close

bencana

Ragam

BPBA Tetapkan 16 Daerah di Aceh Siaga Bencana

Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menetapkan 16 kabupaten dan kota di Provinsi Aceh siaga bencana berupa banjir dan tanah longsor. Status siaga ini ditetapkan menyusul prakiraan curah hujan yang tinggi di kawasan-kawasan tersebut hingga akhir Desember 2013.

“Berdasarkan laporan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyebutkan cuaca curah hujan tinggi hingga akhir Desember 2013, sehingga kami menetapkan 16 daerah siaga bencana,” kata Kepala BPBA Jarwansyah di Banda Aceh, Selasa (10/12/2013).

Siaga bencana banjir dan tanah longsor itu, BPBA telah mengantisipasinya dengan pendirian posko selain pemantauan intensif dilapangan terhadap daerah-daerah yang telah ditetapkan siaga bencana tersebut.

Saat ini, Jarwansyah menyebutkan banjir mulai melanda sejumlah daerah di Aceh antara lain seperti di Kabupaten Aceh Timur, Bener Meriah dan Aceh Tengah.

“Sejak beberapa hari terakhir curah hujan di beberapa daerah tinggi yang berakibat banjir genangan di beberapa kabupaten dan kota di Aceh. Kita juga mengimbau masyarakat untuk tetap waspada banjir terutama yang bermukim di kawasan daerah aliran sungai,” katanya menambahkan.

Selain banjir, Jarwansyah juga mengimbau masyarakat mewaspadai tanah longsor terutama penduduk yang bermukim di lereng-lereng dengan struktur tanahnya yang labil seperti di wilayah tengah provinsi ujung paling barat Indonesia itu.

Sumber: theglobejournal-Republika-Antara

read more
Ragam

Banjir Putuskan Jembatan di Aceh Timur

Sebuah jembatan yang menjadi penghubung di jalan lintas Sumatera, tepatnya di Gampong Kuta Lawah, Idi rayeuk, Aceh Timur putus total setelah dihantam banjir, Selasa malam (03/12/2013). Akibatnya, arus transportasi lumpuh total.

Amatan media, hingga pukul 23.00 WIB, ribuan kendaraan dari dua arah terjebak dikawasan banjir tersebut dan menimbulkan kemacetan. Menurut informasi yang berhasil dihimpun oleh media ini, jembatan tersebut ambruk dihantam banjir sekira pukul 16.00 WIB.

Jembatan yang ambruk tersebut merupakan jembatan darurat yang dibangun oleh rekanan yang sedang menyelesaikan pembangunan jembatan dikawasan itu.

“Saat pulang dari Medan ke Lhokseumawe tadi saya sempat terjebak hampir 1 jam. Karena saya seorang perempuan yang menyetir mobil dan membawa orang tua. Akhirnya warga sekitar dengan berusaha keras berhasil melewati mobil saya dari arus yang deras,” kata dr.Ainon, seorang pengendara yang terjebak banjir.

Belasan personel Aceh Timur dikerahkan ke lokasi. Mereka menjaga dan mengatur lalu lintas. Sejumlah petugas dari Pekerjaan Umum masih terus melakukan penimbunan di lokasi.

“Sampai berita ini diturunkan, jembatan tersebut masih putus dan belum bisa dilewati oleh pengguna jalan. Macet panjang terjadi hingga 8 kilometer,” Kata warga sekitar, Muhamad Ali.

Sumber: theglobejournal.com

read more
Ragam

Debu Gunung Sinabung Capai Kota Medan

Aktivitas Gunungapi Sinabung, di Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut), terus meningkat. Statuspun dinaikkan dari Siaga III menjadi Awas IV. Hingga Minggu (24/11/13), muntahan debu dari gunungapi ini sudah mulai menutupi Medan.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Hendrasto, Minggu pagi (24/11/2013), mengatakan status dinaikkan jadi awas IV, karena diduga ada peningkatan intensitas letusan dan diperkirakan meletus lagi. Lontaran material berukuran 3-4 cm pun makin luas mencapai empat kilometer.

