close

perubahan iklim

Perubahan Iklim

Bappenas: Laporan Penurunan GRK Daerah Belum Lancar

Pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca sesuai Rencana Aksi Daerah (RAD–GRK) belum terukur karena laporan rekapitulasi capaian penurunan emisi dari 33 provinsi belum lancar.

“(Penurunan emisi) 33 provinsi harus dapat dihitung, ini pekerjaan melelahkan, tapi kontribusi daerah harus bisa dihitung,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Wahyunungsih Darajati, dalam seminar nasional Strategi Indonesia dalam Mengatasi Dampak Sosial Perubahan Iklim di LIPI, Jakarta, Kamis.

Sesuai dengan Rencana Aksi Nasional untuk penurunan Gas Rumah Kaca (RAN–GRK) yang tertuang dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2011, menurut dia, Indonesia menggunakan dua pendekatan ganda yakni secara sektoral dan regional untuk mengalokasikan upaya-upaya mitigasi.

Ia mengatakan secara sektoral upaya mitigasi fokus dilakukan di sektor pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, limbah, dan kegiatan pendukung lainnya. Sedangkan secara regional memastikan RAD–GRK yang telah disusun melalui Peraturan Gubernur berjalan di 33 provinsi.

“Mempersiapkan sumber daya manusia di daerah agar paham dan mampu menjalankan RAD–GRK sangat penting. Pelatihan, pemberian panduan, TOT sudah dilakukan dengan harapan mereka dapat membuat rencana aksi sesuai dengan kondisi dan karakter daerah masing-masing,” ujar dia.

Guna mengetahui kemajuan dan kendala dalam pelaksanaan RAN–GRK dan RAD–GRK maka Perencanaan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) harus dilakukan, kata Wahyuningsih.

“Daerah masalahnya masih bolong-bolong dalam membuat laporan. Kegiatannya sih ada realisasi anggarannya pun ada, tapi laporan rekapitulasi capaian penurunan emisinya tidak tahu,” ujar dia.

Arah kebijakan pembangunan nasional selain memastikan pertumbuhan ekonomi sampai dengan tujuh persen juga upaya penurunan emisi GRK 26–41 persen pada 2020. “Komitmen pernurunan emisi 26 persen dengan dana sendiri, 41 persen target dengan bantuan pihak lain,” katanya.(*)

Sumber: antaranews.com

read more
Green Style

12 Cara Kurangi Jejak Karbon

Proses bisnis dan perilaku kita yang tidak efisien, menghasilkan emisi gas rumah kaca dan meninggalkan jejak karbon. Banyak negara yang telah mengembangkan sistem guna memangkas inefisiensi ini. Seperti sistem Lean Six Sigma di Amerika Serikat dan Kaizen di Jepang.

Catherine Reeves, Manajer Environmental, Health, Safety & Sustainability di Xerox, menyatakan, mengurangi jejak karbon adalah proses yang tak pernah berhenti. “Proses baru selalu muncul. Perubahan terus terjadi. Ide-ide baru terus berkembang,” tuturnya.

Namun semua proses tersebut, menurut Catherine adalah proses yang akan menunjang kemajuan perusahaan. “Proses ini menjadi peluang untuk menciptakan perusahaan yang berkelanjutan,” tuturnya. Tujuan utamanya adalah untuk menghemat sumber daya seperti bahan baku, energi dan air, menghemat biaya sekaligus menyelamatkan lingkungan.

Dari mana upaya ini harus dimulai? Sherry M. Adler, kontributor di Real Business, laman milik Xerox berbagi 12 cara memangkas jejak karbon. Sistem pencahayaan, peralatan dan lingkungan bisa menjadi awal upaya mengurangi jejak karbon ini.

1. Mengatur penerangan.
Matikan pencahayaan yang tidak perlu dan sesuaikan pencahayaan yang ada di lingkungan sekitar. Gunakan lampu hemat energi dan cat dinding Anda dengan warna-warna yang terang untuk membantu penyinaran. Pastikan furnitur Anda tidak menghalangi fungsi lampu.

2. Gunakan pencahayaan alami.
Buka jendela, manfaatkan atap agar sinar matahari masuk ke ruangan Anda. Panel surya bisa berfungsi ganda, membantu Anda mendapatkan sinar matahari dan tenaga.

