close

air

Ragam

Pesona Terpendam Krueng Sawang Aceh

Terbengkalai selama konflik. Namun, masa damai pun tak membuatnya ramai. Itulah kondisi Krueng Sawang, di Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darusssalam.

Belasan tahun silam, sungai ini menghipnotis ribuan pengunjungnya. Sungai berair jernih dengan hamparan bebatuan yang mengalir puluhan kilometer ke hulunya di Pegunungan Bukit Barisan.

Bila dulu sungai ini dapat menjadi sepi pengunjung karena konflik bersenjata di Tanah Rencong, sekarang penyebab kondisi yang sama adalah kekhawatiran bahwa lokasi ini akan menjadi tempat pasangan muda mudi berbuat maksiat.

Di pintu masuk kota kecamatan Aceh Utara, tertera pengumuman “Dilarang Berwisata di Krueng Sawang”. Sumardi (38), warga Gandapura, Kabupaten Bireuen, singgah di Krueng Sawang saat bersua Kompas.com. Dia mengatakan sengaja mampir seusai hajatan keluarga, untuk sejenak bernostalgia.

Sumardi mengaku dulu kerap mendatangi sungai ini. “Padahal, jika lokasi ini dibuka kembali untuk umum dengan kesepakatan tertentu, pasti banyak manfaat yang dirasakan, terutama masyarakat sekitar lokasi,” ungkapnya, Minggu (12/1/2014). Menurut Sumardi, era 1990-an merupakan masa jaya Krueng Sawang. Setiap hari selalu ada orang datang ke sana. Pedagang kecil dan tukang parkir bisa mendapatkan penghasilan dari sungai tersebut.

“Sudah saatnya pemerintah bersama unsur terkait memberikan pemahaman agar masyarakat tak menafsirkan sendiri batas berwisata Islami,” ujar Sumardi. Ia mengatakan, bila tak segera dibenahi, potensi wisata sungai ini akan mati suri. Pendapatan daerah yang seharusnya bisa diperoleh juga turut sirna.

Sumber: NGI/KOMPAS.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemkab Aceh Besar Tertibkan Lokasi Galian C

Tim penertiban yang dibentuk Pemkab Aceh Besar dalam dua hari terakhir kembali menutup 7 lokasi galian C yang dinilai menyalahi Surat Keputusan Bupati Aceh Besar Nomor 238 Tahun 2013. Ketujuh lokasi yang ditutup tersebut, masing-masing 4 lokasi di Kecamatan Indrapuri dan 3 lokasi lainnya di Kecamatan Kuta Cot Glie.

Pekan lalu, penertiban juga telah dilakukan pada 4 lokasi lainnya di Kecamatan Seulimuem dan Kuta Cot Glie. Tim penertiban yang melibatkan unsur Pemkab Aceh Besar, Satpol PP, Muspika, TNI, dan Polri itu dipimpin langsung oleh Kadistamben Aceh Besar  Fauzi ST MT, didampingi Kasatpol PP Aceh Besar M Rusli S.Sos.

Kadistamben Aceh Besar, Fauzi, Kamis (19/12/2013) menyatakan, permasalahan yang terjadi di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh bukan hanya tanggung jawab Distamben saja, namun diharapkan juga kepedulian instansi terkait lainnya untuk menjaga dan memelihara kelangsungan dan keberadaan DAS di wilayah Aceh Besar. Kepedulian masyarakat untuk menjaga lingkungan dan mendukung upaya Pemkab melestarikan alam demi kemaslahatan bersama juga sangat diharapkan. Penertiban seperti ini akan terus kita lakukan.

”Intinya, kita akan tertibkan seluruh Galian C yang menyalahi Surat Keputusan Bupati,” kata Fauzi.

