close
Ragam

Menguak Tabir “Aceh sebagai Kota Bencana”

Ilustrasi Bencana | Foto: int

Siapapun dari kita, tentunya tidak akan sepakat bila dikatakan daerah tempat kita sebagai kota bencana, apalagi untuk Provinsi Aceh – tempat menetap saya. Tetapi, setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan apapun pendapatnya dan kita harus menghargai itu. Tentunya, pendapat tersebut harus mampu dipertanggung jawabkan dari berbagai sisi.

Sebagai orang Aceh, saya tidak serta merta menerima “label” itu diberikan untuk provinsi yang terletak di ujung sumatera ini, meskipun wilayah ini kerap dilanda bencana. Namun, saya terkejut ketika membaca sebuah tulisan yang dituliskan oleh Wiliam Marsden  beberapa tahun lalu dalam bukunya ”Sejarah Sumatera”, yang isinya adalah pulau ini pernah terjadi bencana berupa kebakaran hutan tetapi  bukan karena dibakar oleh manusia melainkan lava yang dikeluarkan oleh gunung berapi sehingga menyebabkan hutan terbakar. Hal serupa terjadi di tahun 1770, kala itu bencana gempa dengan gempa besar telah membuat masyakarat di sebuah kampung banyak yang  meninggal.

Beberapa hari setelah itu, kemudian saya juga menemukan tulisan lain yang dituliskan oleh Djulianto Susantio yang dikutip dari buku Denys Lombard “Kerajaan Aceh”.  Dia mengatakan sekurangnya setiap tahun Aceh pernah dilanda oleh gempa sebanyak tiga hingga empat kali,  Sejumlah dokumen sejarah dari abad  XVI hingga XVIII berulang kali menyebutkan Aceh (bersama Nias) sebagai ”Kota Bencana”.  air laut pasang, dan gempa bumi silih-berganti melanda Aceh. Akibatnya, para pedagang dan pengelana asing menjuluki Aceh sebagai ”kota mati” atau ”kota menyeramkan”.

Pernyataan ini menggambarkan bahwa, negeri Aceh dari dulu sampai sekarang memang sudah menjadi langganan bencana. Terlepas percaya atau tidak!, yang pastinya jika dilihat dari  berbagai studi literatur sejarah tempo dulu menyebutkan bencana sering terjadi.

Melihat dari  dua referensi itu, saya sebagai bekas orang menutut ilmu mulai percaya bahwa, negeri kita (Aceh) adalah daerah langganan bencana. Di sini saya juga ingin menambahkan, selain dua bencana tersebut, longsor dan banjir merupakan ancaman yang paling serius untuk kita. Bahkan, kedua bencana ini adalah langganan tahunan untuk kita. Dari beberapa hal yang saya kemukakan di atas, bagaimana dengan Anda!

Terlepas dari kata sepakat atau tidak, sebagai generasi muda yang memiliki secuil ilmu kita dituntut untuk bertanggung jawab. Tanggung hawab yang saya maksudkan disini bukan kita sebagai pelaku, tetapi bagaimana mencari solusi untuk menghentikan persoalan ini. ini Meskipun pada umumnya masyarakat sudah mengetahui penyebab dan dampak dari bencana ini, tapi saya juga mencoba menulisnya agar ini bisa menjadi pembelajaran bagi saya sendiri maupun untuk yang lainnya. Menurut kami, ada dua solusi yang bisa dilakukan yaitu, melalui sisi kebencanaan dan melalui dampak dari bencana.

Sekarang saya mencoba membahas satu-satu solusi ini, pada sisi pertama adalah kebencanaan. Pada faktor ini kita harus melihat, kenapa itu bisa terjadi!. Tentunya, ini pasti ada sebab. Ketika berbicara sebab, kita harus melihat duduk permasalahan dengan benar, sehingga hasil yang didapatakan juga baik. Dari beberapa koran dan wawancara yang saya lakukan dengan sejumlah mayarakat menyimpulkan, bahwa bencana itu bencana terjadi akibat ulah tangan jahil manusia itu sendiri.

Jika dilihat dari jenis bencananya, sejak tahun 1990-han, bencana yang kerap terjadi di Aceh adalah jenis banjir, gagal panen, longsor dan konflik manusia dengan marga satwa. Hampir semua tempat yang pernah dilanda bencana ini disebabkan oleh akibat maraknya illegal loging (penebangan illegal). Dari catatan kami, dalam beberapa tahun terakhir bencana seperti ini terjadi hingga puluhan kali.

Sedangkan untuk sisi kedua adalah dampak bencana. Kalau berbicara ini, tentunya saya melihat pada jumlah korban jiwa dan harta yang berjatuhan. Bayangkan saja, sekecil apapun bencana itu terjadi, pasti ada korban jiwa dan harta.

Korban jiwa ini bukan berarti harus ada yang meninggal ataupun luka-luka, trauma yang timbulkan dari setiap bencana terjadi merupakan salah satu kategori yang masuk dalam jenis korban jiwa.  Begitu juga dengan korban harta itu, dampak yang dihasilakan dari bencana itu adalah terjadinya  kerusakan-kerusakan pada bangunan-bangunan, seperti rumah-rumah warga, fasilitas umum, infrastruktur dan tanaman.

Solusi

Mari kita simak Firman Allah SWT dalam AL Quran, surat Ar Rum ayat 41 yang  artinya;

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Harusnya, sebagai orang Aceh dan beragama islam, firman ini adalah peringatan keras bagi kita untuk menjaga lingkungan secara baik bukan malah merusaknya. Jika lingkungan lestari, kita akan nyama, tenang, dan tentram dalam melakukan berbagai aktivitas, ancaman bencana tidak terjadi,  bukan sebalikanya.

Umumnya, kita mengalami penyesalan yang sangat luar biasa ketika bencana itu melanda, tetapi hal itu tidak bertahan lama. Bahkan, ketika masa-masa darurat (penyesalan) itu hilang masyarakat kita kembali melakukan perusakan lagi.

Bencana tidak akan terjadi jika kita mampu bersahabat dengan alam. Misalnya dengan menjaga lingkungan seperti melestarikan lingkungan dengan  melakukan penghijauan kembali.

Sebab, pelestarian lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Karena itu, menjaga lingkungan merupakan bagian yang harus menjadi priority demi menjaga keselamatan.

Disamping itu, agar Aceh tidak lagi dikatakan kota bencana, maka  solusi lain adalah bagaimana pemerintah menjalankan atuaran-aturan secara baik dan tegas, masyarakatpun bisa menerima dengan ikhlas.  Semoga paradigma  Aceh dijuluki sebagai “Kota Bencana” tidak terjadi lagi.    (teuku multazam)

 

Tags : bencanahutan

Leave a Response