close
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (bagian terakhir)

Perumahan pegawai PT Kallista Alam di Rawa Tripa | Foto: M. Nizar Abdurrani

Perubahan ekonomi akan berdampak pada gaya hidup masyarakat. Meskipun ada ganti rugi lahan namun hak atas tanah tidak bisa digantikan. Sebagai pembanding, sebelum perusahaan perkebunan datang, kehidupan masyarakat berlangsung nyaman dan damai. Namun ketika perusahaan beroperasi, banyak masyarakat setempat yang bekerja diperkebunan meninggalkan kegiatan gotong royong misalnya pesta perkawinan. Akibatnya, terjadi kesenjangan hubungan diantara sesama masyarakat .

Perusahaan merekrut enam puluh penduduk lokal sebagai buruh dengan upah harian. Buruh perempuan bekerja memupuk pohon kelapa sawit dan menyemprotkan pestisida, sedangkan buruh laki-laki mengerjakan tugas yang lebih berat. Namun ada juga 100 orang tenaga kerja harian sementara yang dipekerjakan oleh perusahaan, mereka  mengerjakan tugas harian seperti memotong pohon kelapa sawit, membersihkan rumput dan pemupukan. Kadang-kadang mereka harus bekerja setiap hari, namun upah tidak dibayarkan setiap hari. Ada juga beberapa orang karyawan tetap yang hanya mendapatkan libur pada perayaan hari-hari besar saja.

Dulu, masyarakat memiliki tanah ulayat yang dikelola dengan kesepakatan bersama. Sebelum terjadinya konflik di Aceh, masing-masing kepala keluarga mengelola dua hektar tanah. Pada masa konflik, masyarakat pergi meninggalkan lahan-lahan tersebut. Setelah proses damai, lahan tersebut telah terjual namun tanpa adanya proses pembayaran dan telah menjadi perkebunan kelapa sawit. Yang disayangkan adalah tanah masyarakat tersebut dijual oleh calo yang berasal dari masyarakat itu sendiri.

“Pada tahun 1980, perusahaan telah membeli lahan seharga Rp. 800,000 per hektar. Calo meminta kami menjual lahan, namun banyak masyarakat yang tidak mau menjual. Kasus yang saya alami misalnya. Saya menanam pohon coklat di kebun saya, seminggu setelah berbicara dengan calo, pohon coklat tersebut telah dirusak dan diganti dengan pohon kelapa sawit,” kata seorang penduduk lokal bernama Ansari.

“Di desa saya, ada 100 hektar lahan yang digunakan bersama untuk menanam padi. Berdasarkan aturan hukum adat, tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Pada masa konflik, lahan banyak yang ditinggalkan dan tidak lagi digarap, setelah masa damai, kami kembali untuk menanam padi, beberapa bulan kemudian, tanah tersebut telah dijual dengan harga tertentu dan disahkan oleh Dinas Pertanian,” jelasnya.

Ansari menjelaskan bahwa pada tahun 1980, mereka mengelola tanah ulayat mengacu kepada aturan hukum adat, total lahan yang diterima adalah 2,000 hektar yang kemudian ditanami kapas, kelapa, coklat, dan tanaman lainnya. Kemudian pada masa konflik lahan tersebut terlantar dan tidak digarap. Kemudian pada tahun 2008, masyarakat kembali ke desa masing-masing dan melihat bahwa tanah tersebut telah dibersihkan dan siap untuk dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit oleh Perusahaan Surya Panen Subur II yang bernama Amara saat itu.

Perusahaan Surya Panen Subur II telah mendapatkan izin konsesi perkebunan  dikawasan hutan gambut yang terletak disekitar pemukiman penduduk. Meskipun sebagian masyarakat telah setuju untuk proses ganti rugi namun masyarakat Desa Suka Damai, Desa Panton Bayu, dan Desa Kaye Uno menolak menjual tanah mereka bahkan juga kehilangan sebagian tanahnya yang kemudian menjadi milik perusahaan.

Meskipun masyarakat yang terkena dampak tersebut telah melaporkan kasus tersebut kepada Pemerintah Aceh namun sejauh ini masyarakat masih harus menunggu jawabannya dan masyarakat diminta untuk tidak memperpanjang sengketa. Masyarakat dari beberapa desa ada yang kembali menggarap tanahnya namun masalah terjadi setiap bulannya.

Ketua kelompok tani telah ditangkap oleh polisi dengan dugaan perusakan pohon kelapa sawit yang tumbuh disekitar lahan pertanian masyarakat.

Sengketa yang terjadi antara masyarakat Desa yang ada di Kabupaten Aceh Singkil dengan Perusahaan Ubertraco yang kemudian berganti nama menjadi Perusahaan Nafasindo adalah kasus yang paling parah dan memalukan. Menariknya,  izin konsesi yang dimiliki perusahaan tumpang tindih dengan hak kepemilikan tanah masyarakat. tidak ada batas yang jelas antara lahan konsesi, tanah terlantar, kantor pemerintahan desa, barak, lapas, jalan dan pemukiman masyarakat juga berada di lahan konsesi.

