close

orangutan

Green Style

Polda Aceh Sosialisasikan Nomor Hotline Kejahatan Lingkungan

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada hari Kamis (19/11/2015) di Aula Polres Aceh Jaya melakukan tatap muka dan diskusi dengan para penegak hukum di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Pesertanya antara lain Kanitreskrim, KBO, Kanit Tipiter, Kapolsek, Jaksa dan Hakim, PPNS di lingkungan Pemda Kab.Aceh Jaya, tokoh masyarakat serta media massa.

Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Aceh, AKBP Mirwazi, SH.,MH., dalam kesempatan tersebut mensosialisasikan kembali tentang nomor hotline SMS untuk Pengaduan Kejahatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) di nomor 08116771010.

Fasilitas SMS hotline ini sebelumnya telah diluncurkan pada tanggal 27 Januari 2015 di Banda Aceh. Sosialisasi di Aceh Jaya dilakukan mengingat prevelansi kasus kejahatan SDA yang tinggi pada beberapa wilayah di Aceh.

Polda Aceh menghimbau kembali kepada masyarakat luas untuk melaporkan kejahatan lingkungan dan SDA melalui SMS dengan format seperti berikut : nama polsek, nama gampong, isi pesan. Misalnya : Polsek Kluet Selatan, Gampong Kandang, ada oknum memelihara satwa liar yang dilindungi.

Adapun pelaporan kejahatan meliputi : 1. kejahatan kehutanan, 2. pertambangan, 3. migas, 4. lingkungan hidup, 5. perikanan/ilegal fishing, 6. perkebunan dan 7. Konservasi SDA.

Dit Reskrimsus juga mengatakan fasilitas SMS ini lahir dari semangat dan upaya peningkatan pelayanan Polda Aceh kepada masyarakat, khususnya dalam mengurangi angka kejahatan lingkungan dan SDA, serta menciptakan pelayanan masyarakat yang cepat, murah dan efektif.

Pada hari yang sama, pihak Ditreskrimsus Polda Aceh dan BKSDA Aceh juga membagikan spanduk, poster dan stiker kepada seluruh jajaran penegak hukum di kewilayahan dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini akan memudahkan masyarakat luas untuk melihat dan mengingat nomor pengaduan kejahatan TSL.

Pihak BKSDA Aceh yang selama ini telah bekerja-sama dengan Polda Aceh dalam penanganan kejahatan SDA juga turut memberikan penjelasan terkait tugas pokok dan fungsi BKSDA dalam penanganan kasus-kasus pidana Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi di wilayah Aceh. Sebuah SOP antara Penyidik Polda Aceh dan PPNS BKSDA Aceh juga sedang disusun untuk memberikan panduan yang jelas terkait penanganan kasus TSL secara terpadu yang lebih efisien dan efektif. Acara ditutup dengan diskusi tanya jawab antar peserta dengan pihak Ditreskrimsus Polda Aceh dan BKSDA Aceh terkait perkembangan berbagai kasus terkini di bidang SDA.[rel]

read more
Flora Fauna

Penjual Orangutan Sumatera Divonis 2 Tahun & Denda 50 Juta

Pengadilan Negeri Langsa menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 tahun dan denda senilai Rp 50 juta subsidair 3 bulan penjara terhadap Ramadhani, terdakwa perdagangan orangutan Sumatera dan satwa dilindungi lainnya. Keputusan ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Zulham Pardamean Pane, SH yang meminta tersangka dituntut hukuman pidana penjara 3 tahun dan denda 50 juta rupiah subsider 6 bulan penjara. Keputusan vonis tersebut dibacakan pada tanggal 19 November 2015 oleh Hakim Ketua Ismail Hidayat, SH dengan hakim anggota Sulaiman M,SH,MH dan Fadhli, SH.

Terdakwa terbukti bersalah telah melakukan perdagangan orang utan secara online dan menerima putusan, begitu juga Jaksa Penuntut Umum. Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdakwa dapat dipenjara maksimal 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.