Berdasarkan analisis, empat desa harus kosong, yaitu Desa Kutagunggung, Kutarakyat, Sigarang-garang dan Sukanalu. “Masyarakat dengan radius 3-5 kilometer dari kaki Sinabung, segera dievakuasi. Karena lontaran batu vulkanik sudah keluar dan jatuh cukup jauh, ” katanya di Medan. Dari pemantauan di pos pengamatan Gunung Sinabung, sepanjang Sabtu malam hingga Minggu pagi, terjadi delapan kali erupsi.

Putong, Komandan Tanggap Darurat Erupsi Gunung Sinabung, mengatakan,  setelah kenaikan status,  pihaknya terus evakuasi warga. “Perkiraan awal sekitar 15.000 jiwa yang tinggal di radius lima kilometer harus mengungsi.”

Gunung api Sinabung meletus lagi memuntahkan batu seukuran klereng. Status gunung ini naik dari Siaga III menjadi Awas IV | Foto: Ayat S Karokaro

Menurut dia, tim gabungan penanggulan bencana terus bergerak ke lokasi-lokasi yang dianggap berbahaya. Ada 500 orang terdiri dari TNI, Polri, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Lalu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut, dibantu instansi di provinsi dan kabupaten, serta relawan.

“Truk untuk evakuasi sepertinya harus ditambah jika ada peningkatan status, atau antisipasi untuk kondisi terburuk. Kebutuhan lain makanan, masker, pakaian, selimut, tikar, makanan bayi, sanitasi, psikososial, dan layanan kesehatan.”

Kenaikan status ini menyebabkan warga desa yang diungsikan di atas radius lima kilometer, jumlah pengungsi terus bertambah. Hingga 24 November 2013, pengungsi di 20 titik sekitar 12.300 jiwa.

Sepanjang Sabtu malam (23/11/2013) hingga Minggu pagi (24/11/13), Gunungapi Sinabung, meletus delapan kali. Letusan ini, menyebabkan debu vulkanik dan lahar dingin serta awan panas. Bahkan, angin yang kencang, membawa debu vulkanik sampai ke Deli Serdang dan Medan.

Tampak debu vulkanik berwarna puti, jatuh ke rumah warga dan pepohonan. Kabut tebal. Kaca mobil di jalanan, dan pohon-pohon di Kota Medan, tertutup debu warna putih. Libur akhir pekan ini, masyarakat memilih istirahat di rumah.”Debu tebal sekali. Bahayakan kalau terhirup, bisa terserang penyakit saluran pernapasan,”  kata warga Medan, Juni Cintya Borotan.

“Kita sudah siapkan masker dan membagikan ke pengguna jalan yang melintas Medan dan bagi siapa saja yang membutuhkan, ” kata Asren Nasution, Kepala BNPB Sumut.  Dia berharap, warga Medan, mulai waspada, dan disarankan memilih tinggal di dalam rumah.

Meskipun debu di dua daerah ini tak begitu menganggu, namun Minggu pagi, sejumlah maskapai penerbangan di Bandara Kuala Namu International Airport (KNIA) Deli Serdang, sempat menunda penerbangan. Menjelang siang, penerbangan mulai normal.

Sumber: mongabay.co.id

read more
Perubahan Iklim

Polusi Iklim yang Terlupakan, Nitrogen Oksida

Dampak polusi nitrogen oksida (N2O), gas rumah kaca yang sering disebut sebagai gas ketawa (laughing gas) terhadap lingkungan dan iklim seringkali terlupakan. Konsentrasi emisi N2O diperkirakan akan naik berlipat ganda pada 2050, membahayakan pemulihan lapisan ozon, memerparah perubahan iklim.

