close

leuser

HutanKebijakan Lingkungan

Studi YEL: Dampak Ekologis Bendungan Tampur Lebih besar dari Perkiraan Awal

Hutan terakhir di Bumi yang menjadi rumah bagi harimau liar, badak, orangutan, dan gajah terancam musnah dan tak terhitung spesies lain juga bernasib sama jika proyek pembangkit listrik tenaga air senilai $ 3 miliar di hutan Leuser dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Studi terbaru yang melihat dampak potensial dari tanaman di Ekosistem Leuser di Sumatera Indonesia, dan salah satu dari hamparan hutan hujan tropis murni terbesar di dunia mengungkap hal tersebut di atas.

Bendungan Tampur yang menghasilkan listrik 428-megawatt dan masih dalam tahap pra-konstruksi, dengan beberapa studi kelayakan telah dilakukan. Dokumen Analisis dampak lingkungan, atau Amdal, menyebutkan air akan membanjiri lahan seluas 40 kilometer persegi (15 mil persegi) di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Peneliti mengatakan bendungan Tampur akan mendatangkan malapetaka pada ekosistem dan mata pencaharian lokal. Tetapi area yang terkena dampak bisa jauh lebih besar dari itu, menurut analisis spasial baru yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Berkelanjutan (YEL).

Analisis menunjukkan dampak ekologi proyek yang membentang hingga lebih dari 300 kilometer persegi (116 mil persegi) hutan, dua pertiganya hutan yang tidak pernah tersentuh oleh aktivitas manusia. Selain bendungan, proyek juga akan membutuhkan infrastruktur seperti gedung, jalan, dan jaringan listrik, yang akan memotong KEL, kata analis tata ruang YEL, Riswan Zein.

Empat per lima dari bendungan akan menempati hutan primer, bersama dengan hampir seluruh panjang jaringan jalan, kata Riswan.

“Semua ini akan menghancurkan hutan yang tersisa dari ekosistem, baik yang terletak di daerah banjir atau sepanjang rute jaringan listrik,” katanya.

Habitat alam liar

YEL melakukan overlay peta proyek ke peta hutan yang ada di ekosistem. Area yang berpotensi terkena dampak sebagian besar adalah lahan yang dilindungi, termasuk hutan primer.

Menurut undang-undang Indonesia, hutan lindung biasanya dikesampingkan untuk tujuan seperti pengelolaan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, tetapi izin untuk proyek-proyek pembangunan dalam area ini dapat diberikan oleh pemerintah.

“Sebagian besar bendungan akan menggerogoti hutan produksi dan hutan lindung Leuser,” kata Riswan.

Daerah yang terkena dampak adalah satu-satunya habitat empat spesies paling ikonik dan terancam di Indonesia: harimau Sumatra, badak, orangutan dan gajah, yang semuanya terdaftar sebagai hewan terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena tingginya tingkat hilangnya habitat dan fragmentasi serta pembunuhan.

“Jika hutan dibersihkan maka habitat hewan ini akan hancur,” kata Riswan, menambahkan bahwa lokasi proyek itu sangat penting untuk gajah.

“Kami sangat sering melihat gajah di sana. Wilayah Tampur adalah satu-satunya koridor bagi gajah untuk pergi dari bagian utara ekosistem ke selatan. Jadi jika koridor itu dipotong, maka itu juga akan berdampak pada garis genetik gajah Sumatra, ”katanya, memperingatkan“ konsekuensi fatal ”bagi spesies tersebut.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Bendungan dan pembangkit listrik direncanakan akan melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues dan Aceh Timur, di provinsi Aceh di ujung utara Sumatera. Pengembang proyek adalah PT Kamirzu, anak perusahaan Indonesia dari Hong Kong-based Prosperity International Holding (HK) Limited.

Aktivis lingkungan telah meluncurkan petisi online menyerukan kepada pemerintah provinsi Aceh untuk menghentikan proyek, dan juga berencana untuk menggugat izin pengembang di pengadilan.

Dedi Setiadi, manajer proyek Kamirzu, menyanggah pernyataan YEL tentang skala potensi dampak bendungan terhadap lingkungan. Dia mengatakan analisis spasial yang dilakukan oleh LSM didasarkan pada versi sebelumnya dari analisis dampak lingkungan perusahaan.

“Apa yang mereka analisis adalah dokumen Amdal yang tidak disetujui, itu adalah draft rancangan,” katanya sebagaimana dikutip dari Mongabay.

Amdal yang direvisi dan disetujui, kata Dedi, termasuk penilaian perusahaan tentang dampak lingkungan yang mungkin disebabkan oleh proyek, dan ditujukan kepada mereka semua.

