close

perubahan iklim

Perubahan Iklim

Kriminalitas Semakin Tinggi Akibat Perubahan Iklim

Perubahan iklim ternyata tak hanya membuat makhluk hidup harus beradaptasi. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa hal ini juga membuat angka kriminalitas makin tinggi.

Seperti yang dilansir Daily Mail (21/2/2014), Matthew Ranson of Abt Associates meyakini bahwa di akhir abad ini perubahan iklim akan menimbulkan masalah kriminalitas yang cukup tinggi. Diperkirakan, akan ada 22 ribu kasus pembunuhan dan 18 ribu kasus perkosaan akibatnya.

Data ini juga didukung oleh beberapa lembaga lain. Kelompok Cendikiawan Cambridge Massachusetts misalnya, juga menyatakan akan ada kerugian sosial sebesar USD 115 miliar di Amerika Serikat saja akibat perubahan iklim.

Faktanya, sejak 2010, makin hangatnya suhu bumi menyebabkan adanya peningkatan kasus kekerasan buruk sebanyak 1,2 juta, kekerasan sebanyak 2,3 juta, perampokan 260 ribu, pencurian 1,3 juta. Parahnya, jumlah kasus tersebut terjadi tiap harinya.

Dari sini ditemukan bahwa pemanasan global akan meningkatkan kasus kriminal sebanyak dua persen untuk pembunuhan dan tiga persen untuk pemerkosaan. Dampak sosialnya, akan terjadi kerugian USD 38 hingga 115 miliar di Amerika Serikat saja.

“Konteksnya, perubahan iklim akan mengubah cara hidup kita dalam banyak hal,” sebut para peneliti.

Sumber: merdeka.com

read more
Perubahan Iklim

Modifikasi Cuaca Bukan Solusi Perubahan Iklim

Pemanasan global, yang dicirikan dengan terus bertambahnya emisi gas rumah kaca, akan meningkatkan curah hujan di bumi rata-rata 7% dibanding masa praindustri. Peningkatan curah hujan ini – bersama dengan korupsi dan salah kelola lingkungan – meningkatkan risiko bencana alam seperti banjir, erosi dan tanah longsor.

Sejumlah negara – tak terkecuali Indonesia – berupaya mengatasi dan mengurangi dampak pemanasan global ini dengan memodifikasi iklim. Teknik modifikasi ini dikenal dengan istilah “geoengineering”. Penelitian terbaru dari National Center for Atmospheric Research (NCAR) mengungkapkan, modifikasi iklim ternyata berdampak negatif pada lingkungan.

Modifikasi iklim akan mengurangi curah hujan, meningkatkan risiko kekeringan dan kekurangan air di berbagai wilayah di bumi. Menurut NCAR, modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan hingga 5-7% di wilayah Amerika Utara, Asia Timur dan wilayah-wilayah lain. Secara rata-rata, modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan di bumi hingga 4,5%.

“Modifikasi tidak bisa menjadi solusi (untuk mengatasi krisis iklim),” ujar Simone Tilmes, ilmuwan NCAR yang memimpin penelitian ini. “Curah hujan tidak akan bisa kembali normal seperti pada masa praindustri,” tuturnya.

Ilmuwan memertimbangkan beberapa jenis modifikasi iklim untuk mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Jenis modifikasi tersebut adalah dengan menangkap CO2 sebelum masuk ke atmosfer serta penyebaran partikel sulfat serta menempatkan kaca di atmosfer untuk memantulkan kembali radiasi matahari ke luar angkasa.

Penelitian ini berfokus pada upaya modifikasi yang kedua yaitu upaya “memayungi” bumi dari radiasi matahari. “Jika Anda tidak menyukai pemanasan global, Anda bisa mengurangi cahaya matahari yang mencapai bumi. Upaya ini akan mendinginkan iklim. Namun jika hal itu Anda lakukan, curah hujan akan menurun dalam jumlah besar. Tak ada solusi yang saling menguntungkan di sini,” tuturnya.

Tim peneliti menyatakan, ada dua alasan penurunan curah hujan jika radiasi matahari dicegah memasuki bumi. Alasan pertama adalah menurunnya proses evaporasi/penguapan air laut. Dalam siklus hujan, sinar matahari menguapkan air laut. Uap air laut ini kemudian memasuki atmosfer membentuk awan hujan. Awan hujan ini kemudian terbawa angin menyebar ke berbagai wilayah.