Sebelum itu, pihaknya telah menurunkan tim ke lokasi-lokasi penambangan mineral bukan logam dan batuan (galian C) dalam wilayah kabupaten tersebut. Penurunan tim dimaksudkan untuk melakukan monitoring dan mendata kembali aktivitas penambangan galian C sehingga semua penambang tidak merusak lingkungan yang akhirnya menggangu keberlangsungan makhluk hidup baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Fauzi menambahkan, hasil monitoring dan pengkajian Tim Pertambangan dan Energi Aceh Besar, jelasnya, ada lokasi-lokasi tertentu yang segera harus ditertibkan mengingat kondisi wilayah yang sangat mengkhawatirkan akan perusakan lingkungan khususnya sepanjang Krueng (sungai) Aceh.

Dikatakan Fauzi, dalam penertiban itu, Pemkab Aceh Besar menyampaikan, seluruh pemangku kepentingan termasuk pengusaha batu (stone crusher), AMP dan BCP tidak diperkenankan membeli pasir, kerikil, batu kali dan batu gunung termasuk tanah timbun dari penambang ilegal dalam kabupaten itu. Kepada pemilik ekskavator diminta segera menarik peralatannya yang disewakan kepada penambang galian C tak berizin.  []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Sains

Ternyata Sabun Anti Bakteri Belum Tentu Hentikan Kuman

Badan urusan makanan dan obat-obatan Amerika Serikat (The Food and Drug Administration/FDA) mengatakan bahwa tidak ada bukti kuat sabun anti bakteri lebih baik dalam mencegah penyebaran kuman penyakit dari pada sabun mandi biasa dan air. Sebuah laporan untuk konsumen yang diterbitkan kemarin mengumumkan bahwa badan ini akan meninjau ulang keamanan dan keuntungan dari bahan-bahan utama dalam sabun anti bakteri.

“Kenyataannya, saat ini tidak ada bukti sabun anti bakteri lebih efektif mencegah timbulnya penyakit dari pada sabun biasa atau air,” kata Colleen Rogers, Ph.D., ahli mikrobilogi dari FDA.

Fokus peninjauan ulang dilakukan terhadap Triclosan, zat kimia yang banyak ditemukan dalam produk di pasaran dan sering dikaitkan dengan penghentian hormon pada penelitian-penelitian hewan. Bagaimanapun, FDA menyatakan bahwa ” Triclosan sekarang dikenal tidak berbahaya bagi manusia. Tetapi beberapa hasil penelitian terakhir membuat FDA pantas meninjau ulang bahan ini”.

Meskipun penelitian terhadap hewan tidak selalu mengindikasikan berbahaya bagi manusia, ahli kimia John Laumer, menekankan bahwa Triclosan secara struktur menyerupai hormon thyroid yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan manusia.

FDA memasukan Triclosan ke dalam daftar pengawasan sehingga mudah mengawasinya dan konsumen pun dapat menghindari membeli sabun, odol gigi dan pembersih lain yang mengandung bahan ini.

Masalah-masalah yang terkait dengan sabun anti bakteri mungkin masih relatif baru bagi konsumen. Banyak pihak mengkritik FDA lamban dalam merespon isu bahan ini.

“Pernyataan FDA ini keluar setelah 40 tahun lalu badan ditugaskan untuk mengkaji Triclosan dan bahan yang sejenis. Akhirnya pemerintah setuju untuk mempublikasikan temuan setelah didesak keras oleh kelompok-kelompok pecinta lingkungan yang menuduh FDA lambat bertindak”.

FDA telah mengusulkan aturan baru yang mengharuskan produsen menyediakan data tentang efektivitas bahan anti bakteri. Usulan ini terbuka untuk dikritisi sebelum berlaku secara efektif.

Sumber: treehugger.com

read more
Ragam

Eko Wisnu Abdi Penjaga Mata Air Belantara Jantho

Azan subuh lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Eko segera bangkit dari tempat tidur menuju sumur untuk mengambil wudhu dan menunaikan shalat. Udara dingin pegunungan Seulawah menjalari tubuh tegap  Eko yang cokelat terbakar matahari.