3. Atur jam kerja.
Hindari pengalokasian jam kerja pada malam hari yang memerlukan banyak energi.

4. Tangani sampah.
Jangan buang sampah Anda ke tempat pembuangan sampah akhir. Serahkan ke pihak-pihak yang bisa mendaur ulang sampah tersebut atau yang menggunakannya sebagai bahan baku energi.

5. Bantu konsumen.
Bantu konsumen mendaur ulang produk yang sudah tidak terpakai, misal baterai atau TV bekas. Sediakan fasilitas pengiriman gratis bekerja sama dengan kantor pos setempat. Upaya ini bisa menghemat biaya dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang terkait dengan limbah dan pengiriman.

6. Pakai ulang.
Rancang produk Anda agar bahan-bahannya bisa dipakai untuk memroduksi produk baru atau produk dengan kualitas yang lebih baik. Sehingga Anda tidak membuang-buang sumber daya. Semakin sedikit komponen atau sumber daya dalam sebuah produk semakin hijau produk tersebut.

7. Jaringan hijau.
Ciptakan jaringan pemasok yang ramah lingkungan. Pilih pemasok berdasarkan lokasi dan cara pengiriman. Semakin dekat dan sederhana semakin baik. Bantu pemasok Anda menjadi perusahaan dengan produk dan jasa yang ramah lingkungan.

8. Efisiensi manufaktur.
Tingkatkan efisiensi dalam proses manufaktur guna mengurangi kebutuhan terhadap fasilitas penyimpanan (pergudangan). Kurangi bahan baku dan kemasan produk guna mengurangi emisi gas rumah kaca.

9. Pangkas waktu operasi.
Semakin ringkas waktu operasi manufaktur semakin sedikit pula energi yang digunakan dan emisi yang dihasilkan.

10. Bersihkan udara.
Kurangi polusi udara dalam ruang. Gunakan fasilitas penyaringan udara.

11. Jalin kerja sama.
Jalin kerja sama guna menciptakan perusahaan hijau. Gunakan teknologi seperti komputasi awan dan ciptakan jaringan dengan organisasi-organisasi yang bisa membantu Anda mewujudkan organisasi yang ramah lingkungan.

12. Komitmen hijau.
Ciptakan komitmen untuk meraih target pengurangan jejak karbon. Ciptakan target baru jika target lama sudah tercapai.

Selamat berlomba mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Sumber: Hijauku.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Indonesia Komitmen Lakukan Pembangunan Rendah Emisi

Low Emission Capacity Buidling (LECB) program Indonesia, hari Senin mengadakan sesi pemaparan mengenai perspektif praktis tentang proses transisi Indonesia menuju Ekonomi Hijau yang dibawakan oleh Pavan Sukhdev, seorang pakar dunia Ekonomi Hijau. Kuliah Umum ini digelar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Senin (2/12/2013).

Ekonomi hijau adalah strategi logis untuk menyelaraskan target pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dengan upaya sendiri, dan sampai 41% dengan bantuan internasional, pada tahun 2020 relatif atas skenario business as usual, dengan tetap mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.

Dengan mengadopsi jalur pembangunan hijau dengan melibatkan masyarakat untuk mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang serasi dengan alam, Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menggunakan jasa lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Barang dan jasa alam adalah barang dan jasa publik … bila kita gagal dalam mengelola barang publik, yang paling rentan akan menderita kerugiannya adalah masyarakat miskin,” kata Pavan dalam kuliahnya. “Penghitungan nilai ekosistem adalah komponen penting untuk pendapatan atau PDB bagi masyarakat miskin.”

Dalam kunjungannya di Indonesia, Pavan Sukhdev memberikan serangkaian kuliah umum dan pelatihan sebagai bagian dari kegiatan pengembangan kapasitas terkait pemahaman tentang transisi menuju Ekonomi Hijau. Indonesia, bersama 25 negara lain di dunia berkolaborasi dalam program Low Emission Capacity Builiding (LECB) yang diluncurkan secara global pada bulan Januari 2011 sebagai bagian dari kolaborasi antara Uni Eropa dan UNDP.

