close

orangutan

Flora Fauna

Menjelajahi Hutan Batangtoru, Habitat Orang Utan Tapanuli

Orang Utan Tapanuli sempat menjadi primadona tahun lalu. November 2017, para peneliti mengumumkan satwa yang mempunyai nama ilimiah Pongo Tapanuliensis itu sebagai spesies baru di Sumatera Utara. Sayangnya, bersamaan dengan pengumumuman itu, Orang Utan Tapanuli justru terancam punah.

Mencari keberadaan Orang Utan Tapanuli memang tidak gampang. Beruntung saya punya kesempatan untuk menelusuri habitat spesies langkah itu. Jujur saja, rasa antusiasme saya membuncah.

Habitat Orang Utan Tapanuli berada di Harangan Batangtoru. Dalam Bahasa Batak, harangan artinya hutan. Selama ini rimbunnya Harangan Batangtoru memang masih menyimpan beribu tanya. Tak sedikit yang menanyakan bagaimana satwa penghuni hutan itu bisa bertahan di tengah gempuran industri.

Saya memulai perjalanan panjang ini pada 18 September lalu. Dari Bandara Kualanamu, saya terbang ke Tapanuli Tengah. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dengan pesawat. Kalau lewat jalur darat, bisa-bisa pinggang saya encok. Perjalanan darat dari Medan ke Tapanuli Tengah bisa sampai 12 jam.

Si burung besi yang saya tumpangi mendarat di Bandara FL Tobing sekitar pukul 13.00 WIB. Saya berangkat bersama teman-teman dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan beberapa porter. YEL ini adalah salah satu lembaga yang concern terhadap pelestarian Orang Utan.

Sebelum benar-benar masuk ke alam bebas, saya singgah semalam di Kantor YEL Batangtoru. Lokasinya di Jalan Dangol Tobing, Tapanuli Tengah. Semalaman saya mengecek lagi perbekalan. Rasanya memang seperti mau berangkat perang. Semua harus dipersiapkan secara matang. Apalagi mau masuk hutan belantara.

Sejak berangkat dari Medan saya sudah bawa satu tas besar dan dua tas pinggang. Isinya macam-macam. Mulai dari logistik makanan, senter, kamera, sleeping bag, baju ganti, matras, jas hujan hingga plastik untuk membuang sampah. Di dalam hutan pasti nggak ada tempat sampah. Makanya saya siapkan kantong plastik untuk wadah sampah sementara.

Keesokan harinya, matahari sudah menyambut kami dengan ramah. Teriknya bersahabat. Tidak terlalu menyengat kulit. Sekitar pukul 10.00 WIB, tibalah kami di Desa Sait Nihuta Kalangan II, Kecamatan Tukka. Desa itu adalah gerbang masuk petualangan kami yang sesungguhnya.

Pintu rimba masih berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) Hutan. Sepanjang jalan setapak, kiri kanan mata memandang, perkebunan warga nan hijau benar-benar menyegarkan mata. Sebagian besar warga di sana menanam karet. Tapi kami juga bisa menemui tanaman lain. Mulai dari kopi, aren, hamijon (kemenyan, Red) dan cokelat.

Di kawasan APL saja, medan yang ditempuh lumayan berat. Belum lama berjalan, dengkul saya mau copot rasanya. Saya mendaki bukit, menuruni lembah. Jadi teringat lirik lagu Ninja Hattori.

Terkadang kami melewati sumber-sumber air yang mengalir ke hilir. Airnya masih jernih. Bahkan kami juga melewati kawasan, tempat para warga di sekitar hutan berburu kalong (kelelawar, Red).

Rute menuju camp yang akan kami tuju memang sudah ada. Sebab memang sudah banyak yang sering masuk ke dalam hutan. Mulai dari pembuat film, peneliti dan petugas research camp. Terkadang juga ada peneliti dari luar negeri yang masuk untuk meneliti keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan.

Tak terasa sudah satu jam kami berjalan. Di depan kami, terdapat sebuah papan peringatan. Rupanya kami sudah melangkah masuk ke dalam area hutan lindung.

Jalur yang kami lewati semakin berat. Jalanan lebih menanjak. Lebih menurun terjal. Tak terhitung berapa kali kaki-kaki kami terjerembab masuk ke kubangan lumpur. Batangtoru adalah hutan hujan tropis dengan kadar kelembaban yang cukup tinggi. Sekarang tahu sendiri kan kenapa saya pakai sepatu bot!

Kondisi Hutan Batangtoru masih sangat alami. Pepohonan masih sangat rapat. Bahkan kerapatannya membuat sinar matahari susah tembus. Hawa dingin langsung menusuk masuk.

Sesekali sang porter mencabut golok dari pinggangnya. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan kami ditebas dengan ganas.

Setelah blusukan ke hutan selama enam jam, terlihat beberapa pondok-pondok di seberang sungai. Alhamdulillah, sampai juga kami di camp Stasiun Riset Batangtoru.