Ramadhani ditangkap tangan oleh  Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA) Aceh bersama Subdit Tipidter Polda Aceh di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh Timur pada tanggal 1 Agustus 2015. Dalam operasi tersebut, tim BKSDA menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan.

Sehubungan dengan kasus tersebut, Kepala BKSDA Aceh Genman Hasibuan, mengatakan dengan hukuman 2 tahun dan denda 50 juta ini mudah-mudahan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan lingkungan hidup, termasuk perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Sementara Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo menyampaikan vonis hukuman untuk pedagang orangutan ini merupakan vonis yang pertama di Aceh. Belum pernah ada kasus pedagang orangutan di Aceh yang dihukum penjara oleh pengadilan. ” Hal ini menjadi catatan yang sangat penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup di Aceh,”ujarnya.

OIC sangat mengapresiasi kinerja BKSDA Aceh dan Subdit Tipidter POLDA Aceh dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi. OIC memantau kasus ini sejak awal dan menurut OIC hukuman terhadap Ramadhani sebenarnya cukup ringan sekali karena pelaku terbukti menjual tiga bayi orangutan dan satwa-satwa dilindungi lainnya.

Pada bulan Juli 2015 yang lalu, seorang pedagang satwa yang menjual satu orangutan di Medan dijatuhi hukuman 2 tahun dan denda 10 juta rupiah oleh pengadilan negeri Medan. Ini membuktikan bahwa kasus-kasus terkait dengan satwa dilindungi tidak dianggap serius oleh pengadilan. Padahal satwa-satwa dilindungi tersebut adalah asset negara yang nilainya tidak terukur dan negara rugi besar dengan adanya praktek pengambilan dan perdagangan satwa secara illegal karena satwa-satwa ini penting untuk manjaga kelangsungan dan keseimbangan ekosistem alam yang memberi manfaat banyak bagi masyarakat luas.[rel]

read more
Flora Fauna

BKSDA Aceh Tangkap Pedagang Hewan Liar

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh berhasil menangkap tangan seorang pedagang satwa liar di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh Timur. Dalam operasi tersebut, tim menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Kesemua satwa tersebut merupakan satwa dilindungi. Tersangka langsung ditahan di markas Polda Aceh.

Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh menyatakan  penangkapan ini merupakan yang terbesar pertama di Aceh dimana pedagang berhasil ditangkap bersama dengan tiga bayi orangutan sekaligus. Menurutnya sukses operasi ini berkat dukungan tim yang solid dari Polda Aceh, Orangutan Information Centre (OIC) dari Medan dan Centre for Orangutan Protection (COP) dari Jakarta. ” Tugas berat selanjutnya adalah memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat – beratnya sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.”

Sementara itu, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto, mengatakan bahwa  induk dari 3 bayi orangutan yang disita sudah dibunuh oleh pemburunya. Tanpa penegakan hukum yang keras, korban orangutan akan terus berjatuhan. Ia menambahkan hukuman yang ringan hanya akan membuat para penjahat kembali ke bisnisnya karena keuntungannya sangat besar. Dari tangan pemburu, seorang pedagang mendapatkan harga antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah dan kemudian dijualnya di pasaran seharga 5 sampai 10 juta rupiah. Di pasaran internasional, harga bayi orangutan ditaksir 400 jutaan rupiah.

Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo,  menyebutkan hampir sebagian besar satwa liar yang diperdagangan adalah tangkapan dari alam, termasuk dari Ekosistem Leuser. Perburuan dan perdagangan seringkali menimbulkan penderitaan dan kematian yang tidak perlu pada satwa liar dan mengacaukan ekosistem. ” Sudah saatnya Indonesia serius memerangi kejahatan ini. OIC akan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal, yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”[rel]

read more
Flora Fauna

COP Desak Angkasa Pura Batalkan Rencana Kebun Binatang

Rencana PT. Angkasa Pura 2 membangun kebun binatang sebagai bagian dari bandara (airport zoo) di Jambi menuai pro dan kontra. Dimana Airport zoo ini berpotensi besar memperburuk penderitaan satwa liar. Kebun binatang seharusnya dibangun sebagai benteng terakhir upaya penyelamatan satwa liar di luar habitatnya.

