close

hutan

Kebijakan Lingkungan

Memberikan Insentif untuk Penjaga Hutan

Membaca berita di Jambi Ekspres tanggal 11 april 2015, halaman 8, yang berjudul Gubernur HBA perjuangkan insentif “Penjaga” hutan, yang disampaikan secara khusus (face to face) kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya, saat kunjungan beliau ke Jambi dalam rangka Rapat Koordinasi  kesiapan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi di Ruang Rapat Kantor Gubernur Jambi tanggal 10 Februari 2015.

Jika kita cermati apa yang disampaikan oleh Gubernur Jambi tersebut kepada Ibu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tentang Insentif penjaga hutan, adalah sesuatu yang sangat wajar, karena beberapa Kabupaten/kota dalam Propinsi Jambi merupakan bagian dari kawasan konserasi yang bernama Taman Nasional, antara lain Kabupaten Kerinci/Kota Sungai Penuh/Merangin/Bungo dengan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Sarolangun/Tebo dan Batanghari dengan Taman Nasional Buit Duabelas, Kabupaten Tebo dengan Taman Nasional Bukit tigapulu, Kabupaten Muara Jambi dan Tanjung Jabung Timur dengan Taman Nasional Berbak.

Untuk Kabupaten Kerinci/Sungai Penuh, lebih dari 50% wilayahnya merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat, secara hukum, ekologi dan ekonomi merupakan kawasan yang harus dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan ekologi dan ekonomi Lokal, regional, Nasional dan global, begitu juga dengan kawasa konservasi Taman Nasional lainnya di Propinsi Jambi.

Dan dalam upaya pelestarian dan pengamanan kawasan tersebut, peran serta masyarakat yang diamantkan dalam pasal 68 (1,2) UU No 41/1999, tentang Kehutanan, pasal 58 UU No 18/2013, dan pasal 37 UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya merupakan sesuatu yang harus ditumbuh kembangkan dalam memperkuat keberadaan taman nasional tersebut, dan peran tersebut juga harus menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi.

Dan jika kita cermati Pasal 68 (3,4) UU No 41/1999, tentang Kehutanan, pemerintah memiliki tanggung jawab dan masyarakat punya hak untuk memperoleh kesejahteraan bagi masyarakat yang berada disekitar Hutan Konservasi tersebut sebagai bentuk “kompensasi” dari sebuah kebijakan penetapan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi, seperti bunyi pasal 68 (3) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tentunya peran serta mereka baik partisipatif maupun melalui organisasi yang difasilitasi berjalan dengan baik sebagaimana dimaksud pasal 69.

Sehingga apa yang dibicarakan oleh Gubernur Jambi secara khusus dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, adalah sesuatu yang seharusnya diperjuangkan melalui pemerintah pusat, karena pengelolaan kawasan konservasi disamping secara administrasi berada lintas Propinsi, lintas Kabupaten, dan memang diakui bahwa pengelolaan kawasan tersebut tidak terlalu dalam dimensi wilayah administratif, melainkan lebih mengacu pada wilayah ekologis yang menembus dimensi lintas wilayah administratif.

Sebagaimana Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan pengelolaan lintas propinsi, dan tujuan pengelolaan adalah untuk mendukung eko bioregional management di 3 DAS utama pulau sumatera yaitu DAS Batang Hari, DAS Musi dan DAS Pantai Barat Sumatera, yang merupakan DAS potensial dan kritis.

Difahami bahwa DAS Batanghari sesungguhnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang mendukung hidup dan kehidupan masyarakat yang berada disekitarnya baik yang dihulu, tengah maupun di muaranya/hilir. Sehingga peran DAS ini sangat vital dalam mendukung pembangunan ekonomi di Propinsi Jambi, bahkan dalam mendukung pengelolaan DAS berbasis ekobioregion saat ini sistem pengelolaan Taman Nasional di sekitar DAS ini terdapat 4 Taman Nasional yaitu untuk kawasan Hulu DAS Batanghari terdapat kawasan Konservasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dibagian tengah terdapat Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), dan hilir atau Muara terdapat Taman Nasional Berbak (TNB).

Kesulitan dan keterbatasan untuk akses Sumber Daya Alam sebagai potensi ekonomi di wilayah tersebut tidak dipungkiri merupakan kondisi yang harus di atasasi untuk menghindari disparitas ekonomi antara masyarakat sekitar hutan dengan masyarakat yang berada di wilayah hilir/tengahnya yang memiliki akses ekonomi yang lebih baik.