Sebagai contoh, katanya, perusahaan telah memperhitungkan peta habitat spesies yang diketahui yang disediakan oleh BKSDA Aceh. “Kami telah melakukan overlay lokasi area banjir bendungan kami dengan peta habitat gajah dan orangutan dan menemukan bahwa kami berada di luar habitat mereka,” kata Dedi. “Saya telah bekerja di proyek ini selama dua tahun dan saya belum melihat spesies yang terancam punah disini sekalipun,”katanya.

Sumber: mongabay.com

 

 

read more
Ragam

Sejahtera Tanpa Merusak Hutan Leuser, Bisakah?

Sudah berulang kali kita mendengar peristiwa perusakan hutan, baik itu perusakan hutan maupun kejahatan satwa liar yang menghuni hutan tersebut. Hampir setiap hari ada saja berita menghiasi media tentang kejahatan kehutanan terutama. Hutan lebat salah satunya hutan Leuser selalu saja menjadi sasaran para perusak lingkungan ini. Siapa saja para perusak tersebut? Kita harus adil, semua pihak, apakah masyarakat maupun perusahaan ikut andil merusak hutan Leuser.

Jika kita lihat lebih dalam lagi kenapa pihak-pihak ini merusak hutan maka satu-satunya alasan terkuat yang selalu saja mereka sampaikan adalah demi kesejahteraan. Iya, para pencoleng kekayaan hutan tersebut selalu berlindung kejahatan yang mereka lakukan demi mengisi perut keluarga semata. Atau jika para pencoleng itu korporat maka mereka beralasan itu semua demi meningkatkan pendapatan daerah dari hasil penjualan produk-produk mereka. Terus saja alasan-alasan ini diputar-putar bagai memutar kaset lama.

Tapi memang…Sebagian yang diungkapkan itu ada benarnya yaitu masyarakat butuh penghidupan dari hutan. Apalagi masyarakat yang tinggal bersisian dengan hutan, mereka hitup berdampingan sejak ratusan tahun bersama hutan. Selama itu mereka memetik hasil hutan tanpa ada masalah sehingga datangnya berbagai peraturan yang sebenarnya dibuat untuk melindungi hutan, barulah mereka dianggap sebagai perusak hutan. Mereka pun terkejut dan marah melihat kenyataan bahwa mereka diperlakukan bagai kriminal yang biasa ditangkap polisi.

Persoalan kemiskinan yang membelit masyarakat sekitar hutan sudah jamak. Daerah-daerah yang memiliki hutan luas biasanya tidak mempunyai sumber pendapatan yang memadai dalam menghidupkan perekonomian rakyatnya. Daerah tersebut yang sebagian merupakan hasil pemekaran, terserempet jauh dari cita-cita luhur pendirian otonominya. Seharusnya mereka memampukan masyarakat dalam mencari nafkah, tetapi kenyataannya malah tidak banyak hal yang berubah pasca pimpinan-pimpinan kabupaten terpilih.

Kemiskinan tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dituntaskan secara sektoral semata. Mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat sah-sah saja sebagai sebuah konsep. Hal ini banyak diterapkan di Negara-negara maju, mereka mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat dan hutan pun lestari. Keberhasilan Negara-negara tersebut menjadi rujukan sejumlah pejabat Aceh berkunjung untuk belajar pula memelihara hutan dan mendapatkan “pitih”. Beberapa waktu lalu, pejabat DPR Aceh berkunjung ke Kanada, Negara yang sangat luas dan pengelolaan alamnya lestari. Mereka melihat langsung bagaimana pengelolaan hutan dapat dilakukan, menghasilkan uang bagi masyarakat tetapi hutan tetap terjaga. Sayangnya tidak dijelaskan secara detail bagaiman pengelolaan tersebut dilaksanakan. Tapi satu hal yang diyakini adalah Kanada merupakan Negara yang sudah maju perekonomiannya.

Nah di Aceh, perekonomiannya belum maju, jika tidak mau disebut jalan ditempat. Sebagaimana disebutkan di atas, mengentaskan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Misalnya saja kita ingin mengelola hutan Leuser dengan baik sehingga memberikan kemakmuran bagi rakyat sekitar. Butuh usaha dan dana yang besar untuk mengelola hutan. Kita harus mendirikan lembaga yang kuat, merekrut orang-orang professional yang tentu saja mereka butuh bayaran yang memadai setidaknya. Kemudian landasan hukum yang kuat dalam menjalankan pelestarian hutan serta akhirnya baru masuk ke dalam teknis bagaiman menjaga hutan itu sendiri. Ini membutuhkan waktu yang lama juga.

