close

KEL

HutanKebijakan Lingkungan

Wagub Aceh Pastikan Tak Ada Pembangunan Infrastruktur di TNGL

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh berkomitmen untuk melestarikan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Salah satu komitmennya adalah selama kepemimpinan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah tidak ada pembangunan insfrastruktur apapun dalam kawasan tersebut.

Penegasan itu disampaikan Nova Iriansyah saat menerima kunjungan para pemangku kebijakan Tropical Rainforest Heritage dari Reactive Monitoring Mission (RMM) Tim International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco. Hadir juga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di ruang rapat Meuligoe Wakil Gubernur Aceh, Jum’at (7/4/2018).

Pada kesempatan itu, Nova menyebutkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh selama 5 tahun ini tidak ada pembangunan apapun, demi menjaga dan merawat warisan dunia yang sudah ditetapkan oleh Unesco.

“Tidak ada pembangunan infrastruktur Aceh di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tidak ada suatu upaya sistemik dari Pemerintah Aceh untuk merusak TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser. Silahkan Tim RMM IUCN Unesco melihat lebih dekat,” kata Nova Iriansyah.

Nova berharap pertemuan hari ini dapat merumuskan suatu keputusan yang baik, terutama dalam mengembalikan status Tropical Reinforest Heritage Sumatera, yang saat ini masuk kategori warisan alam dalam keadaan bahaya.

“Sebagai Kepala Pemerintahan Aceh, saya tentu menyambut antusias pertemuan ini, mengingat TNGL merupakan Tropical Reinforest Heritage Sumatera yang telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan alam dunia. Mudah-mudahan melalui pertemuan ini, upaya pelestarian dapat kita tingkatkan, sehingga TNGL tidak lagi dikategorikan sebagai warisan alam dalam keadaan bahaya atau World Heritage in Dangered,” sebutnya.

Rencana pemerintah sebelumnya berencana membangunan geothermal di kawasan Gayo Lues, Nova menyebutkan rencana sudah dibatalkan. “Dapat saya konfirmasi bahwa rencana tersebut telah dibatalkan, saya sudah berbicara dengan Pak Gubernur. Namun geothermal di Jaboy, Seulawah dan Burni Telong tetap berjalan,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Wagub juga mengimbau komunitas internasional untuk terus berkomitmen melestarikan Leuser. Lebih dari itu, komunitas internasional diharapkan mampu memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang dalam aktivitas kesehariannya bersinggungan langsung dengan KEL dan TNGL.

“Kelestarian KEL dan TNGL sangat penting, namun keberlangsungan hidup masyarakat yang selama ini aktivitasnya bersinggungan langsung dengan wilayah tersebut juga harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak,” tambah Nova.

Kepala Badan Perencanan Pembangunan Aceh, Azhari yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengungkapkan, tidak ada jalan baru yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di areal TNGL. Akan tetapi yang ada dilakukan oleh pemerintah dari jalan berbatu hanya ditingkatkan menjadi aspal.

“Peningkatan jalan yang kita lakukan adalah untuk membuka akses masyarakat yang selama ini terisolasi karena buruknya kualitas jalan, sehingga berbagai produk pertanian mereka yang memiliki potensi ekonomi dapat tersalur dengan baik,” jelasnya.

Sementara itu Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, TM Zulfikar mendukung komitmen Pemerintah Aceh dalam melestarikan dan melindungi Kawasan Eksosistem Leuser, termasuk Taman Nasional yang ada di dalamnya. Namun tentunya komitmen tersebut harus benar-benar diwujudkan dalam aksi nyata di lapangan.

“Janji-janji dan komitmen juga pernah disampaikan oleh Pemerintah Aceh terdahulu, namun kenyataannya janji tinggal janji, sedangkan kerusakan di KEL terus saja terjadi,” ungkap TM Zulfikar.

Untuk itu, sebut TM Zulfikar, pihaknya menunggu program dan kegiatan konkrit di lapangan. Segera efektifkan berbagai kebijakan yang saat ini sedang berlaku, seperti kebijakan Moratorium Logging, kebijakan Moratorium Izin Pertambangan serta kebijakan Moratorium Izin Kelapa Sawit. Karena berbagai kebijakan yang ada tersebut sebagian besar masih belum dijalankan secara baik.

