawab manusia untuk mengolah dan memakai sumber kekayaan alam.

“Adalah tugas dan tanggung jawab kita supaya sumber alam tidak habis dan rusak. Jangan berdalih untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, kita rela memproduksi sesuatu yang merusak Bumi.”

Dina menyebutkan di bidang fashion misalnya, betapa mudahnya mendapatkan produk murah yang sebegitu murahnya tanpa memikirkan proses pembuatannya yang memakai zat-zat berbahaya. “IFW 2014 menekankan pentingnya proses pembuatan produk yang ramah lingkungan. dan soal kualitas kita sudah mengujinya dengan baik,” ujar dia.

Perancang yang bisa memakai tenun Indonesia pada setiap karyanya ini juga menggarisbawahi soal masyarakat di dunia yang sudah mulai menerapkan eco-fashion sejak tahun 1990-an. Dina menyebutkan banyak perancang di Tanah Air yang mencoba menciptakan produk-produk yang ramah lingkungan dan memperhatikan proses produksi dengan seksama, termasuk kesejahteraan para pekerjanya.

Menurutnya, Indonesia yang memiliki target menjadi pusat fashion dunia seharusnya mulai aktif berpartisipasi dalam gerakan ini. “Penjualan katun organik untuk busana dan produk rumah di negara barat telah mencapai US 4.3 milyar di tahun 2009 dan terus meningkat hingga sekarang. Bahkan Eropa Timur dan Asia Timur juga mulai mengkonsumsi produk eco-fashion.”

Hal lain yang juga dirasakan sangat penting, adanya dukungan selebriti dunia dan Indonesia terhadap produk ramah lingkungan. Seperti banyak selebriti dunia Natalie Portman, Cameron Diaz, Alicia Silverstone, Jennifer Aniston hingga Salma Hayek yang sangat peduli dengan item fashion yang mereka pakai dari bahan yang digunakan hingga proses produksi.

“Mereka setuju bahwa tampil stylish seharusnya bisa selaras dengan kepedulian terhadap Bumi. dan hal yang sama juga kami ajak selebriti Indonesia untuk mau menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab,” kata Dina.

Diingatkan Dina. tidak sulit untuk memulai melakukan gerakan ecp-fashion. Dina menyarankan hal ini bisa dimulai dengan soal kecil. Misalnya meminimalisir limbah produksi. Lalu memaksimalkan penggunaan material yang digunakan seperti sebaiknya hindari penggunaan tas plastik. “Para perancang sebagai pelaku industri fashion harus berani membuat tas ramah lingkungan dari bahan daur ulang,” kata dia.[]

Sumber: tempo.co.id

read more
Energi

Google Siapkan US$1 Miliar untuk Energi Terbarukan

Sekitar sepertiga dari operasional Google didukung oleh energi terbarukan saat ini. Namun, perusahaan raksasa itu masih terus mengambil langkah terobosan. Dikabarkan Google siap menanamkan investasi lebih dari US$1 miliar untuk energi alternatif.

Rick Needham, direktur dari divisi Google’s Energy and Sustainability mengatakan, sudah 34 persen daya operasi mesin pencari Google sekarang bergantung pada sumber daya energi terbarukan. Bila semua berjalan sesuai rencana, maka mereka akan  meningkatkan pemanfaatkan energi baru tersebut hingga 100 persen.

Needham juga mengatakan, selama kuartal terakhir Google telah menghabiskan biaya sebesar $2,25 miliar untuk membangun pusat data beserta infrastrukturnya.

“Kami telah menginvestasikan lebih dari semiliar dollar di 15 proyek yang memiliki kapasitas untuk menghasilkan energi sebesar 2 gigawatt,” tutur Needham.

Salah satunya, terungkap pada beberapa waktu lalu, perusahaan ini sedang memulai proyek besar tenaga surya di Ivanpah, California-Nevada, yang menggunakan hingga 357.000 cermin matahari (sun-facing mirrors) untuk menghasilkan daya 394 megawatt — tenaga yang mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk sebuah kawasan sampai dengan 140.000 rumah.

Sekretaris Energi AS Ernest Moniz sempat mengemukakan, dalam pernyataan kepada Associated Press yang dikeluarkan dalam pembukaan resmi The Ivanpah Solar Electric Generating Station, hari Kamis (13/2/2014): “Proyek Ivanpah adalah satu contoh bagaimana AS menjadi yang terdepan di dunia dalam hal pengembangan energi matahari.”

