close

hutan

Green Style

Penyanyi Shelomita Meriahkan Kampanye Publik Hidden Park

Komitmen pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap Ruang Terbuka Hijau (RTH) sudah sangat baik. Hal ini terbukti dari semakin banyak dan semakin baiknya fasilitas taman – taman yang ada, khususnya di ibukota Jakarta. Hal ini dikatakan oleh penyanyi Shelomita usai menjadi pembicara pada acara talkshow di arena HiddenPark 2013 Taman Tebet Jakarta Selatan pada Minggu (27/10/2013) pagi.

Pada lain sisi, animo masyarakat terhadap pemanfaatan taman sebagai ruang beraktivitas juga semakin meningkat. Jika pada waktu sebelumnya taman sekedar dijadikan tempat untuk bersepeda dan jogging, kini sudah banyak masyarakat yang menggunakan taman sebagai tempat untuk diskusi, bermain musik, dan aktivitas – aktivitas lainnya.

“Hanya mungkin untuk piknik di taman seperti di luar negeri belum maksimal. Ini bisa dimengerti karena faktor cuaca di Jakarta yang tidak menentu belum menarik perhatian warga. Terkadang panas dan terkadang hujan,” katanya.

Shelomita menambahkan bahwa penyelenggaraan Hidden Park di Taman Tebet lebih ramai ketimbang di Taman Langsat pada tahun lalu. Menurutnya mungkin Taman Tebet kerap menjadi lokasi kegiatan warga sekitar dan semakin ramai dengan penyenggaraan Hidden Park kali ini.

Berbicara tentang lingkungan, Shelomita menyatakan bahwa ia terus menanamkan kesadaran akan lingkungan kepada anaknya sejak mereka masih kecil. Seperti hemat air dan tidak membuang sampah sembarangan.

Selain menjadi pembicara talkshow, Shelomita juga menyempatkan diri untuk mencicipi makanan dan minuman yang dijual di booth Sunday Market dan sempat mengikuti program Urban Farming dengan menanam pohon Selada. Shelo mengaku memang gemar dengan tanaman. Di rumahnya yang memiliki luas 2000 meter persegi di kawasan Ciganjur Jakarta Selatan, ia menanam seperti mengkudu dan sirih yang ia konsumsi sendiri.

Anak dan Keluarga
Pada pekan pertama kegiatan Kampanye Publik Taman Kota Hidden Park mengusung tema Kids and Family Week dimana segala kegiatan yang dilaksanakan sebagian besar adalah kegiatan untuk anak dan keluarga. Pada pekan pertama ini masyarakat juga mulai diajak untuk menunjukan kepedulian dan memberikan kontribusi secara nyata bersama Campina Ice Cream untuk penambahan fasilitas untuk Taman Kota melalui progam donasi Ice S(cream)  for Better Park dimana pembelian 1 eskrim Concerto seharga Rp. 10.000,- di booth Campina selama kegiatan Kampanye Publik  Taman Kota Hidden Park. Rp. 5.000,-dari setiap pembelian akan didonasikan untuk pembuatan Rumah Buku di Taman Tebet.

Anak-anak sedang mendengar dongeng dalam acara Hidden Park 2013 | Foto: Ist
Anak-anak sedang mendengar dongeng dalam acara Hidden Park 2013 | Foto: Ist

“Pada penyelenggaraan pekan pertama ini kami banyak menyajikan program acara yang diperuntukkan bagi anak-anak diantaranya adalah dongeng anak – anak tentang lingkungan, aneka permainan, melukis dan workshop dimana salah satu nara sumbernya adalah Shelomita. Ada pula kegiatan menggambar bareng KomintasSketsaKudan workshop merancang taman impian untuk anak-anak,” kata panitia Rahma Nurdina.

Pada hari itu pada pengunjung juga mencoba untuk melakukan penanaman sejumlah sayuran, yang merupakan bagian dari kampanye urban  farming program Plant & Play dari Teh Kotak. Acara lain yang cukup menarik adalah Sunday Market dimana para pengunjung bisa membeli mulai dari sayuran organik, pernak pernik dan makanan serta minuman yang bisa disantap oleh pengunjung dengan konsep Piknik di Taman.

Sedang sehari sebelumnya yaitu pada Sabtu (26/10) digelar Soft Launching acara Hidden Park 2013 dan pemutaran film layar tancap bertemakan horor (Moonlight Theater) dari pukul 19.00 hingga pukul 21.00 dan tersedia popcorn gratis untuk para penonton.

Kampanye Publik Taman Kota Hidden Park merupakan kampanye yang aktif mengajak masyarakat untuk mengambil peran dalam menjadikan taman kotanya lebih baik. Banyak cara yang dapat dilakukan : bergabung bersama gerakan pecinta taman kota, mengisi ruang tersebut dengan kegiatan edukatif dan kreatif, serta menjadi pengguna taman kota yang bertanggungjawab. Menghargai taman kota berarti menghargai sesama (caring for parks = caring for others).