Keterbatasan akses ekonomi tersebut seyogyanya difahami oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten/Kota/Propinsi yang menjadi acuan bagi pemerintah pusat untuk mengkaji kelayakannya, karena memang bentang alam wilayah tersebut merupakan wilayah lindung yang harus di konservasikan, disamping berusaha mencari peluang yang bersifat non eksploitatif berdimensi ekonomi yang dapat dikembangkan di wilayah tersebut dengan mengoptimalkan jasa-jasa lingkungan.

Bentuk dan bagaimana Insentif atau kompensasi tersebut diimplementasikan dalam memadukan pengelolaan kawasan konservasi yang lestari dan pemberdayaan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan yang berkesinambungan menjadi bagian dari kajian Kementerian terkait, sekaligus mendukung pembangunan di wilayah tersebut menjadi lebih baik merupakan bagian dan hak dari masyarakat dan Pemerintah Kabupaten/Kota tersebut untuk bersamaan dalam kedudukan sebagai sebuah daerah otonomi yang baik dan sejahtera secara fisik infrastruktur dan ekonomi secara daya beli masyarakatnya.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh Teken MoU dengan BP REDD+

Provinsi Aceh menjadi provinsi ke-8 yang menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengelola REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest and Peatland Degradation/Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut). Propinsi lain yang sudah meneken adalah Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Gubernur Aceh Dr. H. Zaini Abdullah, mengatakan, Pemerintah Aceh sangat mendukung komitmen yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola REDD+ untuk mencapai target penurunan emisi. Bahkan jauh dari sebelum komitmen ini, Aceh telah terlebih dahulu memberlakukan kebijakan moratorium logging sebagai upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Bentuk keseriusan Pemerintah Aceh dalam mendukung REDD+ ditunjukkan dengan terbentuknya tim satuan tugas (task force) REDD+ di Aceh, yang pasca penandatanganan ini bisa segera melakukan koordinasi dan langkah-langkah implementasi dengan melibatkan berbagai komponen yang ada, seperti lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat, akademisi, dan para pihak lainnya di Aceh.

Dalam rangka mempercepat langkah-langkah persiapan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi program REDD+ di Aceh, beberapa kegiatan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah pengembangan dan penyempurnaan data dasar dan peta kadastral, pembentukan dan penguatan kelembagaan di Aceh untuk mengkoordinasikan dan melaksanakan program REDD+, pengarusutamaan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+ Aceh dalam pembangunan, pengembangan, dan penyempurnaan berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat daerah yang dibutuhkan dalam rangka memberikan kerangka hukum bagi pelaksanaan REDD+ di Aceh, dan pengembangan berbagai program, proyek, dan/atau kegiatan strategis untuk implementasi REDD+ secara penuh dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut.

Sementara Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo, mengungkapkan pelaksanaan REDD+ di Provinsi Acehsecara langsung mendukung pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Ada dua hal yang menjadi kunci utama bagi pelaksanaan REDD+ di Indonesia, yaitu Strategi Nasional REDD+ (Stranas REDD+) dan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) di masing-masing provinsi. Strategi ini tidak disusun dan terpusat di tingkat nasional saja, tetapi lahir dari keterlibatan dan peran serta yang dapat berjalan dengan baik apabila dilakukan dalam bentuk kerja sama multi-pihak yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, masyarakat adat, dan yang lainnya.

Heru Prasetyo menambahkan lagi, “Bapak Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa saat ini yang ditekankan adalah budaya masyarakat bekerja. Tidak ada lagi visi dan misi sektoral, tetapi visi misi negara yang akan didukung dan diimplementasikan di masing-masing daerah. Kami berharap nota kesepahaman yang ditandatangani hari ini dapat menjadi pembelajaran bagi provinsi-provinsi lain.”

Pelaksanaan REDD+ di lapangan terpusat kepada tiga sumbu. Sumbu yang pertama adalah penurunan emisi yang juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat; yaitu melalui sumbu kedua. Sumbu kedua adalah pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Dan, yang ketiga adalah mempertahankan keanerakagaman hayati dan jasa lingkungan.[rel]

read more
Hutan

Apa Arti “Hijau” dalam Istilah Ekonomi Hijau?

Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa dan Pawai Iklim Masyarakat di New York adalah pendahuluan UNFCCC COP di Lima (2014_ dan Paris (2015) – salah satu dari banyak acara yang menyoroti pembatasan perubahan iklim dan pencapaian pembangunan berkelanjutan. Walaupun semua ini bukan tantangan baru, tekanan untuk mengatasinya menjadi penting menghadapi pemanasan global dan krisis ekonomi. Dalam konteks ini, gagasan ekonomi hijau, dengan janji mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa mengganggu integritas ekologi Bumi, sangat menggoda. Tetapi dapatkan ekonomi hijau memenuhi janjinya? Sebuan kajian ringkas hubungan ekonomi-lingkungan sebelumnya telah terangkai sebelum ilmuwan dan masyarakat dapat menilai pertanyaan tersebut.