Kesimpulan ini terungkap dari laporan terbaru Program Lingkungan PBB berjudul “Drawing Down N2O to Protect Climate and the Ozone Layer” yang diluncurkan Kamis (21/11/2013).

Gas nitrogen oksida secara alami bisa ditemukan di alam. Prilaku manusia sejak masa revolusi industri telah menyebabkan produksi emisi N2O yang berbahaya bagi iklim ini melonjak. Menurut UNEP, upaya mengurangi emisi N2O bisa membawa manfaat ekonomi hingga $160 miliar per tahun.

Berbagai sektor menikmati manfaat ini seperti sektor pertanian, manufaktur bahan kimia, pembangkit listrik, pengelolaan limbah, transportasi hingga produksi perikanan. Mengurangi emisi N2O juga bisa meningkatkan produktivitas pangan dan ternak, memerbaiki kualitas kesehatan, mengurangi kemiskinan serta kerusakan lingkungan.

Dari penelitian sebelumnya disimpulkan, dunia bisa meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen hingga 20% dengan biaya $12 miliar. Manfaat yang diperoleh – dari pengurangan pemakaian pupuk saja – mencapai $23 miliar per tahun. Jika ditambah manfaat terhadap lingkungan, kesehatan dan perubahan iklim, nilai manfaat akan melonjak menjadi $160 miliar per tahun.

“Gas ketawa ini bukan untuk guyonan,” ujar Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP. “N2O merusak iklim dan ozon yang juga menyumbang efek pemanasan global. N2O juga beredar dalam jangka waktu yang lama di atmosfer, mencapai rata-rata 120 tahun,” tambahnya lagi.

Sektor pertanian adalah sumber utama emisi N2O, yang menyumbang dua pertiga dari produksi emisi ini. Sumber yang lain berasal dari industri, pembakaran bahan bakar fosil, biomasa dan limbah.

Di sektor pertanian, upaya mengurangi emisi N2O bisa dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan unsur nitrogen di pertanian baik dalam proses penanaman maupun proses produksi ternak. Mengurangi konsumsi daging dan limbah makanan juga bisa menekan emisi N2O, termasuk mengurangi pembakaran hutan, mengolah limbah dan mendaur ulang nutrisi.

Menurut UNEP, tanpa upaya pengurangan emisi, polusi N2O akan meningkat rata-rata 83% pada periode 2005 hingga 2050. Sementara melalui skenario mitigasi, emisi N2O bisa dikurangi hingga 22% pada tahun 2050 dibanding level tahun 2005.

Sumber: hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Memaknai Darurat

Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata “Darurat” berarti (1) keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dl bahaya, kelaparan, dsb) yang memerlukan penanggulangan segera dari Pemerintah untuk mengatasi keadaan; (2) keadaan terpaksa: Pemerintah dapat segera memutuskan tindakan yang tepat; (3) keadaan sementara: mereka ditampung dl suatu bangunan. Definisi ini dapat dicari pada situs www.KamusBahasaIndonesia.org.

Pertanyaan selanjutnya adalaha adakah di Aceh berlaku kembali keadaan darurat akibat suatu keadaan? Sebagai perbandingan ketika di Aceh diberlakukan keadaan darurat militer maka pemerintah mengambil tindakan khusus saat itu. Banyak hal yang dalam masa normal boleh dilakukan namun dalam masa darurat tidak dapat dilaksanakan. Misalnya saja setiap orang yang berpergian harus membawa KTP. Jangan coba-coba lupa, urusan bisa jadi panjang dan berbuah maut terkadang.

Nah, bagaimana kalau dikatakan Aceh berada dalam kondisi darurat ekologis? Apakah istilah ini sudah tepat dengan kondisi lingkungan Aceh saat ini? Jika memang darurat ekologis diterapkan berarti ada suatu tindakan khusus yang dilakukan, sebuah tindakan yang dalam masa normal sebenarnya tidak dilakukan. Kebijakan dimasa darurat tentu saja dikeluarkan demi kemaslahatan orang banyak.