Pavan menghargai langkah yang diambil Indonesia dalam memulai insiatif-inisiatif rendah emisi. “Dibandingkan beberapa negara lain yang telah saya kunjungi, Indonesia beruntung karena para pemimpinnya sadar akan pentingnya ekonomi hijau.”

Pengembangan kapasitas emisi rendah adalah bagian dari komitmen Indonesia untuk pembangunan berkelanjutan. Komitmen ini telah diterjemahkan ke dalam Rencana Aksi Nasional yang menyeluruh yang dikenal sebagai RAN-GRK (PP No. 61 Tahun 2011). Indonesia juga aktif terlibat dalam inisiatif global REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).[rel]

read more
Green Style

Lima Cara Vegetarian Selamatkan Bumi

Apa bahaya hamburger sekarang dan dimasa depan? Jika Anda pernah terlibat debat moralitas vegetarian, Anda tahu pertanyaan ini mengobarkan perdebatan panjang yang tak habis-habisnya. Tapi nyaris tidak mungkin melanjutkan debat ini tanpa data yang mendukung.

Dampak lingkungan dari makan daging, bukan hanya bahwa hamburger hanya hamburger semata, melainkan hasil dari proses panjang, rantai energi produksi intensif yang memberi tekanan besar pada ekosistem dan sumber daya dasar seperti makanan dan air. Berikut ini lima hal vegetarian dapat membantu menyelamatkan planet ini.

1 . perubahan iklim
Apakah Anda tahu diet vegetarian membantu mengurangi dampak pemanasan global ? Dalam banyak laporan tahun 2006 tentang penyebab perubahan iklim, PBB menyimpulkan total 14,5 persen dari emisi gas rumah kaca global berasal dari daging hewan industri, lebih besar dari gabungan semua bentuk transportasi.

Emisi ini adalah hasil dari puluhan miliar energi hewan, dimana hewan menghembuskan napas yang mengandung karbon dioksida lebih banyak dan menghasilkan kotoran metana yang sangat banyak.

Dengan kenaikan 70 persen produksi ternak pada tahun 2050, masalahnya mungkin lebih buruk sebelum menjadi lebih baik. Mengurangi konsumsi daging merupakan cara penting untuk membantu meminimalkan bencana pemanasan planet ini akibat perubahan iklim.

2. Tata Guna Lahan
Pemakan daging memerlukan lebih banyak lahan untuk makanan mereka dibandingkan dengan vegetarian . Menurut The Smithsonian, di seluruh dunia saat ini alih lahan berlangsung setara dengan tujuh lapangan sepak bola per satu menit untuk mempertahankan kebiasaan makan daging.

Hampir sepertiga dari tanah yang tersedia di bumi habis untuk mendukung peternakan ternak dan tanah rusak secara dramatis akibat hal tersebut. Hilangnya keanekaragaman hayati dan kesuburan tanah merupakan masalah utama dan diperburuk oleh penggembalaan berlebihan di berbagai.

Dan sebelum sampai ke piring Anda, daging Anda membutuhkan banyak makanan. Ternak mengkonsumsi lebih banyak tanaman daripada manusia. Sementara itu, lebih dari satu miliar orang kelaparan setiap hari.

3 . Penggunaan Air
Konsumen terbesar air tawar di bumi bukanlah manusia tapi hewan ternak. Air tidak hanya digunakan untuk konsumsi dan membersihkan ternak, tetapi juga air dibutuhkan untuk tanaman yang menjadi pakan ternak. Lebih dari 2.400 galon air dibutuhkan untuk memproduksi hanya satu pon daging.

Pada tahun 2050, kelangkaan air akan jauh lebih parah. PBB memprediksi dua pertiga dari penduduk dunia tidak akan memiliki akses ke air bersih. Krisis air parah ini pasti akan jauh lebih berkurang jika banyak orang menjadi vegetarian.

4 . deforestasi
Hutan hujan penting karena menjadi tempat bagi keanekaragaman hayati terbesar dari di planet ini. Setengah dari semua spesies membuat rumah mereka di hutan hujan tropis seperti Amazon, namun hampir setengahnya diproyeksikan akan menghilang pada tahun 2050.

Konsumsi daging bukan satu-satunya pendorong deforestasi, tetapi merupakan kontributor utama yang bertanggung jawab untuk sekitar seperempat dari perusakan hutan global. Membeli daging mendorong basis produksi yang menggerogoti hutan tropis kita . Menjadi vegetarian membantu menghemat habitat penting ini bagi generasi mendatang.

