close
Ragam

Mengunjungi Alam Liar Afrika Selatan

Sebuah pondok di Taman Nasional yang berada di Afrika Selatan | Foto: Dara Adilla

Mungkin kata apartheid dan Afrika Selatan tidak asing lagi bagi kita. Kata ini mulai banyak dibicarakan pada era 1970-an. Kata ini merujuk pada model kepemimpinan yang membedakan ras atau warna kulit dengan makna negatif yang terkandung didalamnya. Apartheid kian menjadi popular tahun 1994 dan tahun-tahun berikutnya; setelah perjuangan untuk menentang model kepemimpinan ini berhasil dilakukan.

Perjuangan ini dipelopori oleh Nelson Mandela yang kemudian menjadi Presiden pada pemilu tahun 1994. Tapi, saya tidak akan banyak bercerita dan melanjutkan sejarah Negeri Pelangi ini, karena saya bukanlah seorang sejarawan. Yang saya ingin berbagi disini adalah apa yang saya lihat, rasakan dan nikmati pada perjalanan tahun lalu ke Negeri Madiba (Madiba adalah panggilan khusus rakyat Afrika Selatan untuk Nelson Mandela). Karena setiap perjalanan pasti mempunyai catatan dan pelajaran untuk dibawa ke negeri sendiri.

Perjalanan saya ke Republik Afrika Selatan adalah untuk mengikuti International Workshop Reunite-Retreat-Reflect yang merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Climate Leadership Program (CLP) yang dilaksanakan oleh Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ German), CCROM-SEAP Institut Pertanian Bogor (IPB Indonesia) dan University of the Witwatersrand South Africa. Tentang program keren ini, saya akan bercerita di lain kesempatan.
Bertolak dari Soekarno Hatta Int’l Airport, saya menuju ke OR Tambo Int’l Airport melalui Doha Int’l Airport di Qatar.

Tak lama waktu yang saya tempuh untuk mencapai Johannesburg (Joburg), hanya  tujuh belas jam; sudah termasuk waktu menikmati indahnya bandara Doha Int’l; transit. Ditemani Padang Bulan Andrea Hirata dan alunan musik yang tersedia di pesawat (saya sedikit kurang puas, karena pesawat ini tidak ada musik dangdut) plus doa keselamatan akhirnya Alhamdulillah saya mendarat mulus di OR Tambo Int’l Airport yang berada di sebuah kota yang paling berdenyut di Afrika Selatan; Joburg.

Yup, seperti biasanya memasuki Negara orang, pastinya kita akan dimintai keterangan yang berurusan dengan keimigrasian. Dan satu kata untuk hal itu; lancar. Namun, yang terjadi selanjutnya adalah kejadian lucu yang mungkin akan terpatri di dalam hati saya untuk beberapa waktu yang sangat lama. Sambil menunggu koper keluar dari tempat persembunyiannya, beberapa teman dari Indonesia dan saya bercengkrama ria mengenai falsafah hidup. Yang kemudian, cengkrama kami diusik oleh seekor anjing dan tuannya (petugas bandara).

Dengan senang hati kami menerima usiknya mereka berdua; karena mereka sama sekali tak punya alasan untuk mengintegorasi kami mengenai apa yang ada dalam tas ransel dan tas tangan kami. Dan keduanya melenggang kangkung diikuti senyum lebar saya dan juga teman-teman.

Hanya berselang lima menit, anjing kecil nan lucu itu kembali memberikan endusannya, tak tanggung-tanggung, langsung menyapa manis ke ransel saya. Dan serta merta, majikannya pun penasaran, apalagi saya; luar biasa penasaran (sambil bertanya dalam hati, apakah Ibu saya memasukkan daging rendang atau dendeng kedalam ransel besar itu?) Petugas bandara tersebut melebarkan senyum dan meminta saya untuk membuka ransel hitam manis saya.

Bagaikan tertuduh tapi tak berbuat jahat, langsung dengan semangat saya membuka ransel yang isinya kraker, biscuit, keurupuk mulieng belum diolah (emping), dan tiga bungkus bubuk kopi Solong (ukuran ¼ kg) dan tentu beberapa benda yang tak penting tapi sangat ingin saya bawa serta. Dan kebenaran ada dipihak saya, bahwa saya tidak sedang membawa daging-daging dan sesuatu yang melanggar aturan perjalanan keluar negeri (misalnya narkoba, uang hasil korupsi dan lainnya). Tapi, anjing itu sangat bersikeras, dia sangat suka dengan isi ransel saya. Kejadian ini berakhir dengan majikan yang menarik keras anjingnya untuk menjauhi ransel saya dan seringai tawa dari teman-teman Indonesia.

Baru-baru ini saya mengetahui bahwa anjing sangat sensetif dengan bau kopi. Jadi, beruntungnya saya adalah bubuk kopi Solong dibungkus dengan plastic transparan yang dengan langsung bisa dilihat oleh petugas bandara, tanpa harus membuka dan mengeluarkan bubuk kopi tersebut. Terima kasih Solong!

Berada di Negara yang dulu selalu disebut-sebut dalam buku Sejarah SD hingga SMA, membuat saya terlalu bersemangat. Meski udara awal musim dingin mulai menyapa yang merupakan pertanda kurang baik bagi saya yang berasal dari Negara tropis. Semangat itu tetap membara, apalagi membayangkan hidangan makanan penuh cita rasa; undangan makan malam dari Kedutaan Besar Republik Indonesia Afrika Selatan di Pretoria. Betapa bersyukur menjadi seorang yang hidup di daratan yang mempunyai hasil alam berlimpah dengan ragam rempah yang luar biasa.