Namun jangan lupa, kemiskinan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dituntaskan dengan mengelola hutan semata. Masyarakat butuh sarana-sarana lain, butuh sistem dan kebijakan ekonomi yang mendukung mata pencarian mereka. Misalnya mereka mencari hasil hutan non kayu, barang yang mereka peroleh harus dipastikan bernilai jual tinggi agar sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan. Harga-harga biasanya ditentukan oleh pasar internasional.

Kemudian lagi pemerintah harus bisa menjaga pertumbuhan ekonomi agar menopang terus perekonomian masyarakat. Ntah itu di sektor komoditas lain, misalnya bahan pokok yang terjangkau. Kemudian juga sarana dan prasarana bagi masyarakat sekitar hutan harus terbangun dengan baik. Selama ini kita lihat semakin dekat daerah dengan hutan maka semakin minim sarana yang dapat dinikmati oleh masyakat. Minimnya sarana semakin memperdalam tingkat kemiskinan masyarakat sekitar.

Jadi jangan lupa, untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan maka harus meningkatkan kemajuan semua sektor. Kita bisa lihat Negara-negara yang berhasil mengelola hutannya adalah Negara maju yang berhasil mengelola semua sektornya. Tidak ada Negara yang hanya maju sector hutannya semata. Karena semua sector saling berkaitan dan mendukung. Kalau ini sudah tercapai maka Insya Allah sejahtera tanpa merusak hutan bukan lagi slogan kosong…

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Masyarakat Tolak PLTA Tampur Yang Ancam Jutaan Nyawa

Pembangunan mega proyek PLTA Tampur akan membuka akses ke kawasan hutan primer, sehingga menimbulkan aktivitas pembukaan hutan dan perburuan. Kondisi tersebut akan menurunkan keutuhan fungsi lindung dari Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser. Ini dapat menimbulkan krisis ekologi yang ujung-ujungnya akan memicu konflik. Potensi konflik tersebut dipicu oleh adanya rencana eksploitasi alam untuk mega Proyek PLTA Tampur, Provinsi Aceh. Proyek tersebut dinilai mengancam kelangsungan hidup masyarakat di sekitar dan satwa yang dilindungi.

Sebuah petisi di situs change.org dengan judul “Batalkan Proyek PLTA Tampur yang Mengancam Jutaan Jiwa” telah ditandatangani sebanyak 11.396 orang. Jumlah ini diperkirakan akan semakin bertambah mengingat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan Leuser juga semakin meningkat.

Petisi berisikan alasan-alasan mengapa pembangunan PLTA Tampur harus ditolak. Beberapa alasan tersebut yaitu:

  1. Rencana pembangunan PLTA Tampur ini berlokasi di dalam hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh. Kalau project ini berlanjut, 4.000 hektar hutan lindung habitat gajah Sumatra dan spesies lain akan terendam. Hutan akan menjadi danau, dan ratusan kepala keluarga akan direlokasi.
  2. Pembangunan jalan untuk proyek ini akan membelah hutan alami Leuser, hutan tropis penting daerah penyangga Situs Warisan Dunia. Sekali hutan yang sudah dibelah maka kerusakan lingkungan lainnya akan menyusul seperti habitat satwa liar rusak, kebakaran hutan, perburuan satwa, penebangan liar dan lainnya.
  3. Sungai di Kawasan Ekosistem Leuser adalah sumber air minum, transportasi, dan irigasi yang penting bagi jutaan orang di Aceh dan Sumatra Utara. Bagi ribuan masyarakat Aceh Tamiang sungai adalah sumber penghidupan, untuk memancing dan menjala. Jika sungai dibendung, akses air bersih hilang sumber penghidupan mereka pun musnah.
  4. Menurut organisasi Masyarakat untuk Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Perdamaian (SHEEP), masih terdapat banyak kekurangan dalam AMDAL PLTA Tampur. Amdal terkesan dipaksakan dan terburu-buru, bahkan relokasi masyarakat dan mitigasi konflik satwa pun diabaikan. Hingga saat ini KLHK belum mengeluarkan izin kehutanan, namun pemerintah daerah sudah membuat MoU antara pemerintah provinsi Aceh dengan Prosperity International Holding (HK) Limited yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebagai saksi.
  5. Pemerintah Aceh seharusnya memaksimalkan produksi energi dari pembangkit listrik yang ada dan bisa menghasilkan sekitar 400 MW surplus kebutuhan, atau mengembangkan alternatif program energi baru di luar kawasan hutan yang tidak memiliki dampak negatif pada ekosistem dan masyarakat​ ​lokal. Aceh punya banyak lokasi alternatif berpotensi energi yang lebih besar tanpa harus hancurkan aset alam.

