close

hutan

Hutan

Upaya Penyelamatan DAS di Aceh dengan SVLK

Daerah Aliran Sungai (DAS) Jambo Aye dan DAS Peusangan merupakan bentang alam yang kaya melintasi kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireun, Aceh Timur dan Aceh Utara. Potensi yang tersimpan di DAS tersebut diantaranya lahan, air, hutan, keragaman hayati, karbon dan lain-lain.DAS ini mempunyai nilai penting sebagai pendukung mata pencarian manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan data Aceh dalam angka (2016) terdapat 1,433, 216 jiwa manusia menggantungkan hidupnya dari keberadaan DAS Jambo Aye.

Keberadaan DAS ini mulai terancam akibat berbagai faktor diantaranya : lemahnya pengelolaan lahan /hutan, political will, illegal logging, perambahan dan perburuan satwa. Untuk memperkuat pengelolaan hutan/lahan maka Pemerintah Indonesia terus mendorong berbagai kebijakan di sektor kehutanan dengan memperhatikan tiga aspek yaitu Ekologi, Ekonomi dan Sosial.

Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah mendorong praktek pengelolaan hutan Lestari melalui skema Sertivikasi Legalitas Kayu Hutan Produksi ke perusahaan atau Badan Usaha yang bergerak di bidang produksi kayu.

Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) oleh Republik Indonesia sejalan dengan skema regulasi kayu Uni Eropa melalui European Union Timber Regulation (EUTR) yang berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Hal ini didukung dengan penandatanganan FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement, Governance and Trade – Voluntary Partnership Agreement) antara Republik Indonesia dan Uni Eropa pada tanggal 30 September 2013.

SVLK merupakan sebuah inisiatif dari para pihak (multistakeholder) yang dibangun dan bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu dapat diverifikasi dalam rangka menjamin sumber yang legal dan lestari.[rel]

Sumber: Forum Jurnalis Lingkungan


read more
Green StyleRagam

Aktivis Minta Informasi SDA Dibuka Seluas-luasnya

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, bertanggal 27 Agustus 2018. Keluarnya keputusan ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat karena sebagian menganggap ini merupakan bentuk pengekangan hak publik untuk mendapatkan informasi. Apalagi didalamnya mencantumkan jenis informasi apa saja yang tertutup bagi publik salahsatunya informasi yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Aktivis lingkungan, T.Muhammad Zulfikar, kepada Greenjournalist, mengatakan Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 ini ternyata belum banyak berubah dari Keputusan sebelumnya yakni KepGub Aceh No. 065/802/2016. “Kesannya masih copy paste dari Kepgub sebelumnya. Padahal, hal ini pernah disuarakan oleh beberapa LSM agar ditinjau kembali karena belum mampu mendorong perbaikan transparansi badan publik dalam mengelola informasi kepada masyarakat secara luas,”.

Zulfikar menambahkan jika mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik justru sudah sangat jelas bahwa tidak semua informasi dalam pemerintahan tertutup. “Bahkan seharusnya jika kita mau menjaga lingkungan lebih baik, informasi terkait pengelolaan sektor sumber daya alam harusnya dibuka seluas-luasnya agar bisa kita pantau dan kita jaga bersama,”katanya.

Zulfikar memberikan contoh berbagai rencana pembangunan di Aceh, yang tiba-tiba sudah ada izin pemberian IUP Pertambangan di Nagan Raya, di Aceh Tengah, serta tiba-tiba sudah ada izin lingkungan untuk PLTA di Gayo Lues, Izin HGU perkebunan di Nagan Raya, dan berbagai kegiatan dadakan lainnya yang mengejutkan publik.

“Sudah tidak zamannya lagi informasi ditutup-tutupi. Justru demi kemaslahatan ummat mari kita buka selebar-lebarnya dan seluas-luasnya. Boleh saja informasi dikecualikan apabila jika diketahui publik akan menambah besarnya konflik sosial, terganggunya kedamaian dan keamanan di Aceh. Tapi saya rasa tidak usah terlalu banyaklah informasi yang bersifat rahasia di Aceh,”terangnya.