Apakah model ‘ekonomi hijau’ dan ‘pertumbuhan hijau’ berbeda dari model pembangunan sebelumnya?

Masalah ekonomi dan lingkungan terkait pertama kali dengan agenda pembangunan internasional pada Konferensi Lingkungan Hidup Manusia PBB di Stockholm 1972. Kaitan awal ini terfokus pada “isu abu-abu,” seperti limbah industri, polusi udara dan air, serta dampak ekologis pertumbuhan ekonomi. Perhatian mengenai kelangkaan sumber daya dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi masa datang juga mulai muncul saat itu. Dalam dunia yang membangun serta tropis, kaitan antara aktivitas ekonomi dan lingkungan tampak pada kekhawatiran terhadap deforestasi dan degradasi lahan.

Bagaimanapun, pada akhir 1980, ilmuwan dan pembuat kebijakan mulai berbicara ekonomi dan masalah lingkungan sebagai dua sisi mata uang. Salah satu formulasi terkenal kaitan ini tampil pada laporan 1987, Masa Depan Bersama. Dipublikasikan Komisi Lingkungan dan Pembangunan Dunia (WCED) di bawah kepemimpinan direktur Gro Harlem Brundtland (kemudian menjadi Perdana Meneri Norwegia), laporan WCED ini mengadvokasi perlunya “pembangunan berkelanjutan,” yang didefinisikan sebagai:

. . . pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini mencakup dua konsep kunci: konsep ‘kebutuhan’, khususnya kebutuhan mendasar dunia miskin, di mana prioritas utama seharusnya diberikan; dan ide keterbatasan dalam tekanan teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan masa depan.

Konferensi PBB 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, yang dikenal sebagai KTT Bumi, mengkonsolidasikan kaitan ini dan memaparkan rencana aksi abad 21 (Agenda 21). Komisi Pembangunan Berkelanjutan didirikan di Rio dan ditugasi menindaklanjuti Agenda 21 dan beragam kesepakatan yang ditandatangi pada KTT Bumi. Dua puluh tahun kemudian, seruan pembangunan berkelanjutan dan penghapusan kemiskinan diperbarui pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB 2012. Ide ekonomi hijau muncul sebagai rintisan Konferensi 2012 dan didefinisikan sebagai

. . . sesuatu yang menghasilkan peningkatan kualitas kehidupan manusia dan kesetaraan sosial, seraya secara signifikan mengurangi risikio lingkungan dan kelangkaan ekologis. Dalam ungkapan paling sederhana, ekonomi hijau dapat dipandang sebagai rendah karbon, efisiensi sumber daya dan inklusivitas sosial.

Hal ini jelas menjejakkan warisan pada definisi pembangunan berkelanjutan WCED.

Tetapi apakah model “ekonomi hijau” dan “pertumbuhan hijau benar-benar berbeda dari model pembangunan sebelumnya, yaitu yang dalam tingkat makro bertanggungjawab terhadap kebuntuan saat ini? Apakah ekonomi hijau – yang seolah-olah tidak bisa mengkompromikan ekologi atau ekonomi – juga kondusif bagi pembangunan berkeadilan dan damai? Para pendukungnya menyuarakan jawaban ya; para kritikus menjawab dengan  sebuah kategorisasi tidak .

Menghadapi seriusnya perubahan iklim, ilmuwan (dan masyarakat) harus terlihat menjawab keduanya secara analitis dan kritis untuk menilai. Hal ini membutuhkan kesabaran dan kepenasaran intelektual untuk memahami sejarah pembangunan internasional, dan hubungannya dengan ilmu pengetahuan (bagi yang berminat, tulisan Maggie Black berjudul “Panduan Bukan Omong Kosong mengenai Pembangunan Internasional” adalah titik berangkat yang sangat bagus). Menjauhkan upaya tersebut dengan respon menerapkan kemanfaatan kebijakan pragmatis sama saja dengan menjauhkan masa depan kita.

Sumber: cifor.org

read more
Perubahan Iklim

Resolusi Konflik Dalam Implementasi REDD+

Informasi Geospasial adalah informasi ruang kebumian, yang menyangkut aspek lokasi, letak suatu objek atau peristiwa dipermukaan bumi. Peta merupakan hasil informasi geospasial, pada dasarnya peta merupakan alat untuk merencanakan pembangunan di segala sektor.

