close

BANDA ACEH – Reactive Monitoring Mission (RMM) International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco, Peter Howard menyebutkan Tropical Reinforest Heritage Sumatera (TRHS) merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh Unesco.

Sejak ditetapkan sebagai TRHS, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga Unesco menetapkannya dalam bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah RI melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan tersebut.

“Lima tahun lalu RMM juga sudah datang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Sekarang setelah 5 tahun berjalan kita akan melihat, bagaimana proses perbaikan dari rekomendasi tersebut dilakukan,” kata Peter Howard dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (6/4/2018).

Peter menjelaskan, pihaknya akan melihat apakah target-target yang telah ditetapkan 5 tahun lalu masih realistis untuk dicapai atau harus diubah. Tim siap membantu jika target tersebut belum tercapai.

“Kita siap meminta bantuan komunitas internasional untuk datang dan turut membantu,” ucap Peter.

Untuk memastikan perkembangan TNGL dan khususnya KEL,  Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pamuji Lestari menjelaskan, tim akan beraktivitas di beberapa taman nasional di Sumatera selama 12 hari. Ini dilakukan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, tetapi taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata,” tukasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/KPTS-II/2000, luas KEL mencapai 2.255.577 hektar, yang terbagi atas lokasi TNGL seluas 26,72 persen, Kawasan Taman Buru seluas 1,29 persen, Suaka Marga Satwa seluas 4,54 persen, Hutan Lindung 41,75 persen, Hutan Produksi 11,24 persen, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 14,46 persen.

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki peran besar sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, dan penyerap karbon. Sedikitnya terdapat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di kawasan itu.

“KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” kata Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sedangkan TNGL, pengelolaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. TNGL harus bersih dari segala aktivitas yang mengganggu kegiatan konservasi.

“Jika ada isu mengatakan akan ada pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis, di antaranya merekrut tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas untuk menjaga kelestarian KEL.

“Saat ini jumlah Pamhut yang direkrut Pemerintah Aceh pada tahun 2007/2008 hanya tersisa sebanyak 1.800 orang. Sebagian yang lain telah mengundurkan diri setelah mendapat pekerjaan lain,” ungkap Nova.

Tidak hanya merekrut Pamhut, melalui Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, Pemerintah Aceh melarang semua aktivitas penebangan di kawasan hutan negara, disusul keluarnya kebijakan moratorium izin tambang dan mineral di tahun 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016.

Selain itu, ada pula Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan di wilayah ini.

Kebijakan ini diperkuat pula dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Aceh, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, Keputusan Gubernur tersebut sedang dalam proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Aceh itu, bukan berarti semuanya dapat menjamin kalau perlindungan dan pengawasan KEL berjalan dengan sempurna. Dengan wilayah yang begitu luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan secara menyeluruh. Tidak heran jika aksi-aksi illegal logging masih terjadi di kawasan itu,” kata Wagub.

Pada tahun 2011, Unesco menempatkan TNGL dalam status World Heritage in Dangered. Status ini merupakan peringatan untuk memberi perhatian lebih pada upaya pelestarian dan pengawasan di KEL dan TNGL.

“Semoga proses monitoring dan evaluasi yang akan berlangsung sukses. Harapan saya, melalui pertemuan ini kita dapat membahas langkah-langkah pelestarian ekosistem TNGL yang lebih komprehensif, sehingga peran KEL sebagai paru-paru dunia tetap berjalan dengan baik,” tutupnya.[acl]

Tags : acehhutan acehKELTNGL

Leave a Response