close

hutan

Ragam

Indonesia Miliki Ratusan Spesies Bambu

Kementerian Lingkungan Hidup bersama Komunitas Bambu Indonesia menyelenggarakan Refleksi Setahun Deklarasi Persaudaraan Pecinta Bambu Indonesia dalam rangka Konservasi dan Pemanfaatan Bambu yang telah dideklarasikan pada 26 November 2012 di Bandung. Pada tanggal tersebut juga dideklarasikan pembentukan Forum Komunitas Bambu dan sekaligus mencanangkan bahwa setiap 26 November diperingati sebagai Hari Bambu Indonesia.

Kegiatan ini berisi dialog interaktif tentang “Pengembangan Bambu Secara Berkelanjutan di Indonesia” yang dihadiri narasumber yaitu Ir. Sarwono Kusumaatmadja (Mantan Menteri Lingkungan Hidup), Prof. Elizabeth A. Wijaya (pakar bambu LIPI), Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, serta Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup.

Selain dialog interaktif, kegiatan peringatan Hari Bambu Indonesia juga diisi oleh pameran produk bambu dan gerakan aksi penanaman bambu.

Tujuan acara ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman bambu sebagai salah satu keanekaragaman hayati Indonesia dan yang perlu dilestarikan. Acara ini sekaligus dalam rangka memperingati pengakuan angklung sebagai warisan budaya tak benda yang dicanangkan oleh UNESCO pada tanggal 16 November 2011 dan memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional tanggal 5 November yang tahun ini bertemakan “Puspa dan Satwa Sahabat Kita Bersama, STOP Kepunahan”.

Peringatan tersebut sejalan dengan penetapan Biodiversity Decade 2010-2020 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendukung tercapainya target global penurunan kemerosotan keanekaragaman hayati pada tahun 2020 (Aichi Target).

Dalam sambutan mewakili Menteri Lingkungan Hidup, Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup, Ir. Hermien Roosita, MM, mengatakan, “Melalui forum ini, peringatan Hari Bambu Indonesia 2013 menjadi gerakan nasional untuk melestarikan dan melindungi bambu indonesia dengan membangun kesepahaman dan kesepakatan bersama, menjalin komunikasi dan pertukaran informasi antara sesama pemangku kepentingan sera menyusun rumusan konseptual dan konkrit demi pelestarian dan pemanfaatan bambu secara berkelanjutan”.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman dan kepunahan spesies yang tinggi di dunia. Kondisi keanekaragaman hayati Indonesia semakin hari semakin merosot, baik pada tingkat ekosistem spesies maupun genetik. Dalam rangka mengamankan dan melestarikan keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan nasional,

Pemerintah Indonesia telah menandatangani Protokol Nagoya yang merupakan instrumen untuk mencegah pencurian sumber daya genetik. Indonesia sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, memiliki keanekaragaman jenis bambu. Dari sekitar 1500 jenis bambu yang sudah dikenal di dunia, 147 di antaranya merupakan jenis asli Indonesia termasuk jenis-jenis bambu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Kekayaan akan bambu ini harus dicatat sebagai aset yang mempunyai peranan penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia, baik ditinjau dari segi ekonomi, kebudayaan maupun ekologi. Hal ini, mengharuskan kita untuk dapat melindungi spesies dan genetik bambu Indonesia, termasuk hasil pemanfaatan dari bambu khas Indonesia.

Bambu mempunyai manfaat yang sangat banyak baik dari segi ekonomi, segi ekologi maupun sosial budaya. Dari segi ekonomi, kebanyakan etnik nusantara menggunakan bambu dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu terlihat dari penggunaan bambu untuk bahan bangunan rumah, peralatan rumah tangga, peralatan kesenian, dan peralatan berburu, bahkan untuk bahan makanan dan bahan obat-obatan. Dari segi ekologi, bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat air dan tanah.

Tanaman bambu yang rapat dapat mengikat tanah pada daerah lereng, sehingga berfungsi mengurangi erosi, sedimentasi dan longsor. Tan aman bambu juga mampu menyerap air hujan dan dengan daun berbentuk jarum yang penguapannya kecil, tanaman bambu berfungsi menyimpan air.

Sementara itu, dalam kaitan dengan upaya mitigasi perubahan iklim, pengembangan tanaman bambu juga mendukung meningkatk an penyerapan karbon. Dari suatu penelitian, tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 62 ton/Ha/tahun karbon dioksida).