Dewasa ini, pembuatan peta dan informasi geospatial ibarat sebuah pasar, di dalamnya terpampang berbagai jenis produk makanan, pakaian, peralatan dan lain-lain. Pembeli bebas memilih dan menentukan produk apa yang ia kehendaki. Bila pembeli menghendaki informasi tentang satu jenis produk bisa ditanyakan kepada ahlinya yang ada di tempat itu. Semua tinggal pesan, pilih dan bayar, seperti inilah kondisi perpetaan dan geospatial di Indonesia.

Ini terjadi disektor kehutananan dan perkebunan, sektor ini  dibutuhkan banyak peta, seperti peta hutan primer, hutan produksi, hutan gambut  hingga perkebunan sawit. Peta dapat dipesan sesuai selera pembeli, pesan, pilih dan bayar.
Saat ini, peta bisa dioplos dari pusat hingga kabupaten dan bermuara pada  izin penggunaan lahan, tentu ini berimbas sistem perizinan, sering terjadi tumpang tindih peraturan dan lahan, kemudian hari akan memicu terjadinya konflik horizontal dan vertikal

Transaksi Lahan
Permasalahan lainnya adalah Negara ini memiliki jumlah desa dalam kawasan hutan berkisar di 2.805 desa dikawasan hutan dan 16.605 desa disekitar kawasan hutan dan umumnya miskin serta rentan konlik (DKN, 2011). Dua kawasan ini menjadi bom waktu konflik lahan, ini  disebabkan oleh batas kawasan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemerintah maupun masyarakat, dan perencanaan pembangunan kehutanan belum mengakomodir keberadaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan, tidak adanya kesepakatan“Satu Peta” menjadi biang kerok permasalahan ini, hingga konflik pun berkepanjangan.

Akibatnya adalah tingkat konflik lahan masih tinggi per-sektor, untuk sektor perkebunan berkisar  180 kasus dengan luas areal 527.939,27 hektar, pertambangan 38 kasus dengan 197.365,90 ha, sector kehutanan 31 kasus dengan luas 545.258 hektar, perkebunan merupakan sektor tertinggi dalam hal kuantitas kasus (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2103). Ini salah satu bukti tidak jelasnya batas kawasan dan terjadi sengkata lahan,  peta oplosan masih berlaku di level tapak.

Secara nyata, perkebunan kelapa sawit memberikan sumbangan siginifikan bagi perluasan lahan secara besar-besaran di Indonesia. Kebun sawit seluas 9 juta hektar memproduksi 23 juta ton CPO dengan perluasan kebun sawit per tahun rata-rata 400.000 hektar (Sawit Watch, 2012). Banyak di antaranya menggunakan tanah-tanah masyarakat adat, kawasan hutan konservasi dan kawasan bergambut. Dikawasan ini selisih dan sengketa lahan tak pernah padam,beragam peta odong – odong diterbitkan oleh pihak terkait dan menjadi punca permasalahan.

Akibat dari yang disebutkan di atas, maka laju deforestasi dan degradasi hutan masih cukup tinggi, 480.000/tahun (Statistik Kehutanan, 2012). Merujuk pada data FAO 2010, angka 480.000 hektar/tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain tingginya permintaan pasar terhadap produk-produk yang membutuhkan lahan luas. Implikasi dari hal ini adalah konflik tanah, ancaman terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan emisi dari konversi lahan.

Ironis memang, tumpang tindih peta masih berlaku dan masih terus digunakan di Indonesia. Faktanya adalah ada 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan.  Analoginya adalah Pemerintah Pusat ada lima lembaga seperti Kementrian Kehutanan, Kementrian ESDM, Kementrian BUMN, Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lalu hal sama terjadi di tingkat  propinsi dan seterusnya hingga kabupaten. Hal ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan sektoral dan kepentingan masing – masing, sehingga dapat menimbulkan masalah antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat(Mubariq Ahmad, Banda Aceh, Januari 2014).

