close

February 2014

Ragam

Gunung Kelud dan Fenomena Cincin Api

Gunung Kelud adalah satu dari 130 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia. Banyaknya jumlah tersebut antara lain dikarenakan jalur cincin api pasifik yang melewati wilayah Indonesia.

Letusan Gunung Kelud yang terakhir terjadi tahun 1990. Saat itu asap dan lava menewaskan lebih dari 30 orang dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Tahun 1919, letusan hebat yang masih terdengar dari kejauhan ratusan kilometer menewaskan 5160 orang.

Di tahun 2014, gunung berapi setinggi 1731 meter ini sudah bergolak sejak beberapa minggu lalu. Kamis (13/02/14), Gunung Kelud akhirnya meletus. Ketinggian semburan abu mencapai hingga 30 km ke udara, yang mengakibatkan jalanan tertutupi abu tebal, 2 hingga 3 cm.

Cincin api
Kelud adalah satu dari 130 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia. Secara keseluruhan ada sekitar 400 gunung api di Indonesia. Penyebab banyaknya jumlah gunung berapi antara lain karena Indonesia dilintasi oleh jalur cincin api pasifik.

Kepulauan Indonesia terletak di antara kawasan dengan gelombang seismik paling aktif di dunia, cincin api pasifik, dan sabuk alpide. Cincin api pasifik adalah sabuk gempa bumi terbesar di dunia, karena melewati jalur dari Chile hingga Jepang dan Asia Tenggara.

Di jalur cincin api pasifik ada 40 persen gunung berapi yang masih aktif. Jalur ini berbentuk seperti tapal kuda mengelilingi cekungan samudera pasifik dengan panjang kurang lebih 40.000 km.

Pertemuan lempeng tektonik
Selain berada di jalur cincin api, Indonesia juga dilalui oleh jalur pertemuan 3 lempeng tektonik. Yakni, lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Jika salah satu lempengan bergerak, maka akan menyebabkan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bahkan tsunami.

Menurut penelitian badan survey geologi Amerika Serikat (USGS) sejak tahun 1900 di sepanjang jalur cincin api setiap tahunnya rata-rata terjadi 20 gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7,0 skala Richter.

Gempa bumi besar dengan dampak yang paling parah terjadi 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,3 skala Richter, atau lebih dikenal dengan sebutan bencana Tsunami. Gelombang banjir yang terjadi setelahnya menewaskan lebih dari 220.000 orang. 160.000 di antaranya adalah penduduk provinsi Aceh.

Sumber: dw.de

read more
Kebijakan Lingkungan

Ekologi, Ekonomi dan Kemiskinan

“Kegagalan dalam merencanakan, adalah merencanakan kegagalan itu sendiri”

Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri  Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh. Negara yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permasalahan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu, dll. Suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.

Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui indikator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemiskinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia. Tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”.

Perlu kita simak pertanyaan  Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran?. Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru?

Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum menyentuh sasaran. Kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.

Pengertian dan indikator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat.

Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi, sehingga HDR bahwa pembangunan harus terfokus pada tujuan akhir menjadikan kesejahteraan manusia.

Dari Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI), kemiskinan di Indonesia semakin  bertambah, untuk mengatasi kemiskinan telah dilakukan dan akan terus dilakukan kegiatan pengentasan kemiskinan melalui program pengentasan, namun jumlah kemiskinan semakin bertambah, sehingga timbul pertanyaan ”Ada apa dengan kemiskinan Indonesia ?” beberapa kemungkinan jawaban antara lain ”Apakah tujuan dan fokus pembangunan yang belum tepat ? (sesuai dengan potensi yang ada), ”Apakah Indikator dan penyebab kemiskinan yang belum  jelas ?”, kalau keduanya belum jelas tentunya program pengentasan kemiskinan juga tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan

Sebagaimana statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs.”Penurunannya sangat parah,” kata Erna dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia. Aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, bahkan di era  otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung  tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam, namun  hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan fuinancial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa, dengan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administratif bahkan berdimensi regional dan global).

Sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemiskinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional  terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita.

Kemiskinan dan  kerusakan ekologis sesuatu yang  sangat sulit dipisahkan. Kerusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia.

Pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.

Dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis mejadi salah satu faktor utama kemiskinan di Indonesia. Hal ini dibuktikan di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa).

Kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO), misalnya kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyebabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis. Pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.

Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan  serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan financial semata-mata menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek.

Bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan beragai alasan, untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang.  Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi.

Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legeslatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legeslatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusha untuk merebut dan mempertahankan kekuasanan dengan mebayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.

Pembangunan pada masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan, bahkan menghilangkannya, yaitu semenjak tahun 1971 Hutan dijadikan areal HPH sebagai modal Pembangunan yang menghasilkan devisa utama dalam pembangunan, dan pembangunan perkotaan, Industrial dll. Lingkungan dan ekosistem yang ada banyak dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi semata-mata, sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang dan memberikan nilai ekonomi jangka pendek, namun secara ekologi dan ekonomi menurun dalam jangka panjang.

Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.

Sistim ekonomi yang dianut cenderung ke sistem ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, kemiskinan, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan opportunity cost baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dll

Hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini

Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata-mata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA) pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali.

Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya.

Manusia memang tidak bisa lepas dari ekosistem yang besar (planet bumi) sebagai penyedia jasa dan produk dari kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu pernyataan seorang militer Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pengelolaannya hanya kepada para ekonom saja. Sementara itu, arus utama pemikiran ekonomi terlalu menitikberatkan pada pelaku sosial (social sphere/anthropocentric) dengan mendiskusikan persoalan yang terkait dengan nilai keputusan (value decisions), tingkah laku pelaku ekonomi (economic actors/agents) dan mekanisme pasar (market mechanism). Mereka sering lupa atau bahkan melupakan diri bahwa distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pasar itu berasal dari dunia material (ekosistem), lingkungan, sistem planet bumi itu sendiri.

Pengabaian peran ekologi sesungguhnya tidak ditemukan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Pengabain ini pantas disebut sebagai kecelakaan sejarah karena dalam perkembangannya telah banyak ilmuwan baik dari kalangan ecologists maupun economists yang mengkritik pemikiran dari penganut ortodoks neoklasik. Khususnya pemikiran yang menganggap sumberdaya (biosfer bumi) tidak ada batasannya dan tidak mempercayai hukum yang berlaku di alam. Demikian juga dengan pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Tolak Tawaran Lahan 5000 hektar dari PT SPS

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bakal menolak proposal mediasi PT Surya Panen Subur (SPS) yang mengusulkan 5 ribu hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU)-nya di wilayah Aceh untuk areal konservasi. Pihak KLH lebih memilih ganti rugi sesuai gugatan ketimbang menyetujui usulan konservasi sebagian lahan HGU.

Sinyal penolakan itu disampaikan Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLH, Sisilia, usai mengikuti sidang mediasi gugatan KLH kepada PT SPS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, (13/2/2014). “Soalnya, proposal SPS tidak menjawab gugatan,” tandasnya.

Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara, menilai penolakan proposal konservasi 5 ribu hektar oleh pihak KLH dan lebih membahas ganti rugi uang dan pemulihan lahan terbakar kiranya tidak bijak dan sulit diterima akal, karena yang patut membayar ganti rugi tersebut adalah siapa yang melakukan pembakaran.

Pasalnya, pembakaran itu bukan dilakukan oleh PT SPS. Sebaliknya, SPS merupakan korban yang telah dirugikan akibat kebakaran itu. “PT SPS sudah sejak 2 tahun lalu sudah melakukan pemulihan tanaman dan perawatan yang diperlukan,” ungkapnya.

Menurut Rivai, upaya tersebut telah dilakukan pihak PT SPS karena lokasi terbakar adalah lahan usahanya. “Bisa dilihat di lapangan, di mana tanaman sawit dan pakis-pakisan (cover crop) di areal yang terbakar, kini tumbuh subur,” katanya.

Sejak awal, SPS sudah menyerahkan sejumlah bukti tertulis, saksi, maupun ahli dari akademisi dan balai penelitian
pemerintah yang menerangkan, SPS tidak pernah membakar lahan dan tidak terjadi kerusakan tanah berdasarkan hasil uji laboratorium.

“Jadi kami yakin pada saatnya kebenaran akan terungkap sepanjang proses hukum dijalankan secara obyektif tanpa ada tekanan atau intervensi pihak manapun,” tegas.

Rivai menilai, persoalan ini lebih bermuatan politis dibanding penegakan hukum, dengan mencermati upaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing yang ingin mengkonservasi Rawa Tripa sejak 2011 lalu.