Bambu juga merupakan bagian dalam kehidupan seni dan budaya antara lain sebagai alat musik (angklung, kulintang bambu, jegog bali, dan lain-lain) dan digunakan dalam banyak ritual lainnya. Dari segi sosial budaya, bambu bermanfat untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, mencegah urbanisasi serta mendorong pariwisata.

Sumber: menlh.go.id

read more
Hutan

Mendefinisikan Hutan Demi Meningkatkan Pemantauan REDD

Jika para pembuat kebijakan gagal mempertimbangkan secara hati-hati bagaimana mereka mendefinisikan hutan, mereka mengambil risiko mengorbankan potensi keberhasilan program REDD+ yang didukung PBB, yang bertujuan untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, kata para ilmuwan.

Suatu studi kasus baru-baru ini di Indonesia menemukan bahwa  tantangan seperti menentukan perkebunan eukaliptus dan jati sebagai “hutan” dapat memiliki dampak signifikan terhadap bagaimana emisi karbon dari deforestasi dan degradasi diukur dan dilaporkan, dan bagaimana penyebab deforestasi dikaji, demikian menurut sebuah kajian.

“Definisi  menetapkan parameter yang dengan itu Anda menghimpun informasi mengenai hutan Anda di masa lalu, sekarang, dan masa datang, yang memungkinkan Anda mendesain skema REDD+ yang lebih efektif,” kata Louis Verchot, Direktur Penelitian Hutan dan Lingkungan pada Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), yang juga ilmuwan sekaligus penulis pembantu laporan baru.

“Jika definisi ini tidak jelas dan konsisten maka Anda akan mendasarkan penilaian keberhasilan Anda pada data yang tidak akurat. Anda mungkin berpikir mengalami dampak yang lebih besar dari yang sebenarnya.”

Penelitian tersebut, meninjau data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia dari 2000 sampai dengan 2009, menemukan bahwa tingkat deforestasi 28 persen lebih tinggi – 1,35 juta hektare lebih – bila menggunakan definisi nasional dibandingkan dengan definisi internasional, atau menggunakan definisi yang hanya mengakui hutan non-perkebunan.

Indonesia adalah salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terkemuka dunia — 85 persen di antaranya berasal dari konversi dan deforestasi lahan. Memilih definisi hutan yang tidak sesuai  dengan kondisi nasional dapat menyebabkan meluasnya area deforestasi yang dikecualikan oleh skema REDD+ dan tambahan 200 juta ton karbon yang dipompa ke atmosfer, ungkap laporan tersebut. Emisi ini harus diperhitungkan jika Indonesia ingin memenuhi janjinya untuk mengurangi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 26 persen pada 2020 dan untuk keberhasilan 44 proyek REDD+ yang saat ini sedang berjalan.

Studi kasus di Indonesia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang berpartisipasi dalam program REDD+, khususnya kebutuhan untuk secara akurat memonitor dan melaporkan emisi karbon dan tingkat deforestasi mereka.

Data yang dikumpulkan menggunakan citra satelit dan daftar persediaan karbon dipakai untuk menentukan referensi emisi pada tingkat nasional (REL) — patokan untuk mengukur keberhasilan tindakan REDD+ dan dasar untuk menghitung pembayaran kompensasi.

Dengan demikian, kegagalan dalam mengupas semua sumber utama deforestasi secara komprehensf karena kesulitan mendefinisikan hutan dapat mempengaruhi legitimasi skema, kata Verchot, dan itulah sebabnya mengapa pemerintah harus memilih dengan bijak.

“REDD+ memiliki insentif keuangan, sehingga pembuat kebijakan harus sadar ketika mengirimkan definisi kepada Konvensi Kerangka Kerja tentang Perubahan Iklim [UNFCCC] PBB bahwa mereka akurat dan menjaga cermat,” katanya menambahkan.

Perbedaan dalam Mendefinisikan Hutan 
Meskipun Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan agar negara-negara melaporkan hilangnya tutupan hutan dan emisi gas rumah kaca menggunakan definisi yang diakui secara internasional, seperti definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tidak ada kesepakatan global mengenai definisi “deforestasi” dan “degradasi” dalam UNFCCC sendiri. Definisi tersebut berbeda-beda di setiap negara, bahkan di tingkat provinsi dan daerah dalam suatu negara.