Program ini sejalan dengan program Pemprov DKI Jakarta dalam pemenuhan luas RTH di Kota Jakarta dan juga dengan kegiatan Hari Tata Ruang Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Mereka sangat mendukung dan menfasilitasi penuh kegiatan Kampanye Publik Taman Kota Hidden Park. Diharapkan konsep gerakan Hidden Park dapat menyebar ke kota – kota lain di Indonesia.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Mangrove Cegah Bencana

Wilayah pesisir di provinsi Aceh mempunyai panjang garis pantai 1.660 km,dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 km. Terbayang begitu luasnya wilayah pesisir Aceh. Sebuah wilayah yang mengandung potensi begitu banyak keanekaragaman hayati.

Selain kekayaan, pesisir juga mempunyai fungsi yang penting dalam mencegah resiko kebencanaan. Misalnya fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan sebuah sebutan untuk sekelompok tanaman yang biasa hidup di lahan basah kawasan pesisir. Bisa saja hutan tersebut terdiri dari tanaman bakau, pandan, nipah dan sebagainya.

Selain tanaman, hutan mangrove juga menjadi habitat berbagai hewan antara lain udang, kepiting, burung, ular, ikan, monyet, biawak dan sebagainya. Keaneka ragaman hayati ini menjadi sumber kehidupan baik bagi manusia maupun hewan-hewan itu sendiri. Namun sayangnya manusia mengeksploitasi hutan mangrove dengan sangat rakus.

Hutan mangrove sebenarnya juga menjadi benteng alam yang tangguh bagi daratan dari hempasan ombak kejam pantai. Hempasan ombak secara alami menyeret tanah pantai ke arah laut sehingga terjadi abrasi. Jadi bisa dibayangkan jika hutan mangrove berkurang atau hilang, maka laju kecepatan abrasi menjadi sangat cepat, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditanggulangi oleh manusia sendiri.

Persoalan abrasi pantai sesungguhnya merupakan fenomena alam yang setiap tahun terjadi di berbagai daerah pesisir, terlebih pada musim pasang purnama tingkat pengikisan pantai biasanya terjadi secara besar besaran, bahkan bila masyarakat tidak waspada biasanya akan dapat mengancam harta benda dan jiwa. Ini menjadi alasan kuat betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove. Bukan sekedar bagi hutan itu sendiri (an sich) namun juga bagi manusia sekitarnya.

Selain hutan mangrove, hutan rawa juga sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi dampak bencana. Salah satu hutan rawa yang terancam musnah adalah hutan rawa Tripa. Rawa Tripa adalah satu dari tiga rawa gambut di Aceh – dua lagi adalah Rawa Singkil dan Rawa Kluet. Hamparan gambut berkedalaman lebih dari 10 meter ini terbentang sekira 63.228 hektare dan berada di dua kabupaten yaitu Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

Hutan rawa ini sedang mengalami ancaman kerusakan akibat ulah kejam manusia yang ingin merubah lahan menjadi berbagai perkebunan. Manusia yang hanya memikirkan kepentingan materil semata dalam waktu sesaat tanpa mempertimbangkan betapa pentingnya hutan rawa tersebut. Sebuah studi menyebutkan populasi orangutan yang hidup di rawa Tripa telah berkurang 80 persen. Ini artinya, sebuah rantai ekosistem telah terputus, yang mengakibatkan rantai-rantai ekosistem lainnya terancam. Saatnya bertindak.[m.nizar abdurrani]

 

read more
Hutan

Produsen Alat Rumah Tangga Terlibat Hancurkan Hutan Indonesia

P&G, Oreo, Gillette, merupakan merek-merek produk rumah tangga terkenal yang memiliki saham dalam perusahaan hutan di Indonesia hingga mendorong kepunahan harimau Sumatera.  Mereka konsumen dari produsen sawit raksasa asal Singapura, PT Wilmar Internasional, yang banyak membeli sawit-sawit dari sumber-sumber ‘tak steril’ alias hasil dari membabat hutan.  Demikian laporan Greenpeace terbaru berjudul Izin Memusnahkan atau Licence to Kill yang rilis, di Jakarta, Selasa (22/10/2013).

Kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace Internasional Bustar Maitar, mengatakan, sebagai pemain besar, Wilmar memiliki kekuatan mengubah industri. “Sebelum perusahaan ini berkomitmen kebijakan nol deforestasi, perdagangan minyak sawit mereka dengan merek rumah tangga besar seperti P&G, Mondelez, dan Reckitt Benckiser,  tanpa disadari membuat konsumen mendorong kepunahan harimau Sumatera di Indonesia,”  katanya.

Wilmar,  sudah memiliki kebijakan melestarikan hutan bernilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) dan lahan gambut di konsesi mereka. Namun, konsesi itu hanya memasok kurang empat persen total minyak sawit. Sisanya, dari pemasok.

Parahnya, Wilmar tak mewajibkan kebijakan lingkungan dan sosial dari para pemasok yang menjual tandan buah segar sawit atau minyak sawit mentah. Dua pemasok mereka, Ganda  Group dan Surya Dumai (First Resources) terlibat dengan kebakaran di Riau, yang terjadi tahun ini.

Pemasok lain, Bumitama, menebang habis habitat orangutan di dua wilayah berbeda di Kalimantan dan siap membuka hutan di konsesi baru mereka di Taman Nasional Tanjung Puting.