“Pembangunan kebun binatang berdampingan dengan airport menjadi rencana konyol. Dimana pihak PT. Angkasa Pura 2 akan mengaplikasikan dengan mimpi menggabungkan bandara dan kebun binatang menjadi satu lingkup. Pembangunan kebun binatang tidak hanya cukup mengumpulkan satwa dan menjadikannya tontonnan namun ada kaidah kesejahteran satwa yang patut diperhatikan dalam upaya pengelolaan kebun binatang. Ketika kesejahteraan satwa masih menjadi masalah di kebun binatang di Indonesia pembangunan bandara dengan konsep penggabungan dengan kebun binatang dikhawatirkan akan memperburuk potensi penderitaan satwa di kebun binatang tersebut,” kata Kordinator Konservasi Ex Situ COP, Daniek Hendarto.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi disebutkan bahwa Kebun Binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi dan reintroduksi alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat.

“Bandara dengan pengabungan kebun binatang dikhawatirkan akan menimbulkan stres dari dampak suara gemuruh dan bising pesawat. Langkah yang bijak dilakukan adalah PT. Angkasa Pura 2 membatalkan rencana ini dan mendukung upaya program konservasi yang sudah ada di Kebun Binatang Jambi. Misalnya membantu upaya meningkatkan kesejahteraan satwa yang ada di Kebun Binatang Jambi tanpa perlu membangun lokasi baru atau bahkan mendatangkan koleksi satwa baru,”ujar Daniek Hendarto.

Kebun binatang adalah bisnis yang sarat modal dan banyak kebun binatang gagal mengaplikasikan konsep kesejahteraan satwa dengan tujuan mengejar keuntungan.

“Kebun binatang di Indonesia masih memiliki permasalahan dengan kesejahteraan satwa koleksinya. Sudah sepantasnya pihak Kementrian Kehutanan menghentikan pengeluaran ijin lembaga konservasi baru. Saatnya Kementrian Kehutanan bersama Perhimpunan Kebun Binatang Indonesai (PKBSI) melakukan audit kepada seluruh kebun binatang di Indonesia dan memberikan standar serta pembinaan dalam upaya peningkatan kesejahteraan satwa,”jelas Daniek Hendarto.[rel]

read more
Hutan

Produsen Ternama Ikut Merusak Hutan Hujan Indonesia

Procter & Gamble, produsen Head & Shoulders , menggunakan sumber minyak kelapa sawit dari perusahaan yang terkait perusakan habitat orangutan di Indonesia, membuat mereka menjadi bagian dari skandal perusakan hutan hujan. Hal tersebut terungkap dalam temuan sebuah penyelidikan panjang yang dilakukan oleh Greenpeace. Dalam temuan tersebut, diungkapkan bahwa kebijakan pembelian yang dimiliki P&G saat ini, juga menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka juga terkait kebakaran hutan dan perusakan habitat satwa seperti harimau sumatera yang mendorong spesies langka ini menuju kepunahan .

Minyak kelapa sawit adalah bahan yang umum untuk membuat deterjen, shampoo, kosmetik dan barang-barang rumah tangga lain yang diproduksi oleh P & G.

“Produsen Head & Shoulders harus berhenti membawa kehancuran hutan hujan ke dalam produk perawatan tubuh kita. Mereka harus membersihkan tindakan mereka dan menjamin pelanggan bahwa produk ini ramah. Procter & Gamble harus mengikuti jejak perusahaan pengguna minyak sawit lainnya seperti Unilever, Nestle dan L’ Oréal, yang telah berjanji untuk membersihkan rantai pasokan mereka , ” kata Kepala Kampanye Hutan Indonesia, Bustar Maitar, dari Greenpeace Internasional.