Di Indonesia, sebagian besar definisi ditentukan oleh Kementerian Kehutanan (MOF) dan perkebunan (hutan tanaman tunggal, seringnya spesies non-pribumi) dianggap sebagai bagian dari domain hutan nasional.

Ini berarti bahwa di bawah Kementerian Kehutanan saat ini, perkebunan jati dan eukaliptus diklasifikasikan sebagai “hutan”, yang bisa memiliki implikasi emisi yang besar, kata Verchot.

Meskipun hutan tanaman memang menyimpan karbon, mereka berkontribusi terhadap pengurangan emisi bila ditanam di lahan kritis dengan kepadatan karbon yang rendah pada awalnya, kata dia menambahkan, sehingga sejarah tanah yang akan ditanami harus dipertimbangkan.

“Beberapa yang tidak masuk ke dalam definisi terbaru adalah hutan tanaman yang menggantikan hutan alam, seperti rawa gambut, yang melepaskan sejumlah besar emisi ke atmosfer,” katanya. “UNFCCC sangat spesifik bahwa emisi dari konversi hutan alam menjadi hutan tanaman harus dipertimbangkan dalam skema REDD+ nasional.”

Dengan pemikiran ini, ilmuwan CIFOR memutuskan untuk kembali memeriksa data sejarah deforestasi di seluruh kepulauan Indonesia untuk mengungkap sejauh mana definisi FAO, definisi “hutan alam” yang mengecualikan hutan tanaman, dan Departemen Kehutanan akan berdampak pada penilaian laju deforestasi dan penyebab deforestasi.

Studi ini menemukan bahwa antara 2000 dan 2009, laju deforestasi seluas 4,9 juta hektare terjadi saat menggunakan definisi FAO, 5,8 juta hektare saat menggunakan definisi “hutan alam” (18 persen lebih tinggi), dan 6,8 juta hektare saat menggunakan definisi MOF (28 persen lebih tinggi).

Pemilihan definisi menyebabkan hasil yang sangat berbeda
Sebagai contoh, di bawah definisi internasional FAO, semak  belukar dianggap hutan sekunder, berdasarkan tutupan dan tinggi kanopi. Ini berarti bahwa di Kalimantan dan Sulawesi, antara 2003 dan 2006, sebagian besar kawasan hutan sekunder yang dikonversi ke semak belukar tidak dihitung sebagai “deforestasi” berdasarkan definisi FAO.

Oleh karena itu, laju deforestasi dua kali lebih tinggi untuk definisi hutan alam Kementerian Kehutanan daripada definisi hutan alam FAO di daerah-daerah ini.

Bahkan, lebih dari setengah total luas area yang terdeforestasi di Indonesia pada 2000-2009 disebabkan oleh konversi hutan sekunder ke semak belukar berdasarkan definisi hutan nasional dan hutan alam, yang tidak diakui oleh definisi FAO.

Baik definisi menurut FAO maupun Kementerian Kehutanan tidak membeda-bedakan perkebunan dan hutan alam. Ini berarti bahwa ketika lebih dari 130.000 hektare lahan gambut, hutan bakau, dan hutan dataran tinggi dikonversi menjadi hutan tanaman di Sumatera pada 2006-2009, mereka diakui sebagai digunduli hanya dengan definisi hutan “alam”.

Tanpa membedakan antara hutan alam dan hutan tanaman, data sering bisa menyesatkan, kata Verchot. Dia menunjuk ke lonjakan dalam laju “deforestasi” di Jawa antara 2003 dan 2006 di mana kedua definisi Kementerian Kehutanan dan FAO mengakui konversi 650.000 hektare perkebunan hutan menjadi lahan pertanian sebagai “deforestasi”, sedangkan definisi alami tidak.

Sementara pentingnya definisi hutan alam semakin diakui oleh LSM, organisasi penelitian, dan dalam perundingan-perundingan REDD+ UNFCCC, Verchot dengan cepat menyebutkan bahwa pilihan definisi terletak di tangan para pembuat kebijakan di Indonesia.

Namun, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil.

Pertama, Verchot mengatakan, definisi internasional yang tidak sesuai dengan keadaan nasional dapat menyebabkan deforestasi yang signifikan.

