close

orangutan

Hutan

Mengapa Deforestasi Terjadi dan Hutan Hujan Penting?

Hutan hujan adalah sesuatu yang dunia tidak terjadi begitu saja. Lingkungan hutan yang berharga ini, yang terdapat ditemukan di berbagai tempat, adalah rumah bagi banyak spesies yang terancam punah serta suku-suku asli. Tapi penggundulan hutan, yang disebabkan oleh industri, telah melenyapkan sebagian besar dari hutan tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Apa yang menyebabkan deforestasi? Apa efeknya di planet kita dan makhluk yang menempatinya? Antara tahun 2000 dan 2012, hutan seluas 2,3 juta kilometer persegi (890.000 sq mi) di seluruh dunia ditebangi. Penebangan ini telah menyebabkan kehancuran beberapa spesies hewan, flora, fauna dan tempat tinggal masyarakat adat.

Tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat meskipun ada upaya internasional untuk menghentikan penyebab deforestasi. Penyebab deforestasi membuatnya sulit untuk diatasi karena melibatkan uang yang sangat banyak.

Saat ini industri minyak sawit adalah salah satu pelanggar terburuk, karena pohon yang menghasilkan minyak paling subur di Afrika, Indonesia, Asia, Amerika Utara dan Amerika Selatan tumbuh di mana hutan hujan berada. Menurut WWF, setiap jam area hutan hujan seluas 300 lapangan sepakbola dibersihkan untuk membuka jalan bagi pohon-pohon kelapa sawit untuk ditanam.

Gas beracun yang dilepaskan saat kayu dibakar untuk membuat ladang minyak sawit telah menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia.

Penyebab lain deforestasi termasuk penebangan liar, penambangan logam, perburuan liar (yang menjadi lebih umum ketika industri terlibat dalam deforestasi), panen kayu bakar, kebakaran hutan dan perubahan iklim, ditambah dengan penciptaan perkebunan, jalan dan infrastruktur.

Deforestasi bahkan digunakan sebagai taktik militer oleh Amerika dalam Perang Vietnam, dengan pestisida dan defoliant disemprotkan di area hutan untuk menghancurkan pohon-pohon dan menumpas musuh.

Perusakan hutan ini, yang mencakup kurang dari 30 persen dari planet ini, memiliki konsekuensi serius bagi kita semua. Penghilangan pohon tanpa reboisasi yang memadai telah mengakibatkan kerusakan habitat, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kegersangan. Para pemimpin dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan bahwa hutan hujan kita yang tersisa dilestarikan.

Dalam 10 tahun populasi orangutan akan mati karena habitat mereka dihancurkan, dan banyak lagi spesies yang berada dalam bahaya. Menebang dan membakar pohon secara massal berdampak buruk pada penangkapan dan penyimpanan alami karbon dioksida.

Deforestasi berkontribusi pada pemanasan global dengan cara ini. Semakin banyak yang terjadi semakin banyak hutan menjadi kering, dan semakin rentan mereka terhadap kebakaran hutan yang menyapu bersih seluruhnya.

Saat ini Taman Nasional Gunung Leuser di Indonesia adalah satu-satunya situs di mana hewan-hewan seperti orangutan dapat hidup dengan aman dan berkembang tanpa ancaman habitat mereka hancur.[]

Sumber: metro.co.uk

read more
Flora FaunaHutan

Irmelin dan Agan Akhirnya kembali ke Habitatnya

Banda Aceh – Pada hari Selasa (08/05/2018), Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP) kembali mengirim dua Orangutan Sumatra ke Pusat Reintroduksi Orangutan di Jantho, Aceh. Mereka adalah Irmelin dan Agan.

Irmelin merupakan orangutan betina muda berusia sekitar 5 tahun, dan Agan orangutan jantan muda berumur sekitar 7 tahun. Keduanya dulu dipelihara sebagai satwa peliharaan ilegal sebelum disita pada tahun 2016. Mereka kemudian dirawat di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan SOCP di Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara.
Hari ini mereka akan memulai fase baru dalam proses rehabilitasi dan reintroduksi, dan nanti akan dilepaskan sepenuhnya ke alam liar.

“Ini selalu merupakan momen yang sangat istimewa ketika orangutan ini lulus dari Pusat Karantina dan Rehabilitasi kami, kemudian melanjutkan ke tahap berikutnya untuk proses reintroduksi,” ungkap Dr. Ian Singleton, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera.