Greenpeace menemukan bahwa habitat orangutan sedang dihancurkan di konsesi perkebunan kelapa sawit yang menjadi bagian dari rantai pasokan P&G. Lahan yang digunakan untuk kelapa sawit adalah milik BW Plantation Group, sebuah perusahaan yang terhubung rantai pasokan P&G, yang juga berhubungan dengan kematian dan kuburan orangutan di dekat Taman Nasional Tanjung Puting. Dalam kasus lain, Greenpeace mendokumentasikan pembukaan hutan yang sedang berlangsung dalam konsesi dari dua produsen yang diketahui langsung memasok ke P&G.

“Kami sudah berhadapan dengan P&G selama delapan bulan terakhir dengan isu bagaimana mereka mengekspos konsumen untuk perusakan hutan. Alih-alih segera mengambil tindakan, perusahaan ini malah hanya melakukan pencitraan hijau (greenwashing). Saatnya P & G berkomitmen 100% untuk perlindungan hutan dan berhenti membuat pelanggan menjadi bagian dari kepunahan harimau sumatera,”kata Wirendro Sumargo, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki kebijakan yang kuat untuk memutus deforestasi dari produk mereka dapat terkait dengan praktek ilegal di wilayah berisiko tinggi, seperti Provinsi Riau di Sumatra . Contohnya adalah konsesi PT Rokan Adi Raya, yang merupakan bagian dari habitat harimau ditambah lahan gambut yang dalam, serta terkait dalam pembukaan hutan skala besar dan kebakaran yang tidak terkendali tahun lalu. Pada Juni 2013, lebih dari 150 titik api tercatat dalam konsesi ini. Banyak dari pemasok kelapa sawit P&G berasal dari Dumai, pelabuhan utama provinsi Riau.

“Greenpeace percaya kelapa sawit harus membuat kontribusi nyata terhadap pembangunan Indonesia. Produsen minyak sawit progresif yang tergabung dalam Palm Oil Inovasi Group, membuat komitmen ambisius seperti pemain minyak sawit besar lainnya seperti GAR dan Wilmar, membuktikan bahwa ada bisnis kelapa sawit yang lebih bertanggung jawab. Tidak ada alasan bagi perusahaan seperti P&G, Reckitt Benckiser dan Colgate Palmolive untuk segera mengatasi tindakannya terhadap deforestasi,” kata Bustar Maitar.

Hutan Indonesia menghilang setara dengan luas sembilan kolam renang Olimpiade setiap menitnya, dengan minyak sawit menjadi pendorong terbesar dari kerusakan hutan. Melalui kampanye global yang diluncurkan hari ini, Greenpeace menuntut Procter & Gamble agar mengakhiri perannya dalam perusakan hutan.

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Seberapa Bersih Minyak Sawit Anda?

Pagi hari ketika Anda mandi atau sarapan, berhentilah sejenak dan perhatikan apa yang Anda pegang. Sabun yang Anda gunakan atau margarin yang Anda oleskan di roti, atau minyak yang anda gunakan untuk membuat nasi goreng mengandung sebuah bahan baku penting yaitu minyak sawit.

Bila hari-hari ini Anda sering mendengar minyak sawit atau minyak nabati menjadi topik pembicaraan, itu tak lain karena perannya yang semakin penting dalam kehidupan kita sehari-hari, dan karena itu menjadi sangat krusial untuk memastikannya ia dihasilkan dengan cara-cara yang lebih bertanggung-jawab.

Minyak sawit adalah minyak nabati yang berasal dari sejenis pohon kelapa (palem) yang asalnya berasal dari Afrika Barat. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku hampir seluruh produk yang kita gunakan setiap hari, ia ada di hampir setiap sudut rumah kita. Minyak ini memiliki keunggulan sifat yang tahan oksidasi, dan dengan tekanan tinggi mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, juga mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.