Kedua, kata dia, “Bagaimana Anda mendefinisikan hutan sangat mempengaruhi apa yang Anda nilai sebagai penyebab deforestasi dan apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Jika definisi Anda tidak mengurangi porsi deforestasi secara signifikan, kebijakan untuk mengurangi deforestasi mungkin melewatkan bagian besar dari masalah dan tidak efektif.”

Sumber: cifor

read more
Hutan

Mangrove Si Satpam Lingkungan

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanaman mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.

Para ahli dari Center for International Forestry Research (CIFOR) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim. Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat.

Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Sumberdaya pesisir dan laut memiliki potensi besar baik secara ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya. Potensi tersebut diantaranya termasuk ekosistem khas pesisir seperti vegetasi hutan pantai, rawa, laguna, muara, terumbu karang. Ironisnya, eksploitasi menyebabkan kerusakan yang berlarut dan ini adalah sebuah tragedi lingkungan yang memalukan bila direfleksikan.

Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan pula, bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir, termasuk kawasan hutan mangrove, seringkali memarjinalkan kewajiban dan hak-kelola masyarakat pesisir terhadap pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Bahkan yang terjadi, masyarakat seringkali diperalat sehingga seringkali dikambinghitamkan atas segala kerusakan ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik.

Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi, mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Tanaman mangrove menyediakan tempat perkembangbiakan dan pembesaran bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut, “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae,1968).

Mangrove membantu pengembangan dalam bidang sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pantai dengan mensuplai benih untuk industri perikanan. Selain itu telah ditemukan bahwa tumbuhan mangrove mampu mengontrol aktivitas nyamuk, karena ekstrak yang dikeluarkan oleh tumbuhan mangrove mampu membunuh larva dari nyamuk Aedes aegypti (Thangam and Kathiresan,1989).

Itulah fungsi dari hutan mangrove yang ada di India. Fungsi-fungsi tersebut tidak jauh berbeda dengan fungsi yang ada di Indonesia baik secara fisika kimia, biologi, maupun secara ekonomis.

Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. (Claridge dan Burnett,1993).

Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik) yang mampu menyuburkan perairan laut. Selain itupun ekosistem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur.
Secara ekonomi mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan, selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara.

Ekosistem mangrove secara fisik maupun biologi berperan dalam menjaga ekosistem lain di sekitarnya, seperti padang lamun, terumbu karang, serta ekosistem pantai lainnya. Berbagai proses yang terjadi dalam ekosistem hutan mangrove saling terkait dan memberikan berbagai fungsi ekologis bagi lingkungan.

Secara garis besar fungsi hutan mangrove dapat dikelompokkan menjadi, fungsi fisik, biologi, dan ekonomi. Fungsi fisik, yaitu berupa menjaga garis pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, sebagai pelindung terhadap gelombang dan arus, sebagai pelindung tepi sungai atau pantai, dan mendaur ulang unsur-unsur hara penting.

Sedangkan fungsi biologi berupa nursery ground, feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya. Kemudian berfungsi sebagai habitat berbagai kehidupan liar. Terakhir, fungsi ekonomi berupa akukultur, rekreasi, dan penghasil kayu.

Hutan mangrove mempunyai manfaat ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan biologi di suatu perairan. Selain itu hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi. Tingginya produktivitas ini karena memperoleh bantuan energi berupa zat-zat makanan yang diangkut melalui gerakan pasang surut.

Keadaan ini menjadikan hutan mangrove memegang peranan penting bagi kehidupan biota seperti ikan, udang, moluska dan lainya. Selain itu hutan mangrove juga berperan sebagai pendaur zat hara, penyedia makanan, tempat memijah, berlindung dan tempat tumbuh.

Jika hutan mangrove hilang akan terjadi abrasi pantai yang dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan dan dapat mengakibatkan banjir, yang menyebabkan perikanan laut menurun serta sumber mata pencaharian penduduk setempat berkurang.