Alasan kedua berhubungan dengan tanaman. Saat emisi CO2 semakin banyak, tanaman akan menutup sebagian stomata mereka. Stomata adalah celah-celah pada daun yang berfungsi menyerap CO2 dan melepaskannya kembali dalam bentuk O2 melalui proses fotosintesis.

Saat stomata tertutup sebagian, jumlah air yang menguap dari tanaman akan semakin sedikit. Sehingga, saat radiasi berkurang, kapasitas fotosintesis juga akan berkurang, stomata akan semakin tertutup. Alhasil, penguapan air dari tanaman makin berkurang, atmosfer akan semakin dingin dan lahan akan semakin gersang.

Sumber: Hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Tahun 2013, Salah Satu Suhu Terpanas Sejak 1850

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) milik PBB merilis fakta mengenai kondisi perubahan cuaca yang terjadi sepanjang 2013. Tercatat tahun 2013 merupakan tahun terpanas keenam sejak tahun 1850.

Rata-rata suhu permukaan bumi adalah 0,9 derajat fahrenheit atau sekitar 0,5 celcius. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 1961 sampai 1990.

Selain itu, 2013 juga menjadi tahun terpanas setelah 2005 dan 2010. Sementara, menurut ilmuwan Amerika Serikat 2013 tercatat sebagai tahun terpanas keempat sejak 1880.

Dilansir AFP, WMO di Genewa, Swiss, Rabu (5/2/2014) juga menemukan permukaan air laut rata-rata global mencapai rekor tertinggi baru. Terjadi kenaikan sebesar 3,2 milimeter (0,12 inci) per tahun. Ini dua kali lipat lebih tinggi selama abad ke-20. Sehingga, daerah di sekitar pesisir dianggap sebagai zona rentan.

Tak ayal, sejumlah peristiwa ekstrim melanda sejumlah belahan bumi. Sebut saja Topan Haiyan yang ‘mematikan’ Filipina, kekeringan di Botswana, Nambia dan Angola serta gelombang panas di China Selatan pada Juli-Agustus 2013.

Menurut laporan, beberapa wilayah yang mengalami peningkatan suhu panas antara lain, Australia, Asia Tengah, Ethiopia, Tanzania, Samudera Arktik, kawasan barat daya serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.[]

Sumber: detiknews

read more
Perubahan Iklim

Bolivia Desak Negara Besar Atasi Perubahan Iklim

Presiden Bolivia Evo Morales, Kamis (30/1/2014), menyeru negara ekonomi dunia agar mencari solusi untuk perubahan iklim dan bencana alam yang ditimbulkannya.

“Negara besar dunia bertanggung jawab atas bencana karena perubahan iklim yang melanda planet ini, dan mereka juga diminta agar menyelesaikan masalah ini,” kata Morales di hadapan korps diplomatik asing di istana presiden di Lapaz.

Beberapa wilayah Bolivia sekarang diterjang banjir di musim penghujan, kata Morales kepada utusan negara asing tersebut, sebagaimana dilaporkan Xinhua. Ia mengatakan akan mengunjungi area yang dilanda bencana di Kota Cochabamba di Bolivia Tengah, untuk membantu warga yang jadi korban dalam beberapa pekan belakangan.

Morales pun mengenang hujan badai serupa pada 2006, sehingga mengejutkan pemerintah karena para pejabat tidak tahu cara menghadapinya, tapi sekutu Bolivia di wilayah tersebut seperti Argentina, Brazil dan Venezuela memberi bantuan dan teknologi.

Pada Selasa (28/1), Pemerintah Bolivia mengumumkan keadaan darurat nasional akibat hujan lebat yang mengguyur negeri itu.

Sumber: antaranews.com

read more
Perubahan Iklim

LPDS Adakan Lokakarya Meliput Perubahan Iklim di Aceh

Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dengan dukungan Kedutaan Besar Norwegia, menggelar lokakarya Meliput Perubahan Iklim untuk wartawan Aceh selama dua hari, 28-29 Januari 2014 di Hotel Hermes Banda Aceh.  Lokakarya  diikuti oleh puluhan wartawan baik media cetak, eletronik, dan online.

Lokakarya secara resmi dibuka oleh Direktur eksekutif LPDS Priyambodo RH dan Counsellor Kedubes Norwegia Per Kristian Roer. Adapun tujuan kegiatan ini adalah menjadikan wartawan pesertanya mau dan mampu meliput dan melaporkan isu-isu perubahan iklim, khususnya dalam kaitan kerusakan hutan dan program REDD+ setempat.