Eko Wisnu Abdi nama lengkapnya, putra Cot Girek, Aceh Utara, yang telah bermukim di Jantho-Aceh Besar semenjak pasca tsunami. Ia menikahi seorang gadis setempat dan kini bertugas menjaga kelestarian Cagar Alam Jantho seluas 16.464 hektar.

Inilah rutinitas yang dijalani Eko sehari-hari sebagai field officer (staf lapangan) yang bekerja pada lembaga lingkungan internasional, FFI. Usai shalat subuh ia pun segera melaksanakan kegiatan rutinnya. Sejak tahun 2008, Eko mulai berkenalan dengan aktivitas lingkungan.

Pria yang lahir tahun 1974 merasa prihatin dengan kerusakan hutan di Jantho pasca tsunami. Saat itu kebutuhan kayu untuk rekonstruksi pasca tsunami sangat membludak. Hal ini mengakibatkan hutan-hutan di Aceh, tak ketinggalan hutan Janto menjadi korban.

Sumber air terancam. Tak bisa terbayangkan jika suatu saat sumber air mengalami kerusakan akibat tiada adanya tumbuhan penyimpan air.

Bukan hanya warga Jantho yang kesulitan mendapatkan air. Tapi bisa dipastikan warga kota Banda Aceh, tempat hilir sungai-sungai di Jantho akan pontang panting mencari air.

Eko memandang jauh hutan-hutan lebat di depannya. Membentang berkelok-kelok sungai Krueng Kalok yang jernih bening.

“Air sungai ini pernah diperiksa oleh ahli, ternyata bebas dari bakteri e-coli. Jadi bisa diminum langsung, ga usah takut sakit perut,” kata Eko.

Tapi sayangnya keberadaan sungai ini semakin terancam. Penebangan liar semakin mendekati sumber airnya. Warga empat desa yaitu Desa Bueng, Desa Awek, Desa Datacut dan Desa Jalin,  di sekitar sungai menjadi resah. Eko pun bahu membahu bersama masyarakat menjaga sumber kehidupan ini.

Ia bersama warga sepakat untuk membentuk Forum Perlindungan Kawasan Sumber air yang diberi nama FORSAKA di tahun 2007.

Sebuah NGO asing yang saat itu banyak hadir di Aceh ikut memberikan dukungan. Environmental Service Provider (ESP), sebuah proyek yang didanai oleh USAID Amerika Serikat memberikan pendampingan.

Eko sedikit merasa lega, tapi itu belum apa-apa. Perjalanan menjaga sumber mata air masih panjang dan terjal. Beberapa kali ia bersama FORSAKA terpaksa ‘mengusir’ orang yang merambah Cagar Alam Jantho.

Kali pertama ia ‘mengusir’ pengungsi korban tsunami yang direlokasi di hutan lindung, tahun 2008. Kali kedua lawannya lebih berat, seorang oknum polisi Polsek membekingi kegiatan perambahan liar, tahun 2009.

Keduanya bisa ‘diusir’ dengan melakukan pendekatan kekeluargaan tanpa harus melakukan kekerasan.

Hari-hari Eko dilalui dengan pengabdian demi lestarinya hutan Jantho. Ia sering terlibat diskusi dengan masyarakat, mencari jalan keluar jika ada masalah, bertanya kepada tokoh desa. Semua ini dilakukan agar Cagar Alam Jantho tetap lestari. Sayangnya belakangan ini dirinya semakin galau. Kabar dari ibukota Aceh menyesakan dadanya.

Terbetik berita bahwa para petinggi akan merubah kawasan Cagar Alam menjadi kawasan wisata alam. Jalan-jalan akan dibangun, tentu saja nantinya akan diikuti berdirinya rumah-rumah. Belantara lebat akan dipenuhi dengan deru kendaraan bermotor lalu lalang menerbitkan jelaga.