Ternyata tak ada ruginya menanam tanaman seperti ini. Selain sebagai penetral emisi karbon juga bisa sebagai penyeimbang ekosistem lokal. Pilih mana? Meningkatkan ekonomi dengan merusak alam, atau menjaga alam tapi bonusnya adalah peningkatan ekonomi[]

Sumber: teluk tomini

read more
Green Style

Petani Cina Berhasil Kembangkan Berladang di Atas Atap

Seorang petani Cina, Peng Quigen belum lama ini menjadi “bintang” media lokal negeri itu setelah dia sukses bercocok tanam di atas atap kediamannya di Shaoxing, provinsi Zhejiang. Peng, membuka kebun di atas atap rumahnya yang berlantai empat. Di ladang uniknya itu dia sukses menanam berbagai tanaman mulai buah-buahan, sayuran, hingga beras.

Dan Peng membuka lahan pertanian di atas atap rumahnya ini bukan sekadar hobi atau mencari sensasi. Dari ladangnya yang hanya seluas 120 meter persegi itu, Peng mendapatkan hasil panen yang cukup siginifikan.

Tahun lalu, Peng menghasilkan 400 kilogram semangka dari ladang di atas atap rumahnya itu. Bahkan hasil panen Peng, lebih banyak 30 persen dari hasil di ladang konvensional.

Tahun ini, Peng mencoba menanam padi di atap rumahnya itu. Dan meski terkena dampak topan Fitow yang baru-baru ini menerjang Cina, Peng berharap panen padinya itu cukup banyak untuk konsumsi satu orang dewasa selama satu tahun.

Apa yang membuat ladang di atas gedung ini begitu istimewa? Peng mengatakan, hal yang paling istimewa kemungkinan besar adalah fakta bahwa ladang ini dibuka di atas landasan beton.

Namun, kondisi itu justru menguntungkan karena masalah hilangnya air dan erosi tahan tidak menjadi kendala di ladang milik Peng ini. “Itulah sebabnya hasil di ladang ini lebih tinggi ketimbang di ladang biasa,” ujar dia.

Sebagian besar konstruksi yang dibangun di atap berbagai gedung di Cina adalah ilegal dan mengundang protes warga. Namun, para tetangga Peng justru menyukai ide unik ini dan bahkan mereka secara sukarela ikut membantu Peng memanen hasil buminya itu.

Bahkan pemerintah setempat sejauh ini tidak menganggap ladang “angkasa” Peng itu melanggar peraturan.

Sumber: NatGeo Indonesia dan Kompas.com

read more
Ragam

Sokola Rimba, Potret Pendidikan Anak Rimba

Mulai 21 November 2013 pecinta film di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkatnya ke layar lebar, banyak orang berharap mereka mengulang sukses mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi. Sokola Rimba merupakan film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya So Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.

Tokoh Butet diperankan Prisia Nasution. Seperti Laskar Pelangi, Riri kembali melibatkan orang lokal dalam filmnya kali ini. Mereka adalah Nyungsang Bungo, Beindah, dan Nengkabau, serta dibantu sekitar 80 anak rimba yang berasal dari pedalaman hutan Bukit Dua Belas. Meski bukan aktor profesional, Riri mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengarahkan peran mereka.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.

Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.

Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.

Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.

Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.

Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.

Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.

Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.

Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.

Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.

Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.

Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba.

Riri mengungkapkan, agar bisa mendapat gambaran utuh tentang kehidupan Orang Rimba, ia dan timnya riset turun ke lapangan sebelum memulai rangkaian proses pengambilan gambar. Mereka tinggal berhari-hari di dalam hutan, merasakan hidup bersama Orang Rimba. Mira Lesmana, produser Sokola Rimba, mengaku sudah lama mengenal dan kagum pada sosok Butet Manurung. ”Ada perempuan yang mau tinggalkan kehidupannya di kota demi mengajar Suku Anak Dalam,” katanya.

Berbeda dengan novel Laskar Pelangi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang semua adegan dan deskripsinya sudah tersaji. Dramatisasi juga tidak ada. Artinya Riri mesti membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar “berceramah”, menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.

Pada tayangan premier 21 November 2013 lalu, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus (HBA) memborong 700 tiket empat teater bioskop 21 WTC, Jambi. Hasan Basri, Riri Riza, Butet Manurung, Prisia Nasution bersama kru film Sokola serta 568 siswa SD dan SMP yang ada di Kota Jambi cukup antusias menonton bareng.

Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.

Butet sampai mendidik Orang Rimba itu karena bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sejak 1999 hingga 2003. Setelah Butet resign, dia mendirikan SOKOLA RIMBA – sebuah lembaga yang concern di bidang pendidikan dan belakangan menyebar hingga ke Makasar, Aceh, Papua, dan Kupang.