Beberapa narasumber yang dihadirkan dalam kegiatan tersebut adalah mantan penyusun Stranas REDD+, DR. Mubariq Ahmad, Kepala Bappeda Aceh, Kepala Badan eksekutif komunitas Solidaritas Perempuan Aceh.

Sementara itu, pengajar yang akan memberikan pelatihan kepada wartawan diantaranya adalah Warief Djajato Basorie, IGG Maha Adi, dan Direktur LPDS sendiri Priyambodo.

Mengenai isu perubahan iklim, khususnya dalam kaitan adaptasi, mitigasi, dan dengan program REDD+, LPDS menyelenggarakan lokakarya wartawan Meliput Perubahan Iklim dalam periode 10 bulan antara Maret 2012 hingga Januari 2013 lokakarya telah berlangsung di 10 provinsi di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Kawasan tiga pulau besar di luar Jawa ini memiliki hutan tropis dan lahan gambut yang luas. Lokakarya telah berlangsung di Medan, Batam, Pekanbaru, Kota Jambi, dan Palembang di Sumatra.

Di Kalimantan, lokakarya diadakan di Palangkaraya, Pontianak, Samarinda, dan Banjarmasin. Di Papua pelatihan diadakan di Jayapura.

Kini dalam tahun 2014 lokakarya dilakukan di Banda Aceh, Bengkulu, Palu (Sulawesi Tengah), Kendari (Sulawesi Tenggara), dan Manokwari (Papua Barat). Peserta lokakarya ialah 20 wartawan media lokal di masing-masing kota tempat lokakarya berlangsung.  []

Sumber: waspada online

 

read more
Perubahan Iklim

Perubahan Iklim Bukan Penyebab Utama Banjir

Perdebatan tentang perubahan iklim telah mengalihkan perhatian kita dari penyebab sebenarnya dari bencana banjir, sekelompok ilmuwan terkemuka telah memperingatkan.

Pembetonan, penebang pohon, dan perluasan kota telah membuat banjir jauh lebih buruk, dan kita perlu untuk bertindak atas pengetahuan itu, kata mereka.

Hubungan yang tepat antara pemanasan global dan banjir sedikit sekali pengaruhnya, dan mereka yang terus menghembuskan isu ini telah mengalihkan perhatian dari masalah sebenarnya yaitu pembangunan yang berlebihan, seperti dikatakan para pakar sebuah makalah penelitian.

Perdana Menteri Inggris David Cameron telah memicu perdebatan ini ketika puncak banjir melanda Inggris baru-baru ini dengan menyatakan bahwa ia ‘sangat’ mencurigai kehancuran itu disebabkan oleh perubahan iklim.

Namun, Menteri Lingkungan Owen Paterson menolak untuk mendukung pandangan ini dan Kantor Meteorologi setempat mengatakan tidak ada bukti bahwa banjir musim dingin disebabkan oleh pemanasan global buatan manusia.

Makalah penelitian, yang diterbitkan dalam Jurnal Hydrological Sciences, baru-baru ini mengatakan: “Ada kehebohan seperti kekhawatiran tentang hubungan antara rumah kaca dan banjir yang menyebabkan masyarakat kehilangan fokus pada hal-hal yang sudah kita ketahui dengan pasti tentang banjir dan bagaimana untuk mengurangi dan beradaptasi dengannya.”

“Menyalahkan perubahan iklim atas bencana banjir membuat isu global yang tampaknya keluar dari kontrol lembaga regional atau nasional. Komunitas ilmiah perlu menekankan bahwa masalah kerugian banjir terutama tentang apa yang kita lakukan pada lanskap dan yang akan menjadi kasus untuk dekade yang akan datang.

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Perubahan Iklim

LPDS Gelar Lomba Jurnalistik tentang Perubahan Iklim

Lembaga Pers Dr. Soetomo, sekolah wartawan di Jakarta, mengadakan lomba jurnalistik Meliput Perubahan Iklim (MPI). Hadiah lomba berupa liputan ke daerah ketiga (travel fellowship) dan kunjungan kawasan (field trip) di sebuah daerah berhutan di dalam negeri pada awal 2014.