Dalam Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, salah satu data yang dikecualikan tertutup bagi publik adalah data milik perusahaan pemegang izin Usaha Pertambangan dan sejumlah bidang yang terkait sumber daya alam.

 

 

read more
Ragam

Sejahtera Tanpa Merusak Hutan Leuser, Bisakah?

Sudah berulang kali kita mendengar peristiwa perusakan hutan, baik itu perusakan hutan maupun kejahatan satwa liar yang menghuni hutan tersebut. Hampir setiap hari ada saja berita menghiasi media tentang kejahatan kehutanan terutama. Hutan lebat salah satunya hutan Leuser selalu saja menjadi sasaran para perusak lingkungan ini. Siapa saja para perusak tersebut? Kita harus adil, semua pihak, apakah masyarakat maupun perusahaan ikut andil merusak hutan Leuser.

Jika kita lihat lebih dalam lagi kenapa pihak-pihak ini merusak hutan maka satu-satunya alasan terkuat yang selalu saja mereka sampaikan adalah demi kesejahteraan. Iya, para pencoleng kekayaan hutan tersebut selalu berlindung kejahatan yang mereka lakukan demi mengisi perut keluarga semata. Atau jika para pencoleng itu korporat maka mereka beralasan itu semua demi meningkatkan pendapatan daerah dari hasil penjualan produk-produk mereka. Terus saja alasan-alasan ini diputar-putar bagai memutar kaset lama.

Tapi memang…Sebagian yang diungkapkan itu ada benarnya yaitu masyarakat butuh penghidupan dari hutan. Apalagi masyarakat yang tinggal bersisian dengan hutan, mereka hitup berdampingan sejak ratusan tahun bersama hutan. Selama itu mereka memetik hasil hutan tanpa ada masalah sehingga datangnya berbagai peraturan yang sebenarnya dibuat untuk melindungi hutan, barulah mereka dianggap sebagai perusak hutan. Mereka pun terkejut dan marah melihat kenyataan bahwa mereka diperlakukan bagai kriminal yang biasa ditangkap polisi.

Persoalan kemiskinan yang membelit masyarakat sekitar hutan sudah jamak. Daerah-daerah yang memiliki hutan luas biasanya tidak mempunyai sumber pendapatan yang memadai dalam menghidupkan perekonomian rakyatnya. Daerah tersebut yang sebagian merupakan hasil pemekaran, terserempet jauh dari cita-cita luhur pendirian otonominya. Seharusnya mereka memampukan masyarakat dalam mencari nafkah, tetapi kenyataannya malah tidak banyak hal yang berubah pasca pimpinan-pimpinan kabupaten terpilih.

Kemiskinan tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dituntaskan secara sektoral semata. Mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat sah-sah saja sebagai sebuah konsep. Hal ini banyak diterapkan di Negara-negara maju, mereka mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat dan hutan pun lestari. Keberhasilan Negara-negara tersebut menjadi rujukan sejumlah pejabat Aceh berkunjung untuk belajar pula memelihara hutan dan mendapatkan “pitih”. Beberapa waktu lalu, pejabat DPR Aceh berkunjung ke Kanada, Negara yang sangat luas dan pengelolaan alamnya lestari. Mereka melihat langsung bagaimana pengelolaan hutan dapat dilakukan, menghasilkan uang bagi masyarakat tetapi hutan tetap terjaga. Sayangnya tidak dijelaskan secara detail bagaiman pengelolaan tersebut dilaksanakan. Tapi satu hal yang diyakini adalah Kanada merupakan Negara yang sudah maju perekonomiannya.