Dewi, seorang guru yang ikut nonton bareng juga berkata bahwa film tersebut sangat bagus dan mendidik serta banyak pelajaran dan hikmah yang bisa dipetik.

Beindah dan Nengkabau mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang mengundang tawa. Terlebih umpatan mereka,”rajo penyakit” dan “melawon”. Seusai menonton, para siswa masih saja tertawa teringat dengan dua kata tersebut.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Tajuk Lingkungan

Konsensus Lingkungan

Selalu saja ada dua pihak yang berseberangan dalam sebuah upaya penyelematan lingkungan. Misalnya saja upaya melestarikan hutan. Di satu sisi ada sekelompok orang yang mencari nafkah, katakanlah dengan menebang hutan ataupun membuka lahan di tengah hutan. Di sisi lain ada kelompok konservasionis yang tidak ingin hutan tersebut diganggu sama sekali dengan alasan akan merusak ekosistem yang kemudian berdampak pada bencana alam. Siapa yang mesti dituruti?

Persoalan klasik ini mungkin sama tuanya dengan umur manusia, dimana upaya bertahan hidup alias mencari makan dipertentangkan dengan upaya melestarikan alam atau memperpanjang hidup. Kok memperpanjang hidup? Ya jelas saja dengan lingkungan yang lestari diharapkan semua makhluk yang bergantung kepadanya dapat memanfaatkan sumber-sumber pendukung kehidupan. Jadi sebenarnya ada irisan yang sama antara kedua belah pihak. Sama-sama ingin bertahan hidup dengan kualitas lebih baik.

Kabar terakhir kita dengan bagaimana 14 perusahaan pertambangan di Pidie Propinsi Aceh menghentikan operasionalnya. Disitu disebutkan bahwa mereka menghentikan operasinya karena belum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Logika sederhana, jika perusahaan ini tutup akan banyak karyawannya hilang pekerjaan. Dari sisi ekonomi ini terlihat seperti hal yang buruk. Namun jika dikaji sebenarnya belum tentu juga. Bisa jadi perusahaan-perusahaan tersebut dalam operasinya tidak banyak memakai karyawan. Atau bisa jadi karyawan yang dipakai juga sebenarnya mempunya pekerjaan lain.

Namun sisi positif dari penghentian operasi perusahaan tambang ini adalah alam dapat bernapas dengan lega setelah sekian lama perutnya digali dan digali demi mencari logam berharga. Berhentinya kegiatan yang dikatakan baru eksplorasi ini mengeliminasi kemungkinan rusaknya ribuan hektar hutan Aceh. Ribuan hektar hutan ini bisa berarti ribuan kehidupan yang bisa didukungnya, baik satwa ataupun manusia sendiri. Secara tidak langsung ini membuat ada pihak lain yang mendapat mencari nafkah lebih jangka panjang dibanding dengan usaha tambang yang tidakd berkelanjutan.

Manusia cenderung mencari yang instan saja tanpa perlu memikirkan bagaimana dengan anak-cucu mencari nafkah di masa depan. Manusia bertambah dengan cepat tentu saja manusia-manusia masa depan butuh makanan dan sebagainya. Kalau kita menghabiskan sumber daya alam secepat mungkin, bagaimana kita mempertanggungjawabkan nanti? Itulah sebabnya perlu adanya konsensus lingkungan.

Konsensus lingkungan dimana manusia tetap bisa mencari nafkah dari kekayaan (sekarang masih kaya) sumber daya alam tanpa merusak lingkungan. Dengan kata lain manusia bisa sejahtera tanpa merusak. Ini pasti bisa karena di belahan dunia lain selain Indonesia atau Aceh banyak daerah yang sudah mempraktekkannya. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan dan kerelaan untuk tidak menjadi rakus.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Membangun Aceh tanpa Merusak Hutan, Mungkinkah?