Sebagai jalan tengah dan komitmen untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hidup, maka PT SPS menawarkan kerjasama konservasi lebih dari 5 ribu hektar dari 12 ribu total HGU-nya. Namun tawaran tersebut ditolak KLH.

Dengan gugatan KLH bernilai Rp 302 milyar lebih, tuntutan pidana korporasi dan pribadi, serta upaya UKP4 pada tahun 2012 agar izin PT SPS dicabut, maka Rivai menilai pemerintah lebih mengutamakan isu yang digulirkan LSM asing daripada memberi keadilan bagi perseroan. Padahal, pengusaha sawit telah memberi pendapatan bagi negara, membuka ribuan kesempatan kerja, dan menggerakan roda perekonomian setempat, serta kemanfaatan bagi masyarakat Aceh.

“Kiranya ini akan menjadi catatan sejarah kelam bagi penegakan hukum dan iklim investasi di Indonesia,” pungkas Rivai.

Kuasa hukum KLH, Bobby Rahmat, mengatakan bahwa proses mediasi hampir rampung dilakukan dan hanya menyisakan 4 hari lagi untuk menjawab proposal mediasi yang diajukan PT SPS atas gugatan sebesar Rp 302 milyar lebih itu.

“Kalau nilai gugatan SPS sudah ada, tapi kan sejauh ini respon mereka dalam mediasi tidak menjawab gugatan,” ucapnya.

Sisilia menegaskan, saat ini sikap KLH di posisi menolak. Namun demikian, dirinya berjanji akan menyampaikan perkembangan hasil sidang mediasi hari ini kepada pimpinannya di KLH untuk diambil putusan menolak atau menerima proposal konservasi 5 ribu hektare lahan HGU yang diajukan PT SPS itu.

“Batas waktu 40 harinya sampai Senin-ya, Senin besok. Kalau Senin besok kami menyatakan deadlock antara penggugat dengan tergugat dan dinyatakan oleh hakimnya deadlock, maka kita ke pokok perkara. Tentunya kita maju,” tandas Sisilia.

Kasus gugatan KLH sebesar Rp Rp 302 milyar lebih kepada PT SPS bernomor 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel ini kembali bergulir dan sudah memasuki babak mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dipimpin Mediator Yuningtyas Upiek, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan ini, karena bukan termasuk wilayah hukumnya. []

Sumber: gatra

read more
Ragam

Warga Desa Ini Olah Sampah Jadi Gas dan Pupuk Organik

Banyak warga yang mengeluhkan soal sampah di Kota Bandung, tapi sedikit yang mau terjun langsung mengurusi sampah tersebut. Seperti yang dilakukan warga RW 7, 8, 10, 11, Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batununggal. Dengan menggunakan alat Biodigister, mereka mengolah sampah organik di wilayahnya sendiri.

Alat Biodigister sendiri yakni alat yang memproses sampah organik dengan teknik fermentasi anaerob (tanpa udara.) Hasilnya ditampung di tabung atau bak penampungan. Sehingga bisa digunakan untuk hal lain yang bermanfaat seperti bahan bakar kompor gas dan pupuk cair.

Pengolahan sampah organik mandiri oleh warga ini dimulai tahun 2007 lalu atas bimbingan Komunitas Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling), LPPM Unpad, Yayasan Saung Kadedeuh dan PD Kebersihan Kota Bandung. RW yang pertama kali melakukannya yakni RW 11.

“Di sini itu sampah banyak sekali menumpuk dan tidak terbawa oleh PD Kebersihan. Lalu LPPM Unpad waktu itu menawarkan alat biodigister sehingga bisa mengolah sampah organik sendiri,” ujar Ria Ismaria pembina My Darling saat ditemui di lokasi, Kamis (13/2/2014).

Dinilai efektif mengurangi sampah, maka alat Biodigister ini mulai diterapkan di RW lain di kawasan tersebut. My Darling dibantu oleh Surveyor Indonesia kemudian memperbanyak alat tersebut dan disebar di RW 7, RW 8, RW 10. Total dana untuk pengadaan alat hingga sosialisasi tersebut yakni Rp 75 juta.