Kami langsung disambut oleh beberapa staf YEL dan peneliti di sana. Koordinator Riset Stasiun Riset Batangtoru Sheila Kharismadewi Sitompul dengan supel menyapa kami. “Ah tiba juga kalian. Besok kita cari Orang Utan yah,” sapa perempuan berambut panjang itu.

Kami dipersilakan untuk menempati pondok-pondok yang cukup nyaman untuk sekadar berteduh. Camp itu sangat sederhana. Jangan bayangkan bangunannya terbuat dari beton-beton kokoh. Dindingnya hanya berupa daun-daun rumbia. Atapnya cuma terpal berwarna biru.

Namun itu semua cukup untuk berlindung dari sengatan matahari maupun berteduh bila hujan deras menghujam bumi. Ada sekitar lima pondok di sana. Termasuk pondok ruang kerja dan dapur.

Selepas santap malam, saya kembali menghimpun energi untuk esok hari. Sebelum terlelap, lamunan saya menggantung pada wujud Orang Utan Tapanuli itu. Selama ini saya hanya sebatas mendapat informasi dari referensi beberapa artikel. Tak sabar rasanya ingin cepat bertemu mereka.

Sumber: Prayugo Utomo/Jawapost.com

 

 

read more
Flora Fauna

Lahan Sawit Membuat Orangutan di Rawa Tripa Terancam Punah

BANDA ACEH – Pembukaan lahan sawit secara bersar-besaran sejak tahun 1990 telah membuat habitat Orangutan semakin sempit di kawasan Rawa Tripa. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat, pada tahun 2018 hanya tersisa sekitar 150-200 individu.

Pembukaan lahan sawit dengan cara membakar telah membuat Orangutan dan sejumlah hewan lainnya kehilangan habitatnya. Semakin hari ruang gerak semakin sempit. Pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kalista Alam misalnya, telah banyak berkotribusi menyembitnya wilayah jelajah satwa yang ada di Rawa Tripa.

Perusahaan sawit ini bahkan kemudian didugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke pengadilan. Pengadilan telah memvonis perusahaan sawit itu harus membayar denda Rp 366 miliar untuk memperbaiki lahan gambut yang dibakar itu.

Meskipun hingga sekarang putusan itu belum dilaksanakan. Padahal penting mengembalikan lahan tersebut seperti semula. Sehingga dengan alam pulih kembali, Orangutan bisa semakin luas memiliki arial untuk ditempati.

Pembakaran lahan di Rawa Tripa membuat habitat satwa dilindungi ini semakin sempit. Rawa Tripa yang menjadi rumahnya Orangutan semakin terdesak, sehingga mengakibatkan terancam punah saat ini.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar. Namun akibat adanya pembukaan perkebunan sawit sejak 1990, rawa gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.

Berdasarkan data dari BKSDA Aceh, jumlah Orangutan yang sudah tewas sejak tahun 1990 sebanyak 2.850 ekor. Populasi Orangutan di Rawa Tripa tahun 1990 tercatat 3000 individu.

Jumlah tersebut semakin susut seiring tingginya pembukaan lahan sawit di Nagan Raya dan beberapa kabupaten yang masuk Rawa Tripa. Akibatnya pada tahun 2012 jumlah Orangutan yang tersisa hanya 250-300 individu.

Populasi tersebut semakin susut seiring maraknya pembakaran lahan untuk perluasan perkebunan sawit. Pada tahun 2016 lalu, jumlah Orangutan hanya tersisa 150-200 indivusu.

“Pada tahun 2018 ini kita yakini hanya tersisa 150 indivisu,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo beberapa waktu lalu.

Sapto menyebutkan, bila Rawa Tripa tidak segera diselamatkan dan kawasan lindung yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) tidak diimplementasikan dan dikawal dengan baik. Maka Orangutan yang masih tersisa di Rawa Tripa saat ini hanya menunggu waktu akan habis.

Cara satu-satunya selamatkan Orangutan di Rawa Tripa, sebutnya, maka harus dilakukan pemulihan lahan gambut yang sudah terlanjur rusak. Kalau pun tidak bisa dipulihkan di kawasan HGU, minimal di kawasan hutan lindung seluas 11 ribu hektar harus segera diselamatkan dan dipulihkan.

“Orangutan terdesak di areal sawit saat ini, perlu segera diselamatkan Ratwa Tripa untuk selematkan Orangutan,” tegasnya.

Adapun jumlah populasi Orangutan di seluruh Aceh saat ini berdasarkan data tahun 2010, tercatat 6.600-9.000 individu yang ada di Kawasan Ekosistem Leuser. Sedangkan di Rawa Singkil data tahun 2014 lalu tercatat sebanyak 1.472 individu.

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

“M. Salah”, Diselamatkan di Rawa Tripa, Dilepasliarkan di Jantho

Satu individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) berjenis kelamin Jantan berhasil diselamatkan oleh tim dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia dalam program Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Orangutan tersebut terisolir sebuah fragmen hutan kecil dan sempit yang dikelilingi oleh kelapa sawit di Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang merupakan sebagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, Indonesia.