Mengutip Needham, ditegaskan kembali, “Di Google kami berinvestasi dalam proyek-proyek energi terbarukan yang inovatif dan berpotensi mengubah lanskap energi dan membantu memberikan lebih banyak pasokan energi [listrik] ke industri ataupun rumah-rumah di seluruh dunia. Ivanpah adalah langkah merealisasikan hal itu, dan kami senang menjadi bagian dari padanya.”

Dan panel surya bukan satu-satunya proyek yang menjadi investasi Google akhir-akhir ini. Google pun dilaporkan telah menggelontorkan jutaan di akuisisi perusahaan di bidang-bidang robotika dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Nampaknya Google juga berniat membuat tambahan baru dari bagian utama mereka  —di samping berinvestasi untuk energi terbarukan.

Seperti dikatakan seorang tim engineer Google, Scott Huffman, saat tahun lalu berbicara pada Independent, bahwa kemajuan baru AI akan “memungkinkan komputer perusahaan ini untuk segera mengerti konteks percakapan dan lebih manusiawi”.

Sumber: CNBC, IB Times & NGI

read more
Flora Fauna

Mau Dibawa Kemana Gajah Sumatera?

Menarawang Pulau Sumatera 30 tahun kedepan seperti apa,  masihkah berhutan? Atau yang ada hanya bayangan suram yang melemahkan niat  kita untuk konservasi, semua hutannya sudah hilang seperti terjadi di Pulau Jawa.
Menganalisa secara sederhana, jika hutan Sumatera musnah  maka  gajah Sumatera dapat dijadikan simbol mandulnya pengelolaan hutan. Gajah sebagai mahluk hidup bergantung pada hutan.

Saat ini gajah Sumatera dapat dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang berkualitas tinggi.

Usaha konservasi gajah yang tepat guna belum menemui titik terang. Usaha tersebut harusnya dapat menjadi contoh terbaik pengelolaan hingga bisa menjadi andalan bagi formula konservasi dan berdampak pada  pengelolaan hutannya.

Analisa lain dari pengelolaan hutan Sumatera dapat dilihat berbagai aspek, seperti sosial dan  politik. Faktor kebijakan adalah salah satu penyebab deforestrasi dan rendahnya kemauan politik (political will) untuk usaha konservasi, ditambah lagi dengan kentalnya sistem desentralisasi. Kekuasaan daerah begitu kuat dalam pengelolaan sumber daya alam dan isinya. Jangan berharap banyak pada kesuksesan jangka panjang dalam mengelola kawasan konservasi  di Pulau ini.

Walau ada panduan pembangunan di setiap daerah  melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Wilayah/Kabupaten (RTRWP/RTRWK), akan tetapi kebijakan RTRWP /RTRWK sangat  mudah diotak atik di tingkat lapangan. Apalagi Provinsi yang belum menyelesaikan rencana tata ruang Provinsi maupun Kabupaten, daerah ini  sangat mudah dieksploitasi sumber daya alamnya.

Pengelolaan hutan Sumatera terkait erat dengan politik dan ekonomi wilayah, ujung – ujungnya berimbas pada Gajah Sumatera. Secara tak langsung gajah dikonfrontasi dengan masyarakat sekitar hutan, konflik lahan terjadi  antara perkebunan dan masyarakat. Ini mungkin akibat iklim  politik yang tidak sehat, lahan dihutan begitu mudah diakses. Banyak kejadian dan kasus – kasus  gajah yang  muncul karena hutan rusak dan gajah akan berkonflik dengan manusia disekitar lintasannya.  Kejadian ini terus berulang tanpa ada solusi jangka panjang.

Kirab Gajah Sumatera
Pengelolaan gajah Sumatera memang berat, baik dari segi sumber daya dan pendanaan hingga pengusahaan lahan untuk proteksi dan relokasi. Model pengelolaan  Pusat Konservasi Gajah Sumatera di Pusat Konservasi Gajah (PKG) terkadang menjadi beban daerah dan pusat. Tapi formula konservasi harus terus diupayakan untuk pelestarian gajah Sumatera.

Salah satu solusinya adalah di setiap provinsi di Sumatera yang masih ada gajahnya,  membentuk Kawasan Khusus Konservasi Gajah (Elephant Sanctuary) dengan menyediakan lahan seluas  20.000  hektar.  Jika perlu lahan ini  dipagari dan dijaga ketat pihak pengelola di pintu akses ke kawasan lainnya melalui skema koridor.