5 . Polusi air
Tidak hanya konsumsi daging menguras pasokan global air juga mengancam kemurnian air di sekitarnya dan lingkungan hilir. Kegiatan peternakan mencemari air tanah lokal serta ekosistem laut yang jauh di mana sungai-sungai tercemar memberikan airnya.

The US Environmental Protection Agency mengatakan kotoran hewan telah mencemari 35.000 mil sungai di 22 negara bagian dan tanah di 17 negara. Mengapa tidak menerapkan pola makan vegetarian atas nama kesehatan dan keselamatan sistem air hidup kita ?

Jadilah Vegetarian
Dampak lingkungan dahsyat produksi dan konsumsi daging mengejutkan. Memelihara hewan untuk mengambil dagingnya pasti menimbulkan kerusakan yang luas pada lingkungan, tanah dan penggunaan energi yang kritis terhadap pasokan makanan dan air.

Ini adalah realitas – cukup untuk membuat Anda ingin melihat beberapa resep vegetarian yang baik ! Seperti Paul McCartney mencatat mengkonsumsi sayuran adalah cara makan yang paling sederhana dan paling efektif yang dapat Anda lakukan pada tingkat individu untuk manfaat lingkungan.

Sumber: greenerideal.com

read more
Sains

Kontroversi Teknik Penyimpanan CO2 di Bawah Tanah

Carbon Dioxide Capture and Storage (CCS)merupakan salah satu teknologi terpenting dalam memerangi perubahan iklim. Tapi Jerman terkendala dalam penerapan teknologinya serta menghadapi tentangan warga.

Tema aturan penangkapan dan penyimpanan CO2 di bawah tanah (CCS) menjadi silang sengketa panas di Jerman. Setelah tarik ulur amat alot, belum lama ini pemerintah dan parlemen Jerman menyetujui undang-undang yang mengatur teknologi penyimpanan karbon dioksida di bawah tanah dalam volume terbatas.

Menteri lingkungan Peter Altmaier, sesaat setelah disahkannya undang-undang baru itu menyatakan, tidak akan menerapkan penyimpanan CO2 di dalam tanah jika rakyat menentangnya. Dalam naskah undang-undang baru itu, juga dicantumkan pasal, pemerintah negara bagian Jerman dapat menolak penyimpanan CO2 di wilayahnya.

Menanggapi silang sengketa itu, Komisaris Urusan Energi Uni Eropa, Günter Oettinger pada bulan Juni lalu sudah menegaskan, akan mengusahakan penyimpanan gas CO2 di kawasan laut utara di zona perairan bebas 12 mil dari garis pantai. “Ini sebuah opsi yang berlaku bagi seluruh Jerman”, kata Oettinger.

Akan tetapi, untuk penerapannya diperlukan jaringan pipa, yang melewati wilayah teritorial negara bagian. Dalam hal ini, negara bagian tidak dapat menolak dilintasi jaringan pipa semacam itu.

Dukungan Terkait Lapangan Kerja
Sebetulnya di Jerman terdapat negara bagian yang mendukung penerapan teknik penyimpanan CO2 di bawah tanah-CCS, yakni negara bagian Brandenburg. Pasalnya di negara bagian itu, industri batu bara menjadi pemberi kerja dan pembayar pajak terbesar.

Sebagai upaya mempertahankan lapangan kerja dan pemasukan ke kas negara bagian, PM negara bagian Brandenburg Matthias Platzeck dalam kampanye belum lama ini berjanji, mensyaratkan teknologi CCS bagi pembangunan pembangkit listrik batu bara terbaru.

Pemerintah negara bagian Brandenburg menjual tema teknik penyimpanan CO2 di bawah tanah (CCS) kepada para pemilih sebagai refornasi energi. PM Platzeck juga menyebutkan, sebagai negara industri, Jerman harus tetap melakukan riset di bidang CCS.

Juga perusahaan energi Swedia, Vattenfall yang sebelumnya membatalkan proyek CCS senilai 1, 5 milyar Euro di Brandenburg, menyatakan untuk kedua kalinya akan mencoba lagi proyek itu. Direktur Vattenfall cabang Jerman, Tuomo Hatakka mengatakan, undang-undang baru itu merupakan sinyal positif bagi riset lanjutan teknologi perlindungan lingkungan.