Pertanyaan mendasar pada kasus ini, Kenapa Kementrian dan LembagaNegara tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG). Mungkin jawabannya adalah masih tingginya konflik kepentingan dan ego –sektoral antar lembaga pemerintahan serta konsolidasi informasi pada satu lembaga Negara yang tidak transparan dan akuntabel.  Hal ini dipersulit dengan adanya kepentingan Politik dan Ekonomi, mungkin saja ada yang akan terganggu dengan penggunaan“One Map Policy.
Memitigasi Multi Tafsir Peta dan Resolusi Konflik
MenurutMubariq Ahmad, mantan Ketua Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ dalam lokakarya “Peliputan Perubahan Iklim” yang diadakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Banda Aceh, Selasa 28 Januari 2014, setidaknya

ada tujuh Undang-Undang yang memuat dasar informasi menjadi dasar penguasaan lahan, yaitu Kementerian Kehutanan berpedoman pada UU No 41 Tahun 1999, Kementrian Pertanian mengacu pada UU No 18 tahun 2014, Kementerian ESDM dengan mengacupada UU No 4 Tahun 2009, BPN mengacu pada UU No 2 Tahun 2012, Pemerintah Daerah dengan mengacupada UU No 32 Tahun 2004, lalu juga ada UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Benturan peraturan ini harus segara diharmonisasikan dan diintegrasikan dalam satu peta.

Perlu ditegaskan, bahwa Indonesia harus segera melaksanakan implementasi REDD Plus, Negara ini, sedang disorot oleh dunia Internasional terhadap keseriusannya mengurangi emisi karbon sebesar 26% – 41%, dibawah perkiraan emisi tahun 2020. Pemerintah harus menyempurnakan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Upaya tersebut tertuang dalam Inpres No 6/2013 tentang Inisiasi Kebijakan Penurunan Emisi Karbon (REDD+). Disisi lain, Negara ini harus memulai transisi perekonomiannya menuju Energi Rendah Karbon dan secara jangka panjang pada tahun 2030 sektor kehutanan ditargetkan menjadi penyerap netto karbon.

Hal lain dari subtansi REDD plus adalah pertama, mengamanatkan penggunaan satu peta referensi pemberian izin. Kedua, Pemerintah selayaknya memperbaiki sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfaatan lahan. Ketiga, upaya untuk perpanjangan moratorium izin perkebunan baru. Jika perlu, Pemerintah memperpanjang moratorium izin perkebunan baru sampai peta satu (one map) siap dan dilaksanakan oleh Kementrian dan Lembaga Negara.

Saat ini telah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang   bertujuan untuk menjamin ketersediaan dan akses Infomasi geospasial yang dapat dipertanggung jawabkan. Disamping itu adanya lembaga BIG (Badan Informasi geospasial) yang mengintegrasikan berbagai peta yang dimiliki sejumlah instansi pemerintah ke dalam satu peta dasar.

Penggunaan informasi geospasial “SatuPeta” harus dengan satu tafsir yang akuntanbel, transparansi dan kredibel. Dimasa yang akan datang, diharapkan tidak ada lagi“Multi tafsir Peta”. Kebijakan“Peta Satu” diharapkan akan dipatuhi dan ditaati oleh semua pihak dan menjadi satu-satunya peta yang digunakan oleh seluruh kementerian dan lembaga pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan. Kebijakan “Satu Peta” menjadi resolusi konflik lahan disektor kehutanan,  perkebunan dan masyarakat. Usaha ini tentu akan berdampak besar dalam aksi REDD  Plus di Indonesia.

Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk. Chik Pantee Kulu, Darusalam, Banda Aceh dan Pengamar satwa liar Indonesia.

read more
Hutan

Pemerintah Aceh dan LSM Musnahkan Pohon Sawit Haram

Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) dan didukung oleh Forum Konservasi Leuser (FKL) melakukan restorasi kawasan hutan lindung yang telah berubah fungsi menjadi perkebunan sawit untuk memulihkan fungsi hutan lindung seperti sebelumnya. Upaya restorasi hutan lindung dalam Kawasan Ekosistem Leuser ini dimulai pada hari Senin (29/9/2014). Sebelumnya dilaksanakan sosialisasi kepada pemilik kebun dilakukan.

Restorasi ini dihadiri oleh Sekda Aceh Tamiang, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolan Hutan Wilayah III, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Kapolsek Kejuruan Muda, Danramil Kejuruan Muda, tokoh masyarakat, aktivis lingkungan hidup serta para pemilik kebun.

Lahan kebun sawit ilegal yang masuk dalam hutan lindung di Kecamatan Tenggulon seluas 1071,46 dikuasai oleh 7 orang pengusaha perkebunan.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Husaini Syamaun, mengatakan berbahagia sekali dengan kegiatan restorasi kawasan lindung ini. Ia sangat mendukung usaha pemerintah kabupaten Aceh Tamiang untuk menyelamatkan kawasan hutan lindung agar fungsi hidrologinya tetap terjaga sebagai bentuk pencegahan terjadinya bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Sementara Sekretaris Daerah Aceh Tamiang, Ir. Razuardi menuturkan, pihaknya sangat mendukung pengembalian fungsi hutan lindung seperti sediakala. Pengembalian fungsi hutan lindung ini diharapkan dapat mencegah bencana ekologi di Aceh Tamiang, ujarnya.