Wilmar juga dikaitkan dengan perdagangan perkebunan ilegal di Taman Nasional Tesso Nillo. Greenpeace mendokumentasikan perkebunan sawit ilegal di dalam kawasan Tesso Nilo, dengan hasil panen masuk ke pabrik Wilmar. Greenpeace memiliki bukti, perdagangan Wilmar dari perusahaan dengan kegiatan antara lain pembukaan ilegal, kebakaran di lahan gambut, dan pembukaan habitat harimau ini.

Bukan itu saja. Di Kabupaten Merangin, Jambi, anak usaha Wilmar, PT Agrindo Indah Persada (PT AIP), memegang izin konsesi seluas 1.280 hektar. Penanaman 500 hektar dan kawasan masuk HCV  sekitar 417 hektar, baik karena keragaman hayati tinggi, jasa lingkungan penting maupun wilayah-wilayah kritis  guna mempertahankan budaya masyarakat lokal.

Dari investigasi Greenpeace, pada 2009, hutan menutupi sekitar 10 persen atau 124 hektar konsesi. Tahun 2013, hanya tersisa kurang dari 20 hektar wilayah berhutan, sepertiga atau 35 hektar pembukaan wilayah HCV. Greenpeace mendokumentasikan pembukaan jalan dan perkebunan berada pada lereng curam yang masuk kategori HCV. Di sana, tampak pohon-pohon tumbang karena erosi.

Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia Wirendro Sumargo, mengatakan, deforestasi di kawasan ini dari 2009-2013, terjadi pada habitat harimau. Bahkan, dari wawancara Greenpeace dengan warga sekitar, sempat melihat harimau dan anaknya di dekat konsesi AIP.

Kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan, sawit pemicu terbesar deforestasi di Indonesia, atau sekitar 300 ribu hektar hutan hilang, sama dengan 15 persen kehilangan habitat harimau karena sawit.
Hutan Sumatera, terbabat, habitat harimau Sumatera, spesies satu-satunya yang tersisa di Indonesia, terancam. Saat ini, harimau Sumatera masuk katagori terancam punah secara kritis dalam daftar spesies terancam punah IUCN. Hanya sekitar 400 harimau Sumatra hidup di alam liar.

Dulu, harimau bisa ditemui di sebagian besar Sumatera. Ekspansi perkebunan dan penebangan kayu mengurangi habitat primer. Mereka terdesak. Periode 1985 dan 2011, separuh hutan alam Sumatera, semula seluas 25 juta hektar, ditebang. Sekitar 80 persen dataran rendah, yang merupakan habitat penting satwa tak hanya harimau, orangutan dan lain-lain.

Pada 2009-2011, sekitar 383 ribu hektar habitat harimau musnah, tertinggi di Riau kehilangan 10 persen.  Dari pemetaan pun tampak habitat harimau makin terfrakmentasi. “Kondisi ini meningkatkan konflik manusia dan harimau dan perburuan harimau,” ujar dia.

Greenpeace pun menuntut Wilmar agar berhenti mencuci minyak sawit kotor ke pasar global, termasuk mendesak merek produk rumah tangga segera membersihkan rantai pasokan dari sumber-sumber sawit tak jelas. Dalam laporan itu, Greenpeace memberikan beberapa rekomendasi.

Wilmar membantah dukungan mereka terhadap para pemasok yang terkait land clearing, maupun pembakaran hutan. Seperti dikutip dari AFP, Lim Li Chuen, juru bicara Wilmar mengatakan, perusahaan kerab me-review operasional bisnis mereka, termasuk kebijakan mengenai sumber sawit dan bekerja sama dengan ahli rantai pasokan internasional.

Dia mengatakan, perusahaan telah memperingatkan kepada semua staf bahwa kebijakan mereka memasok sawit dari sumber-sumber sah. Bagi pemasok dari sumber ilegal yang mencoba masuk harus diputus.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Hutan

Ribuan Pinus Terancam Mati Akibat Aktivitas Penyadapan Getah

Perusahaan asal Cina PT Anchen Huaqong yang melakukan penyadapan getah di Kecamatan Linge, Aceh Tengah sehingga ribuan batang Pinus terancam mati. Penyadapan ini dilakukan dengan teknik yang salah dan melanggar aturan pemerintah. Sejumlah aktivis lingkungan setempat mulai menyelidiki persoalan ini dan minta pemerintah Aceh Tengah turun tangan.

Banyak kejanggalan yang dilakukan perusahaan yang menempatkan orang lokal sebagai direktur bernama Kamisan Ginting. Warga telah berupaya memberi tahu kepada sejumlah pihak namun hingga saat ini belum ada tanggapan.

Pekerja asal Cina perusahaan tersebut bekerja menyadap pinus di desa Gewat, Kecamatan Linge. Saat diwawancara, mereka tak bisa berbahasa Indonesia dan tak bisa berbahasa Inggris. Mereka hanya menjawab ketus dengan bahasa Gayo “gere betih” yang artinya tak tahu.