Rencana utama Europa
Uni Eropa kini justru mencanangkan haluan utama penerapan teknologi CCS terlepas dari silang sengketa di Jerman. Disebutkan, CCS hendaknya menjadi jejaring teknologi yang meliputi seluruh Eropa. Teknologinya direncanakan antara tahun 2020 hingga 2050 untuk memungkinkan penerapannya secara meluas di Eropa.

Untuk itu diperlukan pembangunan jaringan pipa sepanjang seluruhnya 22.000 km dengan biaya sekitar 50 milyar Euro. Dengan jaringan pipa itu, ditargetkan transportasi hingga 1,2 milyar ton CO2 per tahunnya ke tempat penyimpanan akhir di kawasan laut utara.

Juga para pesaing di tatatan internasional terus aktif meneliti teknologi yang kontroversial itu. Institut teknologi kenamaan di AS, MIT di Cambridge dewasa ini memimpin proyek penelitian di bidang ini. Sekitar 40 instalasi CCS berbagai ukuran, saat ini sedang dibangun di berbagai kawasan, 13 diantaranya di AS. Direncanakan, sebagian besar instalasi CCS itu sudah dioperasikan pada tahun 2015.

Sumber: dw.de

read more
Perubahan Iklim

Teknologi dan Informasi Berpotensi Kurangi Emisi

Penggunaan informasi dan teknologi komunikasi berpotensi memangkas emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global hingga 16,5% pada 2020. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “GeSI SMARTer2020: The Role of ICT in Driving a Sustainable Future” yang dirilis baru-baru ini.

Laporan SMARTer2020 menunjukkan, peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi (information and communication technology/ICT) seperti konferensi video jarak jauh dan teknologi bangunan pintar (smart building) bisa memangkas konsentrasi emisi gas rumah kaca sebesar 16,5% pada 2020 dari level yang diproyeksikan.

Nilai penghematan energi dan bahan bakar yang bisa diraih dari aksi hijau ini mencapai $1,9 triliun, dengan jumlah pengurangan emisi sebesar 9,1 Gigaton emisi setara CO2 (GtCO2e). Nilai manfaat peningkatan penggunaan informasi dan teknologi komunikasi ini tujuh kali lipat lebih tinggi dari emisi yang dihasilkan oleh sektor ICT pada periode yang sama.

Laporan terbaru ini menemukan nilai penghematan yang 16% lebih banyak dari laporan sebelumnya yang dirilis empat tahun yang lalu. Laporan SMARTer2020 mengevaluasi potensi pengurangan emisi di enam sektor ekonomi yaitu: energi, transportasi, proses manufaktur, pertanian, bangunan serta sektor jasa dan konsumen

Pengurangan emisi dari teknologi virtualisasi seperti komputasi awan (cloud computing) dan konferensi video, tata kelola ternak pintar yang mampu mengurangi emisi metana, hingga efisiensi yang diraih dari optimalisasi mesin dalam proses manufaktur diulas oleh laporan ini.

Secara keseluruhan ada 32 solusi berbasis informasi dan teknologi komunikasi yang bisa diterapkan guna membantu mengatasi krisis perubahan iklim. Kebijakan pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi dalam isu perubahan iklim masih dirasa sangat kurang.

Laporan ini menyeru dunia melakukan aksi konkret menerapkan solusi informasi dan teknologi komunikasi, guna mewujudkan pola pembangunan ekonomi rendah karbon. Laporan ini disusun dari penelitian di tujuh negara yaitu Brasil, Kanada, China, Jerman, India, Inggris dan Amerika Serikat.

Sumber: Hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Menggabungkan Adaptasi & Mitigasi: Win-win Solution

Meski bentang alam pedesaan dapat dikelola untuk mengoptimalkan baik itu mitigasi perubahan iklim maupun adaptasi, banyak proyek-proyek pembangunan berorientasi iklim yang gagal memanfaatkan keuntungan-keuntungan tersebut, menurut ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) dan Agricultural Research for Development (CIRAD), Bruno Locatelli.