Hewan-hewan tak lagi betah tinggal di hutan yang mulai menjadi pasar. Mereka akan berimigrasi jika beruntung tidak mati dibunuh buat dijual jadi koleksi.

Eko tak bisa membayangkan jika anak cucunya nanti tidak bisa melihat berbagai tumbuhan langka, berbagai spesis endemik berwarna warni berterbangan di Hutan Jantho.

Anak-anak tak bisa lagi meminum langsung air sungai Krueng Kalok dari ‘wadahnya’ karena sungai bisa tercemar e-coli buangan dari pemukim.

Perubahan status ini sangat ia sayangkan.

Alasan ekonomi menjadi pemicu pembangunan dalam hutan, katanya. Tapi Eko sendiri tak yakin. Ia melihat fakta, empat desa yang menjadi anggota FORSAKA jaraknya hanya sepelemparan batu dengan kota Jantho, ibu kota kabupaten Aceh Besar.

Tapi warga desa miskinnya tak terperikan alias masih memprihatinkan.

Eko Wisnu tak tahu sampai kapan ia bekerja menjaga hutan Jantho. Ia terikat kontrak dengan NGO asing yang tempo-tempo bisa saja berakhir. Namun ia sudah punya persiapan. “Setiap sore saya pangkas-pangkas kontrak, untuk menyambung jika kontrak habis,” katanya tersenyum.

Eko Wisnu berdarah campuran. Ketika ditanya ia dari suku apa, Eko menjawab tersenyum.

“Saya suku campuran. Kakek saya dari Padang, Nenek saya dari Banten, sedangkan dari pihak ibu kedua orangtuanya Jawa. Saya warga Indonesia. Ari-ari saya sudah ditanam di Aceh. Izinkan saya menjadi suku Aceh,” pintanya.

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Wisata Alam di Hutan Perhutani

Hamparan kebun durian yang berbatasan dengan hutan Perhutani menjadi pemandangan di sepanjang jalan memasuki Desa Lolong, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jalanan yang berkelok-kelok dan menanjak, serta kemunculan beberapa kera yang tiba-tiba melompat di pinggir jalan, memberi keunikan tersendiri pada setiap perjalanan menuju kawasan tersebut.

Desa Lolong berada di tenggara Kecamatan Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Desa ini berjarak sekitar 9 kilometer dari Kecamatan Kajen atau sekitar 34 kilometer dari jalur pantura Kota Pekalongan. Desa Lolong bisa ditempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam dari Kota Pekalongan dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Selama bertahun-tahun, keindahan alam Desa Lolong menjadi aset bagi masyarakat di wilayah itu. Keberadaan Sungai Sengkarang dengan lebar sekitar 60 meter yang mengalir di tengah desa, menambah kekayaan alam di Desa Lolong.

Awalnya, belum banyak yang menyadari bahwa keindahan alam tersebut merupakan kekayaan. Namun sejak sekitar setahun terakhir, para pemuda Desa Lolong dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Pekalongan, memanfaatkan kekayaan dan keindahan alam Desa Lolong sebagai sebuah desa wisata. Para pemuda menyajikan wisata petualangan alam yang dikemas dalam Lolong Adventure.

Sekretaris Lolong Adventure, Khoerul Basar, pertengahan Oktober lalu menuturkan, awalnya masyarakat mengelola alam di Desa Lolong secara biasa. Mereka hidup dan menyatu dengan keasrian desa itu, dari hari ke hari. Sungai Sengkarang juga sering menjadi tempat bermain dan berenang bagi masyarakat setempat.

Pada sekitar tahun 2010, masyarakat mendapatkan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Pariwisata. Masyarakat, termasuk para pemuda kemudian sepakat memanfaatkan bantuan tersebut untuk membeli perahu arung jeram serta kelengkapan alat-alat arung jeram.

Mereka pun belajar mengembangkan wisata arung jeram. Sebanyak 25 pemuda Desa Lolong terus belajar menyelenggarakan wisata petualangan alam tersebut, hingga sejak setahun lalu mereka mulai mengembangkannya secara profesional.