“Kita ini kan BUMN, memang mendapat penugasan, salah satunya melakukan bantuan berupa program kemitraan dan bina lingkungan. Kebetulan ada proposal yang masuk kriteria dan kita bisa bantu. Kita memutuskan untuk membantu Rp 75 juta murni untuk program kerja, persiapan sosialisasi sampai pengadaan alat,” ujar Kepala Unit Program Kemitraan Badan Bina Lingkungan Arief Wardhana.

Menurut Arief, dalam tahap awal sosialisasi, banyak warga yang menolak dengan alasan khawatir bau dan dampak lingkungan lainnya.

“Tapi ternyata setelah ditinjau warga menyambut baik. Kami dibantu sekali oleh komunitas My Darling ini,” ucapnya.

Lebih lanjut Ria mengatakan, satu alat Biodigister tersebut dibanderol Rp 10 juta. Alat tersebut bisa menampung 20 kilo sampah organik dari 10 rumah. “Per harinya bisa menghasilkan gas satu meter kubik atau pupuk cair 2 liter per harinya,” kata Ria.

Sumber: detiknews.com

read more
Flora Fauna

Indonesia Sangat Prospek untuk Budidaya Zaitun

Meskipun teh bukan tanaman asli Indonesia, diperkenalkan penjajah Belanda pada abad 17 – kini teh menjadi minuman sehari-hari kita dan bahkan negeri ini masuk kedalam top 10 producers teh dunia. Demikian pula sawit yang diperkenalkan oleh Belanda di abad 19, kita malah menjadi producer no 1 di dunia. Bila dari para penjajah-pun yang referensinya tidak jelas kita bisa membangun industri besar, maka seharusnya kita bisa lebih mudah lagi belajar dan membangun industri yang lebih besar dengan petunjuk hidup kita yang sesungguhnya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Coba kita berpikir, kok bisa bangsa begini besar diajari untuk minum sesuatu yang sampai sekarang-pun belum jelas benar khasiatnya – yaitu daun teh, yang tanamannya-pun bukan asli kita dan tidak bisa tumbuh di sembarang tempat dari tanah kita. Mengapa tidak minum dari daun jambu misalnya, ataupun banyak dedaunan lainnya yang sebenarnya tidak kalah enak ?

Teh bisa menjadi minuman kita sehari-hari dan bahkan juga bangsa-bangsa lain di dunia, karena memang ada upaya yang massif untuk meng-industrialisasi-nya. Mulai dari penanaman-penanaman di area yang sangat luas, industri pengolahannya , kreatifitas pemasarannya, pencitraannya dlsb.

Belajar dari bagaimana tanaman teh dan sawit  yang begitu berhasilnya diadopsi di negeri ini, maka sudah seharusnya kita-pun bisa mengadopsi tanaman-tanaman yang referensi-nya jelas ada di Al-Qur’an untuk kita kembangkan secara massif di negeri ini.

Karena sumber referensinya detil dan jelas, maka seharusnya tanaman-tanaman Al-Qur’an itu bisa jauh lebih cepat unggul menjadi industri ketimbang teh dan sawit. Zaitun misalnya yang saya ambilkan sebagai contoh, bisa segera kita industrialisasi dengan skala yang sangat besar karena beberapa faktor berikut :

1)     Teknologi pembibitannya yang sangat cepat – dengan micro cutting – selain sudah berhasil juga sudah kita sebar luaskan ilmunya.

2)     Zaitun InsyaAllah bisa tumbuh dengan baik di tanah kita secara umum karena kebutuhan suhu hidup dan  tumbuhnya berada di range 7 – 35 derajat Celcius. Hampir seluruh wilayah negeri ini berada di range suhu tersebut.

3)     Zaitun adalah pohon yang diberkahi (QS 24:35), karena yang disebut adalah “pohon” , maka apapun yang dihasilkan pohon ini juga diberkahi – seperti akar, daun, batang disamping tentu saja buahnya.

4)     Buah zaitun merupakan penghasil minyak makan terbaik dari sisi kwalitas maupun kwantitas. Dari sisi kwalitas Allah sendiri yang mengabarkannya melalui QS 24 : 35, sedangkan kwantitasnya dari data-data rendemen minyak buah zaitun yang berkisar antara 15 % sampai 22 %. Dalam resep pengobatan Nabi, minyak dari buah zaitun disebutkan mengobati 70 jenis penyakit.