Ketua FKL Dedyansyah mengatakan  keseluruhan lahan yang dikuasai oleh pengusaha perkebunan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang telah di serahkan ke Pemerintah Aceh. Kegiatan restorasi ini merupakan program pemerintah untuk mengembalikan fungsi hutan lindung sebagaimana mestinya, ucapnya.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Tamiang, Alfuadi, dalam laporannya mengatakan, ini merupakan langkah awal yang diambil pemerintah kabupaten Aceh Tamiang dengan melakukan penebangan kelapa sawit di sepanjang batas kawasan hutan lindung sejauh 10 km. Di batas kawasan hutan lindung ini juga akan dipasang plang informasi mengenai batas kawasan hutan, tutupnya.

Pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tamiang akan melanjutkan proses penebangan sawit illegal di batas kawasan hutan lindung setelah hari raya Idul Adha.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Reformis…

Sebuah bangunan dingin tanpa kedaulatan. Bahkan di atas meja makan, kita dengan mudah menemukan produk label impor; yang sebenarnya bahan bakunya berasal dari belakang rumah kita. Ya, begitulah. Dan yang tampak oleh mata, mungkin kaum miskin di Jakarta hidup dalam keadaan yang lebih buruk dari kaum miskin di Aceh. Tapi kaum kaya di Aceh hidup sama mewahnya dengan kaum kaya di Jakarta. Sementara daya beli dari upah minimum terus merosot dari tahun ke tahun.

Saya rasa, istilah “reformis” telah mengandung makna yang buruk. Sebab mereka yang kini menjabat di pemerintahan sebagian besar adalah reformis – “laku tak sesuai cakap”. Ada kondisi lain yang mendasar, yaitu soal agraria. Ada berjuta-juta hektar tanah yang dibiarkan menganggur dan tidak difungsikan untuk memberi makan rakyatnya sendiri. Sektor pertanian seharusnya menjadi jalan keluar bagi barisan penganggur agar mereka bisa memperbaiki kondisi hidup. Tetapi sebagian besar tanah-tanah itu dikuasai kaum feodal dan tirani yang korup.

Bagaimana kebijakan pemerintah Aceh dalam rangka melindungi hutan? Saya rasa mereka terlalu banyak bicara mengenai hutan ketimbang bagaimana sungguh-sungguh memecahkan masalah yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser saat ini. Begitu juga yang ada di hutan raya Seulawah.

Di sana terdapat fakta orang-orang yang bekerja dan hidup dari hasil hutan, tetapi kita tidak boleh sewenang-wenang memaksa mereka keluar dari sana. Sebab ada bentuk-bentuk kehidupan yang dapat menyangga lingkungan dalam jangka panjang bagi mereka yang sudah lama tinggal di hutan. Negara seharusnya bisa membantu mereka agar dapat mengelola material-material berharga secara rasional dan ramah  – sambil menghentikan arus jutaan orang lainnya yang mengalir menuju sungai-sungai “emas” di sana dengan cara memberi mereka pekerjaan lain.

Negara tidak perlu lagi mengulang “tragedi” demi sebuah undang-undang untuk membunuh mereka yang belum tentu bersalah. Namun tidak ada program ekonomi yang berkelanjutan tanpa tindakan-tindakan nyata untuk menghapus perusakan ekosistem.

Di sini, negara harus melakukan strategi peningkatan-peningkatan di dalam standar hidup mayoritas rakyat, yang dapat membantu mereka berpartisipasi lebih efektif di dalam pemulihan basis sumber daya alam di sekitarnya.

Dan saya rasa, Dewan Perwakilan Rakyat yang datang dari partai politik yang brengsek itu harus dipaksa untuk menyerahkan proposal pembangunan alternatif kepada rakyat, proses-proses dialog yang mewakili suatu langkah kritis dalam menentukan kebijakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat.