“Selain itu jika memang benar berkomitmen melestarikan kawasan KEL, maka sudah selayaknya Eksekutif bersama Legislatif melakukan revisi Qanun RTRW Aceh dan memasukkan nomenklatur KEL ke dalam Qanun tersebut,” tegas Pakar Konservasi Lingkungan tersebut.

Bila dilihat dalam beberapa tahun terakhir, TM Zulfikar melihat kerusakan hutan dan lahan di Aceh masih terus berlangsung. Sehingga dengan kerusakan hutan Aceh (termasuk KEL) telah menyebabkan berbagai kejadian bencana di Aceh, seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor, serta meningkatnya konflik satwa dan manusia di Aceh.

“Untuk itu mari segera efektifkan dan jalankan program Aceh Green di Aceh dengan melibatkan semua elemen yang ada, termasuk LSM dan masyarakat setempat,” tutupnya.[acl]

read more
Kebijakan Lingkungan

Pro Geram Demo DPR Aceh Tuntut Revisi Qanun Tata Ruang

Sejumlah mahasiswa yang menamakan diri sebagai Koalisi Mahasiswa Pro Gerakan Masyarakat Menggugat(Pro Geram) melakukan aksi demontrasi di depan Gedung DPR Aceh, Banda Aceh, Rabu (24/2/2016). Unjuk rasa dilakukan sekitar 20-an mahasiswa berkaos kuning bertuliskan “Koalisis Mahasiswa Pro Geram” dengan melakukan aksi diam, dimulai sejak pukul 10.00.WIB.

Pro Geram dalam selebaran yang dibagikan menuntut beberapa hal kepada anggota DPR Aceh antara lain:

1. Menjadikan qanun tata ruang menjadi qanun prioritas untuk direvisi pemerintah dan DPR Aceh

2. Memasukan nomenlaktur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tata ruang Aceh

3. Memasukan wilayah tata kelola hutan adat ke dalam qanun tata ruang Aceh

4. Memasukan jalur evakuasi bencana ke dalam qanun tata ruang Aceh

Demonstran akhirnya diterima oleh anggota Komisi II DPR Aceh, Ir.H. Sulaiman Ary, diteras sekretariat dewan. Dalam pertemuan ini perwakilan demonstran membacakan tuntutan di hadapan anggota dewan. Ir. H. Sulaiman Ary, merespin tuntutan itu dengan mengatakan akan menyampaikan tuntutan ke Badan Legislasi segera. “Karena kewenangan merevisi qanun ada di badan legislasi,”ucapnya.

Sementara Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Muhammadiyah Aceh, Yudimi Arsepta mengatakan jika RTRW Aceh tidak memperhatikan ruang untuk sumber ekonomi masyarakat dan konservasi lingkungan maka dipastikan bencana sosial, ekonomi dan bencana alam akan terjadi.

Menurut Ketua BEM Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, Ardiansyah buruknya tata kelola sektor kehutanan tidak hanya berdampak pada satwa yang ada di hutan. Tetapi juga berdampak buruk bagi sektor kelautan dan perikanan karena aliran air dari gunung menuju lautan sehingga akhirnya akan terjadi pencemaran di laut yang dapat membunuh spesies-spesies hewan laut lainnya.

KEL merupakan amanat yang tercantum dalam pasal 150 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan merupakan Kawasan Strategis Nasional sebagaimana terlampir dalam lampiran PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Terkait KEL, Anggota DPR Aceh Kelabui Masyarakat

Seorang anggota DPR Aceh dihadapan demontrans Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mengatakan bahwa yang dihapus dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) hanya lembaga Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), bukan KEL-nya. Namun faktanya, KPHA tidak menemukan lagi sebutan KEL lagi dalam qanun tersebut.