Nah di Aceh, perekonomiannya belum maju, jika tidak mau disebut jalan ditempat. Sebagaimana disebutkan di atas, mengentaskan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Misalnya saja kita ingin mengelola hutan Leuser dengan baik sehingga memberikan kemakmuran bagi rakyat sekitar. Butuh usaha dan dana yang besar untuk mengelola hutan. Kita harus mendirikan lembaga yang kuat, merekrut orang-orang professional yang tentu saja mereka butuh bayaran yang memadai setidaknya. Kemudian landasan hukum yang kuat dalam menjalankan pelestarian hutan serta akhirnya baru masuk ke dalam teknis bagaiman menjaga hutan itu sendiri. Ini membutuhkan waktu yang lama juga.

Namun jangan lupa, kemiskinan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dituntaskan dengan mengelola hutan semata. Masyarakat butuh sarana-sarana lain, butuh sistem dan kebijakan ekonomi yang mendukung mata pencarian mereka. Misalnya mereka mencari hasil hutan non kayu, barang yang mereka peroleh harus dipastikan bernilai jual tinggi agar sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan. Harga-harga biasanya ditentukan oleh pasar internasional.

Kemudian lagi pemerintah harus bisa menjaga pertumbuhan ekonomi agar menopang terus perekonomian masyarakat. Ntah itu di sektor komoditas lain, misalnya bahan pokok yang terjangkau. Kemudian juga sarana dan prasarana bagi masyarakat sekitar hutan harus terbangun dengan baik. Selama ini kita lihat semakin dekat daerah dengan hutan maka semakin minim sarana yang dapat dinikmati oleh masyakat. Minimnya sarana semakin memperdalam tingkat kemiskinan masyarakat sekitar.

Jadi jangan lupa, untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan maka harus meningkatkan kemajuan semua sektor. Kita bisa lihat Negara-negara yang berhasil mengelola hutannya adalah Negara maju yang berhasil mengelola semua sektornya. Tidak ada Negara yang hanya maju sector hutannya semata. Karena semua sector saling berkaitan dan mendukung. Kalau ini sudah tercapai maka Insya Allah sejahtera tanpa merusak hutan bukan lagi slogan kosong…

read more
Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan Lindung KEL Alami Kerusakan Paling Tinggi

Banda Aceh – Laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Manager Geographic Information System  (GIS) Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya mengatakan tutupan hutan KEL Aceh terus berkurang akibat berbagai kegiatan ilegal. Namun, menurutnya pembangunan jalan di dalam areal hutan lindung juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan.

Padahal KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan pantauan Yayasan HAkA melalu NASA dan satelit VIIRS dan MODIS, kerusakan hutan di dalam KEL periode Januari – Juni 2018 seluas 3.290 hektare. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare.

Kerusakan areal tutupan hutan itu terjadi merata di 13 kabupaten di Provinsi Aceh yang masuk dalam KEL Aceh. Namun, Agung menyebutkan terdapat tiga kabupaten dengan kerusakan dan luas hutan yang hilang paling parah pada periode Januari – Juni 2018.

Tiga kabupaten itu yaitu Kabupaten Nagan Raya (627 hektare), Aceh Timur (559 hektare), dan Gayo Lues (507 hektare). Data tersebut diperoleh oleh Yayasan HAkA melalui citra satelit setiap harinya.

“Dari data itu baru kemudian dibuat peta panduan monitoring yang di-update setiap bulan untuk dicek oleh teman lapangan. Dari hasil cek lapangan dibuatlah peta hasil monitoring. Datanya berupa foto, database, dan titik koordinat,” kata Agung.

Hutan Lindung Tertinggi Deforestasi

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Ilegal Logging Faktor Utama Deforestasi

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevie menyebutkan ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

“Berdasarkan data ground checking atau cek lapangan selama enam bulan oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 kabupaten dalam KEL, terdapat 1.892 kasus aktivitas ilegal,” kata Tezar.

Bahkan, kata dia, tim monitoring turut menemukan 63 kamp pembalak liar dan 53 kamp perambah hutan. Tezar mengatakan menemukan 1048 kasus pembalakan liar, menyita sebanyak 2.102,69 meter kubik kayu ilegal, dan bertemu dengan 25 orang pembalak kayu ilegal. Sementara perambahan liar sebanyak 779 kasus seluas 3623 hektare.