Bila negara memaksakan keinginannya sendiri, itu sebenarnya gejala bahwa kedaulatan rakyat sedang disingkirkan.

|Afrizal Akmal, 2014|

read more
Kebijakan Lingkungan

KPHA: Qanun RTRW Aceh Belum Ada Kepastian Hukum

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi Rancangan Qanun (Raqan) RTRWA dan mendapatkan koreksi dan evaluasi dari Kemendagri. Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) , Efendi Isma, S.Hut, dalam siaran persnya, Kamis (17/6/2014) mengatakan Qanun RTRW tersebut sudah mendapat koreksi dari Mendagri dan hasilnya dituangkan dalam SK Mendagri  No. 651-441 tahun 2014 pada tanggal 20 Februari 2014.

Hasil koreksi tersebut dimana antara lain memerintahkan Gubernur Aceh untuk menindaklanjuti hasil evaluasi yang telah dilakukan pihak Kemendagri, gubernur Aceh menetapkan Rancangan Qanun RTRWA menjadi Qanun RTRWA,  Gubernur Aceh melakukan sosialisasi Qanun RTRW Aceh kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat di wilayah provinsi Aceh dan menyampaikan hasil ketetapan Qanun RTRW Aceh tahun 2014-2034 kepada Kementrian Dalam Negeri RI cq. Ditjen Bangda untuk dilakukan klarifikasi lebih lanjut.

Namun menurut Efendi, Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keputusan Mendagri tersebut lebih lanjut sebagaimana disebutkan pada diktum keempat bahwa “Dalam hal Gubernur Aceh tidak menindak lanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada diktum Kedua dan tetap menetapkan Rancangan Qanun Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2014-2034, akan dilakukan pembatalan oleh Mendagri.”

Realitas belum disetujuinya qanun RTRWA oleh Kemendagri melalui proses klarifikasi, menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan di provinsi Aceh sekarang adalah pembangunan yang tidak memiliki konsep tata ruang, pembangunan yang tertuang dalam RPJM dan RPJP Provinsi Aceh pada kenyataannya tidak merujuk pada tata ruang, papar Efendi Isma.

Penerapan sebuah regulasi harus memiliki payung hukum yang jelas dan sesuai dengan asas pelaksanaan pemerintahan yang baik, bila penetapan Qanun RTRWA tidak mentaati aturan-aturan yang telah ditetapkan maka yang terjadi adalah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah.

KPHA (Koalisi Peduli Hutan Aceh) melihat fenomena di atas harus segera diselesaikan dengan tuntas oleh pemerintah, baik itu Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat dalam hal ini Mendagri.  RTRW Aceh menjadi salah satu regulasi yang penting untuk segera di implementasikan karena apabila tidak segera sah dan berlaku (secara legal formal) maka provinsi Aceh adalah provinsi dengan pembangunan yang tidak memiliki tata ruang sehingga dapat disebut sebagai provinsi dengan pembangunan yang buruk, lanjut Efendi.

Kejahatan pelanggaran ruang sejauh ini yang berhasil dipantau oleh KPHA terdapat di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh Tenggara, penegakan hukumnya masih memiliki kendala dengan penerbitan SP3 untuk kasus pelanggaran di Kabupaten Aceh Barat Daya dan pemberian hukuman di bawah 1 tahun untuk kasus pelanggaran ruang di Kabupaten Aceh Tenggara.

Seharusnya pelanggaran ruang pada kawasan hutan harus sepenuhnya dijerat dengan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar 5 miliar rupiah.

Fenomena ini menimbulkan dampak yang sangat berat terhadap kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum untuk pelanggaran ruang, dimana dalam PP 26 tahun 2008 disebutkan arahan sanksi bagi pelangaran ruang hanya dikenakan sanksi administrasi tanpa ada sanksi pidana dan ganti rugi, runut Efendi lebih lanjut.

KPHA selama ini selaku elemen masyarakat sipil Aceh yang antara lain meminta  agar penyusunan RTRW secara lebih transparan dan aspiratif dengan memperbesar partisipasi public, memasukan wilayah kelola mukim seperti hutan adat ke dalam RTRW Aceh, memasukkan kembali nomenklatur KEL ke dalam substansi RTRW Aceh, memasukan Rawa Tripa sebagai kawasan lindung di luar kawasan hutan, pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran ruang yang terdapat di daerah sebelum melakukan perubahan fungsi/status kawasan tersebut dan pemerintah bersama CSO membentuk tim independen pemantau penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.

KPHA akan terus menyuarakan tuntutan terhadap tata ruang yang berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan Aceh dengan harapan generasi penerus Aceh dapat menikmati ruang Aceh dengan nyaman dan sejahtera.[rel]

read more
Hutan

Masyarakat Bener Meriah Resahkan Perambahan Massal Hutan Lindung

Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Bener Meriah (FMPLBM), menerima laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi perambahan secara massal di kawasan hutan lindung Kabupaten Bener Meriah.