Sayangnya, seringkali sistem pengolahan bertanggung-jawab terlewatkan dalam proses pengolahan minyak sawit. Akhirnya kita mengenal istilah minyak sawit kotor dan minyak sawit bersih. Minyak sawit bersih adalah minyak sawit yang diolah dengan prinsip bertanggung-jawab atau berkelanjutan  dengan tidak merusak hutan dan lahan gambut yang memiliki kandungan karbon tinggi, menghormati hak-hak masyarakat lokal dan buruh serta dihasilkan dari sumber-sumber legal yang terlacak dan tidak terhubung dengan hal-hal diatas.

Mari lihat lagi produk-produk yang kita pakai setiap hari, karena besar kemungkinan kita pun tanpa sadar terkait dengan pengrusakan hutan ketika menggunakan produk dengan kandungan minyak sawit kotor tersebut. Tapi selalu ada pilihan untuk melakukan sesuatu. Kita bisa mendesak produsen untuk segera mulai memakai minyak sawit bersih dalam rantai produksi mereka, dan dengan demikian kita telah ikut menjaga hutan dan tidak terkait dengan penggunaan minyak dari proses yang bersifat merusak.[]

Sumber: greenpeace.co.id

read more
Flora Fauna

Orangutan, Dilindungi Tapi Diburu

Deforestasi adalah salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati yang ada, salah satunya adalah Orangutan yang terdapat di Sumatera dan Kalimantan yang keberadaannya kini semakin terancam. Hilangnya hutan sebagai akibat pembukaan lahan untuk perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet menyebabkan konflik antara Orangutan dengan manusia semakin nyata.

Beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seperti pembantaian Orangutan di Kalimantan Timur adalah bukti adanya konflik tersebut. Padahal, Orangutan adalah salah satu primata yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Jamartin Sihite Acting CEO The Borneo Orangutan Survival Foundation mengatakan, Secara internasional melalui Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora – CITES telah memasukkan Orangutan sebagai salah satu satwa yang dilindungi karena terancam kepunahannya dan Indonesia telah meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya pelanggar terhadap peraturan ini diancam dengan pidana kurungan selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta.

“Bahwa menangkap, melukai, dan membunuh Orangutan adalah melanggar pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990,” katanya.

Menurut Dia, konflik antara Orangutan dengan manusia disebabkan oleh adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang mengakibatkan satwa dilindungi ini masuk ke perkampungan penduduk untuk mencari makan, ancaman selanjutnya adalah kebakaran hutan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Conferency on Parties (COP) ke 13 Tahun 2007 di Bali mengatakan, bahwa Orangutan memiliki peran penting dalam climate change (perubahahn iklim), ketika Orangutannya ada, pasti hutannya sehat serta memiliki peran dalam perubahan iklim. Salah satu rencana aksi konservasi primata ini adalah penegakan hukum terhadap kasus-kasus menyangkut satwa dilindungi ini.

Jamartin CEO mengatakan, kendala lainnya adalah saat melakukan rescue atau pertolongan terkait Orangutan agar dipermudah birokrasi perizinannya. Selama ini, izin perlengkapan senjata bius untuk rescue terhadap primata dilindungi ini melalui beberapa pintu, seperti Bea Cukai, Kepolisian, baik Mabes Polri juga Polda dan bahkan sampai  Badan Intelejen. Hal inilah salah satu hambatan dalam proses rescue tersebut.  “Padahal itu merupakan tugas Negara, menyelamatkan asset Negara,” ujarnya.

Dia juga mengatakan, terkait Orangutan yang masuk ke perkampungan penduduk yang disebabkan hutannya di buka oleh swasta oleh karena itu swasta juga harus ikut bertanggung jawab dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat bahwa kalau ada Orangutan masuk perkampungan jangan dibunuh.