Berbicara masalah lingkungan, sudah kita ketahui banyak terjadi perusakan hutan, alih lahan, penambangan di hutan lindung dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya. Kerusakan ini menimbulkan bencana yang merugikan umat manusia terutama manusia yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaatkan dari pengerukan sumber daya alam tersebut.

Berbagai kejadian bencana sudah terjadi melampaui intensitasnya. Berbagai lembaga pemerhati lingkungan secara rutin mencatat pelbagai bencana tersebut. Sehingga muncullah wacana untuk menerapkan Darurat Ekologi di Aceh.

Darurat ini dipandang penting dalam rangka pemulihan kembali lingkungan ekologi di Aceh. Tentunya dalam kondisi darurat dapat diambil langkah-langkah di luar kebiasaan oleh pemerintah Aceh, misalnya saja menghentikan atau mencabut izin tambang, menghentikan usaha galian C dan sebagainya. Tentunya tindakan ini harus didahului dengan kajian yang serius untuk mengurangi dampak dari penerapan darurat itu sendiri.

Ini memang faktanya yang tak terbantahkan walau tidak nyaman. Seperti meminjam istilah dari tokoh gerakan melawan perubahan iklim, Al Gore, yang memakai istilah Inconvenient truth untuk menyebut fakta-fakta yang tidak menyenangkan terkait dengan perubahan iklim. Saatnya untuk bertindak.[m.nizar abdurrani]

read more
Sains

Teknologi Ini Bisa Mencegah Tanah Longsor

Bencana tanah longsor sering terjadi di Indonesia khususnya ketika musim hujan berlangsung. Kerugian yang disebabkan oleh bencana tanah longsor ini tidaklah sedikit, bukan hanya kerugian material tetapi juga ikut memakan korban jiwa. Bahkan baru-baru ini, bencana tanah longsor telah memakan satu korban jiwa di daerah perkebunan, Desa Cibunian, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Bencana tanah longsor sendiri bisa disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Hujan
2. Lereng terjal
3. Tanah yang kurang padat dan tebal
4. Batuan yang kurang kuat
5. Jenis tata lahan
6. Getaran
7. Susut muka air danau atau bendungan
8. Adanya beban tambahan
9. Pengikisan/erosi
10. Adanya material timbunan pada tebing
11. Bekas longsoran lama
12. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)
13. Penggundulan hutan
14. Daerah pembuangan sampah

Bencana tanah longsor sendiri sebenarnya dapat dicegah dengan banyak cara salah satunya dengan pemamfaatan teknologi Geocell. Geocell merupakan salah satu jenis bahan geosintetis terbuat dari HDPE (High Density PolyEthylene). Dengan melihat bentuk Geocell dalam keadaan terpasang yang menyerupai sarang tawon, diperkirakan cukup efektif untuk bangunan pelindung tebing.

Keunggulan

  • Usia pakai yang lama untuk lereng yang stabil.
  • Mudah dibawa dan pemsangannya di lokasi proyek.
  • Cepat dan sederhana pemasangannya.
  • Mudah dibongkar dan dapat digunakan kembali.
  • Tahan terhadap biologi dan kimia dari tanah.

Kelemahan
Karena untuk mendapatkan bahan geocell masih import dari Presto Products Company dan US Products Inc maka harga bahan geocell masih mahal dibandingkan dengan pelindung tebing sungai konvensional. Pelindung tebing sungai dengan geocell ini kurang baik jika dibangun pada lereng tanah timbunan/urugan.

Selain untuk mencegah bencana tanah longsor, Geocell juga dapat digunakan untuk beragam aplikasi lainnya tidak hanya untuk mencegah bencana tanah longsor seperti menstabilkan dan melindungi tebing, kanal, slope, bendungan dari berbagai macam masalah pengikisan secara terus menerus ataupun masalah yang disebabkan oleh pergerakan gaya gravitasi dan arus air.