Kedua, membuat koridor hutan sebagai lintasan gajah. Koridor dapat dibuat dengan panjang ribuan km,  membentang dari Lampung hingga Aceh dan lebar koridor berkisar 3 hingga 5 km  tergantung situasi daerah. Koridor adalah hutan yang berfungsi sebagai penghubung hutan dan hutan lainnya.

Koridor lintasan gajah ini harus dapat dikoneksikan dengan cek point kawasan khusus gajah (elephant sanctuary) seluas  20 ribu hektar, menjadikan wilayah ini sebagai zona inti gajah Sumatera. Pengkoneksian ini dengan sistem koridor ini bisa dibagi dalam tiga zonasi. Dimulai dari Zona Selatan Pulau Sumatera, antara Lampung, Palembang dan Bengkulu menghubungkan ke Zona Sumatera Tengah  antara  Riau, Jambi dan Sumatera Barat dan Zona Utara Sumut – Aceh. Upaya ini dapat juga diaplikasi  hingga di tingkat kabupaten.

Konsep Elephant Sanctuary  dan koridor ini ibaratnya seperti jalan raya bebas hambatan atau  jalan lintas Sumatera bagi gajah. Jika ini terlaksana dapat disebut dengan Kirab Gajah Sumatera, dimana pada zaman dahulu diceritakan Gajah Sumatera melintas memutar mengiringi hutan dari Lampung hingga Aceh,  berotasi selama ratusan tahun.

Untuk pihak pengelola dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga konservasi,  bahkan dunia usaha dapat berinvestasi di sektor ini. Zona khusus ini  jadikan ini sebagai kekuatan politik lokal dan nasional sebagai kebijakan daerah untuk investasi konservasi jangka panjang. Bayangkan saja, jika ini terjadi dapat menjadi investasi asset wisata seluruh Provinsi di Sumatera, jika perlu zona ini dibuat Perda dan Peraturan Nasional sebagai asset wisata ekologi.

Mungkin kirab Gajah Sumatera dari Aceh ke Lampung akan dilihat ratusan ribu turis menjadi atraksi menarik apalagi jika setiap daerah menyediakan fasiltas dan paket wisata khusus untuk kegiatan ekowisata berbasis gajah liar. Ini bisa menjadi solusi jangka panjang dan berbasis bisnis konservasi. Upaya ini dapat diperkuat beriringan dengan kebijakan seperti Perpres tentang Tata  Ruang Sumatera No 13 Tahun 12 tentang Rencana Tata Ruang Sumatera dan upaya perbaikan hutan dengan skema restorasi habitat.

Bandingkan dengan investasi oleh perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membuka lahan yang  luas ribuan hektar, kenapa usaha konservasi gajah tidak meniru usaha perkebunan sawit dengan membeli lahan yang luas? Perusahaan sawit dan HTI menjaga assetnya dengan  manajemen yang baik, juga sebaliknya usaha konservasi harus menjaga asset biodiversitasnya dengan baik pula.

Kembali menerawang Pulau Sumatera 30 tahun ke depan, apa yang terjadi dengan adanya konsep kawasan  khusus gajah. Mungkin masih  terdapat tempat khusus untuk melihat satwa besar gajah Sumatera dan sisa hutannya. Gajah Sumatera belum punah dan tidak mudah punah tapi dikelola dengan manajemen yang baik atau semua ini mustahil dilakukan karena kita menyerah dengan keadaan. Investasi pengusaha perkebunan sawit dan HTI semakin melemahkan niat konservasi dalam menjaga rimba Sumatera. Mau dibawa kemana Gajah Sumatera? []

read more
Energi

Indonesia Kurangi Emisi Dari Kelistrikan Batubara

Pemerintah Indonesia bertekad terus mengurangi emisi dalam pembangkitan tenaga listrik. Pembangkit-pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dibangun harus lulus uji kelayakan dan menggunakan Clean Coal Technology (CCT). Untuk itu para investor dan calon investor di sektor ketenagalistrikan diharapkan mengembangkan teknologi Ultra Super Critical (USC) maupun Integrated Gasification Combined Cycle (ICGC) sebagai pembangkit di masa depan.

Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM) Jarman, belum lama ini di Jakarta dalam Seminar ‘Realising Indonesia Power Vision : Building Partnership with India’. Seminar yang diselenggarakan oleh Bharat Heavy Electricals Limited (BHEL) ini bekerjasama dengan India Bussines Forum (IBF).