 

Aktivis menolak pembangunan PLTA Tampur | Foto:Ist

Matsum, salah satu warga Aceh Tamiang dan Pencetus Petisi Tolak PLTA Tampur, menjelaskan bahwa masyarakat yang tinggal di hilir sungai Tamiang mulai merasa cemas menanggapi rencana pembangunan PLTA Tampur ini. Sebenarnya Matsum mendukung segala bentuk pembangunan yang dilakukan Pemerintah. Hanya saja karena trauma dengan banjir yang sering melanda wilayahnya, ia ingin agar pembangunan tidak merambah hutan Leuser  Matsum berharap Pembangunan bisa dilakukan di tempat-tempat lain yang bisa menghasilkan listrik tanpa merusak hutan dan menimbulkan bencana.

Pemerintah Indonesia disebutkan telah mengeluarkan izin pembangunan proyek PLTA raksasa di dalam hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser. Bendungan akan dibangun setinggi 175 meter yang diperkirakan akan menenggelamkan lahan seluas 4.000 hektar hutan hujan perawan.

Puluhan keluarga yang tinggal di desa Lesten terpaksa direlokasi. Aneka satwa dan tumbuhan yang hidup saat ini akan tenggelam, padahal kawasan Ekosistem Leusur menjadi suaka alami bagi populasi gajah dan orangutan Sumatera.[]

 

 

read more
Green Style

HAkA Tampilkan Keindahan Leuser Melalui Google Voyager

LSM Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) bekerja sama dengan Google Earth ntuk mempromosikan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), kawasan hutan konservasi seluas 2,6 juta hektar di Aceh dan Sumatra Utara, sebagai tujuan wisata semua orang yang terhubung secara digital di Dunia. Proyek Ekosistem Leuser ini diluncurkan Kamis (2/8/2018) di Voyager.

Voyager adalah fitur Google Earth yang “memberikan kesempatan untuk menjelajahi” tempat-tempat di seluruh dunia melalui video, gambar dan teks.

Manajer program penjangkauan Google Earth Tomomi Matsuoka mengatakan pada hari Rabu, bahwa Google Earth memilih HAkA karena LSM ini berpartisipasi dalam KTT pengguna tahunan Google setiap tahun sejak 2015. Dia juga menyoroti bahwa Leuser Ekosistem adalah tempat terakhir di planet ini di mana gajah, harimau, badak dan orangutan langka yang terancam punah hidup berdampingan di alam liar. .

Staf media sosial HAkA Irham Hudaya Yunardi mengatakan Ekosistem Leuser adalah rumah bagi 8.500 spesies tanaman, 382 spesies burung dan lebih dari 105 spesies mamalia. Ini juga merupakan sistem pendukung kehidupan yang menyediakan sumber daya dan fungsi, seperti air bersih dan pengendalian banjir, untuk jutaan orang di Aceh. Ekosistem juga membantu mengurangi perubahan iklim dengan hutan rawa gambutnya.

KEL kaya dengan keragamanan hayati namun terancam akibat perambahan, perburuan, pembukaan jalan, dan lain-lain.Untuk memperlihatkan betapa kaya dan pentingnya Ekosistem Leuser, Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) bersama Google Earth, pun menarasikan sekaligus memvisualisasikan KEL melalui fitur Voyager.

”Kami mau mengenalkan pentingnya KEL ini bagi masyarakat, khusus masyarakat Aceh, Indonesia dan dunia,” kata Agung Dwi Nurcahyo, Manajer Sistem Informasi Geografi Yayasan HAkA, pekan lalu di Jakarta. Agung berharap, makin banyak yang mengenal KEL, menumbuhkan kesadaran mencintai, dan keinginan menjaga.

Di dalam KEL ini, ada Taman Nasional Gunung Leuser.  Meski demikian, ekosistem Leuser, katanya, kian terancam berbagai aktivitas manusia, antara lain perburuan, pembalakan liar, perluasan perkebunan sawit sampai konflik manusia-satwa.

Hasil pemantauan terakhir, Januari-Juli 2018, kerusakan ekosistem Leuser mencapai 3.290 hektar. Paling parah terjadi di Kabupaten Nagan Raya seluas 627 hektar, Aceh Timur (559 hektar) dan Gayo Lues (507 hektar).