5)     Yang belum banyak diketahui dan dielaborasi orang adalah daun zaitun yang menakjubkan. Sebuah zat yang disebut Oleuropein ternyata kandungan terbesarnya justru berada di daun zaitun, dia ada juga pada buahnya tetapi yang belum masak ( menurun pada buah yang sudah tua/masak). Oleuropein ini bersama dengan berbagai bioactive compounds lainnya di negara-negara Mediterranean terbukti efektif mencegah dan mengobati berbagai penyakit zaman ini seperti membakar lemak, menurunkan tekanan darah, menurunkan gula darah, mencegah cancer, mengencerkan darah yang terlalu kental , mencegah dan mengobati berbagi penyakit cardiovascular, mencegah dan mengobati berbagai penyakit degenerative dlsb. Sangat bisa jadi khasiat pengobatan daun zaitun tidak berbeda – atau saling melengkapi – dengan buahnya tersebut di atas.  Ini juga sejalan dengan tafsir bahwa yang disebut diberkaihi adalah “pohon” zaitun.

6)     Menanam dan memproses hasil-hasil dari pohon zaitun tidak harus dalam skala besar sebagaimana tanaman industri seperti teh dan sawit. Hanya pemodal besar yang bisa menangani industri teh dan sawit, sedangkan untuk zaitun – industri rumah tangga-pun bisa mengembangkannnya mulai dari tanamannya sampai produk akhir baik dari daun maupun buahnya.

7)     Bila dahulu belanda hanya berbekal 3-4 bibit sawit dari satu negara di Afrika Barat (Guinea) untuk memulai memperkenalkan sawit di Indonesia. Kini di komunitas kami sudah terhimpun ribuan (bakal) bibit zaitun yang berasal dari empat benua dari sejumlah negara seperti Syria, Gaza, Spanyol, Marocco, Mesir, Perancis dan bahkan juga dari bibit zaitun yang dikembangkan di Peru. Bibit-bibit inipun siap Anda kembangkan sendiri dengan cara yang link-nya saya sebutkan di atas.

Rakyat negeri ini – tidak harus konglomeratnya – secara rame-rame seharusnya bisa menggarap berbagai peluang dari pohon yang diberkahi ini. Peluang untuk menghasilkan minyak makan yang baik, peluang mengembangkan obat halal nan murah dan nyunnah (mengikuti Sunah), peluang di industri minuman (pengganti teh !) dan industri makanan – karena zaitun inilah  satu-satunya penyedap makanan yang disebut di Al-Qur’an (QS 23:20).

Untuk implementasinya, agar rakyat yang berminat dapat terus menerus meng-update ilmunya dan sekaligus menangkap peluangnya, maka kita harus melakukannya secara berjama’ah, dengan apa yang saya sebut Zaitun Indonesia Incorporated.

Bahkan sebagaimana teh dan sawit kita yang mendunia, kita juga ingin suatu saat kelak dunia mengenal Zaitun Indonesia atau Indonesian Olive (Oliveina) – yang karena karakter tanah dan iklimnya yang unique, bisa jadi berbeda dengan Mediterranean  Olive – yang kini merajai dunia.

Lebih lanjut, zaitun ini baru titik awal dari proses industrialisasi tanaman-tanaman Al-Qur’an. Kita pilih zaitun dahulu sebagi pionirnya karena yang sudah ketemu pembiakannya secara massal, sudah ketemu pula industrinya yang bisa dibangun sejak awal – bahkan mulai saat ini yaitu industri bibitnya, menyusul industri berbasis daunnya insyaAllah dalam dua tahun kedepan, dan puncaknya nanti akan dimulai dalam 4-5 tahun kedepan ketika zaitun-zaitun tersebut mulai berbuah – insyaAllah.

Sumber: geraidinar.com

read more
Hutan

75 Titik Api Ditemukan di Hutan Aceh

Kebakaran hutan dan lahan di Aceh sudah memasuki masa darurat. Titik api yang berhasil ditemukan dari pantauan Satelit NOAA18 sejak Selasa (11/2/2014) hingga Kamis (13/2/2014) tercatat sebanyak 75 titik api. Melihat kondisi ini, tentu Pemerintah Provinsi (Pemprov)  Aceh harus bisa bekerja cepat dan tepat guna memadamkan titik api yang sebagian mulai menjalar ke perkampungan penduduk, seperti di kawasan Tangse, Kabupaten Pidie dan sejumlah daerah lainnya di Aceh.