Hingga kini, terdapat enam perahu, bantuan PNPM Pariwisata. Selain alat-alat wisata petualangan air, mereka juga mendapatkan bantuan alat-alat outbound. Mereka juga mendapatkan bantuan bangunan posko dari pemda setempat.

Untuk meningkatkan profesionalitas dalam mengelola wisata arung jeram, para pemuda Desa Lolong juga mengikuti pelatihan River Guide Arung Jeram, hingga mendapatkan sertifikat. ”Sekarang ada 26 tenaga ahli arung jeram di desa ini,” kata Khoerul.

Kini, warga pun menjadikan rumah mereka sebagai home stay, dengan harga sewa sekitar Rp 250.000 per malam. Lolong juga menjadi salah satu daerah tujuan untuk lokasi perkemahan dan pelatihan alam, yang diselenggarakan sejumlah lembaga dan perusahaan.

Keberadaan wisata petualangan di Desa Lolong menambah pendapatan masyarakat. Menurut Koordinator Darat Lolong Adventure, Maman Firmansyah, dalam kondisi ramai, jumlah pengunjung bisa mencapai 50 orang per hari. Sementara dalam kondisi sepi, jumlah pengunjung sekitar 200 orang hingga 300 orang per bulan. Kondisi ramai biasanya berlangsung pada musim hujan, saat debit air sungai meningkat.

Profesi warga Desa Lolong yang sebagian besar menjadi petani durian, juga sangat mendukung pengembangan wisata alam di desa itu. Saat musim panen durian, sekitar Desember hingga Maret, sepanjang jalan menuju desa tersebut penuh dengan pedagang durian.

Selain memberikan nilai tambah bagi penghasilan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani durian, pengembangan desa wisata menjadi sebuah upaya kampanye dan sosialisasi mengenai pentingnya pelestarian hutan.

Upaya warga menanami kebun mereka dengan pohon durian merupakan salah satu upaya pelestarian hutan. Durian menjadi tanaman penguat tanah, pada kondisi lahan di Desa Lolong yang bertekstur pegunungan. Warga juga menanami lahan dengan tanaman petai dan pucung atau kluwak.

Ajak masyarakat
Warga juga berupaya menyosialisasikan kelestarian alam, dengan mengajak masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut, untuk ikut menjaga kebersihan. Menurut pendamping masyarakat Desa Lolong dari Komuniti Forestri (KF), yaitu komunitas masyarakat peduli hutan, Thomas Hari Adi, masyarakat memiliki bak sampah induk di tiap RT. Mereka juga mengelola sampah organik, seperti sampah durian menjadi kompos.

Pada sepanjang pinggir Sungai Sengkarang juga banyak ditanami bambu oleh masyarakat. Selain memberikan kesan asri, bambu tersebut berfungsi sebagai penahan erosi sehingga sungai tersebut terhindar dari longsor.

Para pemuda Desa Lolong juga menyadari adanya risiko yang sewaktu-waktu bisa muncul dari kegiatan yang mereka selenggarakan. Untuk mengantisipasi risiko, seperti air bah di Sungai Sengkarang, para pemuda Desa Lolong pun terbiasa membaca alam.

Mereka selalu mengamati pergerakan hujan di wilayah Lolong dan wilayah di atasnya. Apabila di Desa Lolong hujan, sedangkan wilayah di atasnya tidak hujan, petualangan air bisa dilanjutkan. Namun apabila wilayah Desa Lolong tidak hujan, sedangkan wilayah di atasnya hujan, petualangan air akan dihentikan.

Faktor risiko itu juga menjadi tantangan bagi pemuda dan warga Desa Lolong untuk mengampanyekan pelestarian hutan. Kelestarian hutan dan alam di wilayah Lolong, serta daerah-daerah di atasnya sama artinya dengan kelestarian usaha dan penghidupan warga dari wisata alam di desa tersebut.