Sejak 2015, HAkA mengumpulkan data bersama mitra jejaring LSM pencinta Leuser terus diperbaharui hingga April 2018 dan jadi data digital yang disajikan dalam Google Earth. Cerita yang kami kirim ke Google Earth menggunakan data hingga April 2018.

Saat memasuki laman interaktif KEL di Goggle, ada delapan cerita, yakni Hidden World of the Leuser Ecosystem, Importance of the Leuser Ecosystem, Flora and Fauna, Threats to the Leuser Ecosystem, Saving Sumatran Elephants, Wildlife Protection, Local Communities, dan Ecosystem Defenders.

Setiap bagian, memiliki narasi dalam berbahasa Inggris, foto dan sebagian dilengkapi video. Penggambaran bagian jadi lebih hidup. Satu contoh, dalam video Hidden World of Leuser Ecosystem menampilkan sekelompok gajah, harimau bersama anak-anaknya, kucing batu dan lain-lain terekam melalui kamera pengintai.

Agung bilang, sengaja tak menampilkan badak Sumatera karena spesies ini paling rentan.  Tak hanya keragaman hayati, HAkA juga menampilkan profile masyarakat di sekitar hutan, seperti Yusdarita yang menceritakan, kearifan lokal masyarakat Aceh dalam menjaga hutan KEL.

HAkA merupakan mitra Google Earth pertama dari Asia Tenggara. Awalnya, HAkA bekerjasama dengan Google Earth saat mengikuti program Google, Geo for Good User Summit pada 2017. ”Kami ditawari membuat cerita yang telah kami lakukan. Kami mengusulkan KEL.”

Tomomi Matsuoka, Program Manager Google Earth Outreach menyebutkan, sangat terbuka jika ada usulan cerita lain yang hendak dimasukkan ke Google Earth dan tak dipungut biaya. Dia seringkali menggunakan banyak peralatan gratis Google untuk visualisasi data-data satelit, seperti google mapping tools dan google mymaps.

Matsuoka memastikan, cerita-cerita dalam Google Eath Voyager ini tak akan ada iklan.

Selain KEL, fitur voyager juga memiliki cerita interaktif lain dari Asia Tenggara seperti “This is Home,” pengguna dapat mengeksplorasi rumah-rumah tradisional di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Terdapat cerita the 10.000 Years of Volcano dari Indonesia serta Street View, bawah laut di Raja Ampat dan panduan perjalanan seperti Explore Jakarta.[dbs]

 

 

read more
Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
Green StyleRagam

Perjuangan Melindungi Hutan Leuser Lewat Petisi Online

Perjuangan melindungi lingkungan ditempuh bukan hanya dengan cara demonstrasi, aksi, advokasi ataupun lewat pengadilan. Teknologi informasi yang semakin berkembang dan masyarakat yang saling terkoneksi membuat pejuang lingkungan menambah metode lagi, yaitu melalui petisi online. Petisi online bisa dikatakan perjuangan bersama masyarakat global yang menekan pihak-pihak tertentu agar memenuhi tuntutan disebuah tempat dan dengan sebuah isu. Masyarakat diseluruh penjuru dunia, atas kesamaan ide dan visi meneken tuntutan bersama yang diajukan ke pihak tertentu.

Situs petisi online, change.org menjadi pioner perjuangan advokasi petisi online di Indonesia. Sejumlah isu sudah di petisikan lewat situs ini termasuk perlindungan hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Yang terbaru adalah petisi online dari 100.000 masyarakat yang menuntut agar lahan PT Kallista Alam di Nagan Raya, Propinsi Aceh dieksekusi oleh pemerintah sesuai dengan putusan MA. Namun sebelum ini, sudah ada beberapa petisi online terkait dengan perlindungan KEL.

Berikut petisi online yang pernah diluncurkan terkait hutan dalam KEL:

1. Petisi “Selamatkan Leuser, Selamatkan Aceh! Petisi ini ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri RI, Tjahjo Kumolo, digagas oleh Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM). Petisi meminta Presiden Jokowi melalui jajaran Kementerian Dalam Negeri dapat menjalankan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650–441 Tahun 2014, dengan membatalkan RTRW Aceh 2013–2033 yang tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam Kawasan Strategis Nasional. Pembatalan ini akan menjadi langkah awal yang sangat penting bagi penyusunan RTRW yang memperhatikan kepentingan kami, masyarakat Aceh, Indonesia, dan dunia.

Petisi online diluncurkan pada 26 Januari 2016 dan diteken oleh 81.825 pendukung sampai tanggal berita ini dimuat.