Untuk menggunakan Geocell ini cukup mudah, kita cukup meletakan Geocell pada area yang ingin diproteksi dan ditingkatkan stabilitas lahannya. Namun sebelumnya lahan tersebut telah dipersiapkan terlebih dahulu sehingga posisi Geocell sesuai dengan disain yang telah direncanakan.

Kolom-kolom dalam Geocell sendiri dapat kita isi dengan beragam material mulai dari pasir, agregat hingga tanah. Jika material pengisi Geocell adalah tanah, maka akan memberikan ruang yang cukup pada akar tanaman untuk tumbuh dan memperkuat struktur tanah itu sendiri dan juga menambah estetika dan keindahan lahan.
Sumber: vivanews.com

read more
Perubahan Iklim

Kerugian Akibat Bencana Alam Capai $3,8 Triliun

Sejak tahun 1980-an kerugian akibat bencana terus mengalami peningkatan. Pada periode 1980-2012, kerugian total akibat bencana alam telah menembus angka $3,8 triliun. Sebanyak 74% dari kerugian ini disebabkan oleh cuaca ekstrem dan bencana hidro-meteorologis dengan nilai mencapai $2,6 triliun.

Cuaca ekstrem dan bencana hidro-meteorologis juga mendominasi jenis bencana alam yang terjadi yaitu mencapai 87% (18.200 bencana) dan sebanyak 61% (1,4 juta) nyawa melayang akibat dua jenis bencana yang dipicu oleh pemanasan global dan perubahan iklim ini.

Di Thailand misalnya, banjr besar yang terjadi pada 2011 telah menimbulkan kerugian sebesar $45 miliar atau setara dengan 13% dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut. Di Tanduk Afrika (Horn of Africa), kekeringan dalam periode 2008–2011 menyebabkan 13,3 juta penduduk menderita kelaparan dengan kerugian (di wilayah Kenya saja) mencapai $12,1 miliar.

Hal ini terungkap dalam laporan berjudul Building Resilience: Integrating Climate and Disaster Risk into Development, yang diterbitkan oleh Bank Dunia, Senin (18/11/2013). Laporan ini diluncurkan bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim (COP19) yang saat ini masih berlangsung di Warsawa, Polandia.

Tujuannya tidak lain adalah untuk menjadi masukan bagi para pembuat kebijakan agar bersiap dengan peningkatan risiko akibat bencana alam terutama bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang semakin sering dan ekstrem.

Perubahan iklim dipicu oleh ulah manusia yang terus memroduksi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Pemanasan global telah mengubah pola cuaca yang memicu banjir, badai dan kekeringan di berbagai wilayah dunia. Menurut Bank Dunia, wilayah yang terdampak gelombang panas akan naik dua kali lipat pada 2020.

Kerugian yang diderita kota-kota besar di wilayah pesisir pantai akibat cuaca ekstrem diperkirakan akan mencapai $1 triliun pada pertengahan abad ini (2050). Dan negara yang paling berisiko adalah negara miskin dan berkembang yang menurut laporan Munich Re menjadi lokasi 85% korban jiwa akibat semua bencana ini. Jangan sia-siakan (lagi) peluang di Warsawa untuk menciptakan perubahan dalam aksi mengatasi perubahan iklim.

Sumber: Hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Duka Cita Pilipina

Topan Haiyan menghantam kota Tacloban, Propinsi Leyte, Pilipina pada hari Minggu (10/11/2013) meluluhlantakan segala bangunan yang berada di atas bumi. Pemandangan yang tersisa mengerikan, puing-puing kayu berserakan di tanah, tidak banyak bangunan yang sanggup bertahan dari hempasan topan. Kapal-kapal terhempas ke daratan, mengingatkan kita akan bencana gempa bumi dan tsunami yang pernah menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Diperkirakan tak kurang dari 10.000 jiwa melayang. Selain itu kelaparan juga membayangi korban yang selamat mengingat tak banyak makanan yang bisa diperoleh ditengah bencana dahsyat ini.