Tim YEL-SOCP yang terdiri dari dokter hewan drh. Pandu Wibisono dan Manajer Operasional SOCP Asril Abdullah, S.Si serta petugas Balai KSDA Aceh berhasil menyelamatkan orangutan dari lokasi tepatnya di Desa Blang Mee (Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan kemudian dibawa ke Pusat Reintroduksi Orangutan SOCP, di kawasan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, dan telah dilepasliarkan kembali ke hutan alam Kamis pagi  (31/08/2018).

Orangutan jantan dewasa ini diberi nama “M. (Mawas) Salah” oleh tim penyelamat di lokasi, karena sambil melaksanakan tugasnya, tim membahas piala dunia sepakbola dan pemain terkenal tim Liverpool di Inggris, Mohamed Salah.

Dari hasil pemerikasaan kesehatan awal, Orangutan “M Salah” diperkirakan berumur antara 30-35 tahun, dan berat badannya sekitar 65 kilogram. Informasi oleh drh. Pandu juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya cukup sehat, apalagi untuk orangutan yang sudah cukup lama hidup di habitat yang sumber makanan alaminya sangat terbatas.

Drh. Pandu Wibisono, menjelaskan, “Hasil cek kesehatan awal, orangutan “M Salah” ini terlihat sehat, hanya saja dia terlihat sedikit stress. Hal tersebut dapat disebabkan karena dia telah terisolasi di daerah seperti ini”.

Manajer Operasional SOCP, Asril, S.Si menyampaikan, “Jika kita tidak melakukan penyelamatan, besar kemungkinan orangutan akan mati disana akibat kelaparan ataupun dibunuh oleh masyarakat. Orangutan Jantan ini dikabarkan sudah mengganggu lahan pertanian masyarakat, termasuk memakan bibit kelapa sawit muda dalam upayanya untuk bertahan hidup.”

Sebenarnya bibit sawit bukan diet alami atau yang sehat untuk orangutan, akan tetapi jika tidak ada sumber makanan lain orangutan ini terpaksa turun dan mencobanya”.

Direktur SOCP, Dr. Ian Singleton dari PanEco Foundation yang juga ikut dalam kegiatan penyelamatan menjelaskan, “Sebenarnya kami merasa sedih jika harus menangkap orangutan liar dan bebas dari habitat aslinya. Tetapi dalam kasus seperti ini dimana habitat aslinya sudah dimusnahkan, tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan ke tempat yang lebih aman di Jantho.”

Orangutan “M Salah” ini akan memiliki kesempatan bertahan hidup dan tetap berkontribusi terhadap generasi orangutan Sumatera, sekaligus untuk pelestarian spesiesnya. Kemungkinan besar dia akan dibunuh jika tidak diselamatkan, maka tidak punya pilihan selain mencoba membantu mentranslokasinya. Dengan begitu, setelah ditranslokasi ke hutan yang lebih aman, “M Salah” akan bergabung dengan lebih dari 100 individu orangutan lain yang telah dilepasliaarkan, sebagai upaya untuk membangun populasi baru spesies sangat terancam punah ini di alam liar”.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, M. Si mengatakan, “Dengan jumlah orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 13.000-an, orangutan Sumatera terdaftar oleh IUCN (Badan Konservasi Alam Dunia) sebagai jenis satwa yang ‘Sangat Terancam Punah’. Selain itu, Orangutan juga dilindungi secara tegas dibawah hukum Indonesia, dengan potensi denda sebesar Rp 100,000,000 dan hukuman kurungan selama 5 (lima) tahun jika membunuh, menangkap, memelihara atau menjualnya”.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal”, tegasnya.

Lokasi penyelamatan orangutan “M Salah” berada di Kawasan Rawa Gambut Tripa, di Kawasan Ekosistem Leuser, yang menjadi fokus masyarakat dunia tahun 2012 ketika terdapat banyak titik api dan kebakaran berskala besar di perkebunan kelapa sawit, yang memusnahkan ribuan hektar hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayatinya, dan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfir. Kejadian ini mengakibatkan beberapa kasus hukum berupa tuntutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Beberapa tuntutan tersebut berhasil memberikan denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara terhadap pengusaha dan pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal,”tegasnya.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 370 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan yang berada di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lebih dari 280 diantaranya telah dilepasliarkan di kedua pusat reintroduksi yang dikelola YEL-SOCP di Provinsi Jambi dan di Jantho, Aceh. Sebanyak 105 orangutan lainnya telah dilepaskan ke hutan Jantho, Provinsi Aceh sejak 2011.[rel]

 

 

read more
Flora Fauna

Orangutan Kembali Dievakuasi dari Kebun Masyarakat Abdya

Seekor Orangutan jantan kembali dievakuasi dari kebun masyarakat yang terletak di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Tim yang beranggotakan personil dari BKSDA Aceh, YEL dan SOCP menyelamatkan orangutan yang berada dalam kondisi malnutrisi. Evakuasi dilakukan pada hari Kamis (30/8/2018).