2. Petisi “Tolak pemberian izin eksplorasi kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)” ditujukan kepada pecinta alam, Pelestari Lingkungan, Taman Nasional Gunung Leuser dan Gubernur Aceh Zaini Abdullah serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Petisi yang diajukan oleh masyarakat lokal,Warman Saputra, meminta masyarakat pecinta alam dan pemerhati lingkungan di Aceh agar memohon kepada kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak memberi izin pengembangan potensi panas bumi kepada PT Hitay Panas Energy melakukan eksplorasi kawasan hutan Leuser. Kawasan inti Taman Nasional Gunung Leuser dihuni oleh berbagai Flora dan Fauna yang tergolong langka, kawasan ini harus dilindungi dan dilestarikan.

Petisi online diluncurkan tanggal 29 Agustus 2016 dan mendapat tekenan dari 317 pendukung.

3. Petisi “Lindungi Kawasan Ekosistem Leuser, Nyatakan Warisan Dunia! Petisi ini ditujukan kepada Gubernur Aceh 2012-2017, Dr. Zaini Abdullah sebagai pemimpin Aceh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa keputusannya sangat mempengaruhi kehidupan banyak orang di Aceh. Gubernur Aceh saat itu dianggap berada di bawah tekanan untuk menandatangani peraturan baru yang akan menghancurkan KEL untuk selamanya. Petisi ini dibuat oleh WALHI Aceh.

Petisi online diluncurkan pada 6 Desember 2013 dan sampai penutupannya telah diteken oleh 22.746 pendukung.

4.Petisi ” Gubernur Zaini, Tepati Janji, Tegakkan Hukum. Hentikan semua kegiatan berbasis lahan di Rawa Tripa dan cabut izin perusahaan yang membakar Rawa Tripa! Petisi ini mengingatkan Gubernur dan mendukung beliau untuk menepati janjinya dengan memerintahkan penghentian semua operasi berbasis lahan di Rawa tripa, dan mencabut izin perusahaan kelapa sawit bermasalah di Tripa. Petisi ini salah satu tonggak keberhasilan perjuangan penyelamatan lingkungan oleh masyarakat global karena isu yang diusung petisi meraih kemenangan mulai dari PN hingga Mahkamah Agung. Petisi digagas oleh organisasi End of the Icons dan ditujukan kepada World Bank Investigation Team.

Petisi online diluncurkan tanggal 28 Juni 2012 dan mendapat 35.595 pendukung.

Kedepan tentu akan makin banyak petisi online bermunculan mengingat kasus-kasus lingkungan juga semakin banyak. Dukungan dari masyarakat luas sangat dibutuhkan dalam perjuangan melindungi hutan Indonesia..

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PepsiCo Investigasi Deforestasi Ekosistem Leuser oleh Pemasok Minyak Sawit

JAKARTA – Perusahaan makanan dan minuman raksasa PepsiCo telah meluncurkan investigasi terhadap laporan deforestasi yang dilakukan oleh salah satu pemasok minyak sawitnya di habitat kunci Indonesia yang menjadi rumah bagi harimau, orangutan, dan badak yang terancam punah.

Perusahaan itu mengatakan sedang menyelidiki pengaduan dari Rainforest Action Network (RAN), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, atas tuduhan penebangan hutan yang sedang berlangsung dalam konsesi yang dimiliki oleh perusahaan minyak sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), yang termasuk dalam daftar pemasok 2017 PepsiCo.

“Kami menganggap tuduhan ketidakpatuhan kebijakan dalam rantai pasokan kami sangat serius,” kata manajer komunikasi keberlanjutan global PepsiCo, Joshua Bayly, sebagaimana dikutip dari Mongabay. “Segera setelah menerima keluhan ini, kami mengaktifkan proses pengaduan kami dan menghubungi pemasok, rekan-rekan dan pihak lain untuk menyelidikinya.”

RAN mengatakan bahwa investigasi lapangan dan analisis satelit menunjukkan bahwa dalam lima bulan pertama tahun 2018 saja, 118 hektar hutan telah dihancurkan dalam konsesi SPS II, yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh. Daerah ini merupakan hotspot ekologi, sebagai tempat terakhir di bumi di mana harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica), badak (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan (Pongo abelii) dan gajah (Elephas maximus sumatranus) hidup berdampingan di alam liar.

PepsiCo, perusahaan makanan ringan dengan distribusi global terbesar di dunia dan konsumen utama minyak sawit, mengatakan telah menerima beberapa tanggapan dari beberapa pemasok mereka.