Keamanan Energi, stabilitas ekonomi, biaya pembangunan daerah dan perubahan iklim adalah tantangan masa depan Aceh dalam kerangka menetapkan fondasi ekonomi dan pembangunan daerah. Kontradiksi antara membangun dan menjaga kelestarian hutan adalah dua hal yang selalu sulit untuk dilaksanakan. Disatu sisi Aceh yang baru saja keluar dari situasi konflik berkepanjangan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membangun sendi-sendi perekonomiannya, namun disisi lain mengeksploitasi hutan dan alam adalah salah satu alternatif yang mudah, biaya murah dan dengan cepat dapat segera menghasilkan dana segar yang berguna dalam kontribusi pembangunan di Aceh yang saat ini sedang dilaksanakan.

Kebutuhan energi dunia yang terus meningkat, dan kebutuhan mineral bumi lainnya seperti batu bara, emas, biji besi telah mendorong perburuan bahan-bahan tambang tersebut kepelbagai belahan dunia, dan Aceh yang stabilitas politik dan keamanannya telah tercipta melirik banyak pihak untuk mendorong pemerintahannya untuk menerapkan standard dan kerangka regulasi yang memudahkan para pemburu bahan tambang tersebut untuk melakukan penetrasi eksplorasi sumber daya alam di negeri yang memang memiliki cadangan devisa berbagai sumber daya alam yang belum digarap secara maksimal akibat situasi politik yang dahulunya tidak memungkinkan untuk melakukan itu.

Disatu sisi pemerintah Aceh mengalami kegamangan dalam menjelaskan sikapnya dalam proses pembangunan. Kegamangan ini terlihat dari kebijakan pembangunan yang dilaksanakan di Aceh. Disatu sisi pemerintah ingin membangun Aceh dengan tetap menjaga kelestarian alam, hutan dan lingkungan, tapi disisi lain pemerintah tetap melakukan eksplorasi bahan tambang, pembukaan lahan baru dan juga pembiaran penebangan hutan.

Kegamangan pemerintah ini telah menciptakan situasi ketidakjelasan dan konsistensi pemerintah dalam praktek menyelamatkan hutan dan lingkungan. Dan lalu dengan dalih pembangunan dan investasi pemerintah tanpa segan-segan memberikan izin investasi disektor pertambangan mineral dan juga menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk konversi lahan-lahan baru untuk pembukaan kebun sawit. Memang disatu sisi kebijakan ini sangat membantu dalam meningkatkan ekonomi pemerintah, tapi tentunya praktek pertambangan dan konversi lahan tidak serta merta meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Aceh yang kaya akan tambang mineral, bauksit, batu bara, emas, biji besi tidak serta merta membuat pemerintah memaksimalkan peran-perannya dengan memanfaatkan kekayaan itu untuk mensejahterakan rakyat, namun sebaliknya yang di rasakan rakyat adalah alam tidak lagi ramah dengan penghuninya. Kerusakan hutan Aceh yang sudah mencapai titik kerusakan tertinggi telah menyebabkan alam sudah menjadi momok yang menakutkan, banjir bandang, serangan binatang liar seperti gajah dan harimau menjadi fenomena baru di Aceh saat ini. Dan sekali lagi persoalan-persoalan seperti inilah yang dihadapkan pada masyarakat.

Dan atas nama pembangunan, Pemerintah Aceh dengan mudahnya mengeluarkan berbagai macam izin eksplorasi dan atas nama pembangunan pemerintah Aceh juga begitu banyak mengeluarkan izin investasi untuk konversi lahan hutan. Dan sementara itu masyarakat yang hidup dalam areal hutan tidak mendapatkan akses ekonomi apapun atas hutan yang mereka miliki. Intruksi Gubernur tentang moratorium logging tidak berlaku pada perusahaan-perusahaan yang memegang HGU ataupun pengusaha yang memegang izin penambangan. Moratorium logging hanya berlaku ketika masyarakat menebang hutan, ditangkap, diproses bahkan kemudian dipenjarakan karena dianggap merusak lahan, namun sementara para pengusaha tersebut bisa dengan mudah melakukannya atas nama pembangunan dan investasi dikarenakan sudah mengantongi izin dari pemerintah.

Pemerintah tidak pernah belajar dari kegagalan-kegalan daerah lain yang telah membangun daerahnya dengan menebas habis hutanya, betapa kerusakan parah hutan akan sangat berpengaruh besar dalan sendi-sendi kehidupan. Konversi lahan-lahan hutan yang telah dipraktekkan oleh beberapa daerah menjadi lahan-lahan sawit dan perkebunan hanya menempatkan rakyat sebagai buruh-buruh pabrik.