Pembangunan jalan tembus menurut Tezar, juga menjadi alasan berkurangnya tutupan hutan. Tim monitoring FKL menemukan sebanyak 65 kasus kerusakan hutan akibat pembangunan jalan seluas 105,55 kilometer di dalam KEL. Misalnya jalan tembus Pining – Lesten di Kabupaten Gayo Lues.

“Jalan ke Lesten misalnya tempat dibangun PLTU Tampur I, buat apa jalan, sedangkan penduduk di Lesten nanti akan direlokasi,” kata Sekretaris HAkA, Badrul Irfan.

Menurut dia, HAkA bukan anti terhadap pembukaan jalan tembus. Akan tetapi setiap ada pembangunan jalan baru harus dipertimbangkan untung dan ruginya. Apakah lebih menguntungkan atau mengalami kerugian.[]

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

TFCA Paparkan Program Perlindungan Hutan Aceh kepada Media

Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera) merupakan program konservasi terpadu di bawah perjanjian antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia. Program ini memanfaatkan fasilitasi pembiayaan konservasi, perlindungan, restorasi (pemulihan) dan pemanfaatan sumberdaya hutan tropis secara lestari di Pulau Sumatera.

Program TFCA-Sumatera menekankan pendekatan pengelolaan terpadu (antar komponen) dan kolaboratif (antar lembaga) serta mendorong partisipasi semua pihak pelaku pembangunan di berbagai sektor, untuk mewujudkan hutan yang lestari yang pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.

Hingga saat ini, keberadaan mitra TFCA Sumatera di 12 Bentang Alam dari 13 bentang alam prioritas TFCA Sumatera telah melaksanakan program dan telah memasuki masa akhir program serta telah melakukan grand close report. Berdasarkan identifikasi ada kebutuhan untuk melaksanakan advokasi media program-program mitra TFCA Sumatera Regional Utara khususnya untuk wilayah Aceh.

Advokasi media berupa media gathering berbentuk focus grup discusion (FGD) dengan media asing, nasional dan lokal mengenai kondisi terkini program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. Dukungan media ini diharapkan menjadi stimulan pengetahuan publik terhadap isu-isu konservasi di Aceh dan khususnya menjadi dorongan kepada parapihak untuk memberi dukungan terhadap program mitra TFCA Sumatera di tingkat tapak. Kegiatan akan diadakan pada hari Kamis (19/07/2018) di Banda Aceh.

Adapun tujuan kegiatan ini antara lain untuk mempublikasi program mitra TFCA Sumatera, advokasi program mitra agar mendapatkan dukungan parapihak terutama untuk Provinsi Aceh, serta antisipasi miskomunikasi dan informasi antara program dengan liputan media.

Selain itu, pasca kegiatan ini diharapkan adanya kesamaan persepsi antara mitra dan media di tingkat tapak mengenai isu-isu konservasi hutan dan satwa terancam punah di Provinsi Aceh, masing-masing mitra TFCA dapat memaparkan data sebagai konten news masing-masing media dan update terbaru liputan program-program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. [rel]

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Aktivis Sambut Baik Instruksi Bupati Tamiang

Bupati Aceh Tamiang mengeluarkan Instruksi Bupati (Inbup) Aceh Tamiang No.3725 tahun 2018 tentang Pembinaan, Pengendalian, dan Pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Aceh Tamiang. Instruksi ini dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2018 dan ditujukan kepada Kadis Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan, Kadis PUPR, Kadis Lingkungan Hidup, Kadis Pertanahan dan Kadis Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam lingkungan Pemkab Aceh Tamiang.