FMPLBM menuding, praktek ini mulai berlangsung sejak satu tahun terakhir yang melibatkan oknum pejabat daerah, pihak keamanan dan pengusaha holtikultura. Perambahan ini berhubungan dengan program penanaman kentang dan palawija.

Juga disebutkan ada wacana investor dari Malaysia yang menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah Bener Meriah sebagai  pasar kentang dan palawija. Komitmen inilah yang menjadi dasar pembukaan lahan secara masif ini. Luas lahan yang rusak diperkirakan mencapai ribuan hektar meliputi Kecamatan Permata, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam.

Kegiatan pembalakan hutan juga terjadi di wilayah lain, seperti di Kecamatan Mesidah, Syiah Utama, Pintu Rime Gayo, Gajah Putih dan Timang Gajah. Kegiatan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti pembukaan lahan baru dan illegal loging.

Menurut informasi yang diperoleh dari pengakuan masyarakat setempat, berbagai pihak terlibat dalam kegiatan ilegal ini, diantaranya oknum anggota DPRK Bener Meriah, oknum Dinas Kehutanan, Camat, pihak keamanan, mantan pejabat teras KIP Bener Meriah, aparat kampung dan pengusaha kayu dan pengusaha palawija dengan mengatasnamakan koperasi.

Berdasarkan latar belakang di atas, FMPLBM melihat bahwa apa yang terjadi selama ini merupakan kealpaan dan pembiaran pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan merupakan tindakan keserakahan dari oknum pejabat di Bener Meriah. Penegakan hukum juga sangat lemah dan terkesan dibiarkan sehingga kerusakan hutan menjadi sangat parah.
Seharusnya dalam situasi seperti ini, pihak kepolisian dan pihak terkait lainnya bertindak tegas dan melakukan pencegahan sebelum kerusakan terjadi. FMPLBM menilai ini merupakan tindakan kejahatan terstruktur, sistematis dan massif,  yang ikut melemahkan sekaligus mengangkangi supremasi hukum yang berlaku.

Masyarakat di Kecamatan Permata, Bandar, Bener Kelipah, Bukit dan Weh Pesam mulai resah dengan kegiatan ini, karena mereka sudah mengalami masalah terutama dengan menurunnya debit air secara signifikan. Misalnya di Desa Gelampang Weh Tenang Uken, Bener Pepanyi, Sepakat dan beberapa desa lainnya sudah kehilangan sumber air. Pipa air yang dipasang ke sumber mata air di wilayah Rebol Linung Bulen sudah tidak lagi dialiri air.

Masyarakat juga mengkhawatirkan akan terjadi banjir bandang dan tanah longsor seperti yang pernah terjadi di Kampung Pondok Keresek (sekarang Sedie Jadi), Kampung Owak Pondok Sayur, Burni Pase dan Kampung Seni Antara yang berbatasan dengan Aceh Utara tahun 2006 silam.

Hal diatas tidak mustahil terjadi karena ribuan hektar hutan di kawasan tersebut sudah luluh lantak meninggalkan bongkahan kayu dan jalan-jalan baru. Kerusakan ini pasti akan berakibat buruk bagi warga apabila musim penghujan tiba. Mengingat kawasan ini merupakan kawasan tangkapan air (chactmen area) dan memiliki curah hujan yang tinggi. Wilayah ini juga merupakan sumber bagi berbagai DAS di Aceh seperti DAS Krueng Peusangan dan DAS Krueng Jambo Aye yang menjadi sumber perairan dan air bersih bagi tujuh kabupaten di Provinsi Aceh.

Kerusakan hutan lindung di Kabupaten Bener Meriah juga akan berdampak pada kerusakan keanekaragaman hayati seperti terputusnya koridor satwa. Salah satunya mengganggu habitat harimau sumatra dan gajah. Kondisi ini juga berefek pada peningkatan suhu dan penurunan cadangan air tanah pada dua Cekungan Pedada dan Lampahan. Kehancuran hutan lindung juga telah sampai ke kaki Burni Telong yang merupakan wilayah gunung merapi aktif.
Ditemukan juga penggunaan pestisida, herbisida, fungisida berlebih yang dapat dilihat dari menurunnya kualitas air karena tercemar oleh zat kimia tersebut. Hal ini dimasa yang akan datang akan berpengaruh pada kesehatan masyarakat misalnya gangguan kulit akut, kangker dan penyakit lainnya.

Sumber: atjehlink.com

read more
1 4 5 6 7 8 18
Page 6 of 18