Tuduhan Empat Tahun

Kesediaan untuk mengambil tindakan oleh PepsiCo datang hampir empat tahun setelah RAN mulai melaporkan dugaan penggundulan hutan di dalam konsesi SPS II pada tahun 2014. Pada tahun-tahun berikutnya, RAN mengatakan, PepsiCo tetap diam dan menolak untuk mengambil tindakan nyata.

Bertahun-tahun pembukaan hutan dan kebakaran telah merusak konsesi SPS II, menjadikannya hanya 30 persen dari tutupan hutannya yang asli seluas 130 kilometer persegi per April tahun ini.

“PepsiCo belum secara terbuka menanggapi kasus deforestasi yang sedang berlangsung ini dalam rantai pasokannya, meskipun SPS II diberi nama dalam beberapa laporan RAN sejak 2014,” ujar manajer komunikasi hutan di RAN, Emma Lierley.

Lierley juga mengatakan bahwa SPS II telah diprofilkan dalam studi kasus di LeuserWatch.org, sebuah situs web yang dibentuk oleh RAN berisi pembaruan tentang deforestasi di Ekosistem Leuser, dan disebutkan di media tentang penggunaan pembakaran ilegal untuk membersihkan lahan pada tahun 2012. Namun, nyatanya, PepsiCo terus mengambil minyak sawit yang sumbernya berasal dari konsesi SPS II.

Kebakaran enam tahun yang lalu, di area gambut Tripa yang secara ekologis penting di Leuser, dideskripsikan oleh majalah investigasi Indonesia Tempo sebagai kebakaran abu dan asap yang mengepul. Panas dari pembakaran gambut mengusir manusia dan hewan, meninggalkan reruntuhan yang membara dari “hutan yang terbakar habis dengan batang pohon yang hangus dan menghitam.”

Api dengan cepat menempatkan rawa gambut Tripa dalam sorotan internasional; daerah kaya karbon dengan populasi orangutan Sumatera yang paling padat di dunia, terancam punah, dan bahkan disebut “ibukota orangutan di dunia.”

Menanggapi kebakaran tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan penyelidikan yang menghasilkan gugatan perdata terhadap SPS II pada tahun 2012. Pada tahun 2016, pengadilan negeri Meulaboh memutuskan perusahaan membayar denda sebesar 3 miliar rupiah. Namun sayangnya, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan pengadilan negeri ini pada tingkat banding.

Sementara perusahaan dibebaskan, tiga karyawannya, termasuk kepala eksekutifnya, dinyatakan bersalah memerintahkan kebakaran, dengan masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda 3 miliar rupiah.

Orang luar harus disalahkan

Minyak sawit yang diproduksi oleh SPS II memasuki rantai pasokan PepsiCo melalui Golden Agri-Resources (GAR), salah satu perusahaan minyak sawit terbesar di dunia. Dalam laporan tahun 2014, GAR mengatakan SPS II tidak dapat disalahkan atas deforestasi di dalam konsesinya.

Sebaliknya, GAR menuduh para pelaku pembakaran sebagai penduduk desa terdekat, Kuala Seumayam, dan sebuah perusahaan minyak sawit bernama CV Sawit Mandiri, yang dikatakan telah menduduki lahan-lahan bagian konsesi.

“SPS II telah mengalami perambahan oleh komunitas lokal yang menyebabkan serangkaian pembakaran lahan dan deforestasi di konsesi selama beberapa tahun,” kata GAR di situs webnya.

Penduduk Kuala Seumayam, bagi sekitar 500 orang, mengatakan mereka diusir dari tanah mereka ketika PT SPS II dan perusahaan kelapa sawit lainnya, PT Kallista Alam, beroperasi di sana pada tahun 2000-an.

GAR mengatakan mengadakan dialog terbuka antara SPS II dan penduduk desa untuk mengatasi perambahan tersebut. Selama diskusi, GAR mengatakan, penduduk desa mengaku memasuki konsesi dan membakar untuk membersihkan lahan. Penduduk percaya bahwa konsesi itu ditinggalkan ketika mereka pertama kali masuk, dan meminta untuk tidak dituntut keluar dari konsesi mengingat banyak uang yang mereka habiskan untuk mengolah tanah.

Pada gilirannya, kepala desa bersumpah untuk mendorong penduduk desa untuk menghentikan pembukaan lahan, sambil menunggu selesainya pemetaan partisipatif dan studi kepemilikan lahan.

