close
Indeks Tata Kelola Hutan di sejumlah Propinsi | Gambar: UNDP

UNDP baru saja merilis hasil penelitian mereka tentang tata kelola hutan Indonesia untuk sejumlah propinsi. Hasilnya, Propinsi Aceh berada pada rangking terbawah dari sepuluh propinsi dengan nilai indeks 2,07. Sementara daerah-daerah lain Riau (2,28), Jambi (2,38), Sumatera Selatan (2,19), Kalimantan Barat (2,73), Kalimantan Tengah (2,64), Kalimantan Timur (2,42), Sulawesi Tengah (2,52), Papua Barat (2,29) dan Papua (2,41).

Laporan ini sendiri bertitel “ Penilaian Tata Kelola yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA)” yang memaparkan beberapa temuan tata kelola kehutanan di Aceh. Skala yang diberikan dari 1-5 dimana semakin besar angka maka tata kelola hutan semakin bagus.  Banyak pihak yang membantah, kok Aceh yang memiliki hutan seluas 60 persen dari luasnya dikatakan jelek indeksnya?

Hal ini harus dipahami secara komprehensif. Pengukuran indeks bukan semata-mata berdasarkan luas hutan semata ataupun kondisi hutan tersebut. Ini adalah pengukuran indeks TATA KELOLA, atau dengan kata lain dilihat secara kuantitatif bagaimana stakeholder kehutanan mengelola hutan di Aceh. Ternyata Aceh cuma memiliki hutan yang lumayan luas saja sedangkan tata kelolanya masih buruk.

Tata kelola berkait erat dengan aktor kunci yang mengelola hutan-hutan tersebut seperti pemerintah, lembaga masyarakat sipil (Civil Society Organization/CSO), masyarakat, media dan pihak swasta. Dari ketiga aktor kunci ini, yang mendapat penilaian lumayan hanyalah CSO.

UNDP memberikan nilai indeks 2,75 kepada CSO, sementara untuk kapasitas pemerintah sendiri hanya mendapat nilai indeks 1,82 (pada laporan diberi warna merah pertanda sangat rendah). Begitu juga indeks untuk swasta 1,24 dan indeks kinerja dari seluruh aktor 1,90.

Ini membuktikan bahwa kemampuan CSO dalam tata kelola hutan tidak bisa diremehkan. Dalam laporan tersebut dikatakan ” Kapasitas CSO dan masyarakat terkosentrasi ke isu hak atas hutan dan lahan, sementara tidak demikian dengan bisnis (perencanaan-organisasi) dan pemerintah (organisasi-kelola). Isu kendali/penegakan hukum didorong oleh CSO, tidak didorong oleh pemerintah”.

Laporan ini menjadi referensi kita akan bagaimana tata kelola hutan Aceh dimasa depan. akankah lebih baik tunjukan dengan indeks yang meningkat atau malah lebih buruk. Pemerintah Aceh jangan kebakaran jenggot melihat indeks yang buruk kemudian lantas melancarkan serangan balik ke pembuat laporan, seperti yang sudah-sudah.

Lihat hikmah yang bisa diambil, urusan hutan bukan hanya tentang luas tutupan hutan semata. Tetapi bagaimana mengelola hutan dengan sebaik mungkin, melibatkan semua pihak dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Jangan sampai ngawur[]

Tags : hutanindekindekstata kelola

Leave a Response