Senin kemarin (30/12/2013) ratusan demonstran dari KPHA dan masyarakat berbagai wilayah melakukan unjuk rasa menolak penghapusan KEL dan tidak dicantumkannya hak ulayat dalam qanun RTRWA. Pengunjuk rasa berorasi bergantian mengecam DPRA yang dinilai tidak pro rakyat. Selain itu pengunjuk rasa menyebutkan penghapusan KEL dalam qanun menyebabkan potensi bencana meningkat di Aceh.

Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Adnan Beuransyah, menjumpai demonstran di halaman gedung dewan terhormat. Dalam jawabannya terhadap pemrotes, ia mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.

Tapi yang sebenarnya berlawanan dengan apa yang dikatakan Adnan Beuransyah dihadapan pengunjuk rasa. Juru bicara KPHA, Effendi Isma, S.Hut, kepada Greenjo, Selasa (31/12/2013) mengatakan pihaknya telah mempelajari qanun RTRWA tersebut dan ternyata istilah KEL memang sudah dihapus di dalamnya.

” Adnan Beuransyah adalah pembohong, nomenklatur KEL tidak ditemukan lagi dalam substansi RTRW Aceh dan bila dipaksakan terus berlaku, kita akan somasi dan judicial review bila tidak dikoreksi,” ujar Effendi Isma. DPR Aceh telah telah melakukan pelangaran regulasi, tambahnya.

Menurutnya, implikasi tidak tercantumnya KEL dalm Qanun menyebabkan tidak akan ada lagi pengelolaan KEL dan tidak ada lagi program-program pemberdayaan KEL secara terintegrasi. ” Izin konsesi sudah boleh dengan mulus beroperasi di sana dengan mudah,” sesalnya.

Sementara itu hal senada disampaikan oleh aktivis lingkungan yang juga merupakan akademisi dari Universitas Serambi Mekkah, T. Muhammad Zulfikar.

Ia mengatakan pemahaman anggota DPR Aceh terhadap KEL masih sangat minim. ” Dia (anggota dewan-red) tidak bisa membedakan antara KEL sebagai sebuah kawasan kelola hutan dengan BPKEL sebagai lembaga pengelola. Sayangnya lagi masih ada anggota DPRA yang tidak paham regulasi, terutama sejumlah regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam penyusunan qanun RTRWA, sepertu UU PA, UU tentang Penataan Ruang dan PP RTRW Nasional.Menyedihkan sekali,” kecamnya.

 

read more
Hutan

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tidak Pro Masyarakat

Masyarakat peduli lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Senin (30/12/2013) siang menggelar aksi penolakan qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW) Aceh  di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Demonstran menganggap qanun RTRW Aceh tidak berpihak pada masyarakat karena tidak mencantumkan kawasan ulayat dan menghilangkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Sebelum menggelar aksi damai, KPHA mengadakan pers conference dimana dalam pers conference tersebut juru bicara KPHA Effendi Isma, S.Hut mengungkapkan kekhawatiran mengenai penghilangan KEL dalam RTRW Aceh. KPHA khawatir  adanya perluasan izin Hak Guna Usaha (HGU), izin tambang dan konversi lahan di kawasan Leuser. Dalam RTRW Aceh, Ulu Masen dan Leuser digeneralisir menjadi hutan Aceh.

Padahal kedua kawasan tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Nama Leuser dan Ulu Masen telah ada sejak zaman nenek moyang dulu dan itu merupakan warisan yang tidak bisa diubah. Bahkan Leuser telah dijadikan sebagai ekosistem warisan dunia oleh UNESCO dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional.

Masyarakat dari Tamiang Peduli, Kamal Faisal,  mengatakan, Tamiang dalam kondisi sangat mengkhawatirkan, karena banyak perluasan lahan illegal yang merusak hutan Leuser. Akibatnya, jika hujan dalam waktu 2 jam saja, bisa menyebabkan banjir. Ia juga mengharapkan RTRW Aceh segera direvisi demi kelestarian ekosistem Leuser.

Jaringan Masyarakat Gambut Rawa Tripa juga menyatakan penolakan tegas terhadap RTRW Aceh.