Sebelumnya sebulan lalu, pada Selasa (15/10/2013), gempa berkekuatan 7,2 skala Richter (SR) mengguncang Pulau Bohol dan Cebu, Filipina Tengah. Bencana dahsyat ini merobohkan banyak bangunan termasuk bangunan bersejarah, merobek jalan-jalan serta menimbulkan korban jiwa. Pemerintah setempat pontang-panting berusaha menyelamatkan penduduk. Kini bencana baru kembali datang.

Walaupun terjadi di dua daerah terpisah namun bencana ini masih dalam satu negara yang berarti satu komando penanggulangan. Tentu saja pemerintah Pilipina harus bekerja ekstra keras membantu rakyatnya yang tertimpa musibah. Saya sendiri tidak tahu persis bagaimana pemerintah dibawah Presiden Benigno Aquino mengatasi dua bencana dahsyat ini. Cuma sebagai orang yang pernah mengalami bencana tsunami di Aceh, saya bisa membayangkan perlu koordinasi yang kuat dalam penanganan pasca bencana.

Dua bencana yang terjadi dalam waktu berdekatan ini memberikan kita pelajaran, paling tidak dua hal. Pertama bahwa bencana bisa datang kapan saja, bisa diprediksi dan tidak bisa diprediksi. Persiapan menghadapi bencana harus terus dilakukan. Saat tidak terjadi bencana, masyarakat harus disadarkan akan bahaya bencana yang mengancam tempat tinggal mereka.

Penyadaran bisa dilakukan melalui kampanye ataupun latihan menghadapi bencana (drill). Sementara pemerintah juga bisa mulai memetakan daerah rawan bencana dan menginventarisir sumber daya yang dimilikinya.

Jika hal persiapan sebelum bencana bisa terlaksana, Insya Allah saat bencana itu benar-benar datang, dampaknya bisa dikurangi. Warga sudah tahu apa yang dilakukan saat bencana datang, kemana harus mengungsi dan yang tak kalah penting adalah bersikap tenang, tidak panik.

Hal kedua mengingatkan kita bahwa dunia kita sudah semakin rentan terhadap bencana. Frekuensi kejadian bencana sudah semakin tinggi. Buktinya saja yang terjadi di Pilipina tadi, hanya berselang sebulan bencana dahsyat datang menimpa. Terlebih bencana yang disebabkan oleh iklim, yang banyak disinyalir oleh ilmuan berkaitan erat dengan perubahan iklim. Penyebab perubahan iklim sendiri diduga akibat aktivitas manusia yang menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK).

Namun sayangnya masih saja banyak negara yang kurang peduli dengan emisi yang mereka hasilkan. Demi menjaga pertumbuhan ekonomi, mereka menolak untuk mengurangi emisi GRK dan mencoba membeli karbon (trade off) dari negara berkembang. Ini berarti emisi akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak berkurang. Padahal dibutuhkan usaha yang sangat besar untuk menurunkan iklim bumi sebesar 1 derajat celcius saja, agar bumi tidak bertambang panas dan menyebabkan es di kutub mencair. Kalau es sudah mencair maka dipastikan akan banyak kota-kota di pinggir pantai yang lenyap.

Bencana seharusnya bisa menjadi pengingat yang paling bagus bagi manusia untuk bersiap menghadapi bencana. Jangan seperti pemadam kebakaran, datang saat terjadi kebakaran saja. Jangan sampai pula teringat bencana hanya ketika bencana menimpa. Kalau ini wataknya, maka kita butuh banyak sekali bencana untuk bisa sadar. [m.nizar abdurrani]

read more
1 2 3 4 5 6
Page 4 of 6