Thomas Hari Adi mengatakan, melalui penyelenggaraan wisata alam, para pemuda Desa Lolong telah terbiasa mengampanyekan pentingnya pelestarian alam. Mereka telah menyadari pentingnya kelestarian alam untuk kelangsungan hidup dan penghidupan masyarakat. []

Sumber: kompas.com

read more
Green Style

Sejuknya Air Brayeung Leupung

Dimana tempatnya bisa mandi, sambil berperahu, dikelilingi pohon duren terus kalau lapar bisa makan gorengan? Kalau Anda berada di Aceh maka salah satu pilihan yang tepat adalah irigasi Brayeung Leupung Aceh Besar, berjarak sekitar satu jam berkendaraan dari Banda Aceh. Tempatnya tidak sulit dijangkau, sudah ada jalan aspal untuk mencapainya walaupun ketika 20 menit menjelang lokasi pengunjung harus bersiap-siap untuk merasakan “rodeo” akibat jalan yang belum beraspal.

Semenjak dua tahun belakangan ini Brayeung menjadi primadona baru tujuan wisata bagi penduduk Banda Aceh dan sekitarnya. Jika sebelumnya warga sudah terbiasa dengan wisata pantai atau air terjun kini wisata irigasi menjadi pilihan utama. Selain tempatnya sejuk dan rimbun, tempat pemandiannya juga relatif aman, tidak dalam. Bahkan di pinggirannya bisa berdiri anak usia tujuh tahun. Mau berperahu pun enak, tinggal sewa perahu karet yang tarifnya Rp.20 ribu/jam. Mau lebih murah juga bisa, tunggu saja menjelang jam enam sore, ketika pengunjung sudah sepi dan tempat juga mau ditutup. Anda bisa puas berperahu tanpa takut disemprit pluit petugas yang mengingatkan waktu telah habis.

Pemandangan menjelang sampai di lokasi sangat memanjakan mata. Di kiri-kana jalan tampak sawah, bukit yang rimbun serta barisan pohon durian yang bisa meneteskan air liur jika musim durian tiba. Jalanan memang tidak terlalu lebar, hanya pas untuk dua mobil, dimana salah satu mobil harus berhenti sejenak jika berpapasan dengan mobil lain.

Bagaimana dengan biaya yang harus disiapkan? Beberapa orang mengeluhkan tentang biaya di tempat wisata lokal yang tidak jelas. Pengelola atau yang pura-pura menjadi pengelola selalu saja mengutip uang kepada pengunjung tanpa perhitungan yang jelas. Umumnya para pria yang berdiri di gerbang masuk selalu saja mengutip uang Rp.10 ribu kepada mobil pengunjung. Tanpa tiket masuk dan hitungan yang jelas. Namun di Brayeung saat penulis mengunjungi kemarin, perhitungan tiket pengunjung sudah fair. Tiap pengunjung dewasa dikenakan tiket masuk Rp.3000, anak-anak bebas tiket.

Pada sebuah tikungan sempit sudah berdiri beberapa anak muda yang mengatur keluar masuk mobil. Lumayan juga pelayanan yang diberikan. Tidak cuma pandai mengutip uang masuk tapi juga sudah mulai profesional dalam mengatur pengunjung. Tapi sayangnya pengaturan yang sudah baik itu diperburuk dengan kutipan uang parkir yang mencapai Rp.10 ribu! Ntah untuk apa kutipan parkir itu, sebab tanpa disertai tanda bukti pembayaran dan layanan apapun. Tapi sudahlah, mari kita nikmati kesejukan air irigasi Brayeung saja.

Memasuki lokasi pemandian, mulai tampak keramaian para pengunjung. Lazimnya tempat wisata lokal, disepanjang jalan masuk dipenuhi oleh penjual makanan ringan. Mereka menjual berbagai makanan yang berbeda tapi ada satu yang sama. Setiap lapak menyediakan goreng-gorengan seperti pisang goreng, tahu goreng, risol dan lain-lain. Penjual memanfaatkan selera manusia yang suka akan makanan panas setelah berdingin-dingin ria.