Di lokasi yang berjarak sekira 65 kilometer arah timur dari pusat Kota Takengon, menduga ribuan pinus yang telah disadap. Namun pola penyadapan yang dilakukan merupakan sistem sadap mati, bukan sadap kuakan, maupun sadap sistem riil. Penyadapan terlihat cukup dalam dan lebar hingga lebih dari 50 sentimeter dan tanpa menyisakan kulit di bagian yang dikeruk. Sistem ini menyebabkan pinus akan mati dalam waktu kurang dari delapan tahun. Bahkan karena penderesan terlalu dalam, beberapa pohon terlihat tumbang. Dengan sistem penyadapan ini, ribuan pinus terancam dan merusak ekosistem pegunungan setempat.

Informasi yang didapat di Dinas Kehutanan Aceh Tengah, diketahui bahwa berdasarkan izin konsesi (pembukaan lahan) PT Anchen Huaqong hanya berhak atas 5 ribu hektare, yakni di kawasan hutan produksi di Umang, Jamat, Payung, dan Pertik. Namun, perusahaan ini menyadap di kawasan yang justru bukan lahan mereka, akan tetapi di kawasa Gewat. Lahan ini  termasuk Kemerleng, Mungkur, dan Waq merupakan lahan hak konsesi perusahaan lain.

Perusahaan Cina itu juga telah memproduksi dan membawa getah dalam bentuk resin dan gondorukem hingga 174.000 kilogram atau diperkirakan capai nilai sekira Rp 5 miliar jika harga getah per kilogramnya Rp 22.000 hingga 30.000.

Sumber di Dinas Kehutanan Aceh Tengah yang enggan disebutkan namanya mengatakan, Dinas Kehutanan bahkan belum pernah menerima Rencana Kerja Umum (RKU) dan Rencana Kerja Lima Tahun (RKL). Artinya, untuk melakukan penyadapan saja perusahaan itu belum boleh karena hanya baru ada izin pengklaiman lahan.

Direktur PT Anchen Huaqong yang juga pekerja lokal, Kamisan Ginting, hingga kemarin belum dapat dikonfirmasi wartawan. Sejumlah nomor handphone yang biasa digunakannya juga tidak dapat dihubungi.

Selain melakukan penyadapan, perusahaan ini memanfaatkan pinus sebagai bahan bakar untuk pabrik penyulingan yang berada di Desa Isak, Kecamatan Linge.

Mengenai kayu untuk bahan bakar pabrik itu, menurut penuturan sumber Serambi di Disbunhut Aceh Tengah, perusahaan ini juga tak mengantongi izin pemanfaatan hasil hutan buka kayu (IPHHBK) izin selama setahun, produksi maksimal 20 ton per tahun.

Selain itu juga tak mengantongi izin usaha pengusahaan hasil huyan bukan kayu IUPHHBK, izin selama 25 tahun, produksi sesuai RKT. Pihak Disbunhut mengaku tak mampu berbuat banyak karena secara umum Pihak dinas Kehutanan Provinsi yang lebih berhak menegur.

Manfaat Getah pohon pinus

Getah Pinus merupakan bahan baku dari pembuatan Gondorukem dan Terpentin. Sadapan getah yang keluar dari pohon pinus dilakukan pada umur 10 sampai 30 tahun atau sampai dengan akhir daur sebelum pohon pinus tersebut ditebang.
Mutu getah pinus ditentukan oleh kadar kotoran dan warnanya. Warna getah yang putih adalah warna yang baik (mutu A) , sedangkan warna yang lebih tua karena banyak mengandung kotoran merupakan mutu B.

Di Indonesia telah dibuat standarisasi mengenai mutu gondorukum yang di kelompokkan :
Grade : 1. X ( Rex)
2. WW ( White Water )
3. WG( Window Glass)
4. N ( Nancy )

* SPESIFICATION PRODUCT *
– Warna putih bening
– Kandungan kotoran + / – 2%
– Kadar air + / – 3%

Kegunaan Gondorukem yang selama ini dikenal awam adalah sebagai bahan proses pembuatan batik dan bahan untuk melekatkan patri atau solder. Namun kenyataannya gondorukem mempunyai kegunaan lain yang bernilai ekonomis tinggi yaitu : Untuk pelapis kertas, bahan additive, tinta printing, industri ban, isolasi alat elektronik, cat, vernis, plastik, sabun. semir sepatu, keramik. lem dan lain lain.[sumber:http://ptpacifictransline.indonetwork.co.id]

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Hutan dipangkas, Alam Mengamuk

Maraknya penebangan liar  (illegal loging) yang kerap terjadi di Aceh selama ini membuat  areal hutan semakin gundul, pepohonan, tumbuhan kian punah serta keanekaragaman fauna yang ada didalamnya sangat terganggu oleh aksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Padahal, hutan merupakan sebuah anugerah yang diberikan sang pencipta yang nilainya tidak terhitung.

Bahkan, hutan juga salah satu bagian sumber kehidupan manusia di muka bumi. Buruknya tatanan pengelolaan hutan di Aceh selama ini sangat terasa sehingga kita selalu menghadapi berbagai dampak bencana alam seperti, konflik  antara satwa dengan manusia, banjir dan tanah longsor. Ini merupakan indikasi bahwa alam mengamuk bukan hanya bagi pengambil nikmat tapi untuk semua manusia.  Kejadian seperti ini sesuai dengan lirik lagu berita untuk kawan karangan  Ebiet G Ade,

………..kawan coba dengar apa jawabnya
 ketika di kutanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
ditelan bencana tanah ini…………….