Sementara GAR menganggap dialog itu sukses, katanya pemantauan berikutnya, dari November 2017 hingga April 2018, menemukan tanda-tanda bahwa pembukaan lahan di dalam konsesi berlanjut.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun SPS II memiliki keterlibatan pertama yang positif dengan masyarakat, mereka perlu melakukan lebih banyak pekerjaan untuk memastikan tindakan tindak lanjut yang tepat yang akan mengarah pada perubahan,” kata GAR.

Lierley mengakui masalah perambahan, tetapi mengatakan itu tidak membebaskan SPS II dan PepsiCo dari tanggung jawab apa pun. Perusahaan lain yang diidentifikasi oleh RAN sebagai sumber minyak sawit mereka dari konsesi SPS II termasuk Unilever, Nestlé, Mars, Mondelēz International dan General Mills.

“Adalah aman untuk mengatakan bahwa pembukaankanal saat ini terjadi melalui pihak ketiga yang terorganisasi, sementara secara historis telah dilakukan oleh SPS II,” kata Lierley. “[Namun], SPS II tetap bertanggung jawab atas konsesinya – dampak penebangan hutan di masa lalu dan saat ini.”

Dia mengatakan perambahan dan penggundulan hutan terus berlanjut karena kegagalan SPS II untuk menyelesaikan perselisihan lama atas tanah melalui proses resolusi konflik yang transparan, kredibel dan independen. Permintaan pasar untuk apa yang disebut minyak sawit konflik dari pabrik dan kilang dekat, termasuk yang memasok merek utama, juga memicu deforestasi, tambahnya.

Laporan RAN mengatakan bahwa SPS II telah memilih untuk tidak mempublikasikan metodologi studi tenurial lahan atau laporan publik tentang setiap kemajuan yang dibuat pada upaya untuk mengatasi deforestasi yang sedang berlangsung, pengerukan kanal, kebakaran dan resolusi konflik.[]

Sumber: Mongabay 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Greenpeace: Raksasa Minyak Sawit Terlibat Deforestasi Hutan Indonesia

Singapura – Perusahaan-perusahaan raksasa minyak kelapa sawit di dunia masih terkait erat dengan deforestasi di Indonesia meskipun lima tahun lalu berjanji menghentikan penebangan hutan yang luas di hutan, demikian laporan Greenpeace, Senin (25/6/2018).

Wilmar International yang terdaftar di Singapura memiliki hubungan dekat dengan Gama, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit besar Indonesia yang dikatakan oleh kelompok lingkungan telah menghancurkan area hutan hujan seukuran dua kali kota Paris.

Gama didirikan oleh pendiri Wilmar dan saudaranya pada tahun 2011 dan konsesi lahannya dimiliki dan dikelola oleh kerabat pasangan itu, menurut Greenpeace.

Greenpeace mengklaim hasil pemetaan dan analisis satelit menunjukkan bahwa Gama telah menghancurkan 21.500 hektar (53.000 hektar) hutan hujan atau lahan gambut sejak Wilmar berkomitmen menghentikan penebangan di Indonesia.

“Selama bertahun-tahun, Wilmar dan Gama telah bekerja sama, dengan Gama melakukan pekerjaan kotor sehingga tangan Wilmar tetap bersih,” kata kepala kampanye global hutan Indonesia Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik.

“Wilmar harus segera memutus semua pemasok minyak sawit yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak merusak hutan hujan.”

Wilmar menolak untuk berkomentar atas laporan Greepeace ini. Greenpeace mengatakan bahwa Wilmar menyangkal memiliki pengaruh terhadap Gama.

Minyak sawit adalah bahan utama dalam banyak barang sehari-hari, mulai dari biskuit hingga sampo dan make-up.

Peningkatan permintaan minyak sawit untuk komoditas telah menyebabkan ledakan industri di Indonesia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kelompok-kelompok hijau telah lama menuduh perusahaan-perusahaan kelapa sawit merusak lingkungan hidup.

Banyak perusahaan telah membuat janji “no deforestasi” setelah berada di bawah tekanan, tetapi para aktivis mengatakan bahwa komitmen semacam itu sulit untuk dipantau dan seringkali dilanggar oleh perusahaan.

Perusakan hutan hujan, pembukaan lahan gambut – penumpukan vegetasi yang membusuk – untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Sejumlah besar karbon dilepaskan ketika gambut dikeringkan atau dibakar, memperburuk perubahan iklim, menurut ahli lingkungan.

Kebakaran gambut juga sulit untuk dipadamkan dan faktor kunci dalam wabah kabut asap beracun yang meracuni Asia Tenggara hampir setiap tahun.[]

Sumber: www.thejakartapost.com 

 

 

read more
1 2 3 4 5 7
Page 3 of 7