“Sangat menyenangkan melihat perkembangan mereka sejauh ini, apalagi mengingat beberapa dari mereka tiba pertama kali dalam kondisi yang menyedihkan. Kini kita akan melihat mereka kembali hidup bebas di hutan,” tambah Ian.

Kedua orangutan ini akan bergabung dengan banyak orangutan lainnya yang telah direintroduksi sebelumnya ke Cagar Alam Hutan Pinus Jantho, Aceh. Hingga saat ini, 105 individu orangutan telah dilepasliarkan di sana. Hal ini sesuai dengan misi SOCP yang secara bertahap ingin membentuk populasi baru orangutan yang hidup liar dan mandiri.

“Sebelum kami memulai kegiatan reintroduksi di Jantho, tidak ada populasi orangutan liar disana. Dengan melepaskan orangutan seperti Irmelin dan Agan, ini akan mendorong terciptanya populasi liar yang benar-benar baru dan mandiri dari spesies terancam punah ini,” Ujar Drh Citrakasih, Supervisor Pusat Karantina dan Reintroduksi Orangutan YEL-SOCP.

Bukti nyata bahwa keinginan menciptakan populasi baru dan mandiri orangutan ini berjalan dengan baik adalah dengan telah lahirnya dua bayi orangutan di hutan Jantho pada tahun 2017, dari induk orangutan yang sebelumnya dilepasliarkan di sana pada tahun 2011 lalu.

Pada September 2017, tim pemantauan orangutan pasca-pelepasliaran SOCP bertemu dengan satu orangutan betina dewasa bernama Marconi, membawa satu bayi jantan berusia sekitar 11 bulan, yang diberi nama Masen. Lalu hanya dalam beberapa minggu kemudian, pada November 2017, Orangutan Mongki juga terlihat sedang bersama bayi orangutan yang baru berumur beberapa minggu, yang kemudian diberi nama Mameh. Kedua induk baru ini telah dilepasliarkan di Jantho tahun 2012. “Kami sangat senang melihat dua bayi baru ini karena terlahir di alam liar, di habitat aslinya,” kata Mukhlisin, Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan SOCP di Jantho.

Sementara itu, Irmelin dan Agan akan terlebihi dahulu menjalani fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka, pengasuh baru mereka, serta jenis-jenis makanan baru yang mereka akan ketemu setelah lepas di dalam hutan. Ketika kemudian nanti dilepasliarkan sepenuhnya, mereka akan tetap dimonitor secara ketat oleh tim pemantau pasca pelepasliaran SOCP. Apabila semuanya berjalan dengan baik, dan mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan di alam liar, dalam beberapa tahun kedepan mereka akan menghasilkan bayi mereka sendiri, dan akan menjadi bagian ‘pendiri’ populasi baru orangutan di Hutan Jantho.

Irmelin saat dipelihara illegal oleh masyarakat, sebelum disita oleh KSDA Aceh dan SOCP | Foto: Nanang Sujaya

“Sangat senang mengetahui bahwa orangutan yang sering dijadikan sebagai hewan peliharaan ilegal, yang tak jarang dalam kondisi menyedihkan, dapat pulih dari traumanya dan belajar menjadi orangutan liar lagi, bahkan dapat berkontribusi dalam jangka panjang untuk kelangsungan generasi spesies mereka berikutnya,“ menambah Dr Singleton.

Sapto Aji Prabowo, M. Si, Kepala Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, juga menjelaskan, “Hingga saat ini, kegiatan reintroduksi dan menciptakan populasi baru orangutan yang mandiri di Jantho sangat berhasil. Akan tetapi kami masih perlu menangani akar masalah di lapangan, fakta bahwa orangutan seperti Irmelin, Agan dan banyak yang orangutan lain yang masih ditangkap dan dipelihara secara ilegal sebagai hewan peliharaan.”

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh. [rel]

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Orangutan Tapanuli yang Langka Terancam Punah oleh Megaproyek

Dalam sebuah artikel penelitian terbaru, tim peneliti internasional menyimpulkan bahwa Orangutan Tapanuli – spesies yang ditemukan tahun lalu di Sumatra, Indonesia, dan salah satu hewan paling langka di planet ini – dapat kehilangan perjuangannya untuk bertahan hidup, kecuali jika dilakukan langkah-langkah yang menentukan untuk menyelamatkannya.

“Selama empat puluh tahun penelitian, saya tidak berpikir saya akan melihat sesuatu yang dramatis ini,” kata Profesor William Laurance dari James Cook University di Australia, pemimpin tim peneliti.