Lirik dari lagu tersebut nyaris identik dengan kondisi Aceh dewasa ini. Bencana datang tak henti-hentinya. Hampir tiap bulan sejumlah media massa lokal di Aceh selalu memberitakan terkait mengamuknya marga satwa seperti,  gajah, harimau, babi dan lain sebagainya. Ulah binatang ini menyebabkan sektor pertanian dan perumahan warga menjadi rusak.

Hingga kini konflik antara marga satwa dengan manusia tidak bisa dihindari lagi, bahkan yang paling ironi konflik ini menimbulkan korban jiwa bagi kedua belah pihak sehingga ini harus menjadi “PR”  bagi pemerintah Aceh untuk segera menanggulanginya. Belum lagi dengan persoalan banjir dan longsor, setiap hujan turun salah satu dari  bencana tersebut selalu akan terjadi di Aceh sehingga menimbulkankorban jiwa dan harta yang tak ternilai.

Tapi apa hendak dikata, “nasi telah menjadi bubur”, puisi ini memang tepat di arahkan ke kondisi alam di Aceh sekarang ini, berbagai macam bencana datang silih berganti akibat hutan tidak terjaga lagi. Padahal, banyak manfaat bila hutan terjaga dengan baik diantaranya, sebagai penyuplai oksigen, pencegah banjir, mengatur iklim, menjaga kesuburan tanah, pengatur tata air tanah, pelestarian keanekaragaman hayati dan berbagai macam manfaat lainnya.

Tapi sangat disayangkan mimpi seperti yang tersebut tidak bisa diwujudkan, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Greenomics Indonesia yang dirilis ke media massa menyebutkan bahwa angka kerusakan hutan di Aceh mulai 2005 hingga akhir 2009 mencapai 200, 329 hektare dari total seluruhnya 56.539 hektare. Greenomics juga memperkirakan Aceh kehilangan US$ 551,3 juta setiap tahunnya akibat kehilangan tutupan hutan.

Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengakui bahwa pencanangan “moratorium logging” atau pelarangan penebangan kayu yang diterapkan pertengahan 2007 berjalan maksimal tetapi hingga tahun 2010 aksi penebangan kayu secara ileggal  masih juga terjadi di hutan Aceh. Ini mengindikasikan bahwa realisasi perintah atas “Moratorium logging” tidak berjalan efektif. Bahkan ada di beberapa tempat tertentu aksi penebangan masih juga dilakukan tapi secara sembunyi-sembunyi.

Bila ini tidak segera di atasi secepat mungkin, bencana secara terus menerus tak hentinya-hentinya datang ke Aceh. Pemerintah Aceh harus segera bangkit dan mencari solusi untuk segera menanggulanginya, bukan hanya selalu beretorika dengan kampanye Visi Aceh Green tapi hutan Aceh akan secara perlahan-lahan akan musnah. Pemerintah Aceh segera lakukan “actionnya” bukan dengan kata-kata lama “tapuwoe keulayi maruwah ban sigob donya”. Buktikan nyalimu…[multazam]

read more
Tajuk Lingkungan

Kalau Rumah Anda Musnah

Apa jadinya jika tempat anda mencari nafkah, tinggal bersama keluarga dan beristirahat dari lelahnya hidup ternyata sudah tidak ada lagi akibat dirusak oleh pihak lain? Marah, kesal, kecewa bahkan mungkin saja anda mengamuk mencari siapa yang tega berbuat demikian. Hal sama juga terjadi pada hewan yang kehilangan tempat tinggal dan mencari nafkah. Tentunya mereka akan berekspresi sesuai naluri hewannya.

Sering terdengar gajah mengamuk merusak kebun penduduk, merobohkan rumah bahkan sampai melukai manusia sehingga nyawa melayang. Apa yang menjadi sebab gajah-gajah tersebut mengamuk sedemikian rupa? Padahal dalam tayangan media sering kita lihat bahwa hewan tersebut merupakan hewan yang menyenangkan, bersahabat dengan manusia bahkan bisa hidup berdampingan. Pasti ada sesuatu yang membuat gajah sedemikian marahnya.

Para ahli biologi menjelaskan bahwa mengamuknya gajah tersebut akibat lahan yang mereka tinggali telah diambil alih oleh manusia. Sebagai informasi gajah mempunyai tempat tinggal dan lintasan tetap yang mereka lalui dalam periode tertentu. Ketika mereka hendak melintasi jalur “milik” mereka tersebut ternyata sudah ada kebun dan rumah-rumah menghadang. Tak ayal mereka akan mengamuk karena merasa “hak miliknya” terganggu.

Perilaku manusia yang suka mengganggu habitat ini diperparah lagi dengan tindakan kriminal lain seperti meracun gajah dan membunuhnya. Pemerintah memang telah mengeluarkan peraturan bahwa gajah merupakan hewan langka yang harus dilindungi namun tetap saja banyak yang memburunya. Baik dengan alasan untuk membasmi “hama” gajah atau dengan alasan tersembunyi ingin mendapat gadingnya.