Dengan perencanaan yang sungguh-sungguh, bentang alam dapat dikelola dengan menitikberatkan keseimbangan sinergi adaptasi dan mitigasi –trade-off–, ujarnya dalam konferensi Tropical Agriculture Research and Higher Education Center (Centro Agronómico Tropical de Investigación y Enseñanza, CATIE) di Kosta Rika pada bulan Oktober.

“Terdapat potensi besar untuk mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi dalam 235 proyek yang kami tinjau di seluruh penjuru dunia, namun dokumen-dokumen proyek tersebut kerap tidak menuliskan alasan untuk melakukannya,” ungkap Locatelli di hadapan peserta dalam Konferensi ke-7 Henry A. Wallace Inter-American Scientific, menandai 40 tahun berdirinya CATIE.

Mitigasi, yang melibatkan pula pengurangan atau offsetting emisi GRK dan adaptasi, yang merujuk pada upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim, kerap dipisahkan dalam kotak, lanjutnya.

Namun bentang alam pedesaan berkontribusi baik terhadap adaptasi maupun mitigasi, menyerap dan menyimpan karbon ketika menahan efek perubahan iklim dan memampukan petani untuk mendiversifikasi penghidupan mereka.

Proyek-proyek pembangunan pedesaan yang berfokus pada adaptasi dapat dengan mudah menggabungkan strategi mitigasi, lanjut Locatelli.

Sebagai contoh, sebuah proyek yang dirancang untuk membantu petani meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim dan diversifikasi pendapatan mereka memungkinkan memasukkan restorasi DAS untuk perlindungan dari banjir. Karena setiap pohon yang ditanam sebagai semacam restorasi akan menambahkan manfaat mitigasi emisi GRK dengan menyimpan karbon, maka sebuah strategi mitigasi dapat ditambahkan dalam rencana adaptasi.

Namun adaptasi dan mitigasi tidak selalu selaras satu sama lain, terang Locatelli.

Jika pepohonan yang ditanam terdapat dalam perkebunan, ada kemungkinan akan timbul konsekuensi tak diharapkan. Contohnya, menurunnya ketersediaan air, peningkatan limpasan selama banjir atau penggunaan zat kimia untuk pertanian yang dapat memapar mereka yang tinggal di daerah hulu.

Dan meski melindungi hutan mungkin memampukan masyarakat lokal untuk menerima kompensasi untuk mengurangi deforestasi di bawah skema REDD+ ((pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) yang didukung PBB, ini mungkin juga termasuk peraturan yang akan membatasi akses orang-orang terhadap produk hutan yang penting bagi penghidupan mereka dan untuk menghadapi variasi iklim, jelas Locatelli.

Masalah kompleks yang muncul adalah kekurangan data di waktu sebenarnya untuk memandu rancangan proyek dan pengambilan kebijakan. Saat Locatelli meninjau 139 tulisan mengenai perubahan iklim dan mitigasi, dia menemukan bahwa 64 diantaranya menyatakan alasan untuk mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi ke dalam proyek, namun hanya 11 tulisan yang sungguh-sungguh mempelajari proyek-proyek perubahan iklim yang ada.

Ini berarti banyak proyek yang mungkin dirancang dan diluncurkan tanpa dukungan bukti ilmiah yang kuat, ujarnya. Celah pengetahuan ini dapat dipenuhi jika pemimpin proyek memiliki sistem umum untuk mengumpulkan data di lapangan yang kemudian dibagikan, tambahnya.

Beberapa langkah telah diambil menuju arah tersebut. Climate, Community and Biodiversity Standards “mengidentifikasi proyek yang secara simultan menangani perubahan iklim, membantu masyarakat lokal dan melindungi keanekaragaman hayati,” berdasar organisasi tersebut.

Masyarakat lokal khususnya, memilih untuk mengambil manfaat dari kombinasi upaya-upaya adaptasi dan mitigasi, ujar Locatelli.

“Jika Anda menambahkan langkah adaptasi dalam proyek-proyek REDD+, Anda dapat mengarahkannya pada kesetaraan, meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dan membuat proyek lebih diterima masyarakat lokal. Menggabungkan adaptasi dan mitigasi menangani keberlanjutannya secara holistik.”