Hanya semalam menginap di Joburg, esok hari kami dengan rombongan besar (Indonesian, South African, dan Germany) menuju ke Rustenburg (tempat berlangsungnya workshop yang saya sebutkan sebelumnya, sekitar dua jam tiga puluh menit dari Joburg). Perjalanan menuju Rustenburg, diselingi dengan kunjungan ke beberapa tempat bersejarah di Joburg. Kami mengelilingi kota Joburg dengan tiga orang pemandu yang merupakan para penggiat dari komunitas Fietas. Fietas adalah nama sebuah tempat; yaitu tempat berkumpulnya ras kulit berwarna, Malay, Indian sebelum tahun 1970an. Namun, setelah tahun tersebut, masyarakat yang beragam warna kulitnya kemudian direlokasikan ke tempat yang jauh karena adanya kebijakan apartheid.

Memanglah, membeda-bedakan manusia berdasarkan warna kulitnya adalah hal yang sangat menyedihkan (tak banyak cerita yang ingin saya bagi untuk hal ini, terlalu sedih). Selanjutnya adalah pemandangan beberapa mesjid di Negara yang mempunyai populasi penganut agama Islam sebesar kurang lebih dua persen. Mesjid yang terekam di otak saya adalah Mesjid Ahmadiyah dan Mesjid Hanafi.

Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang keduanya, karena kami hanya berlalu pandang didepan mereka. Ada yang membuat saya sangat antusias di kota Joburg ini, yaitu melihat tempat pemakaman umum; benar-benar umum, mendapatkan semua ras ada di pemakaman ini adalah hal yang luar biasa; Muslim, China, India, Yahudi, Nasrani dan lainnya). Ada satu makam seorang Muslim yang terlihat sangat anggun; beliau adalah seorang ulama yang menyebarkan Islam di Afrika dan diyakini berasal dari tanah Melayu, saya hanya mengingat nama akhirnya; Ja’far. Semoga Allah selalu memberkati beliau. Amiiin.

Tenaga untuk menjelajah Joburg masih banyak, semangat untuk mengambil hikmah disetiap langkah berjalan masih tinggi. Tujuan selanjutnya adalah Cradle of Humankind di Maropeng, salah satu bagiannya adalah Gua Sterkfontein. Tempat ini telah disahkan sebagai salah satu Warisan Dunia pada tanggal 2 Desember 1999 oleh UNESCO karena kekhasan lahannya yang mengandung sangat banyak fossil dan artifak masa lampau. Ditempat inilah, para peneliti ilmiah meyakini bahwa nenek moyang manusia berasal. Kalau kita ke Aceh Tengah, disungguhi dengan cerita Puteri Pukes dan juga Loyang Koro, maka disini suguhan ceritanya adalah tentang penemuan ilmiah manusia pertama di bumi (ini adalah katanya ilmuwan, bukan kata saya).

Ada satu peringatan yang selalu dilantunkan oleh pemandu, “tetaplah berada dekat dengan saya, karena jika tidak, anda akan tersesat dan akan ditemukan setelah empat ratus tahun kemudian”. Angka tersebut cukup membuat seseorang menjadi fosil yang kemudian akan diumumkan sebagai manusia yang pertama yang tersesat di gua tersebut. Saat itu, saya berpikir hanya ingin cepat keluar karena sama sekali tidak nyaman didalam gua yang gelap meski sangat indah dengan pemandangan stalaktit dan stalaknit dan juga danau yang berkedalaman empat puluh meter.

Berkunjung ke benua Afrika, tak lengkap rasanya jika tidak menikmati alam liar dengan melihat langsung kegiatan sehari-hari para binatang. Dan Taman Nasional Pilanesberg (TN Pilanesberg) adalah tujuan untuk memenuhi kesempatan bersafari ria. TN ini dulunya adalah tanah pertanian milik masyarakat yang kemudian diubah menjadi TN yang dilatarbelakangi oleh alasan wisata alam. Sebelum dijadikan TN, adalah proses yang sangat panjang menyertai kelahirannya. Proses dan tantangan menjadi dua hal yang menarik bagi saya yang hidup disebuah Negara yang mempunyai beberapa TN.

Misalnya, ada proses tawar-menawar dengan masyarakat setempat yang berakhir baik, juga penelitian yang komprehensif tentang tumbuhan apa saja dan jumlahnya berapa untuk bisa memenuhi kebutuhan binatang yang akan menghuni TN tersebut. Mungkin, ada baiknya Pengelola Taman Nasional di Aceh sesekali berkunjung ke Afrika Selatan untuk mengambil beberapa pelajaran yang bisa dibawa pulang dan dikembangkan (ini hanya sekedar saran dari seorang naif seperti saya).

Penulis adalah Anggota Aceh Climate Change Studies (ACCeS)  dan aktif di berbagai kegiatan lingkungan di Aceh

sumber: acehclimatechange.org

Tags : hutanrimbasatwataman nasional

2 Comments

    1. terima kasih atas kunjungannya.
      Apa link berita wisata unik minangkabau?

Leave a Response