Hardi Baktiantoro Principal Centre for Orangutan Protection – COP mengatakan, satu ekor anak Orangutan yang sampai ke pusat penyelamatan itu mewakilkan 2 hingga 10 ekor  Orangutan yang mati dan tidak dilaporkan dan itu masuk akal. “Saat rescue Orangutan tidak selamanya berhasil. Ada yang tertusuk tangannya ada yang kena ranting dan umumnya bayi yang diselamatkan juga tidak bisa survive,” katanya.

Populasi Orangutan di Kalimantan berdasarkan data pada 2004 sebanyak 52 ribu ekor. Sedangkan di Sumatera sebanyak 5.500 ekor. Khusus populasi liar yang bertahan saat ini hanya terdapat di daerah barat laut pulau Sumatera, tepatnya berada di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Sumber: ekuatorial.com

read more
Flora Fauna

Taman Nasional Kutai Dapat Keluarga Baru Orangutan

Kabar gembira datang dari Taman Nasional Kutai (TNK) yang terletak di Kabupaten Kutai Timur, provinsi Kalimantan Timur. Jumlah orangutan kalimantan penghuni taman nasional ini bertambah lagi setelah Putri orangutan betina berumur sekitar 30 tahun kembali melahirkan anak.

“Putri adalah orangutan betina yang berdomisili di kawasan penelitian Bendili – Mentoko dan telah melahirkan bayinya sekitar 3 minggu yang lalu” kata Purwo Kuncoro, Field Research Manager, Orangutan Kutai Project. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Purwo dan tim nya selama 3 tahun terakhir Putri telah memiliki 2 anak. Pur, anak Putri terdahulu diperkirakan telah berumur lebih dari lima tahun.

Menurut Purwo jarak kelahiran 5 hingga 6 tahun adalah jarak kelahiran normal bagi orangutan Kalimantan. Sedikit berbeda dengan kerabatnya yang berada di Sumatra, orangutan Sumatra memiliki jarak kelahiran yang sedikit lebih lama yaitu 6 hingga 7 tahun.

Kalimantan adalah satu dari dua pulau di Asia yang menjadi habitat orangutan. Di pulai ini terdapat 3 subspesies orangutan, yaitu : Pongo Pygmaeus Pygmaeus yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, Pongo Pygmaeus Wurmbii yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah dan Pongo Pygmaeus Morio yang mendiami wilayah Kalimantan Timur.

“Pongo Pygmaeus Morio adalah subspesies orangutan kalimantan yang mampu beradaptasi dengan kondisi alam yang ekstrim” ungkap Purwo. Yang dimaksud dengan kondisi alam yang ekstrim menurut Purwo adalah kondisi hutan Kalimantan Timur yang memiliki iklim yang lebih kering karena jarang turun hujan. Kualitas tanahnya yang miskin mengakibatkan minimnya produktifitas hutan di wilayah ini.

“Hutan Kalimantan Timur tidak banyak menyediakan variasi jenis pakan sehingga orangutan di wilayah ini menjadikan kulit kayu sebagai variasi pakannya. Kebiasaan memakan kulit kayu ini menjadikan orangutan disini memiliki rahang yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kerabatnya di Kalteng dan Kalbar” jelas Purwo. Kondisi alam yang berbeda dengan wilayah lain di Kalimantan ini menurutnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi dan evolusi orangutan Kalimantan Timur.

Pada tahun 2010 Balai TNK, Universitas Mulawarman dan Orangutan Conservation Services Program (OCSP) melakukan survey populasi orangutan di TNK. Hasil survey ini memperkirakan setidaknya terdapat 2.000 orangutan yang hidup dalam kawasan dengan luas 198.629 hektar ini. Perambahan, perburuan satwa dan penyelesaian konflik lahan antar masyarakat dan pemerintah yang lamban mengakibatkan kondisi taman nasional ini semakin memprihatinkan. Kondisi ini juga mengakibatkan ancaman bagi keberlangsungan hidup orangutan dan satwa lain yang berada dalam kawasan yang statusnya dilindungi ini meningkat tajam.[]

Sumber: mongabay.co.id

read more
1 3 4 5 6 7
Page 5 of 7