Pemerintah lebih sering terlambat mengantisipasi konflik antar manusia dan hewan tersebut sehingga menambah penderitaan kedua belah pihak. Seharusnya pihak yang terkait bisa mengantisipasi mengamuknya gajah mengingat gajah yang marah tersebut merupakan peristiwa yang terjadi setiap tahun. Tapi nyatanya tidak.

Masalah lingkungan harus tetap menjadi perhatian kita semua mengingat lingkunganlah yang telah “memberikan” kita kehidupan. Air, tanaman, buah-buahan, hewan dan alam telah menciptakan rantai makanan yang tidak boleh terputus. Satu saja terputus maka akan ada pihak yang musnah. Apa kita mau musnah?[]

read more
Hutan

Mencegah Bencana Melalui Kearifan Lokal

Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia kerap dilanda berbagai bencana alam yang datang silih berganti. Longsor dan banjir sudah menjadi langganan di negeri kita ini. Korban harta benda dan jiwa sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Bencana seperti ini seakan tak pernah lagi mengenal waktu.

Jika kita melihat ke masa lalu, tentunya bencana alam tidak terjadi pada setiap saat, melainkan pada waktu-waktu tertentu saja. Intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang lama menjadi faktor terjadinya bencana ketika itu. Akan tetapi pada masa sekarang, dengan intensitas hujan rendah sekalipun, bencana selalu datang mengancam jiwa dan harta manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sudah menjadi rahasia umum, penyebab utama terjadinya bencana alam itu karena kerusakan hutan. Kerusakan itu akibat ulah dan sikap dari beberapa manusia yang melakukan penebangan pepohonan secara membabi buta tanpa memikirkan kehidupan alam itu sendiri dan  kehidupan orang banyak.

Harus diakui, dari sejumlah aksi penebangan itu, banyak pihak yang ikut terlibat di dalamnya. Keterlibatan itu, tentunya ada yang secara langsung maupun secara tidak langsung. Umumnya, pihak yang terlibat langsung adalah dari sekelompok masyarakat, baik yang tinggal di wilayah yang berdekatan dengan gunung maupun dari luar, sedangkan pihak yang tidak secara langsung adalah kalangan dari pengusaha dan oknum penegak hukum.

Salah-satu penyebab keterlibatannya masyarakat melakukan aksi perambahan dan penebangan hutan adalah karena mereka tidak memiliki pekerjaan/pengangguran, sehingga jalan tersebut menjadi salah satu yang harus dilalui agar mendapatkan pemasukan untuk kebutuhan sehari-harinya. Pemasukan itu didapatkan melalui penjualan kayu-kayu.

Sedangkan keterlibatan pihak yang secara tidak langsung dilakukan melalui pembayaran jasa bagi masyarakat dan aparat penegak hukum saat para pengusaha membuka lahan-lahan perkebunan dengan skala yang besar. Iming-iming dengan bayaran dana yang besar serta dilibatkan dalam usaha perkebunan membuat masyarakat dan oknum aparat penegak hukum tergiur untuk melakukakan aksi tersebut.

Meskipun berbagai antisipasi kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah, seperti moratorium loging (penghentian pembalakan) dan penyusunan aturan melalui pembuatan undang-undang pada tingkatan pusat dan Perda di tingkat daerah, tetapi persoalan itu rasanya tak bisa dituntaskan. Ancaman penjara dan berbagai sanksi berat lainnya yang diatur dalam aturan tersebut, bukan menjadi penghalang bagi perusak lingkungan dalam melaksanakan aksinya.

Dalam lima tahun terakhir saja, berapa banyak undang-undang tentang masalah ini lahir. Begitu juga dengan sejumlah peraturan-peraturan tentang hal menjaga kelestarian alam telah dirumuskan secara bagus dalam menanggulangi  persoalan ini. Namun hasilnya nihil. Aksi perusakan hutan juga tak pernah berhenti.

Namun demikian, kita juga tidak putus asa untuk terus melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan hutan ini, sehingga ancaman bencana tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Karena itu, menurut saya untuk menyelamatkan kelestarian lingkungan, maka perlu dilakukan melalui para pemangku adat yang ada di setiap desa-desa di berbagai wilayah Indonesia. Pelaksanaan itu tentunya bukan dengan memakai hukum formal, tetapi lebih kepada penyelesaiannnya melalui penggunaan kearifan lokal (local wisdom) yang ada di daerah masing-masing di Indonesia.

Tentunya, metode ini lebih mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sebab, peraturan ini sudah mendarah daging bagi masyarakat, dan juga karena dirumuskan melalui kesepakatan dan ketentuan secara bersama-sama.

Pada kearifan lokal ini, penerapan hukum yang diutamakan adalah hukum adat. Bagi masyarakat di desa-desa ini, hukum adat itu lebih besar dampaknya dibandingkan dengan hukum formal.

Jika hukum formal hanya mendapat sanksi berupa penjara dan membayar denda perkara, maka hukum adat akan memberikan sanksi untuk para pelaku melalui sanksi sosial seperti mengusir para pelanggar kearifan lokal itu dari lingkungan para warga kampung/desa, serta bahkan dikucilkan dari masyarakat.