Instruksi ini berisikan sejumlah hal yang menyangkut diantaranya pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Tamiang secara terkoordinasi, efektif, dan terukur sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing. Beberapa poin yang menonjol dalam instruksi ini adalah untuk tidak menerbitkan rekomendasi, tidak memproses permohonan baru, dan penerbitan izin baru kecuali bagi perusahaan kebun sawit yang telah menanam lebih dari tiga tahun.

Kepada Greenjournalist, beberapa hari lalu, aktvis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar secara prinsip menyambut baik Inbup tersebut. Ia mengatakan persoalan penggunaan lahan untuk HGU Perizinan Kelapa Sawit sangat mengkhawatirkan. Sehingga memang perlu segera dilakukan evaluasi, monitoring dan pembinaan secara terarah dan terukur.

“Pemkab Aceh Tamiang sebaiknya segera membentuk Tim Independen yang memantau pelaksanaan Inbup. (Hasil) Pemantauan perlu disampaikan kepada publik minimal 2 atau 3 bulan sekali, sehingga semua pihak mengetahui akankah Inbup cukup efektif dijalankan oleh SKPD atau tidak. Jika tidak dijalankan Bupati harus menegurnya,”ujarnya.

Persoalan perkebunan sawit di Aceh Tamiang merupakan problem yang harus segera diatasi karena banyak perkebunan yang merambah hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga P3KA menunjukan aktivitas ilegal di hutan KEL terbanyak terjadi di Aceh Tamiang dengan 557 temuan. Kegiatan-kegiatan ilegal antara lain, illegal logging, perambahan, akses jalan, dan perburuan. Illegal logging terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 279 kasus dan volume 1.782,8 meter kubik. Untuk perambahan ilegal terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 217 kasus serta luasnya mencapai 1.556,8 hektare.

“Kita berharap dengan adanya Inbup ini proses tata kelola perkebunan sawit di Aceh Tamiang dalam 2 tahun ke depan dapat diperbaiki, namun jika tidak mampu dijalankan dalam 2 tahun maka nantinya bisa diperpanjang kembali,”kata T. Muhammad Zulfikar.

read more
Flora FaunaHutan

Ian Singleton: Amazon Paru-paru Bumi, Leuser Adalah Jantungnya

Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di Provinsi Aceh dan sebagian masuk ke dalam Sumatera Utara merupakan salah satu tempat paling purba di bumi dan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia Unesco.

Dr. Ian Singleton dalam sebuah artikel di United States News and World Report seperti dilansir dari The Independent, pernah menyebutkan Leuser sebagai tempat paling purba di bumi.

“Jika hutan hujan Amazon adalah paru-paru bumi maka Leuser adalah jantungnya,” tulis Singleton.

Kawasan hutan dengan luas lebih dari 6.5 juta hektar tersebut merupakan ekosistem terakhir di muka bumi yang menjadi rumah bagi tiga hewan dilindungi yakni harimau, badak dan orangutan. Leuser dikaruniai kekayaan sumber daya flora dan fauna yang beraneka ragam. Terdapat sekitar 105 spesies mamalia, 382 burung serta 95 reptil dan amfibi. Kawasan Leuser juga dikenal sebagai penghasil tembakau dan kopi kelas dunia.

Di dalam Leuser terdapat beberapa jenis hutan seperti Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Sikundur Langkat Wildlife Reserve, Ketambe Research Station, Singkil Barat, Dolok Sembilin dan lainnya.

Namun, meski dilindungi oleh hukum di Indonesia, Leuser tidak kemudian lepas dari ancaman deforestrasi hutan. Masalah klise seperti aktivitas industri, operasi pertambangan, penebangan tanaman hingga pembukaan lahan mulai mengancam ekosistem serta kekayaan hayati di dalamnya.

Masyarakat dunia tidak lantas diam. Melalui gerakan “Love The Leuser Ecosystem” yang melibatkan aktor Leonardo Di Caprio serta Adrien Brody, para aktivis lingkungan membawa isu pelestarian Leuser sebagai perhatian internasional.
Sumber :  http://ayobandung.com

read more
1 2 3 4 5 18
Page 3 of 18