Setelah mengadakan pers conference massa berjalan menuju ke gedung kantor DPRA. Mereka membawa beberapa spanduk yang menuliskan penolakan terhadap RTRW Aceh. Setelah beberapa jam menyuarakan aspirasi, akhirnya perwakilan DPRA, Adnan Beuransyah, keluar bertemu massa. Effendi Isma membacakan pernyataan penolakan RTRW Aceh, dihadapan perwakilan tersebut yaitu:

1.    Menolak keseluruhan qanun RTRW Aceh
2.    Meminta Kemendagri untuk melakukan koreksi qanun RTRW Aceh
3.    Qanun RTRW Aceh telah mengabaikan masyarakat adat Aceh (mukim) berarti juga mengabaikan bangsa Aceh.
4.    Meminta pemerintah Indonesia untuk membentuk tim independen pemantau penyusunan tata ruang wilayah Provinsi Aceh

5.    Menghimbau masyarakat untuk memilih wakil-wakilnya yang pro terhadap masyarakat Aceh dan lingkungan.

6.    KPHA akan terus melakukan advokasi sampai dengan terakomodirnya tuntutan-tuntutan masyarakat sipil Aceh untuk tata ruang yang berkeadilan.

Adnan Beuransyah dari Partai Aceh yang menemui massa mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.”

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa dalam RTRW Aceh tidak menghilangkan hutan ulayat yang dikelola mukim. Mukim tetap ada, tapi nantinya akan berada langsung dibawah lembaga Wali Nanggroe. Untuk membuktikan hal tersebut, Adnan Beuransyah mempersilahkan perwakilan massa yang hadir untuk mengambil berkas Qanun RTRW Aceh di Biro Hukum DPRA. Berkas diambil untuk dipelajari lebih lanjut, kemudian massa bubar.[]

read more
Hutan

KPHA: Penghapusan KEL dalam qanun RTRW Adalah Konspirasi

Seratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Senin, (30/12/2013). Pada aksi tersebut KPHA secara tegas menolak Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan 27 Desember 2013. Demonstran meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan qanun tersebut.

Peserta aksi yang berlangsung di depan gerbang DPRA membentang beberapa spanduk dan poster yang mengecam pengesahan qanun RTRW yang menghilangkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan juga tidak memasukan Rawa Tripa sebagai hutan lindung.

“KEL dihilangkan dalam RTRW Aceh, ini presiden buruk terjadi di Aceh, karena KEL merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang telah diakui oleh dunia internasional,” tegas Juru Bicara (Jubir) KPHA, Efendi Isma, Senin (30/12/2013) di Banda Aceh.

Efendi Isma mencium ada konspirasi dibalik penghilangan KEL tersebut. Ada upaya agar lebih memudahkan pemberian izin untuk eksploitasi tambang di kawasan KEL tersebut.

“Selama ini KEL itu menjadi penghambat merusak ekosistem Leuser tersebut, dengan hilangnya KEL tentu akan lebih memudahkan pengeluaran izin,” tegasnya.

Massa aksi yang datang dari perwakilan masyarakat dari 13 Kabupaten yang masuk dalam KEL secara tegas menolak qanun RTRW Aceh tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh masyarakat dari Aceh Tamiang, Kamal Faisal. Ia menyebutkan bila benar-benar dijalankan qanun RTRW Aceh itu, maka malapetaka akan semakin besar bencana melanda Aceh Tamiang.

“Bila RTRW Aceh itu benar-benar disahkan, maka akan menghanncurkan Tamiang, sekarang saja 2 jam hujan, Tamiang banjir, kami sudah tak sanggup tahan banjir kiriman daru gunung terus gara-gara hutan sudah gundul,” ungkap Kamal Faisal.

Pasalnya, kata Faisal, bila RTRW Aceh itu dijalankan, maka lebih 2500 hektar hutan lindung akan dijadikan perkebunan di Tamiang dan akan semakin menambah terjadi bencana banjir.

Sementara itu, warga yang datang dari Nagan Raya sangat menyayangkan RTRW Aceh itu tidak memasukkan lahan gambut Rawa Tripa dalam hutan lindung. Ini tentu membuat warga kecewa, karena Rawa Tripa itu merupakan warisan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, termasuk harus dimasukkan dalam qanun tersebut.