Dalam pertemuan tersebut, Republik Indonesia dan Republik India memiliki peluang dalam menjalin sinergi dan kerja sama dalam sub sektor ketenagalistrikan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM) membuka kesempatan bagi investor dari luar negeri untuk bersama-sama membangun ketenagalistrikan di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Dirjen Ketenagalistrikan juga memaparkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Pembangunan ketenagalistrikan dibagi ke dalam enam koridor ekonomi yaitu koridor ekonomi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Papua-Maluku,” ujar Jarman.

Dalam MP3EI ini pemerintah Indonesia membuka akses kepada negara-negara sahabat untuk berinvestasi dalam pembangunan di Indonesia, salah satunya dalam sub sektor ketenagalistrikan.

Seminar dihadiri Duta Besar India untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste, Gurjith Singh. Ia berharap seminar ini mempererat hubungan kerja sama kedua negara dalam sektor energi. Dirjen Ketenagalistrikan berharap acara ini mampu memberikan informasi untuk menguatkan jalinan kerja sama antara Indonesia dan India. Jarman juga berharap pertemuan ini menghasilkan suatu aksi nyata dalam membangun ketenagalistrikan di Indonesia melalui hubungan kerja sama yang baik.

Sumber: energitoday

read more
Kebijakan Lingkungan

Pascasebaran Merkuri di Aceh Jaya, Korban Mulai Berjatuhan

Sepanjang 2013 lalu angka kematian bayi di Aceh Jaya yang sebagian sungai dan sumur warganya tercemar merkuri, mencapai 33 orang. Dari jumlah itu, beberapa meninggal dengan kelainan bawaan sejak lahir. Misalnya, ada bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan (cardioseptal defect), lahir prematur, atau terlahir sumbing mulai dari bibir sampai ke langit-langitnya (kelainan kongenital).

Begitupun, belum dapat dipastikan apakah kelainan bawaan pada bayi yang baru lahir itu disebabkan ibu dan ayahnya merupakan orang yang selama ini terpapar merkuri (air raksa) yang banyak digunakan penambang emas ilegal di Aceh Jaya untuk memisahkan butiran emas dari batu dan gumpalan tanah.

“Memang belakangan ini mulai banyak ditemukan di Aceh Jaya bayi yang lahir tidak normal atau dengan kelainan bawaan dan akhirnya meninggal. Tapi untuk mengklaim bahwa itu ada kaitannya dengan sebaran limbah merkuri di sejumlah tempat di Aceh Jaya, saya tak berani. Tentulah diperlukan penelitian yang mendalam,” kata Kepala Dinas (Dinkes) Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM melalui Sekretaris Dinas, Ernani Wijaya SKep yang dikonfirmasi Serambi, Selasa (18/2/2014) malam.

Menurut Ernani, dengan sudah terungkapnya data lapangan tentang peredaran dan persebaran merkuri di Aceh Jaya itu, maka sebaiknya ke depan penyebab bayi lahir dengan kelainan bawaan dan kemudian meninggal, haruslah segera ditelusuri dengan saksama.

Ia mengaku khawatir dengan maraknya penggunaan air raksa yang didorong oleh maraknya penambangan emas di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Karena, selain pekerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan berbahaya itu, masyarakat yang mengonsumsi ikan/udang/kerang (lokan) dari laut dan sungai juga ikut teracuni. Bahkan anak-anak, bayi, hingga janin yang masih dalam kandungan pun berpotensi terkena bahaya merkuri.

Erna menilai, warganya tidak begitu peduli dengan bahaya merkuri karena dampaknya pada tubuh manusia tidak langsung terjadi dalam waktu singkat. Padahal, efek dari merkuri itu bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kerusakan sistem pencernaan, hingga berujung pada kematian.

Ia rincikan, sepuluh dari 33 bayi yang meninggal itu, disebabkan kondisi tidak normal saat masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir prematur. Ke-13 bayi yang meninggal saat lahir itu, merupakan warga Kecamatan Panga, Teunom, Krueng Sabee, dan Sampoiniet. Kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat mesin pengolahan bijih emas menggunakan air raksa.