Orangutan jantan ini diperkirakan berumur sekitar 30 tahun dengan berat badan antara 70-80 kilogram. Jika orangutan ini tidak segera diselamatkan maka keberadaannya terancama oleh pemilik kebun. Orangutan tersebut sudah merambah isi kebun seperti sawit, pisang dan tanaman-tanaman lain yang ada didalam kebun. Masyarakat segera melaporkan keberadaan orangutan tersebut agar hewan yang dilindungi ini dapat diselamatkan.

Staf lapangan YEL, Indrianto, kepada Greenjournalist, Jumat (31/8/2018) mengatakan Orangutan tersebut bisa jadi dulunya merupakan bagian dari orangutan yang habitatnya berada di hutan gambut Rawa Tripa. Namun akibat adanya pembuatan sungat buatan, yang kini dikenal dengan sebutan Krueng Ikueh, maka habitatnya menjadi terpisah. Orangutan ini pun tidak dapat kembali lagi ke habitat asalnya karena sudah terpisah oleh sungai buatan tersebut.

“Sedangkan hutan di sekitar desa Blang Mee nyaris sudah tidak ada lagi, jadi orangutan kesulitan untuk bertahan hidup disitu,”ujar Indrianto. Indrianto sendiri adalah staf YEL yang sehari-hari juga bertugas memantau keberadaan orangutan di kawasan hutan gambut Rawa Tripa.

Orangutan jantan yang diselamatkan tersebut hari Jumat (31/8/2018) sudah dilepasliarkan kembali di Cagar Alam Jantho, Aceh Besar. Dia tidak perlu menjalani perawatan serius karena kondisinya masih tergolong baik dan bisa dilepaskan ke alam liar secepatnya.

Dalam bulan Agustus ini sudah 2 ekor orangutan yang dievakuasi dari Kuala Batee. Tim memperkirakan masih ada sejumlah orangutan yang terjebak dikawasan tersebut dan perlu untuk dievakuasi segera, sebelum menjadi sasaran kejahatan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Sumatran Orangutan Society Luncurkan Video Karakter Komik The Jungle Book

Tokoh-tokoh komik The Jungle Book terbitan Disney tahun 1967, selama beberapa generasi telah menjadi ikon satwa liar yang hidup  di luar jangkauan peradaban. Namun jangkauan itu semakin jauh setiap tahun, dan sekarang organisasi advokasi menggunakan karakter film untuk menunjukkan bagaimana habitat mereka hancur.

Dalam klip  berdurasi 75 detik berjudul “Concrete jungle,” yang dipublikasikan oleh The Sumatran Orangutan Society, penonton dapat melihat karakter Baloo, Shere Khan dan beberapa karakter lainnya yang diadaptasi dari buku The Jungle Book hidup di jalanan kota-kota di seluruh dunia. Mereka menjadi pengungsi dari hutan, kampung halaman mereka yang hancur.

Film ini dibuat oleh agensi kreatif London Don’t Panic, juga menampilkan sampul bertuliskan ” Bare Necessities” dibuat oleh artis Inggris Benedict Benjamin, yang mengubah lagu theme song kebahagiaan Baloo yang sederhana menjadi lagu meditasi melankolis .

“Dengan mengambil karakter Jungle Book yang digemari dan menempatkannya ke lanskap perkotaan, kami berharap membuat semua orang melihatnya dua kali,” kata Direktur Pelaksana Don’t Panic Joe Wade. “Raja Louie, Baloo, dan anggota geng lainnya adalah tokoh abadi untuk orang dewasa dan anak-anak. Tidak ada yang ingin melihat mereka dalam kesulitan. Kami berharap kualitas universal ini mampu melibatkan khalayak yang lebih luas di sekitar masalah deforestasi”.

Video ini adalah bagian penting dari kampanye Sumatran Orangutan Society mengumpulkan dana USD 1,1 juta untuk upaya reforestasi. Kelompok ini membeli lahan yang terdeforestasi dan kemudian mencoba untuk membudidayakannya kembali menjadi habitat satwa liar.

Agak ironis, karakter orangutan King Louie dalam Jungle Book seharusnya tidak ada dalam cerita  ini, mengingat bahwa buku dan film tersebut dibuat di India, sedangkan orangutan adalah asli dari Indonesia dan Malaysia.
Namun video ini bertujuan untuk meningkatkan perhatian bagi Sumatera, tempat orangutan memang hidup — tetapi menderita kerugian ekstrem di tengah kegiatan penggundulan hutan, terutama untuk produksi minyak sawit.

“Kami memiliki kesempatan emas untuk mengamankan area lahan penting di tepi Ekosistem Leuser,” kata Helen Buckland, direktur Sumatran Orangutan Society. “Setelah direklamasi dan dipulihkan, itu akan menjadi rumah bagi ribuan spesies, termasuk orangutan, gajah dan harimau yang kita semua kenali dari film kampanye, selamanya.”

Sumber: David Griner/adweek.com 

 

 

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Selamatkan Orangutan Terisolir di Kebun Sawit Abdya

Meulaboh – Seekor orangutan yang terisolasi di perkebunan sawit di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Provinsi Aceh berhasil dievakuasi oleh Yayasan Ekosistem Lestari Sumatera Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP). Orangutan itu terisolasi setelah kehilangan tempat tinggalnya yang telah dikonversi menjadi lahan kebun sawit.

