close

KEL

Kebijakan Lingkungan

ALSA Unsyiah Adakan Seminar Bahas Penegakan Hukum KEL

Banda Aceh – Bertempat di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, hari ini Senin (17/9/2018) Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala, mengadakan seminar nasional yang membahas penegakan hukum lingkungan. Tak kurang dari 200-an peserta yang berasal dari 13 anggota dari perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan anggota ALSA menghadiri acara ini. Selain anggota ALSA, seminar yang bertemakan “Peran Pemerintah dan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Serta Pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Sebagai Paru-paru Dunia” juga dihadiri oleh unsur LSM dan akademisi.

Penanggung Jawab Kegiatan, Oktavia Dwi Rahayu, kepada Greenjournalist mengatakan bahwa acara diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Pra-Musyawarah Nasional dan ALSA Leadership Training. Acara ini dibuka oleh Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof.Dr.Ir. Samsul Rizal M.Eng.

Sebagaimana yang sering diberitakan, KEL sebagai sebuah kawasan hutan yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia sedang menghadapi berbagai ancaman. Ancaman tersebut mulai dari dihapuskannya terminologi KEL dalam Qanun RTRW Aceh, perubahan tata guna lahan KEL hingga perburuan ilegal hewan langka yang hidup di dalam hutan yang  juga disebut paru-paru dunia.

Hadir dalam Seminar Nasional tersebut sebagai pemateri Dede Suhendra (Program Manager Northern Sumatera WWF), Guntur M. Tariq, S.Ik (Dit Reskrimsus Polda Aceh) dan Farwiza Farhan (Yayasan HAkA) serta bertindak sebagai moderator Ir. T. Muhammad Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari. Ketiga pembicara ini mengupas situasi terakhir kondisi KEL saat ini.

Perwakilan Polda Aceh menyampaikan bahwa Propinsi Aceh merupakan kawasan nasional yang penataan ruangnya diprioritaskan sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, baik di bidang ekonomi, sosial budaya atau lingkungan hidup.

Selain itu, banyaknya potensi yang dapat dimanfaatkan tidak memungkiri untuk potensi terjadinya kejahatan. Hal ini dikarenakan banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, namun kurangnya sosialisasi hukum kepada masyarakat oleh pegiat hukum, sehingga menimbulkan kesenjangan pemahaman. Masyarakat dalam melakukan kegiatan tidak mengenal aturan dan tidak mengenal dampak yang akan terjadi dari kegiatan yang dilakukan, salah satunya di bidang lingkungan.

 

 

read more
Green Style

UNESCO Dorong Aceh Dirikan Badan Pengelola Leuser

Takengon – Komite Nasional UNESCO dalam Man and the Biosphere Programme (MAB) mendorong pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara untuk segera menetapkan lembaga Cagar Biosfer Gunung Leuser  untuk mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam perspektif lingkungan.

“Kami berharap Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara segera membentuk lembaga untuk Leuser Cagar Biosfer karena Leuser didirikan sebagai cagar biosfer pada tahun 1981,” kata Ketua MAB-UNESCO Komite Nasional, Enny Sudarmonowati, Jumat (14/9/2018) di sela-sela mengunjungi Desa Kupi Tebes Lues di Kabupaten Aceh Tengah.

Sudarmonowati menjelaskan bahwa lembaga tersebut merupakan bentuk komitmen dari pemerintah daerah yang wilayah yang termasuk dalam zona cagar biosfer. Lembaga ini dikelola di bawah lintas sektoral sistem.

Menurut dia, lembaga ini dapat bergantian dikelola antar provinsi karena Kawasan Ekosistem Leuser berada di wilayah meliputi Aceh dan Sumatera Utara.

“Kami mengharapkan lembaga ini akan didirikan dalam satu tahun. Kehadiran lembaga ini akan menjadi sangat penting untuk melakukan branding dan mempromosikan Leuser Cagar Biosfer yang lebih baik,” ujar Sudarmonowati. Dia menambahkan bahwa tanpa lembaga, pemerintah provinsi akan sulit untuk branding dan promosi Leuser Cagar Biosfer.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui MAB-UNESCO program. Situs ini mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan SDGs berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan.

Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang menjelaskan hubungan yang harmonis pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

“Ini berarti bahwa pembangunan di daerah ini dilakukan dalam harmoni antara manusia dan lingkungan alam tanpa merusak hutan,” katanya.

Sudarmonowati menunjukkan bahwa Leuser Cagar Biosfer memiliki kombinasi dari tiga fungsi, yaitu logistik, penelitian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua fungsi-fungsi ini akan memberikan nilai tambah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa depan.

Menurut dia, Leuser Cagar Biosfer lembaga, yang melibatkan semua sektor, juga akan mengupayakan pencapaian target SDGs program.

Sudarmonowati menambahkan bahwa Gayo Alas Gunung International Festival (GAMIFest) adalah juga bagian dari program percepatan pembangunan di wilayah tengah Aceh.

“Acara yang diadakan di empat kabupaten dan kota di wilayah tengah Aceh, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan Leuser Cagar Biosfer,” katanya.[]

Sumber: antara 

 

 

read more
Green StyleRagam

Perjuangan Melindungi Hutan Leuser Lewat Petisi Online

Perjuangan melindungi lingkungan ditempuh bukan hanya dengan cara demonstrasi, aksi, advokasi ataupun lewat pengadilan. Teknologi informasi yang semakin berkembang dan masyarakat yang saling terkoneksi membuat pejuang lingkungan menambah metode lagi, yaitu melalui petisi online. Petisi online bisa dikatakan perjuangan bersama masyarakat global yang menekan pihak-pihak tertentu agar memenuhi tuntutan disebuah tempat dan dengan sebuah isu. Masyarakat diseluruh penjuru dunia, atas kesamaan ide dan visi meneken tuntutan bersama yang diajukan ke pihak tertentu.

Situs petisi online, change.org menjadi pioner perjuangan advokasi petisi online di Indonesia. Sejumlah isu sudah di petisikan lewat situs ini termasuk perlindungan hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Yang terbaru adalah petisi online dari 100.000 masyarakat yang menuntut agar lahan PT Kallista Alam di Nagan Raya, Propinsi Aceh dieksekusi oleh pemerintah sesuai dengan putusan MA. Namun sebelum ini, sudah ada beberapa petisi online terkait dengan perlindungan KEL.

Berikut petisi online yang pernah diluncurkan terkait hutan dalam KEL:

1. Petisi “Selamatkan Leuser, Selamatkan Aceh! Petisi ini ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, digagas oleh Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Petisi meminta Presiden Jokowi melalui jajaran Kementerian Dalam Negeri dapat menjalankan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650–441 Tahun 2014, dengan membatalkan RTRW Aceh 2013–2033 yang tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam Kawasan Strategis Nasional. Pembatalan ini akan menjadi langkah awal yang sangat penting bagi penyusunan RTRW yang memperhatikan kepentingan kami, masyarakat Aceh, Indonesia, dan dunia.

Petisi online diluncurkan pada 26 Januari 2016 dan diteken oleh 81.825 pendukung sampai tanggal berita ini dimuat.

2. Petisi “Tolak pemberian izin eksplorasi kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)” ditujukan kepada pecinta alam, Pelestari Lingkungan, Taman Nasional Gunung Leuser dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Petisi yang diajukan oleh masyarakat lokal,Warman Saputra, meminta masyarakat pecinta alam dan pemerhati lingkungan di Aceh agar memohon kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberi izin pengembangan potensi panas bumi kepada PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan hutan Leuser. Kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser dihuni oleh berbagai Flora dan Fauna yang tergolong langka, kawasan ini harus dilindungi dan dilestarikan.

Petisi online diluncurkan tanggal 29 Agustus 2016 dan mendapat tekenan dari 317 pendukung.

3. Petisi “Lindungi Kawasan Ekosistem Leuser, Nyatakan Warisan Dunia! Petisi ini ditujukan kepada Gubernur Aceh 2012-2017, Dr. Zaini Abdullah sebagai pemimpin Aceh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keputusannya sangat mempengaruhi kehidupan banyak orang di Aceh. Gubernur Aceh saat itu dianggap berada di bawah tekanan untuk menandatangani peraturan baru yang akan menghancurkan KEL untuk selamanya. Petisi ini dibuat oleh WALHI Aceh.