Warief Djajanto Basorie, pengajar jurnalistik di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) menjelaskan untuk bisa mengikuti lomba ini dikenakan persyaratan sebagai berikut :
1. Lomba MPI terbuka bagi wartawan Indonesia di seluruh tanah air.
2. Peserta lomba mengirim karya asli hasil liputan isu lokal perubahan iklim yang diterbitkan atau disiarkan setelah 31 Januari 2013. Wartawan cetak dan online dapat mengirim karyanya lewat email ke LPDS. Wartawan radio dan televisi dapat mengirim transkrip karya jurnalistiknya dengan email.
3. Lomba ditutup 28 Februari 2014. Hasil lomba diumumkan 15 Hasil lomba diumumkan 15 Maret 2014.

Hadiahnya :
1.Liputan ke Daerah Ketiga (travel fellowship). Sebanyak 20 wartawan dapat memenangkan hadiah Liputan ke Daerah Ketiga (LDK) atau travel fellowship ini. LPDS mengadakan dua gelombang LDK dengan 10 peserta dalam setiap gelombang. Sepuluh peserta per gelombang tersebut masing-masing mewakili 10 provinsi/kota asal berbeda. LDK berlangsung 10 hari. Peserta LDK dari 10 provinsi berkumpul di Jakarta. Berdasarkan undian, peserta lalu menyebar ke daerah ketiga (bukan provinsi asal mereka) untuk meliput isu lokal perubahan iklim. Jadi, peserta asal provinsi A berjalan ke provinsi D untuk meliput masalah perubahan iklim setempat. Para peserta kemudian kembali ke Jakarta untuk menulis hasil liputan mereka. Peserta memaparkan hasil liputannya. Karya mereka kemudian dibedah peserta lain dan tim mentor LPDS.

2.Kunjungan Kawasan (field trip). Bagi 10 pemenang lomba MPI, LPDS mengadakan satu kunjungan kawasan atau field trip di salah satu provinsi bermasalah dampak perubahan iklim. Kunjungan kawasan ini berlangsung empat hari. Setiap pemenang mewakili satu dari 10 provinsi/kota asal peserta lomba. Sepuluh pemenang lomba berkumpul di ibukota provinsi kunjungan kawasan diadakan. Setelah memperoleh arahan, 10 peserta tersebut menuju satu kawasan di tempat mereka tinggal selama satu malam dua hari. Peserta kemudian kembali ke kota titik berangkat untuk menulis hasil liputannya. Esok harinya mereka memaparkan karyanya untuk dibahas sesama peserta dan tim mentor.

Karya liputan peserta lomba dapat peluang memenangkan hadiah bila memenuhi tolok ukur berikut:
1. Topik liputan menyangkut isu lokal perubahan iklim.
2. Karya asli dibuat peserta dan telah dimuat atau disiarkan setelah 31 Januari 2013. Karya asli berarti hasil kerja sungguh-sungguh peserta dan bukan karya orang lain.
3. Karya merupakan hasil pengadaan bahan berita (reporting) dan bukan pernyataan sikap peserta.
4. Karya berupa feature interpretatif 600 – 800 kata. Feature interpretatif ialah feature yang menjelaskan hal ihwal yang diliput.
5. Karya menjelaskan isu, dampak, dan solusi.
6. Karya tulis memakai lead efektif.
7. Karya berdaya gereget dan berdampak.
8. Peserta lomba dapat mengirim lebih dari satu karya untuk memperbesar peluang menang hadiah. Liputan berkelanjutan menunjukkan konsistensi dalam meliput isu perubahan iklim.
9. Nama peliput (byline) tercantum dalam karya.

“Karya jurnalistik dapat dikirim dengan email ke server LPDS atau Google Mail (Gmail): jurnalistik@lpds.or.id ataulpdsjurnalistik@gmail.com. Harap tulis di surat pengantar: Lomba MPI, nama dan posisi peserta, nama dan alamat media,” tutur Warief.

Sumber: lensaindonesia.com

read more
Perubahan Iklim

Gunung Es Antartika Terus Mencair

Sebuah gunung es raksasa runtuh tahun lalu di kawasan gletser Pulau Pine di Antartika. Menurut sebuah penelitian, mencairnya gunung es raksasa tak terelakkan hingga ahir hayatnya dan akan berdampak lebih luas.

Selama 15 tahun, para ilmuwan telah mengamati bahwa gletser di Antartika kehilangan keseimbangannya: Lapisan es dan tepian gletser – terus luruh. Gletser menyusut dan menghanyutkan lebih banyak es ke lautan sekitar.