Koordinator YEL-SOCP Barat Selatan Aceh, Indrianto dalam siaran pers mengatakan Orangutan tersebut berasal dari kawasan hutan sekitar tempatnya terisolasi. “Dia kehilangan tempat tinggal setelah kawasan itu berubah fungsi menjadi kebun sawit warga, sehingga terpaksa menjelajahi wilayah sekitar kebun demi bertahan hidup,” ucapnya di Meulaboh, Jumat (3/8/2018).

Petugas mengangkat orangutan yang dievakuasi dari tengah kebun sawit Abdya | Foto: Syifa Yulinnas – ANTARA

Sejumlah staf YEL bergerak bersama tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, mengevakuasi orangutan yang diperkirakan berumur 15 tahun itu. Orangutan itu terjebak di kawasan kebun sawit warga Desa Geulangan Gajah, Kecamatan Kuala Batee, Abdya.

Menurut data YEL, selama periode 2010 hingga 2018, YEL berhasil menyelamatkan dan mengevakuasi sebanyak 27 orangutan dari beberapa daerah di Aceh dalam kondisi hidup untuk kemudian dilepasliarkan.

“Tiap orangutan yang kita selamatkan maka akan dievakuasi ke kawasan reintroduksi Orangutan Sumatera Cagar Alam Janto. Kemudian direhabilitasi dan diperiksa kesehatannya kemudian bila sudah melewati proses itu segera dikembalikan ke habitatnya,” ujar Indrianto.

Dokter hewan YEL-SOCP, Yenny Saraswati yang menjelaskan, kondisi fisik tubuh orangutan yang dievakuasi tersebut kurus kering mungkin dikarenakan kondisi alam tempat tinggalnya sudah tidak begitu baik.

Yenny yakin dan percaya bahwa masih ada populasi orangutan di kawasan habitat yang sama ditemukan itu. Pihaknya akan berusaha terus melakukan pencarian orangutan agar ketemu, sehingga dapat dievakuasi semua ke cagar alam Janto.

“Saat ini kita masih sedang dalam perjalanan menuju Cagar Alam Janto untuk mengembalikan orangutan berkelamin betina ini agar dapat hidup kembali bersama di habitatnya di sana,” demikian drh Yenny Saraswati.[rel]

 

read more
Flora Fauna

Petugas Sita Orangutan dari Oknum TNI di Aceh Timur

ACEH TIMUR – Seekor individu Orangutan berhasil diselamatkan dari tangan seorang oknum anggota TNI oleh tim gabungan di Gampong Baru, Kecamatan Idie Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/6/2018) tadi pagi.

Tim gabungan yang selamatkan seekor individu Orangutan itu adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Human-Orangutan Conflict Response Unit – Orangutan Information Center (HOCRU – OIC) dan Polsek Idie Rayeuk. Orangutan berusia 2,5 tahun itu sebelumnya dipelihara oleh anggota TNI Langsa selama 2 tahun lebih.

“Orangutan ini sebelumnya dipelihara oleh seorang anggota TNI Langsa selama lebih kurang 2 tahun,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Senin (25/6/2018).

Kondisi Orangutan saat ditemukan dalam kondisi sangat prihatinkan, jauh dari kata layak. Orangutan berada dalam kandang yang kotor dan tinggal bersama seekor monyet lainnya.

Selain itu, kondisi Orangutan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Dimana petugas menemukan sejumlah penyakit kulit di tubuh Orangutan yang cukup serius dan butuh segera dilakukan pengobatan secara intensif.

“Kondisi dari orangutan ini pun terbilang buruk dimana ditemukan sejumlah penyakit kulit yang cukup serius,” jelasnya.

Untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi, Orangutan itu sudah dibawa menuju pusat rehabitasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatera Utara, Medan.

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh.[]

read more
Ragam

Masyarakat Aceh Dan Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser

Pendahuluan 
Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh merupakan kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara yang masih tersisa sampai saat ini. Dengan luas 2,25 juta hektar di Aceh (2,6 juta hektar bila dengan wilayah Sumatera Utara), lokasi ini dianggap benteng terakhir keragaman hayati di Pulau Sumatera setelah kawasan lainnya porak- poranda dalam waktu 20 tahun belakangan ini. Namun di waktu yang akan datang, hutan Leuser akan mengalami nasib yang sama seperti hutan di Riau, Jambi atau Lampung yang telah lebih dahulu musnah – jika Pemerintah Aceh gagal menghentikan kerusakan yang semakin parah akhir-akhir ini.