Petisi online diluncurkan pada 6 Desember 2013 dan sampai penutupannya telah diteken oleh 22.746 pendukung.

4.Petisi ” Gubernur Zaini, Tepati Janji, Tegakkan Hukum. Hentikan semua kegiatan berbasis lahan di Rawa Tripa dan cabut izin perusahaan yang membakar Rawa Tripa! Petisi ini mengingatkan Gubernur dan mendukung beliau untuk menepati janjinya dengan memerintahkan penghentian semua operasi berbasis lahan di Rawa tripa, dan mencabut izin perusahaan kelapa sawit bermasalah di Tripa. Petisi ini salah satu tonggak keberhasilan perjuangan penyelamatan lingkungan oleh masyarakat global karena isu yang diusung petisi meraih kemenangan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung. Petisi digagas oleh organisasi End of the Icons dan ditujukan kepada World Bank Investigation Team.

Petisi online diluncurkan tanggal 28 Juni 2012 dan mendapat 35.595 pendukung.

Kedepan tentu akan makin banyak petisi online bermunculan mengingat kasus-kasus lingkungan juga semakin banyak. Dukungan dari masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam perjuangan melindungi hutan Indonesia..

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Kebun Sawit Ilegal dalam KEL akan Dihancurkan

Lebih dari 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit ilegal di provinsi Aceh akan ditebang dan kawasan itu dikembalikan sebagai hutan lindung, kata seorang aktivis.

Pekerjaan menebang pohon sawit pada perkebunan kelapa sawit ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser, kabupaten Tamiang, akan dimulai pada hari Senin, kata Koordinator Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevi. Dinas Kehutanan Aceh Tamiang sudah memberitahukan hal ini kepada pemilik perkebunan ilegal minggu lalu.

“Apakah mereka suka atau tidak, mereka harus menyerahkan tanah karena mereka secara ilegal mengkonversi hutan lindung dan mereka tidak memiliki izin,” kata Tezar sebagaimana dikutip dari Jakarta Globe beberapa waktu lalu.

Sekitar 1.071 hektar dari kawasan konservasi seluas 2,6 juta hektar telah dikonversi menjadi perkebunan, kata Tezar, dan pemulihan sangat penting untuk melindungi seluruh kawasan hutan.

“Tentu saja akan memakan waktu, tetapi sejauh ini Aceh Tamiang dan pemerintah provinsi Aceh berkomitmen untuk itu,” katanya.

Ekosistem Leuser membentang di 13 kabupaten di Aceh dan tiga kabupaten di Sumatera Utara. Daerah ini berisi sejumlah flora dan fauna serta hewan langka seperti harimau, orangutan, badak dan gajah.

Tezar mengatakan setidaknya 3.000 hektar hutan lindung di Aceh perlu direhabilitasi karena konversi ilegal ke perkebunan kelapa sawit.

Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia – hampir dua kali lipat dari Brasil, menurut sebuah penelitian baru-baru ini – dengan luasan hutan primer dan sekunder yang luas yang dibuka untuk sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit.[]

Sumber: thejakartaglobe.com 

 

read more
HutanRagam

Agusen dari Produsen Ganja ke Destinasi Wisata

GAYO LUES – Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 (WIB). Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh.  Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.

Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dan mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.

“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.

Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela. “Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.

Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.

“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”

“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.

Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor  kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.

Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami  mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat. Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.

“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.

Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.

Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.

Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun,”saran Munjier.

Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menelpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.

“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.

“Kami sudah  di depan kantor pengulu,  dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.

‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.

Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.

“Masuk aja Bang, dingin di luar,“ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.

Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.

Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.

“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.

Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.

Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.

Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.

Hanya  beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba.  Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.

Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.

Sekitar pukul 7.30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan.  Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.

Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.

Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.

Membenam Stigma

Menyandang predikat desa penghasil ganja sangat tidak nyaman. Setelah puluhan tahun image ini melekat di Desa Agusen, dua tahun lalu  memotivasi warga desa yang terletak di  Kecamatan Blang Keujren Kabupaten Gayo Lues, Aceh beralih profesi. Sebagai desa bekas  penghasil ganja terbaik di dunia Agusen kini berbenah menuju desa  destinasi wisata

Desa berpeduduk 206 kepala keluarga ini terletak di lembah dan dikelilingi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  Agusen berbenah menjadi destinasi wisata pilihan bagi  para pecinta alam.