Mata kembali dimanjakan oleh hamparan kolam irigasi Brayeung tersebut. Kolam yang kira-kira seluas lapangan sepakbola mempunyai hulu di kaki gunung yang rimbun. Pemandangan masih tampak asri. Di beberapa tempat tampak dinding tembok irigasi yang roboh, mungkin suatu waktu pernah dihantam banjir bandang. Jenis banjir ini memang sangat sering melanda kawasan pegunungan. Ramai pengunjung, terutama anak-anak muda yang mandi di kolam tersebut. Anak-anak juga tak ketinggalan mandi di kolam berair sejuk, umumnya mandi disisi pinggir kolam yang memang dangkal, sekitar setengah meter. Jika ingin berenang yang puas silahkan melompat ke tengah kolam yang lebih dalam. Beberapa anak muda menampilkan atraksi lompat jumpalitan dari sebatang pohon yang berada dipinggir kolam.

Indah dan nyaman memang menikmati pemandian Brayeun Leupung ini. Apalagi jika pengelola mampu menjaga kerapian dan kebersihan lokasi. Sebuah masalah klasik tempat wisata yang nyaris terdapat disemua tempat. Apalagi lahan parkir yang sempit, jalan yang belum beraspal menjelang lokasi, jangan sampai hambatan-hambatan ini membuat orang enggan berwisata. Bayangkan saja, mandi di kolam berair yang sejuk dikelilingi pohon duren, amboi enaknya…[m.nizar abdurrani]

read more
Energi

Energi Hijau Lhoong, Dari Air Menjadi Listrik

Warga tiga desa di Kemukiman Lhoong, Aceh kini tidak takut lagi terkena pemadaman bergilir dari PLN. Air yang mengalir dari pegunungan diubah menjadi listrik melalui teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Teknologi Mikro Hidro adalah teknologi pembangkit listrik yang memanfaatkan derasnya air mengalir dari ketinggian kemudian diarahkan untuk memutar turbin. Dari turbin, listrik yang dihasilkan didistribusikan melalui kabel ke rumah-rumah penduduk sekitar. Benar-benar teknologi yang sederhana dan berbiaya murah.

Seorang ahli listrik Mikro Hidro dari Universitas Syiah Kuala, menerangkan bahwa PLTMH adalah teknologi yang berbiaya murah. “Karena biaya investasi untuk membangun PLTMH hanya Rp.25 juta-35 juta per KWh. Tetapi ini tergantung juga dengan kondisi lokasi” katanya menjelaskan. Listrik yang dihasilkan bisa menerangi desa selama 24 jam dalam keadaan normal. Artinya debit air tetap konstan dan ini biasanya terjadi di musim hujan. Kalau di musim kemarau, debit air biasanya berkurang.

PLTMH ini terletak di Desa Kr Kala yang didiami 107 KK. PLTMH Lhoong merupakan bantuan dari PT Coca Cola Indonesia tahun 2005, pasca tsunami. Kapasitas yang terpasang pada mesin adalah 40 KW, sedangkan daya yang dihasilkan adalah 23 KW, dapat mengaliri 3 desa sekitarnya. Masyarakat tidak perlu takut dikenakan biaya listrik yang selangit karena tarif yang diberlakukan adalah tarif flat atau sesuai arus yang mereka gunakan.

Bagi yang menggunakan listrik 2 amper dikenakan biaya Rp.60 ribu/bulan, untuk yang memakai 1 amper membayar Rp.30 ribu/bulan, sedangkan bagi yang cuma menggunakan ½ amper cuma dikenakan biaya Rp.15 ribu/bulan. Cukup murah bukan!