Sejarah Kawasan Ekosistem Leuser 
Hingga awal abad 19, nama Leuser tidak terdengar di dunia Internasional, tidak sepertinya kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Nama Leuser baru terdengar pada laporan- laporan geologis Belanda pada tahun 1925– 1926 seiring penaklukan Belanda ke lokasi paling tertutup di Aceh kala itu yaitu Gayo Lues. Van Daalen yang memimpin ekspedisi penaklukan ke Gayo pada tahun 1904 menyertakan seorang seorang ahli geologist dan seorang fotografer yaitu HM. Neeb dalam misi terakhir penaklukan Aceh ini yang diikuti dengan pembantaian ribuan rakyat Aceh itu. Foto-foto keindahan alam tanah Gayo dengan pegunungan yang menjulang tinggi yang dihasilkan oleh Neeb telah memikat Ratu Wihelmina sehingga menamakan pegunungan di Alas ini dikenal sebagai Wihelmina-Keten (Abdullah 2004). Penaklukan ini telah direncanakan dengan matang oleh Van Daalem ke lokasi paling indah dan misteri ini, yang kemudian tidak saja menimbulkan rasa takjub pada alamnya tapi lebih jauh lagi melahirkan kisah cinta seorang serdadu dengan wanita pejuang lokal yang secuil kisahnya dapat kita nikmati di novel Bumi Manusia karangan Pramudya Ananta Noer.

Survey-survey geologis yang dilakukan oleh peneliti Belanda setelah penaklukan Aceh kemudian dilanjutkan dengan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya mineral dan kayu di Alas dan Gayo. Namun rencana ini ditentang pemimpin-pemimpin lokal Aceh dari Tanah Gayo, Alas, Blangpidie, Tapaktuan hingga Singkil. Pada tahun 1924 para pemimpin ini menyampaikan permohonan kepada Pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi hutan di Singkil dan Tanah Alas dari pertambangan dan logging. Keresahan akan rusaknya alam dan lingkungan menjadi prioritas utama para pemimpin lokal saat itu. Permohonan untuk melindungi alam ini kemudian ditindak lanjuti oleh dr. F.C. van Heurn, seorang peneliti dan konservasionis Belanda pada tahun 1928 dengan menyiapkan proposal pertama untuk konservasi Leuser yang meliputi bagian barat Sungai Alas menuju Singkil hingga batas laut Singkil. Pada tahun yang sama proposal ini dikirimkan oleh Netherlands Committee for International Nature Conservation kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Pada tahun 1932, F.C. van Heurn menyampaikan proposal kedua untuk melindungi sekitar Gunung Leuser dan Kluet.

Pada tanggal 6 Februari 1934 atau sepuluh tahun protes diajukan, pemimpin- pemimpin lokal Aceh mengadakan pertemuan di Tapaktuan untuk mendeklarasikan kesepakatan melindungi hutan Leuser, yang dikenal sebagai Deklarasi Tapaktuan yang melahirkan Piagam Tapaktuan. Pada tahun 1934 itu juga, Gubernur Aceh van Aken, resmi menetapkan Suaka Margasatwa Gunung Leuser seluas 416.000 hektar sebagai kawasan konservasi. Leuser merupakan kawasan konservasi pertama yang dibentuk atas dasar inisiatif masyarakat lokal. Pendirian kawasan konservasi ini berlanjut ke kawasan lain yaitu SM. Kluet (1936), SM. Langkat Selatan dan Langkat Barat, SM. Sikundur (1936) (Schaik, 1998). Ini merupakan serentetan pembentukan kawasan konservasi yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di tahun 1982. Penunjukan TNGL merupakan satu dari lima taman nasional pertama yang berdiri di Indonesia.

Survey-survey yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1990-an menyebutkan bahwa selain TNGL, kawasan hutan disekitarnya juga bernilai penting bagi konservasi keragaman hayati, dengan fungsi ekologi yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Melindungi TNGL saja tidaklah cukup, melainkan perlu pula melindungi hutan-hutan disekitarnya. Diperkirakan 75 – 80% orangutan, gajah dan harimau – 3 dari 4 spesises kharismatik sumatera – yang hidup di hutan- hutan Aceh justru berada di luar kawasan konservasi. Bukti-bukti ilmiah dan kebutuhan melindungi hutan yang lebih luas meliputi hutan dataran rendah di Aceh menjadi dasar utama para tokoh-tokoh Aceh mendorong pemerintah untuk membentuk Kawasan Ekosistem Leuser. Usulan pembentukan KEL ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Kepres 33/1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Seluruh tata batas KEL telah diresmikan berdasarkan SK Menhutbun No.190/Kpts-II/2001 seluas 2,25 juta hektar di Provinsi Aceh. Pada tahun 2006 seiring disahkannya UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, KEL ditingkatkan statusnya menjadi Kawasan konservasi dimana pemerintah dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan di dalamnya. Pada tahun 2008, pemerintah menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan lingkungan hidup melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pentingnya Kawasan Ekosistem Leuser 
Serentetan keputusan pembentukan KEL diatas menunjukan bahwa KEL sangat penting untuk dilestarikan. Pada tahun 2013, ahli-ahli IUCN yang mempublikasikan hasil penelitian mereka di Jurnal Science, menggolongkan KEL sebagai salah satu situs yang tidak tergantikan di dunia (Sauot et al 2013).