Memiliki sungai berair jernih yang mengalir dari kawasan gunung Leuser. Kini warganya mulai giat menjadi tuan rumah bagi pelancong. Potensi sungai dan tracking atau jelajah bukit serta kebun kopi dan pendakian. Desa terdekat dengan ekosistem Leuser menawarkan beberapa agenda wisata.

Tracking sungai,  hutan dan bukit menjadi pilihan para pengunjung ke desa tersebut. Areal hutan yang sebelumnya jadi hamparan kebun ganja menjadi kebun kopi Arabica Gayo yang terkenal. Juga tempat wisata sungai yang bisa dimanfaatkan untuk drafting atau arung jeram.

Sejak dipilihnya Agusen menjadi desa wisata tahun 2016 lalu, kini pemuda setempat terus memotivasi warga untuk menyiapkan diri. Rumah warga akan ditata menjadi home stay atau tempat tinggal yang nyaman bagi turis. Pagelaran seni pun ditingkatkan menyambut tamu.

“Dulu Agusen adalah produsen the best marijuana in the world. Kita akan melatih warga untuk mengelola homestay atau rumah tinggal sementara wisatawan, “ ujar Amru saat silaturrahmi dengan warga Agusen Sabtu (05/05/2018).

Desa yang dihuni petani dan perkebun  ini memang baru berbenah. Warga secara bertahap mulai meninggalkan kebiasaan menanam ganja yang jadi penghalang mereka berkembang seperti diakui Bupati Gayo Lues, Muhammad Amru.

Tak gampang mengalihkan pola pikir dan pola kerja warga Agusen. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai penanam ganja Namun, sosialisasi dan himbauan secara terus menerus membuat mereka bisa meninggalkan ganja.

Pengulu atau kepala Desa Agusen, Ramadhan pun nyaris putus asa ketika mengajak warganya meninggalkan kebiasaan yang dilarang. Pola kepemilikan satu hektare tanaman kopi ternyata  bisa  mengalihkan usaha mereka dari ganja ke kopi dan wisata.

“Kita selalu menyampaikan dan membujuk para petani ganji untuk beralih ke kopi dalam setiap kesempatan,” kenang Ramadhan.

Memang butuh waktu untuk berbenah dan mengobati citra dari desa produsen ganja menjadi desa destinasi wisata. Meskipun demikian, pemerintah setempat terus mendorong dengan melatih mereka menjadi tuan rumah destinasi wisata.[acl]

Penulis : Muhktaruddin Yacob

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan KEL Aceh Timur dan Tamiang, Menuju Kehancuran?

Banda Aceh – Hutan-hutan yang berada di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang serta dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menghadapi ancaman kehancuran. Berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, mulai dari alih lahan fungsi lahan, ilegal logging, pembukaan pemukian, perambahan hutan, penangkapan hewan liar dan berbagai gangguan lain. Sementara itu fungsi-fungsi yang menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah sehingga tidak berjalan semestinya.

Kurniawan S | Foto: P3KA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) menyampaikan hal tersebut diatas dalam kegiatan diseminasi hasil penelitian mereka yang bertajuk “Optimalisasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Timur dan Aceh Tamiang”, Rabu (9/5/2018) di Banda Aceh. Sejumlah peneliti dari P3KA hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Kurniawan S, T. Muhammad Zulfikar, Muhammad Nizar, Bahagia, Fadila dan Munzami HS. Penelitian ini berlangsung semenjak pertengahan tahun 2017 yang dilaksanakan di dua kabupaten tersebut.

Adapun lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah desa-desa yang bersisian dengan hutan KEL. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat desa tersebut telah berinteraksi dengan KE selama jangka waktu yang lama. Selain itu banyak kasus yang menyangkut perusakan hutan terjadi di desa-desa tersebut.

Ketua P3KA yang juga peneliti, Kurniawan, menyampaikan pemaparannya tentang kondisi sosial budaya masyarakat di daerah yang berdekatan dengan KEL. Selain itu Kurniawan menyampaikan analisis berdasarkan aspek legal sosial yang menjadi landasan kebijakan kehutanan.