Sementara itu, mantan direktur eksekutif Walhi Aceh, Ir TM Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh segera bertindak untuk membatasi peredaran cairan merkuri di Aceh. “Kami mempertanyakan mengapa air raksa ini bisa dengan gampang sekali diperoleh masyarakat. Padahal, untuk memperoleh merkuri, harus ada izin dengan prosedur yang ketat. Terkesan, peredaran merkuri di Aceh sama seperti peredaran narkoba. Cuma, pengedar narkoba sering tertangkap, sedangkan pengedar merkuri tidak pernah,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

read more
Hutan

Setiap Tahun 1,1 Juta Hektar Hutan Indonesia Lenyap

Setiap tahunnya sekira 1,1 juta hektar hutan dibabat untuk pembukaan lahan baru sehingga Indonesia saat ini tengah dalam darurat lingkungan. Darurat lingkungan ditandai terjadinya bencana alam yang tidak bisa dilepaskan akibat tata ruang  yang rusak.

Ketua Pelaksana Pokja Audit  Lingkugan sedunia Working Group on Auditing Environment (WGEA) Ali Maskur Musa mengungkapkan, ada tiga masalah lingkungan  yang dihadapi Indonesia saat ini.

Pertama deforestasi atau pembabatan hutan yang kian meluas  di mana setiap tahunnya mencapai 1,1 juta hektar. “Setiap tahunnya  alih fungsi lahan produktif sangat massif dan tidak terkendali,“ kata Aly yang maju capres konvensi Partai Demokrat ditemui di Denpasar Selasa (18/2/2014).

Dari catatannya, setiap tahun tak kurang 120 ribu hektar lahan produktif beralih fungsi. Lahan yang semula untuk pertanian diubah menjadi tempat pemukiman maupun tempat akomodasi pendukung  pariwisata seperti di Pulau Bali.

Di Bali keberadaan subak atau sistem irigasi tradisonal semakin tergerus oleh alih fungsi lahan. Demikian juga Hutan mangrove mulai Sumatra hingga Sulawesi  yang berperan penting dalam menjaga lingkungan dari ancaman abrasi keberadaanya makin terancam.

Hutan mangrove tergerus tingga 13 persen total hutan mangrove yang ada untuk berbagai  kepentingan reklamasi hingga kepentingan pariwista.

Kata dia, Indonesia yang tengah menghadapai darurat lingkungan itu tentunya  sangat membahayakan. Karenanya, atas beberapa fakta tersebut Ali merekomendasikan tiga hal.

Pertama  hentikan pemberian izin konsesi hutan untuk kepentingan  produktif. Yang kedua, dilakukannya moratorium izin pemanfaatan hutan untuk industri. Dalam banyak laporan dan fakta di lapangan lahan baru untuk  industri seperti perkebunan  turut menambah kerusakan lingkungan. “Kerusakan lingkungan di hulu disebabkan ekosistem yang rusak,“ kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan BPK RI itu.

Industri tambang dan perkebunan yang membuka lahan baru harus dihentikan perizinan atau perpanjanggn konsesi hutannya. “Yang ketiga bagaimana dilakukan percepatan kebijakan clear and clean di  bidang kehutanan,“ tuturnya.[]

Sumber: okezone

read more
Kebijakan Lingkungan

Rusia Tahan Aktivis Lingkungan di Olimpiade Sochi

Demonstran tersebut, David Khakim memrotes vonis tiga tahun penjara yang dijatuhkan minggu lalu terhadap aktivis lingkungan Yevgeny Vitishko terkait sebuah insiden tahun 2012.

Vitishko dan seorang aktivis lainnya dituduh mencoret-coretkan celaan dengan menggunakan cat semprot di pagar sebuah bangunan yang diduga milik Alexander Tkachev, gubernur kawasan Krasnodar. Corat-coret itu, di antaranya, menuduh Tkachev sebagai “seorang pencuri.”

Para aktivis lingkungan mengatakan Tkachev memiliki sebuah rumah mewah yang dibangun dalam hutan lindung yang mengitari Sochi.

Khakim ditahan karena memajang poster yang bertuliskan: “Kebebasan Bagi Yevgeny Vitishko! Tahanan Lingkungan.” Polisi mengatakan ia tidak memiliki izin melakukan demonstrasi.

Rusia melarang demonstrasi kecuali di dalam sebuah zona khusus yang ditetapkan selama pelaksanaan Olimpiade di Sochi. Hakim memerintahkan Khakim melakukan kerja layanan komunitas selama 30 jam.

Sumber: voaindonesia

read more
1 2 3 4 5 6 11
Page 4 of 11