“Kalau ini terjadi tentu Rawa Tripa akan dikuasai oleh perusahaan sawit, tentu ini akan sangat berbahaya terhadap keselanatan lahan gambut Rawa Tripa,” tegas Indrianto.

Selain itu, massa aksi juga meminta kepada seluruh rakyat Aceh agar dalam menentukan pilihan pada pemilu 2014 mendatang agar tidak memilih wakilnya yang tidak peduli lingkungan. “Jangan pilih wakil rakyat nanti orang yang tidak peduli lingkungan,” tandas Indrianto.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Eliminasi Leuser?

Ada yang aneh kemarin sebagaimana diberitakan oleh berbagai media di Aceh. Dalam laporannya, Pansus II Tahun 2012 DPR Aceh tentang Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 mengusulkan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRWA. Pansus ini dipimpin oleh Tgk. Anwar Ramli dari Partai Aceh yang kini menduduki kursi legislatif mayoritas DPR Aceh.

Usulan ini tentu saja mengejutkan banyak kalangan terutama para pemerhati lingkungan. Usulan ini juga dianggap bertentangan dengan UU Pemerintah Aceh yang salah satu butirnya dalam Pasal 150 ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Nah lho…Ada gerangan apa ini?

Banyak pertanyaan timbul dengan usulan eliminasi KEL dalam RTRWA. Memang masih belum diputuskan apakah usulan ini diterima atau tidak mengingat Qanun (Perda-red) pun belum disahkan. Pertanyaan lain adalah apakah usulan ini sekedar menghapus sebutan KEL atau menghapus fungsi KEL. Ada apa dibelakang usulan ini?

Sejak puluhan tahun KEL sudah dikenal luas sebagai kawasan yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati, ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO dan dianggap wilayah yang tak tergantikan. Nama Leuser juga sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu oleh penduduk setempat. Mengapa nama KEL hendak dihilangkan?

Selama ini memang diketahui ada upaya-upaya untuk mengkonversi hutan-hutan di KEL menjadi peruntukkan lain, apakah sebagai daerah konsesi pertambangan, perkebunan, pemukiman dan sebagainya. Upaya-upaya ini ada yang berhasil dan ada juga yang mentok. Secara aturan untuk merubah peruntukkan KEL adalah sangat sulit. Panjang urusan yang harus dibuat. Jadi muncullah kecurigaan, jangan-jangan usulan penghapusan KEL agar memudahkan pihak-pihak yang ngiler dengan KEL dapat merubah kawasan ini dengan mudah.

Jika nanti usulan ini diakomodir, kita harap tidak, masih ada upaya lain yang bisa dilakukan. Penghapusan KEL bisa jadi melanggar perundangan yang tinggi dan ini dapat digugat ke Mahkamah Agung sebagaimana diusulkan oleh seorang pemerhati lingkungan.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 01/2011 maka terhadap suatu Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dimohonkan suatu keberatan secara langsung kepada Mahkamah Agung (“MA”), atau dapat disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon.

Jadi, dapat disimpulkan jika Qanun RTRWA ini bertentangan dengan suatu Undang-Undang maka dapat diajukan keberatan yang diajukan secara langsung kepada Mahkamah Agung (“MA”), atau dapat disampaikan melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah tempat kedudukan Pemohon.

Maka mari kita pelototi RTWA ini[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Penghapusan Nama Leuser Berlawanan dengan UU PA

Laporan Panitia Khusus (Pansus) II Tahun 2012 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengenai Hasil Pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) 2013-2033 oleh Tgk. Anwar Ramli selaku Ketua Pansus II DPRA dalam masa persidangan VI Rapat Paripurna 6 pada tanggal 24 Desember 2013 memunculkan beberapa hal kontroversial. Hal ini disampaikan oleh Mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, yang kini menjabat Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar.

Dalam siaran persnya, Kamis (26/12/2013) Ia menyebutkan mengacu beberapa pasal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yaitu :

1.    Pelaksanaan pembangunan di Aceh dan kabupaten/kota sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang harus dilakukan dengan mengacu pada rencana pembangunan dan tata ruang nasional yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan dan berkeadilan.