T. Muhammad Zulfikar | Foto: P3KA

Bertindak selaku moderator adalah T. Muhammad Zulfikar, yang dalam pengantarnya menyampaikan bahwa semua kecamatan yang berada diperbatasan KEL mengalami kegiatan perambahan hutan yang parah. Hal ini terjadi karena hutan telah menjadi sumber mata pencarian bagi penduduk sekitar. Masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin tidak mempunya lahan produktif yang dapat mereka jadikan tempat mencari nafkah.

Hal lain yang menonjol hasil dari penelitian ini adalah posisi garis batas KEL yang banyak tidak diketahui baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan. Hal ini menyebabkan masyarakat masuk jauh ke dalam hutan dan tanpa sadar telah memasuki kawasan terlarang untuk kegiatan manusia. Aparat pemerintah juga kesulitan menjelaskan kepada masyarakat sejauh mana tapal batas KEL. Sosialisasi tapal batas KEL perlu mendapat perhatian khusus.

KEL memiliki luas sebesara 2.255.577 Ha yang mencakup 40% total luas Propinsi Aceh serta melintasi 13 kabupaten/ kota yang di Aceh. Menurut organisasi HAKA, kerusakan hutan dalam KEL pada tahun 2016 sebesar 4.097 Ha.

Menjadi tugas utama pemerintah dan dibantu oleh masyarakat untuk membenahi KEL yang ancaman kerusakannya sudah di depan mata. Membenahi lewat kebijakan yang pro lingkungan dan penganggaran yang memadai untuk pemantauan hutan Aceh.

 

 

 

 

 

 

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Penghasilan Petani Gayo Lues Meningkat Melalui Kerjasama Pengelolaan Hutan

Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mendukung upaya peningkatan mata pencaharian petani di Gayo Lues, salah satunya melalui pendampingan yang diberikan kepada petani kopi di empat desa yang terletak di dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Lebih dari 650 petani di Desa Kenyaran, Suri Musara, Cane Baru dan Atu Kapur menerima bantuan dari program USAID LESTARI untuk meningkatkan praktik penanaman dan pengolahan kopi, serta pendampingan terkait proses permohonan izin perhutanan sosial dan pengelolaan lahan.

“Melalui USAID, Pemerintah Amerika Serikat bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk melestarikan hutan di Aceh serta berupaya membantu masyarakat setempat agar dapat mengelola sumber daya hutan dengan lebih baik. Bantuan yang kami berikan melalui USAID LESTARI, merupakan bukti bahwa konservasi hutan dan peningkatan mata pencaharian dapat berjalan selaras” ujar Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn dalam kunjungannya ke Desa Suri Musara. “Melalui program LESTARI, kami juga membantu memastikan bahwa pengelolaan hutan Aceh dilakukan secara berkelanjutan serta bermanfaat bagi generasi masa kini dan yang akan datang.”

Dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia yang menargetkan alokasi kawasan hutan untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, USAID LESTARI membantu masyarakat setempat bekerja sama dengan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat komitmen terhadap pengelolaan hutan kolaboratif. Pemerintah Kabupaten Gayo Lues sangat mendukung upaya ini,  terbukti dari partisipasi mereka saat mengikuti kegiatan studi banding ke Kabupaten Lampung Barat yang didukung USAID, untuk mempelajari teknik wanatani kopi berkelanjutan yang akan diterapkan di Gayo Lues.

Dalam kunjungan ini, Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn, juga akan mengikuti simulasi Patroli SMART (Spasial Monitoring and Reporting Tool) yang dapat meningkatkan efektivitas monitoring dan pengelolaan kawasan konservasi serta berdiskusi dengan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar yang selama ini telah bekerja untuk memitigasi konflik manusia dan satwa liar.

USAID LESTARI merupakan salah satu dari serangkaian inisiatif lingkungan yang didukung oleh USAID Indonesia, yang menunjukkan komitmen dan besarnya dukungan Kemitraan Strategis AS-Indonesia. Program ini mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove bernilai tinggi. Pemerintah AS telah mendukung upaya konservasi hutan di Indonesia dalam kemitraan dengan Pemerintah Indonesia melalui USAID LESTARI sejak tahun 2015.[rel]

 

read more
1 2 3 4
Page 2 of 4