Pentingnya KEL tidak saja diukur dari fungsi ekologi, tetapi juga ekonomi dan nilai- nilai estetika yang tidak dapat dinilai. Studi yang dilakukan oleh Beukering et al pada tahun 2001 terhadap manfaat ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser menyebutkan bahwa jika Kawasan Ekosistem Leuser dilestarikan dalam jangka waktu 30 tahun, akan memberi manfaat yang setara dengan 560 juta US Dollar per tahunnya. Nilai-nilai ini kemudian dikenal dengan Total Economy Value (TEV) yang telah berkembang dewasa ini. Jika kawasan Ekosistem Leuser dieksploitasi untuk kegiatan logging, tambang dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan dalam jangka waktu yang sama nilainya jauh lebih rendah. Artinya Konservasi KEL lebih menguntungkan dari eksploitasi.

Namun sayangnya pemerintah dan masyarakat tidak menyadari nilai yang besar ini karena tidak dirasakan langsung dalam jumlah uang, melainkan dalam bentuk penyediaan air, udara bersih, obat-obatan, pencegahan bencana yang dirasakan dan bersentuhan langsung oleh masyarakat. Dari aspek ekologis masyarakat mendapatkan manfaat secara gratis namun tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menguntungkan. Padahal suplai air yang dihasilkan secara terus menerus bukan saja berguna untuk mengairi lahan pertanian di Aceh dan kebutuhan air masyarakat Aceh, tetapi juga memberikan manfaat bagi pusat industri yang berada bagian timur Leuser khususnya Lhokseumawe.

Setiap tahunnya Kawasan Ekosistem Leuser menghasilkan kurang lebih 200,000 milyar kubik air (BPKEL, 2007). Dari segi keragaman hayati,Leuser merupakan hotspot keragaman tertinggi di Indonesia. Diperkirakan 2/3 dari seluruh jenis burung, mamalia dan tumbuhan di sumatera terdapat di Kawasan Ekosistem Leuser. Leuser merupakan tempat hidup bagi 174 Spesies Mamalia (80% mamalia sumatera, 25% mamalia Indonesia), 382 spesies burung, 191 spesies reptil, 52 spesies amphibian serta 4500 spesies tumbuhan. Kawasan Ekosistem Leuser juga merupakan satu-satunya tempat di di dunia dimana empat spesies kharimastik yaitu Badak sumatera, Harimau sumatera, Gajah sumatera dan Orangutan sumatera hidup di habitat yang sama (koeksistensi). Spesies-spesies ini digolongkan oleh IUCN sebagai Critically Endangered atau akan punah dalam waktu dekat bila tidak ada tindakan konservasi yang tepat. Gajah Sumatera merupakan spesies terakhir dari kelompok ini yang dimasukkan ke dalam Critically Endangered pada tahun 2013 lalu akibat masifnya kehilangan habitat dan populasi satwa tersebut.

Dalam 20 tahun terakhir ini gajah kehilangan 50% habitat dan populasinya. Habitat yang dulunya bersatu dari Aceh hingga Lampung saat ini terpecah menjadi beberapa kantong saja dengan populasi yang terus menerus menurun. Dari seluruh kantong- kantong yang ada ini, Aceh dengan Kawasan Ekosisteem Leusernya merupakan benteng terakhir yang menyisakan populasi yang lebih baik dibandingkan di lokasi lain – walaupun juga mengalami penurunan populasi. Saat ini diperkirakan populasi Gajah sumatera sekitar 1700 individu, dengan 500 individu diantaranya berada di Aceh. Di Kawasan Ekosistem Leuser diperkirakan terdapat 350-400 individu gajah.

Kawasan Ekosistem Leuser juga menjadi harapan terakhir bagi konservasi Badak sumatera. Satwa yang termasuk ke dalam 100 spesies paling terancam punah di dunia ini (Baillie dan Butcher 2012), habitatnya menyusut hingga 99% dari kondisi awal abad 20. Populasi Badak Sumatera diperkirakan kurang dari 100 individu di seluruh dunia (SSC IUCN, 2013). Di Aceh, satwa ini hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser dengan populasi diperkirakan 30 individu (Pusparini, 2013). Namun, data ini masih diperdebatkan karena menggunakan sistem survey harimau sumatera yang memiliki jelajah lebih luas dibandingkan badak. Pengalaman survey-survey di Sumatera menunjukkan bahwa peluang deteksi badak sumatera lebih tinggi bila menggunakan grid yang lebih kecil dibandingkan harimau yang berukuran 17 x 17 km.

Satwa yang lain yang menjadi ikon Leuser adalah Orangutan sumatera. Populasi satwa ini diperkirakan 6,660 individu (Wich et al 2008). Jumlah ini berkurang jauh perkiraan sekitar 85.000 individu pada awal abad 20 (Meijaard dan Rikjsen, 2002). Populasi orangutan hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh dan Sumatera Utara dan Batang Toru di Sumatera Utara (Wich et al, 2011). Populasi baru saat ini sedang dibangun di TN. Bukit Tiga Puluh di Jambi dan Cagar Alam Jantho, Aceh atas inisiasi dari Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) sebagai satwa hasil rehabilitasi seteah sekian lama dipelihara oleh masyarakat. Diperkirakan 78% Orangutan sumatera ada di Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh (Wich et al, 2008).