2. Pemerintah, termasuk Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan mematuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk secara aktif terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

3.  Perlu diingatkan kembali sebagaimana yang telah disampaikan oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh pasal 149, menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-sebesarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

4.   Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung, termasuk mengelola kawasan lindung untuk melindungi berbagai keanekaragaman hayati dan ekologi.

5. Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota juga wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

6.  Dalam Pasal 150 Undang-undang  No. 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh pada ayat (1) dengan jelas disebutkan bahwa Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Lalu pada ayat (2) disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut.

” Untuk itu usulan penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam RTRW Aceh merupakan tindakan yang salah dan bertentangan dengan Undang-Undang, khususnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

UU ini sendiri merupakan turunan dari perjanjian damai MoU Helsinki pada bulan Agustus 2005 yang lalu.

Menurutnya Pansus DPR Aceh perlu melihat kembali keberadaan beberapa kawasan hutan di Aceh sebagai sebuah kesatuan kawasan Hutan Aceh tanpa harus menganulir beberapa kawasan yang sudah ditetapkan melalui peraturan perundangan-undangan yang berlaku selama ini.[rel]

read more
Hutan

Mengenal Lebih Dekat Hutan Gambut Rawa Tripa

Isu hutan gambut Rawa Tripa dalam beberapa tahun belakang ini banyak diekspose oleh media dan mendapat perhatian luas dari aktivis lingkungan. Wajar saja karena hutan gambut ini sedang dalam proses perusakan massif akibat ulah manusia. Pemerintah pun kini bertindak lebih tegas dengan menyeret para perusak lingkungan itu ke meja hijau. Para terdakwa dari sejumlah perusahaan digugat secara perdata dengan denda ratusan miliar hingga digugat secara pidana dengan hukuman badan.

Sayangnya Qanun (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh yang baru disahkan beberapa hari lalu tidak mencantumkan nama Leuser didalamnya. Ini berimplikasi perlindungan terhadap wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) akan semakin lemah.

Namun tahukah Anda bagaimana situasi Rawa Tripa itu sendiri? Berikut informasinya yang kami kumpulkan dari berbagai sumber.

Gambut Luas yang Hancur
Hutan gambut Rawa Tripa (Rawa Tripa) adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai ± 61.803 hektar. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot, Aceh Barat Daya (Abdya). Wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan. Daerah ini dapat ditempuh dua jam perjalanan darat dari Meulaboh atau sekitar satu jam dari Jeuram, Ibukota Kabupaten Nagan Raya.

Rawa Tripa memiliki peran sangat penting, yaitu sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir serta benteng alami bagi bencana tsunami. Selain itu, Tripa juga dapat menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif bagi produksi pertanian yang berada di sekitarnya.

Rawa Tripa juga sangat kaya dengan berbagai jenis ikan dan hasil hutan non kayu yang secara tradisional dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber ekonomi keluarga dan sumber protein. Rawa gambut ini merupakan habitat terbaik berbagai jenis ikan tawar yang memiliki nilai komersial tinggi. Di dalam kawasan ini terdapat sedikitnya 40 jenis ikan bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Lele (biasa dan jumbo), Belut, Paitan dan Kerang.

Rawa Tripa juga menyediakan kayu konstruksi dan bahan bakar. Hal penting lainnya adalah beberapa sumber daya alam bukan kayu seperti madu lebah dan tumbuhan obat yang tak ternilai harganya.

Berbagai jenis satwa penting dan langka yang terdapat di kawasan hutan rawa gambut Tripa antara lain Beruang Madu (Helarctos malayanus), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Buaya Muara (Crocodilus porosus), Burung Rangkong (Buceros sp), dan berbagai jenis satwa liar lainnya.
Bahkan hasil penelitian Prof. Carel Van Schaik pada tahun 1996 menemukan kepadatan populasi orangutan tertinggi di dunia terdapat di dalam kawasan hutan rawa gambut Tripa, Kluet dan Singkil.

Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Namun, Rawa Tripa saat ini mengalami kerusakan yang sangat parah akibat pembukaan lahan di dalam kawasan tersebut oleh perusahaan perkebunan. Padahal kawasan tersebut secara tradisional merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal.