Langkah-langkah mitigasi dan adaptasi ada dalam agenda pembicaraan iklim PBB di Warsawa. Manfaat potensial mengkombinasikan strategi adaptasi dengan mitigasi juga akan didiskusikan pada Forum Bentang Alam Global pada 16-17 November, yang  juga ada dalam pertemuan iklim PBB.

Sumber: blog.cifor.org

read more
Perubahan Iklim

Studi: Pengurangan CO2 Drastis dapat Cegah Kenaikan Suhu Bumi

Sebuah makalah yang diterbitkan di Nature Climate Change menegaskan studi sebelumnya menemukan bahwa pengurangan drastis dan agresif karbon dioksida ( CO2 ) dan short-lived climate pollutants ( SLCPs ) diperlukan untuk menjaga suhu global di bawah 2 ° C sampai akhir abad ini.

Hal ini menegaskan penelitian sebelumnya oleh Dr V. Ramanathan dari S , Dr Drew Shindell di NASA Goddard Institute of Space Studies dan lain-lain bahwa mitigasi tiga dari empat SLCPs (black carbon, metana dan tropospheric ozone, akan menghindarkan sekitar 0,5-0,6 ° C, tapi tanpa pengurangan agresif dan langsung CO2 temperatur akan terus meningkat sampai akhir abad dan seterusnya.

” Manfaat pengurangan SLCPs jauh lebih besar ketika perhitungan termasuk manfaat jangka pendek dari mengurangi SLCP lainnya seperti hidrofluorokarbon atau HFC yang digunakan sebagai pendingin, karena hal ini dapat menghindari tambahan 0,5 ° C pemanasan pada akhir abad, “menurut Durwood Zaelke, Presiden Institute for Governance & Pembangunan Berkelanjutan. ” Pentahapan bawah HFC di bawah Protokol Montreal mungkin tindakan mitigasi terbesar , tercepat dan termurah dalam jangka pendek hingga 2100, tetapi HFC sayangnya tidak termasuk dalam penelitian ini. ”

” Tantangan yang sebenarnya untuk CO2 dan SLCPs bukanlah ilmu, melainkan politik bagaimana untuk mendapatkan pengurangan, ” kata Zaelke. ” Ada perbedaan besar antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan mencari tahu bagaimana untuk menyelesaikannya. ”

” California misalnya mengurangi emisi karbon hingga 90 %, menurut sebuah studi baru-baru ini oleh Dr Ramanathan, ” tambah Zaelke. Hal ini kontras dengan kenaikan 58 % di CO2 sejak tahun 1990 yang dilaporkan minggu ini oleh Global Carbon Anggaran. (tahun 1990 adalah tahun acuan bagi perjanjian iklim Protokol Kyoto).

” Politik mitigasi SLCP yang menggembirakan, ” kata Zaelke. “Sebagian karena manfaat jaminan yang signifikan untuk kesehatan dan pertanian, dan sebagian karena dapat dikurangi dengan teknologi yang ada dan dalam kebanyakan kasus dengan hukum dan lembaga-lembaga yang ada tanpa menunggu negosiasi iklim PBB untuk menyimpulkan perjanjian baru yang diharapkan dapat mulai berlaku pada tahun 2020. ”

Studi baru mencatat manfaat dari mitigasi SLCP dan juga menyebutkan argumen bahwa keberhasilan dengan SLCPs dapat membangun momentum politik untuk mitigasi CO2.

” Pendukung pengurangan SLCP tahu bahwa mitigasi CO2 penting, tetapi juga tahu bahwa kita berada di COP 19 dan emisi CO2 salah tujuan dalam 19 tahun terakhir. ”

” Kita perlu lebih politik yang canggih, sehingga kita dapat belajar bagaimana memecahkan bagian masalah iklim yang hari ini, sementara terus mengembangkan teknologi dan kemauan politik untuk menyelesaikan bagian-bagian lain, ” ujar Zaelke.

Paper baru menyimpulkan bahwa, ” Tindakan segera pada SLCPs berpotensi ‘ membeli waktu ‘ untuk adaptasi dengan mengurangi pemanasan jangka pendek , ” titik penting yang luar biasa untuk semua orang yang rentan dan tempat-tempat yang sudah menderita dampak iklim . “[]

Sumber: enn.com

 

read more
1 3 4 5 6 7 8
Page 5 of 8