close
Hutan

Hutan Gambut Rawa Tripa Butuh Lembaga Pengelola

Excavator dalam SM Rawa Singkil | Foto: mongabay.co.id

Kawasan gambut Rawa Tripa perlu segera diperjelas statusnya sebagai kawasan yang dilindungi agar kerusakan di kawasan tersebut tidak semakin parah. Masyarakat pun dapat berperan lebih baik dalam memanfaatkan dan mempertahankan keberadaan lahan gambut tersebut. Hal itu mengemuka dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh bekerja sama dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Kamis, (21/2).

Kejelasan status tersebut sangat penting dalam pengelolaan kawasan gambut di masa depan terutama terkait dengan kewenangan instansi baik di Provinsi maupun kabupaten. Dalam diskusi itu, M. Yakob Ishadamy, mewakili tim penyusun dokumen Rancangan Peraturan Pemerintah Ekosistem Gambut (RPPEG), menyatakan bahwa pihaknya sedang mempersiapkan rencana kelola kawasan gambut di seluruh Aceh. Yakob mengharapkan agar pihak terkait dapat memperkaya pola dan model kelola dari berbagai perspektif yang akan dimuat dalam dokumen tersebut.

“Ada banyak poin-poin perlindungan kawasan yang dimuat dalam regulasi yang secara operasional perlu dipertegas pelaksanaannya dan diarustamakan dalam dokumen-dokumen rencana pemerintah. Hal itu membutuhkan inisiatif dari banyak pihak. Tidak dapat diletakkan di pundak pemerintah semata,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, dosen Fakultas Pertanian Unsyiah, Ir. Agus Halim, M.Si, menyarankan agar digunakan kebijakan peta tunggal (one map policy) dalam menentukan zonasi bagi kawasan ini. Peta tersebut memperlihatkan titik-titik mana saja yang memiliki kubah-kubah gambut dalam sehingga perusahaan-perusahaan perkebunan yang saat ini beroperasi di Rawa Tripa dapat menghindari lokasi tersebut. Agus juga menyarankan penerapan Paludiculture (model agrikultur di lahan basah gambut) di Rawa Tripa agar manfaat ekonomi diperoleh maksimal dari kawasan tersebut.

Selain soal status, hal lain yang mengerucut dalam diskusi adalah kebutuhan pengelola definitif di kawasan tersebut. Lembaga kelola yang definitive dipandang sebagai solusi yang tepat untuk memaksimalkan pemulihan kawasan pasca kebakaran, penutupan kanal-kanal, perbaikan vegetasi dan kegiatan-kegiatan agroforestry yang dapat menguntungkan masyarakat.

Paludiculture adalah pertanian lahan basah gambut yang oleh banyak ahli dipercaya dapat memulihkan kawasan-kawasan gambut yang rusak yang merupakan kombinasi antara memanfaatkan hasil ekonomi lahan gambut basah dan mempertahankan badan gambut di suatu kawasan.

“Lembaga pengelola ini juga dapat memaksimalkan pemanfaatan dana ratusan miliar yang diputuskan pengadilan untuk pemulihan Rawa Tripa itu,” imbuh T. M. Zulfikar, koordinator YEL di Aceh.

Peserta diskusi menyarankan agar pengelolaan Rawa Tripa tidak melupakan masyarakat yang berdiam di sekitar kawasan. Para peserta juga menyarankan agar, edukasi kepada masyarakat terkait pengelolaan dan pemanfaatan rawa gambut gencar dilakukan. Masyarakat harus didorong agar tidak mengutamakan sawit sebagai tanaman andalan di rawa gambut.

Diskusi yang berlangsung di kantor Forum LSM Aceh di Lamgugop tersebut dihadiri oleh beberapa pegiat LSM di Aceh, perwakilan dari instansi pemerintah, akademisi dan jurnalis diantaranya Dinas LHK Aceh, Distanbun Aceh, BKSDA, Forum Orangutan Aceh (FORA), Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) dan Prodi Teknik Lingkungan USM.

Sekretaris jenderal Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan, menyatakan bahwa kegiatan ini diadakan untuk memaparkan situasi terkini yang terjadi di kawasan gambut itu sekaligus memformulasi langkah-langkah konkrit untuk penatakelolaan kawasan Rawa Tripa.

Kawasan Rawa Tripa adalah seluas lebih dari 61.000 Ha yang merupakan kediaman bagi sekitar 280 ekor Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Kawasan ini terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Keragaman hayati di daerah gambut tersebut sangat tinggi dan berperan sebagai penyimpan cadangan karbon yang luar biasa. Dulu, area ini ditutupi oleh hutan rawa gambut pantai. Namun, saat ini hanya sekitar 15% hutan rawa gambut primer yang masih tersisa.

Data YEL menunjukkan bahwa apabila hutan-terdegradasi dan hutan-sekunder ikut dihitung, hutan di Rawa Tripa hanya bersisa sekitar 34% saja. (rel)

Tags : rawa tripa

Leave a Response