Tentunya, agar kearifan lokal ini berjalan maksimal maka pemerintah juga perlu memberikan wewenang lebih besar untuk pelaksananya. Selama ini, ketika ada beberapa tempat atau daerah yang memberlakukan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah seperti merusak hutan dan memotong kayu-kayu besar, sejumlah pihak selalu melawan karena mereka berdalih bahwa ada hukum formal yang menyelesaikannya.

Padahal, jika kearifan lokal ini dikedepankan dalam menyelesaikan masalah seperti, maka tentunya hasil yang didapatkan akan lebih bagus dan baik bahkan selesai hingga ke akar masalah.

Sebagai contoh misalnya, dapat kita lihat pelaksanaan kearifan lokal di Kemukiman Lutueng, Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Warga di sana diwajibkan untuk menjaga kelestarian hutan, terutama hutan lindung. Jika ada diantara masyarakat yang melanggar, mereka akan diberikan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa sanksi adat dan tergantung kesalahahan. Misalnya, bila ada warga yang memotong kayu maka si pelaku akan ditangkap dan wajib membayar denda senilai harga kayu yang ditebang sesuai dengan pasar, dan semua kayu tebangan menjadi milik gampong setempat untuk digunakan bagi kepentingan gampong, dan sanksi yang lebih beratnya adalah dikucilkan dari masyarakat setempat.

Sedangkan bagi masyarakat dari luar yang merusak kawasan hutan itu maka sanksi yang diberikan juga sesuai dengan yang telah disepakati oleh Imum Mukim (posisinya di atas kepala desa, red)  dan para warga. Hal ini sudah dilakukan sejak dari dulu, dan  bahkan sekarang sudah ditulis dalam sebuah reusam (peraturan) di tingkat kemukiman, dan dampak dari adanya kearifan lokal itu, bencana alam tidak pernah terjadi.

Lalu, apakah para masyarakat penjaga hutan itu digaji. Jawabannya tidak, karena itu sudah kesepakatan, maka itu harus dilaksanakan dan wajib dipatuhi. Namun demikian, sebagai upaya apresiasi terhadap masyarakat di sana dan banyak pengangguran, para petua gampong/petua gle (Kepala desa/ ketua gunung) hanya membenarkan bagi masyarakat mengambil hasil dari dalam hutan itu misalnya rotan, ikan,  madu dan buah jernang dan kayu alin (gaharu).

Lantas, apakah masyarakat tidak boleh berkebun? Bukan. Mereka tetap dibenarkan untuk berkebun, namun tidak dilakukan pada hutan lindung, tapi lebih kepada hutan desa yang telah diatur dalam undang-undang. Pembukaan perkebunan yang dilakukan warga tidak sesuka hati, namun juga tetap berpedoman pada kearifan lokal  yang telah berlaku. Misalnya, tanaman yang dibenarakan ditanami adalah kopi, karet, coklat, durian, duku dan tanaman produktif lainnya yang tidak merusak lahan.

Sedangkan tanaman yang disukai oleh satwa-satwa liar seperti, sawit dan lainnya, itu tidak dibenarkan demi untuk mencegah terjadinya konflik marga satwa dengan manusia serta dapat merusak tanah di areal hutan.

Selain itu, bagi masyarakat yang menebang pohon pada lahan kebun yang akan digarapnya, maka maka si calon pemilik lahan wajib menggantikannnya dengan cara menanam baru sebanyak 10  (sepuluh) batang pohon lainnya. Dan, selama kearifan lokal berjalan, Kemukiman Lutueng merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki hutan terindah yang ada di Kabupaten Pidie yang memiliki debit air terbagus.

Proteksi Sejak Dini
Mencegah lebih baik daripada mengobati, peribahasa itu yang selama ini digunakan para warga di sana untuk mencegah terjadinya bencana melalui terjadinya bencana. Sehingga tidaklah heran di kawasan ini, jarang kita mendengar terjadinya bencana berupa banjir bandang dan longsor menerjang.

Karena itu, hal tersebut perlu digalakkan oleh pemerintah pusat, sehingga bencana yang disebabkan oleh lingkungan teratasi dan tidak pernah terjadi lagi. Dengan terjaganya hutan itu, tentunya persolaan bencana lain seperti krisis air, banjir bandang dan longsor, Insya Allah tidak lagi terjadi di negara kita ini.

Dalam konteks agama, Islam juga sangat menganjurkan hambanya untuk selalu menjaga lingkungan dan menjaga kelestarian alam, sehingga kita dapat memanfaatkan hasilnya dengan baik dan tentunya juga kita akan terbebas dari bencana besar. Menjaga alam ini merupakan bagian dari cara manusia untuk berhubungan dengan makhluk lainnya.

Dengan  terjaganya alam ini, tentunya manusia yang diberikan rabb (tuhan) sebagai khalifah bisa memanfaatkan hasil yang terdapat dalam alam dengan baik. Dengan alam lestari, masyarakat juga dapat mengambil hasil alam yang terdapat di dalam hutan misalnya madu, ikan, buah-buahan, rotan dan berbagai hasil lainnya bisa dinikmati dengan sangat baik.