Salah satunya terjadi di gletser Pulau Pine, yang memiliki salah satu gunung es terbesar. Dampaknya sangat terasa pada hilangnya es di Antartika.

Para ilmuwan yang dipimpin oleh Gael Durand dari Universitas Grenoble di Perancis telah membuat perkiraan masa depan gletser dengan menggunakan tiga model yang berbeda. Ada kecenderungan yang sama dari model-model tersebut. “Bahkan tanpa lebih dipengaruhi oleh suhu laut atau udara, tetap akan terjadi pencairan. Ini adalah dinamika internal. Pertama, gunung es retak atau meleleh. Lalu akan memberi pengaruh terhadap kenaikan permukaan laut,”ujar Gael.

Dampaknya terhadap laut
Durand memperkirakan akan terjadi peningkatan permukaan air laut lebih lanjut hingga satu sentimeter dalam 20 tahun ke depan. “Untuk gletser ini saja, akibatnya akan benar-benar besar,” kata Durand.

Sebagai perbandingan pada tahun 2010, permukaan air laut global naik sebesar 3,2 milimeter – hampir dua kali lipat dari kurun waktu 20 tahun sebelumnya.

Hasil kajian yang ditunjukkan Angelika Humbert dari Alfred Wegener Institute (AWI) di Bremerhaven juga memperlihatkan hal serupa. Pakar geologi yang meneliti geltser Pulau Pine mencatat tingkat abstraksi gunung es itu. Dampaknya di masa depan tentu akan terasa pada kenaikan permukaan laut.

Tidak kembali
Studi terbaru tentang gletser ini disebut Humbert sebagai “kemajuan signifikan atas penelitian sebelumnya”. Dengan rekan-rekannya di AWI dan Universitas Kaiserslautern, mereka telah mengamati retaknya gletser di ujung Pine.

Ketika terjadi keruntuhan, banyak massa es yang mengambang. Tim peneliti mempelajari proses yang menyebabkan keruntuhan di ujung geltser ini dan dinamika gletsernya.

Studi baru menunjukkan bahwa dengan kecepatan luruh ini, gletser sekarang mencair pada tingkatan yang tak akan kembali lagi, kata Gael Durand. Es menghilang kuat karena massa mengambang dipengaruhi oleh arus laut hangat dari bawah. Oleh karena itu, terjadi percepatan melelehnya es dan hanyutnya lebih banyak es ke laut.

Bahkan jika suhu udara dan laut akan mendinginkan kembali ke 100 tahun yang lalu, gletser tidak akan pulih. Dan trennya tak akan mengarah ke situ lagi, kata Durand.

Pakar geltser Jerman, Angelika Humbert mengatakan, perlu waktu lima sampai sepuluh tahun untuk mengembangkan model guna membuat perkiraan yang sangat handal tentang pencairan es. Untuk mendapatkan data dasar bagi model tersebut, juga merupakan tantangan besar bagi ilmu pengetahuan. Pengukuran di bagian bawah gletser adalah contoh yang sangat kompleks, kata Humbert.

Titik kritis terlampaui
Gael Durand melihat hasil terbaru dari kajian geltser, sangat penting untuk penelitian iklim global: “Gletser ini telah sampai pada titik di mana tidak ada jalan untuk kembali normal lagi. Perilaku kita kita mengubah iklim. Ini akan terus berubah. Menurut pendapat saya ini adalah salah satu contoh pertama di mana kita telah melewati titik kritis.”

Durand membandingkan situasi dengan pengendara sepeda di puncak bukit, terdorong ke bawah secara kuat dan tidak lagi dapat lagi mengerem.

“Kita punya alasan untuk takut, bahwa penurunan keadaan akan terjadi terus-menerus, bahwa gletser lain di kawasan lain berperilaku sama dan bahwa bagian dari gunung es ini runtuh.“ Mungkin hal ini kan terjadi pada berabad-abad waktu nanti, tetapi dalam waktu dekat kenaikan permukaan laut akan terus terjadi.

Laporan terbaru dari IPCC memperingatkan, bahkan sebelum dampak destabilisasi yang terjadi di gletser, di Antartika barat. “Fakta bahwa ini telah terjadi di gletser Pulau Pine, dan ini ternyata sudah terbukti, ” kata Durand.
Sumber: dw.de

read more
1 2 3 4 5 8
Page 3 of 8