“Aceh merupakan peringkat kedua tertinggi kebakaran hutan (hotspot) setelah Riau. Ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama atau menunggu kobaran api padam dengan sendirinya,” ujar akademisi dan pengamat lingkungan Aceh, TM Zulfikar kepada Analisa, Kamis (13/2/2014).

Dari pantauan hotspot satelit NOAA18, titik api terbesar di Sumatera, yakni di Riau 243 lokasi, sedangkan di Sumatera Utara (Sumut) 74 titik. Hanya saja, meskipun titik api di Sumut lebih kecil, namun bisa juga memengaruhi kondisi di Aceh dengan sebaran asap.

Menurut Zulfikar, upaya Pemprov Aceh untuk menurunkan emisi rumah kaca sejauh ini tak berjalan baik, bahkan bisa dibilang omong kosong. Sebab, penurunan emisi rumah kaca ini sangat berpengaruh dengan kebakaran hutan yang terjadi.

Karenanya, sudah saatnya Pemprov Aceh meminta bantuan pemerintah pusat untuk memadamkan kobaran api, terutama di kawasan yang sangat rawan dengan kebakaran hutan dan lahan ini. Sebab, bagaimana pun, Pemprov Aceh belum mampu mengatasinya sendiri karena tak memiliki alat yang memadai. “Sejauh ini hanya pemerintah pusat yang mempunyai alat untuk memadamkan api dari udara, sedangkan kami belum ada,” ujar Zulfikar.

Di lain pihak, Zulfikar mengungkapkan, sudah saatnya Aceh memikirkan bagaimana cara melakukan pencegahan kebakaran hutan setiap tahun, sebab peristiwa kebakaran hutan ini menjadi penyakit klasik yang terus terulang bila musim kemarau.

Kalau saat terjadi kebakaran hutan baru melakukan pemadaman, sama saja Pemprov Aceh seperti petugas dinas kebakaran, yakni bekerja untuk memadamkan api bila sudah terjadi kebakaran, namun upaya pencegahannya tak pernah dipikirkan.

Kondisi di Aceh merupakan sebuah fenomena. Bila musim kemarau seperti sekarang sangat rawan terjadi kebakaran. Dari hasil pantauan media sudah ditemukan titik api pada lima kabupaten/kota akibat kebakaran hutan. Sementara bila musim penghujan tiba, maka musibah banjir terus mengincar sejumlah kabupaten/kota di Aceh. Musibah banjir ini juga terus terulang setiap tahun dan hanya lewat keajaiban alam saja bisa susut kembali tanpa upaya pencegahan.

Lahan Sawit Terbakar
Dilaporkan, puluhan hektar lahan kelapa sawit milik masyarakat di Kecamatan Kuala Batee dan Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sejak beberapa hari lalu terbakar. Diduga kebakaran lahan perkebunan tersebut akibat suhu yang sangat panas yang menerpa daerah ini sejak sebulan lalu.

Informasi diperoleh Analisa, Kamis (13/2), beberapa titik api muncul di kawasan Jalan 30 Gampong  Persiapan Lhok Gayo, Gampong Persiapan Rukon Damai Geunang Jaya, dan di Alue Mantri Gampong Persiapan Blang Raja. Kecamatan Babahrot. Bukan saja lahan perkebunan yang dilalap api, tetapi juga areal hutan setempat.  Titik api muncul di lokasi Alue Baneng Gampong Sejahtera dan di kawasan Batee Deumam Gampong Ie Mirah, Kecamatan Babahrot.

Untuk Kecamatan Kuala Batee, dilaporkan titik api yang membakar lahan bergambut muncul di beberapa titik, yaitu di kawasan perkebunan Drien Leukit Gampong Blang Makmur sampai ke perbatasan Krueng Teukuh.

Kendati petani bersama Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten (BPBK) Abdya sudah berupaya melakukan pemadaman, namun hingga Kamis (13/2) sebagian titik api masih berkobar, terutama di kawasan Alue Mantri dan Drien Leukit. “Titik api masih muncul hingga hari ini. Diperkirakan sekitar 30 hektare (ha) lebih lahan kelapa sawit milik petani terbakar sejak kemarin,” ujar Bakti, petani setempat, kepada wartawan, Kamis (13/2).