Saya yakin, kearifan-kearifan lokal seperti ini ada di berbagai tempat di negeri kita. Dan jika pemerintah mendorong lembaga-lembaga untuk menjalakan kearifan lokal ini. Negara kita ke depan akan terbebas dari berbagai bencana yang menghantui.[multazam]

Penulis, Teuku Multazam adalah anggota Green Journalist Aceh

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintahan Gubernur Zaini Tidak Lebih Ramah Lingkungan

Selama beberapa dekade, konflik di Aceh mengurangi laju deforestasi sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia. Tahun 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang menewaskan sekitar 170.000 orang dan menyebabkan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Bencana dahsyat ini ternyata membuka jalan perjanjian perdamaian yang mengakhiri pertempuran dan menempatkan mantan pemberontak memimpin Propinsi Aceh.

Mantan pemberontak, Irwandi Yusuf, yang menjabat gubernur Aceh periode 2007-2012, dikenal karena melakukan kejutan menetapkan moratorium logging untuk konsesi penebangan hutan bahkan turun sendiri ke hutan menangkap pelaku ilegal logging. Irwandi adalah ” gubernur hijau” yang berjanji melestarikan hutan basah Aceh.

Pada tahun 2007, ia melarang pembukaan hutan primer atau lahan gambut. Tiga tahun kemudian, ia mengusulkan rencana penggunaan lahan yang akan meningkatkan luas hutan lindung sebesar 1 juta hektar.

Pada tahun 2011, Irwandi berbalik arah, mengeluarkan izin untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Kallista Alam membuka hutan gambut Rawa Tripa, rumah bagi Orangutan Sumatera terancam punah menjadi kebun sawit.

Langkah ini menyebabkan kegemparan di kalangan konservasionis yang menyatakan bahwa konsesi melanggar hukum nasional. Irwandi membela keputusannya, dengan mengatakan uang yang diharapkan dari proyek pengurangan deforestasi tidak terwujud, sebagian karena keterlambatan birokrasi nasional. WALHI Aceh, membawa kasus ini ke pengadilan. Kebijakan Irwandi ini menandai awal transisi dari kepemimpinan berfokus pada perlindungan lingkungan menjadi mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi.

” Banyak orang di Aceh tidak setuju bahwa seperti area luas tempat menampung air harus dilindungi oleh konservasionis,” kata McCarthy, peneliti dari Australian National University. Banyak yang berharap uang tunai dari kesepakatan makelar karbon untuk akses ke sumber daya alam Aceh. Irwandi sebenarnya mendukung konservasi sebagai sarana pembangunan, tetapi ketika skema karbon gagal memberinya uang, maka ia meninggalkannya.

Penggantinya, dr. Zaini Abdullah, terbukti tidak lebih ramah lingkungan. Tak lama setelah menjadi gubernur pada bulan Juni 2012, Ia membubarkan Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), sebuah badan yang bertugas untuk memastikan konservasi di KEL, salah satu tempat terakhir di mana gajah Sumatera, badak, harimau dan orangutan hidup bersama. Konservasionis mengatakan pembubaran ini menghambat pemantauan hutan KEL.

” Orang-orang meraih apa yang mereka dapat saat mereka bisa, “kata Dr Ian Singleton, kepala konservasi di organisasi lingkungan PanEco dan direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera. Program pusat rehabilitasi orangutan, dibangun untuk menampung sekitar 25 hewan, saat ini penghuninya dua kali lipat, terutama karena peningkatan pembukaan hutan, kata Dr Singleton.

Proposal Zaini kepada pemerintah nasional untuk mengubah rencana penggunaan lahan akan diberlakukan segera jika disetujui. Pejabat yang membantu rancangan proposal, Martunis Muhammad, mengatakan perubahan diperlukan untuk mengakomodasi perluasan pemukiman dan pembangunan infrastruktur.

” Populasi telah berkembang pesat sejak rencana tata ruang sebelumnya disusun, ” kata Martunis Muhammad, kepala investasi dan pembiayaan pembangunan di Badan Pperencanaan Pembangunan Aceh (Bappeda). ” Perubahan perlu untuk memperhitungkan perubahan pola penggunaan lahan. ”

Berdasarkan rencana yang diusulkan, Martunis mengatakan, beberapa hutan lindung akan dikonversi sebagai hutan produksi, yang memungkinkan masyarakat mengolah tanah yang mereka tempati. Dia mengakui bahwa rencana itu akan mengurangi kawasan hutan lindung tetapi mengatakan itu tidak akan melanggar hukum nasional yang menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser terlarang untuk aktivitas manusia.

” Rencana tata ruang ini ditujukan untuk memajukan pembangunan Aceh, sekaligus melindungi lingkungan, ” katanya.

Bahkan jika rencana tersebut tidak disetujui, Dr Singleton mengatakan, tanpa tindakan tegas dari pemerintah nasional,
perkebunan terus mengganggu kawasan lindung . “Sekarang semua terbuka untuk bisnis, “katanya.

Sumber: nytimes.com

read more
1 16 17 18
Page 18 of 18