Menurut perkiraan, luas hutan di Rawa Tripa hanya tersisa kurang dari 50% dari luas total 61.000 hektare. Saat ini, 36.185 hektare luas Rawa Tripa sudah menjadi wilayah konsesi bagi 4 perusahaan kelapa sawit besar yang beroperasi di Rawa Tripa yaitu PT. Astra Agro Lestari (13.177 Ha), PT. Kalista Alam (6.888 Ha),  PT. Gelora Sawita Makmur (8.604 Ha) dan PT. Cemerlang Abadi (7.516 Ha).

Dari total luas konsesi HGU di rawa Tripa, 20.200 hektar di antaranya telah dibuka. Sisanya berupa hutan primer dan sekunder yang akan segera mati sebagai dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan untuk mengeringkan rawa tersebut, kalau pengeringan ini tidak dihentikan dan restorasi, rehabilitasi lahan dilakukan segera.

Selain itu, teknik pembukaan lahan (land clearing) dengan cara pembakaran kerap dilakukan oleh pihak HGU yang memperparah kerusakan di hutan Rawa Tripa.

Kondisi Sosial, Ekonomi dan Ekologis Rawa Tripa
Di kawasan Rawa Tripa  ditempati oleh penduduk suku Aceh yang merupakan kelompok etnis terbesar dan dominan. Etnis-etnis lainnya antara lain suku Jawa, yang merupakan transmigran, suku Batak, dan sebagainya.

Mata pencaharian utama sebagian besar penduduk Tripa adalah di sektor pertanian (padi, cokelat, sawit) dan nelayan tradisional terutama untuk produk perikanan di rawa seperti lele dan lokan (sejenis kerang). Sebagian kecil masyarakat ada yang bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai buruh kasar/pekerja harian.

Rawa gambut memiliki peran penting dalam perkembangbiakan ikan. Oleh karena itu, bagi sebagian penduduk lokal di Tripa, lele dan jenis-jenis ikan rawa lainnya merupakan sumber ekonomi dan sumber protein penting bagi mereka.

Aspek ekologis Rawa Tripa
Rawa gambut Tripa merupakan bagian dari KEL yang dikenal dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan telah di tetapkan sebagai kawasan strategis nasional untuk perlindungan lingkungan hidup. Rawa Tripa memiliki fungsi ekologis yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, antara lain:

1. Sebagai pelindung dari bencana tsunami
Tripa sangat penting untuk penduduk lokal karena mampu menjadi buffer zone tangguh saat bencana Tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004. Hal ini terlihat dari minimnya kerusakan yang terletak di belakang kawasan hutan rawa gambut Tripa yang masih terjaga dengan baik.

2. Pengatur siklus air dan pencegah banjir
Lahan gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 – 0,9 m3/m3 (Murdiyarso et al, 2004).  Dengan demikian Rawa gambut Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir.

3. Cadangan karbon
Berdasarkan hasil studi kedalaman gambut yang dilakukan di Rawa Tripa, memperlihatkan bahwa kawasan ini terdapat tiga kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Jumlah cadangan karbon diatas permukaan tanah pada hutan yang masih ada seluas 31.410 Ha (Hutan primer seluas 24.088 Ha dan hutan sekunder seluas 7.231 Ha) sebesar 4.048.335 ton carbon. Sementara cadangan karbon di bawah permukaan tanah (dengan kedalaman antara 130 cm – 505 cm) diperkirakan sebesar 328-2.240 ton karbon/Ha  (Agus dan Wahdini, 2008). Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi.

Menyadari nilai penting Rawa Tripa, penduduk lokal dari dulu telah menghormati keberadaan rawa Tripa. Mereka memperlakukan rawa tersebut secara khusus sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan. Tetapi kini sumber daya alam tersebut sudah semakin langka. Masyarakat setempat sudah tidak bisa dengan mudah menjaring ikan lele atau mencari madu seperti dulu lagi. Karenanya hutan gambut Rawa Tripa perlu diselamatkan demi manusia dan alam sekitarnya. []

read more
1 2 3 4
Page 4 of 4