Bakti menambahkan, sekitar 11 ha lahan kelapa sawit miliknya yang baru berumur tiga bulan juga ikut terbakar. Kebakaran itu selain akibat suhu panas yang melanda Abdya sejak sebulan lalu, diduga muncul dari lahan bergambut serta disebabkan oleh api yang bersumber dari lahan yang baru dibuka dengan cara membakar oleh sejumlah petani. Upaya pemadaman yang dilakukan warga secara manual menjadi terkendala karena sulit mendapatkan sumber air, setelah saluran pembuang di kawasan areal perkebunan kering kerontang.

Sementara itu, kebakaran dengan cepat meluas membakar lapisan lahan gambut yang sudah kering diterpa suhu panas, setelah lebih dua pekan terakhir tidak diguyur hujan. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten (BPBK) Abdya, Jusbar saat diwawancarai di ruang kerjanya, Kamis (13/2) menyebutkan, pihaknya mengaku sudah melakukan pemadaman sejak Senin (10/2) dengan mengerahkan tiga unit mobil pemadam kebakaran.

Disebutkan, hingga hari ini pihak BPBK setempat masih melakukan pemadaman di kawasan Drien Leukit. Petugas kesulitan melakukan pemadaman karena tak ada akses jalan yang dapat dilalui oleh armada pemadam kebakaran.

Sumber: analisadaily.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Gara-gara Transgenik, Petani Australia Tuntut Ganti Rugi

Seorang petani Australia mengajukan tetangganya ke pengadilan terkait tanaman pangannya dikatakan terkontaminasi tanaman-tanaman rekayasa genetika. Petani organik Steve Marsh menuntut ganti rugi atas kontaminasi di ladangnya yang terletak di Kojonup, Australia Barat.

Marsh juga meminta pengadilan mengeluarkan surat perintah larangan bagi tetangganya untuk tidak menanam kanola transgenik dalam radius satu kilometer dari lahannya.

Pada 2010 sebagian besar sertifikat organik yang dikantongi Steve Marsh dicabut setelah benih dari tanaman transgenik mengotori lahan pertaniannya. Ia mengaku menghadapi kesulitan keuangan dan masa depan tidak menentu setelah pencabutan sertifikat organik.

Tim pengacaranya mengatakan Marsh ingin menjadikan contoh penting mengenai kebebasan pilihan yang dihadapi petani. Namun tetangga Marsh, Michael Baxter berpendapat karena Marsh sendiri tidak menanam kanola, maka ladang milik Marsh tidak mungkin terkontaminasi. Lahan pertanian Marsh ditanami gandum dan biji-bijian lain.

Tim pengacara Baxter juga mengatakan badan sertifikasi organik Australia terlalu berlebihan dan menetapkan standar tidak masuk akal sehingga sertifikat Marsh dicabut.

Sumber: bbc.co.uk/indonesia

read more
Hutan

Kebakaran Hutan Melanda Hutan Aceh

Kemarau panjang menyebabkan sejumlah titik api muncul di kawasan pegunungan, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Sumber api diduga akibat warga membakar sampah sembarangan. Kebakaran terus meluas namun sejauh ini belum terlihat adanya upaya pemadaman.

Kebakaran hutan lindung di wilayah Tangse telah terjadi sejak tiga hari lalu. Belum diketahui penyebab kebakaran puluhan hektare hutan lindung di kawasan Cot Kuala, Tangse, diduga akibat warga yang membakar sampah di sekitar hutan.

Hingga Kamis pagi masih terdapat puluhan titik api terus menjalar dan meluas. Sejauh ini tidak terlihat ada upaya pemadaman api dari warga maupun pemerintah kabupaten setempat. Api terlihat terus menjalar menyusuri hutan sekitar. Diperkirakan jika tidak ada hujan maka dalam jangka waktu dua hari api akan menghanguskan ratusan hekatare lahan lainnya.

Tidak adanya jalur menuju titik api diduga menjadi alasan utama tidak ada warga dan pihak dinas terkait yang berusaha memadamkan api tersebut.

Kebakaran hutan juga terjadi di kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat. Hingaa kini wilayah Aceh masih dilanda kemarau panjang. Dampak lain juga menyebabkan sejumlah tanaman padi warga mati karena kekeringan. []

Sumber: TGJ/metronews

read more
1 4 5 6 7 8 11
Page 6 of 11