Kenapa keragaman hayati di Aceh lebih baik dibandingkan tempat lain? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah, karena Aceh masih menyisakan hutan yang cukup luas dengan kerusakan hutan yang relatif lebih rendah dibandingkan wiayah lain di Indonesia. Hutan di Aceh, terutama Kawasaan Ekosistem Leuser merupakan gabungan dari beberapa ekosistem yang kompleks, dari hutan pesisir pantai, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 3000 m dpl. Hal ini tentu berkorelasi dengan keragaman hayati dimana semakin beragam tipe ekosistem akan semakin tinggi pula keragamanhayati yang ada suatu wilayah. Tetapi tentu keragaman hayati tertinggi berada di hutan dataran rendah.

Masyarakat & Leuser 
Faktor lain kelestarian keragaman hayati di Leuser adalah sikap arif masyarakat di sekitar hutan di Aceh yang arif dan hidup seimbang dengan alam. Walaupun akhir-akhir ini perilaku ini mengalami perubahan yang sangat drastis mengikuti modernisiasi dan komersialisasi yang nyaris tidak terbendung. Masyarakat yang hidup di sebagain wilayah Aceh masih merawat alam dengan baik dan memanen untuk secukupnya, bukan dengan menghabiskan sumber daya alam yang ada.Masyarakat juga hidup dari sumber ekonomi langsung dari hutan. Di Kappi, Gayo Lues, ribuan masyarakat hidup dari memanen ikan jurong (Tor spp) yang bernilai komersial tinggi (Putra, 2014). Mereka memberlakukan denda bagi pelaku pemanenan ikan dengan menggunakan racun atau bom.

Di Rawa Tripa, walaupun tergerus oleh perkebunan kelapa sawit besar, masyarakat lokal hidup dari memanen ikan limbek dari rawa gambut.Saat lahan ini dirusak oleh oleh perkebunan kelapa sawit, penghasilan mereka kini jauh berkurang. Di Aceh Tamiang, masyarakat yang menderita karena bencana banjir bandang pada tahun 2006 lalu telah berani bertindak dengan menghentikan ekspansi perkebunan illegal. Di Ketambe, masyarakat yang hidup dari turisme berusaha melindungi hutan mereka dari kerusakan.

Pembentukan kawasan perlindungan alam atas prakarsa pemimpin Aceh merupakan bukti bahwa masyarakat Aceh sejak dulu kala hidup selaras dengan alam. Letnan Herman Agerbeek, selaku komandan militer Belanda di Gayo sangat menikmati masa-masa bertugas di daerah yang dikelilingi oleh hutan Leuser tersebut. Dengan kemampuan berbahasa Gayo ia sering makan-makan bersama penduduk, menikmati syair-syair lokal hingga ia dikenal sebagai dengan julukan anak ni gayo (Abdullah, 2004).

Hidup selaras dengan alam menjadi cermin dari masyarakat Aceh. Jauh sebelum deklarasi Tapaktuan tahun 1934, Penghargaan yang tinggi terhadap alam dapat dilihat dari perlakuan pemimpin Aceh terhadap satwa liar. Sultan Iskandar Muda sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan Aceh, di masa kejayaannya mempunyai angkatan darat dan laut yang besar, terdiri dari tentara berkuda dan 1000 tentara gajah. Sultan mempunyai gajah yang bergading yang dihiasi dengan emas, batu permata, ratna mutu manikam. Gajah digunakan sebagai sarana transportasi untuk menyambut tamu-tamu kehormatan kerajaan.

Kearifan terhadap keragaman hayati ini telah jauh tergerus dalam masyarakat Aceh. Gajah yang dulu sangat dihormati sehingga digelari dengan Po meurah, Tengku Rayeuk dan panggilan lainnya, kini dianggap sebagai hama dan dibunuh. Setiap tahun diperkirakan 20 – 30 ekor gajah mati terbunuh di Aceh. Konflik manusia – satwa liar terjadi di hamper seluruh Leuser setiap tahunnya akibat makin berkurangnya habitat satwa.Pembukaan kebun besar-besaran oleh HGU, pemodal dan masyarakat local telah menghancurkan sebahagian besar wilayah-wilayah penting keragaman hayati. Masyarakat lokal yang dulu tidak merusak hutan kini semakin banyak terlibat dalam kegiatan yang berlawanan dengan nilai konservasi tersebut.

Di tempat-tempat terpencil di dalam Leuser saat ini dengan mudah ditemukan perambahan, illegal logging dan pertambangan. Saat ini Leuser menghadapi ancaman yang sangat besar. Rencana tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang tidak mengakui Kawasan Ekosistem Leuser akan menjadi ancaman jangka panjang KEL. Pembangunan infrastruktur yang masif, ekspansi perkebunan dan pertambang dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak saja menghancurkan hutan Leuser, tetapi juga merusak sumber kehidupan masyarakat Aceh. Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser seharusnya menjadi modal Aceh untuk membangun.[]

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 

 

read more
1 2 3 4 5 7
Page 3 of 7