Pemerintah Aceh memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mengembalikan lahan masyarakat yang telah dirambah oleh perusahaan secara illegal. Namun demikian, pemerintah daerah menyediakan bantuan kepada masyarakat dan meminta perusahaan membiayai proses pemetaan ulang batas lahan. Perusahaan menjawabnya dengan mengajukan tuntutan ke pengadilan tata usaha Negara di Aceh pada tanggal 24 September 2011. Kemudian dilanjutkan ke tahap banding ke pengadilan tata usaha Negara Medan. Bersamaan dengan itu, unjuk rasa yang digelar masyarakat setempat dan mahasiswa tersebut berlangsung ricuh sehingga dua orang kepala desa ditangkap dan dipenjara setelah proses hukum berlangsung.

WALHI Aceh merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang focus pada isu lingkungan di propinsi Aceh dan seluruh Indonesia telah mendokumentasikan seluruh rangkaian kasus tersebut. Ada delapan kasus pelanggaran yang terjadi di hutan gambut rawa tripa. Perusahaan menggugat Gubernur Aceh dengan tuntutan mencabut kembali izin konsesi lahan, Menteri Lingkungan hidup menggugat perusahaan karena pembakaran lahan, masyarakat menggugat Gubernur Aceh karena melanggar aturan tata ruang, Jaringan konservasi hutan gambut rawa tripa menggugat Badan Perizinan Terpadu membuat dokumen palsu dan memberikan kesaksian palsu. Proses peradilan berlangsung lama dengan banyaknya strategi hukum yang harus dilalui, sementara itu, perusahaan tetap melanjutkan operasinya, lingkungan masih dalam proses penghancuran dan masih terjadinya kekerasan terhadap masyarakat.

Reformasi hukum berbasis masyarakat dan ekologi telah mencuatkan kasus-kasus sengketa sumber daya alam dan pertanian dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, ada 232 sengketa yang terjadi di Aceh, dan sepuluh kasus diantaranya telah melakukan invasi seluas 28.522 hektar .

Meskipun data kerusakan lahan dan degradasi hutan di propinsi Aceh merupakan data resmi, namun nilai kerusakannya masih berdasarkan asumsi. Kerusakan akibat illegal loging ada yang telah digantikan dengan reboisasi. Selain itu, kerusakan infrastruktur dasar dan acowisata yang telah hilang juga berdasarkan hasil perkiraan. Secara umum, dampak kerusakan social budaya dan semua aspek yang relevan lainnya adalah nilai yang sangat berharga dan tak tergantikan.

Faktor inti invasi perusahaan perkebunan kelapa sawit diseluruh Indonesia adalah; Pertama, kebijakan strategis pemerintah yang luas dan terbuka terhadap investasi modal nasional dan multinasional membuka kesempatan besar bagi perkebunan kelapa sawit tanpa aturan yang berfungsi control. Kedua, peningkatan konsumsi minyak sawit dan minyak mentah sebagai bahan baku energy terbarukan di masa depan.

Tidak diragukan lagi, hutan hujan tropis dan hutan gambut yang merupakan bagian dari lahan produktif dan terbesar didunia dirambah dan dibakar dengan cepat oleh perusahaan perkebunan. Hal ini secara langsung merusak sistem ekologi hutan hujan tropis yang berfungsi menjaga keseimbangan iklim, sumber mata air, pelindung saat banjir dan bencana alam lainnya. Setelah perkebunan beroperasi, dampaknya secara langsung dapat dirasakan masyarakat setempat seperti pencemaran lingkungan melalui pembuangan limbah kimia dan debu. Kebijakan kehutanan yang lemah dan tidak adanya fungsi kontrol terhadap penggunaan lahan menyebabkan perlindungan terhadap sistem ekologi dan hak-hak rakyat tidak sebagaimana yang diharapkan.

Secara strategis, masyarakat setempat yang terkena dampak kurang berpengalaman dalam melakukan negosiasi dengan pemerintah dan pemilik modal. Namun pengalaman proses mengajukan tuntutan, hasil evaluasi, pendampingan dan kampanye, proses peradilan, juga pendampingan yang dilakukan oleh NGO dan masyarakat sipil memberikan kekuatan untuk melakukan perjuangan.

Sebagai rekomendasi jangka panjang, masyarakat dan LSM dapat mengambil pembelajaran berharga dan best practices tentang sebuah gerakan yang dapat diperhitungkan melalui advokasi kebijakan publik berkelanjutan, perlindungan lingkungan dan regulasi pembangunan ekonomi yang menjaga lingkungan. Yang penting adalah bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan mendistribusikan hak kepemilikan lahan secara adil.[]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

 

Tags : rawa tripa