Yang harus di fahami bersama adalah akar sejarah serta landasan konflik berkepanjangan di Aceh, dan proses pembangunan perdamaian tidak dapat di lepaskan dari konteks kepentingan ekonomi negara-negara maju guna mendapatkan akses material bahan tambang di Aceh. Untuk itu Sikap bijak dan nilai rasionalitas harus dikedepankan dalam pembangunan Aceh. Sikap bijak ini dalah dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik tanah, hutan dan alam sekitarnya.

Karena sesungguhnya makna kemandirian dan kesejahteraan ekonomi adalah bukan ketika rakyat harus merevitalisasi lahan-lahan sawah dan kebun dan hutan untuk di konversi menjadi perkebunan sawit, dan apakah makna lebih baik disaat rakyat bekerja di perusahaan-perusahaan tambang-tambang batu bara, tambang emas, minyak dan gas. Ataukah rakyat hanya membutuhkan bagaimana cara meningkat hasil-hasil produksi padi, jagung, kedelai, kelapa, ternak sapi, kerbau dan semua yang selama bertahun-tahun menjadi rutinitas dan sumber serta alat produksi rakyat. Bukankah 70 persen corak produksi rakyat Aceh adalah pertanian palawija dan sedikit tanaman keras.

Untuk itu komunikasi antara pemerintah dan rakyat menjadi terkait kebutuhan dan kebijakan dan kebutuhan pembangunan Aceh. Karena sebenarnya yang dibutuhkan rakyat adalah  meningkatkan nilai produksi dan produktivitas lahan pertanian mereka, mengamankan jalur distribusi dan perniagaan, kebijakan harga serta mengatur tata laksana niaga sektor-sektor pertanian dan proteksi terhadap sektor unggulan.[]

read more
Ragam

14 Perusahaan Tambang di Pidie Tak Miliki Izin Pakai Hutan

Sebanyak 14 perusahaan tambang emas menghentikan kegiatan eksplorasi (penelitian) di kawasan hutan Geumpang, Pidie karena belum turun surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Gubernur Aceh. Para pengusaha memberhentikan operasi meski izin eksplorasi dari Pemkab Pidie berlaku hingga 2015.

Kepala Bidang (Kabid) Pertambangan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Energi Sumber Daya Mineral (Disperindagkop-ESDM) Pidie, Teuku Irwansyah MM, menjawab Serambi, Sabtu (16/11/2013) mengatakan, ke-14 perusahaan tersebut tetap menghentikan eksplorasi sebelum keluar surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari gubernur, menyusul surat izin sebelumnya telah berakhir.

Dijelaskan Irwansyah, izin yang diberikan Pemkab Pidie kepada perusahaan tersebut masih berstatus eksplorasi, belum dinaikkan menjadi eksploitasi. Masa berakhir izin eksplorasi yang diberikan Pemkab Pidie kepada 14 perusahaan tambang emas tersebut bervariasi. Ada yang 2014 dan ada juga tahun 2015. Kegiatan eksplorasi berlangsung sejak 2009 dan 2010. “Untuk dinaikkan status menjadi eksploitasi, ke-14 perusahaan tersebut harus melakukan eksplorasi selama delapan tahun. Itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral Batubara,” kata Irwansyah.

Ia mengatakan, dari 14 perusahaan tambang emas yang telah memperoleh izin melakukan eksplorasi juga dibebankan membayar iuran tetap (landrent) per tahun berdasarkan luas lahan yang dikeluarkan izin.

Landrent tersebut, kata T Irwansyah, adalah penerimaan negara bukan pajak, yang disetor ke kas negara oleh perusahaan yang melakukan eksplorasi. Kemudian Pemkab Pidie menerima bagi hasil landrent yang dikirim dari pemerintah pusat. “Bagi hasil tersebut masuk ke dalam kas daerah yang kemudian menjadi pendapatan asli daerah (PAD),” katanya.

Ditanya berapa landrent yang telah masuk ke kas daerah, katanya, hingga kini pihak dinas sedang menghitung iuran tetap bersumber dari 14 perusahaan tambang tersebut. “Insya Allah, Senin (18/11) angka landrent sudah bisa kita berikan,” demikian Irwansyah.(naz)

Sumber: serambinews.com

read more
1 14 15 16 17 18
Page 16 of 18