Dari iuran yang dikumpulkan, tiap bulan diperoleh duit Rp.5,5 juta/bulan. Sebanyak Rp. 4 juta/bulan digunakan untuk biaya operasi (perawatan mesin, gaji operator) sedangkan sisany sebesar Rp.1,5 juta dijadikan uang kas. Jika terjadi kerusakan besar sewaktu-waktu maka uang kas digunakan untuk membayarnya. Selama 3 tahun berdiri tidak ada kerusakan berarti, hanya kerusakan tali kipas dan Circuit Breaker (CB).

Pengelolaan PLTMH Lhoong cukup sederhana. Tiga orang masyarakat setempat dipercayakan untuk mengatur pembangkit ini. Seorang ketua, Pak Armansyah, Sekretaris Zaifullah dan dibantu oleh seorang operator Saifulah. Ketiganya bahu membahu demi terangnya Kemukiman Lhoong.

Kondisi alam atau hutan sekitar sangat berpengaruh bagi kelangsungan pembangkit PLTMH. Masyarakat sekitar sangat sadar pentingnya menjaga kelestarian hutan sebagai sumber air. Dengan sendirinya mereka menerapkan aturan yang ketat untuk menebang kayu di hutan. Saat ini selama 30 hari antara Agustus-September pembangkit tidak beroperasi karena debit air tidak mencukupi.

Masyarakat Lhoong telah menikmati energi hijau. Sebuah energi alternatif yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Selayaknya seluruh desa di Aceh yang memiliki potensi listrik mikro hidro membangun PLTMH. Biaya murah, teknologinya pun sederhana. Tidak perlu menjadi insinyur dulu, Desa Kr. Kala sudah membuktikannya.[m.nizar abdurrani]

read more
Green Style

Petani Cina Berhasil Kembangkan Berladang di Atas Atap

Seorang petani Cina, Peng Quigen belum lama ini menjadi “bintang” media lokal negeri itu setelah dia sukses bercocok tanam di atas atap kediamannya di Shaoxing, provinsi Zhejiang. Peng, membuka kebun di atas atap rumahnya yang berlantai empat. Di ladang uniknya itu dia sukses menanam berbagai tanaman mulai buah-buahan, sayuran, hingga beras.

Dan Peng membuka lahan pertanian di atas atap rumahnya ini bukan sekadar hobi atau mencari sensasi. Dari ladangnya yang hanya seluas 120 meter persegi itu, Peng mendapatkan hasil panen yang cukup siginifikan.

Tahun lalu, Peng menghasilkan 400 kilogram semangka dari ladang di atas atap rumahnya itu. Bahkan hasil panen Peng, lebih banyak 30 persen dari hasil di ladang konvensional.

Tahun ini, Peng mencoba menanam padi di atap rumahnya itu. Dan meski terkena dampak topan Fitow yang baru-baru ini menerjang Cina, Peng berharap panen padinya itu cukup banyak untuk konsumsi satu orang dewasa selama satu tahun.

Apa yang membuat ladang di atas gedung ini begitu istimewa? Peng mengatakan, hal yang paling istimewa kemungkinan besar adalah fakta bahwa ladang ini dibuka di atas landasan beton.

Namun, kondisi itu justru menguntungkan karena masalah hilangnya air dan erosi tahan tidak menjadi kendala di ladang milik Peng ini. “Itulah sebabnya hasil di ladang ini lebih tinggi ketimbang di ladang biasa,” ujar dia.

Sebagian besar konstruksi yang dibangun di atap berbagai gedung di Cina adalah ilegal dan mengundang protes warga. Namun, para tetangga Peng justru menyukai ide unik ini dan bahkan mereka secara sukarela ikut membantu Peng memanen hasil buminya itu.

Bahkan pemerintah setempat sejauh ini tidak menganggap ladang “angkasa” Peng itu melanggar peraturan.

Sumber: NatGeo Indonesia dan Kompas.com

read more
1 2 3 4
Page 3 of 4