“Ini hanya spesies ketujuh dari Kera Besar yang pernah ditemukan, dan itu bisa punah tepat di depan mata kita,” kata Profesor Jatna Supriatna dari Universitas Indonesia, salah satu penulis studi tersebut.

“Kurang dari 800 kera bertahan hidup, dan mereka terancam kepunahan akibat berbagai mega proyek, penggundulan hutan, pembangunan jalan, dan perburuan,” kata Dr Sean Sloan, penulis utama artikel dalam Journal Current Biology.

“Seluruh habitat mereka yang tersisa luar biasa kecil – kurang dari sepersepuluh ukuran Sydney, Australia,” kata Sloan.

Para peneliti mengatakan ancaman yang paling dekat adalah sebuah bendungan raksasa senilai $ 1,6 miliar yang direncanakan – proyek Batang Toru – yang akan dibangun oleh perusahaan milik negara Cina, Sinohydro, dan didanai oleh para pemodal China.

“Jika itu terjadi, bendungan akan membanjiri bagian penting habitat kera, seraya mencabut habitat yang tersisa dengan jalan dan jaringan listrik baru,” kata Supriatna.

Tim menemukan bahwa kera hanya bertahan di daerah-daerah yang hampir tidak memiliki jalan, yang membuka akses bagi pembalakan liar, penebangan, dan perburuan liar.

“Ini adalah ujian kritis bagi Cina dan Indonesia. Mereka mengatakan pembangunan berkelanjutan – tetapi kata-kata itu murah,” kata Laurance.

“Tanpa tindakan segera, ini bisa menjadi kiamat ekologis untuk salah satu kerabat terdekat kita.”[]

Sumber: www.eurekalert.org

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PN Meulaboh “Lawan” MA, Batalkan Hukuman PT Kallista Alam Milyaran Rupiah

Jakarta – PT Kallista Alam, pelaku pembakaran lahan gambut Tripa yang dikenal sebagai ‘Ibukota Orangutan Dunia’, dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, kini diberikan pengampunan oleh Pengadilan Negeri Meulaboh yang kini diprotes oleh pengamat lokal dan internasional.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat, GeRAM, melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada hari Kamis (3/05/2018) di Jakarta. Pada sidang tanggal 13 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam
(PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Para pendemo meminta agar hakim Said Hasan, yang memimpin sidang gugatan antara PT KA melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperiksa dan diskors karena secara kontroversial memberikan perlindungan hukum dan memutuskan tidak akan mengeksekusi denda yang harus dibayar oleh PT KA.

“Ada dugaan pelanggaran disini, dimana putusan Mahkamah Agung tidak dieksekusi selama bertahun-tahun oleh PN Meulaboh. Kami meminta badan pengawas Mahkamah Agung untuk turun dan memeriksa kasus ini,” kata Harli Muin, koordinator aksi.

Keputusan hakim ini mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya demo oleh GeRAM, sehari sebelumnya, Crisna Akbar dari Rumoh Transparansi mengadukan dugaan indikasi penyimpangan dalam eksekusi Putusan MA terhadap PT KA ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nomor pengaduan 96297
pada hari Rabu (2/05/2018). “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar,” ujar Crisna.

Pada 13 April lalu, Majelis Hakim yang dipimpin Said Hasan, Muhammad Tahir, anggota; T.Latiful, anggota, dalam Register Perkara Perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo menyatakan menerima Gugatan PT KA. Hakim beralasan bahwa bukti koordinat yang salah yang diberikan KLHK pada kasus sebelumnya menjadi alasan bagi hakim eksekusi putusan terhadap PT KA. Pada perkara ini, PT KA mengajukan gugatan terhadap KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh. Belum jelas apakah KLHK akan melakukan banding.

Penyelamatan Orangutan di Rawa Tripa | Foto: YEL

Hal ini berlawanan dengan putusan sebelumnya, dimana PN Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA untuk membayar denda sebesar Rp. 366 milyar yang terdiri dari Rp. 114,3 milyar sebagai kompensasi ke kas negara dan Rp. 251,7 milyar untuk merestorasi 1.000 hektar lahan gambut yang terbakar dan hancur. PT KA mengajukan banding pada tanggal 28 Agustus 2015 ke Mahkamah Agung, namun MA menolak banding dan memerintahkan perusahaan tersebut untuk tetap membayarkan denda.

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk  akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan
motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang juga menjadi saksi fakta dalam sidang melawan PT KA pada kasus sebelumnya.

“Keputusan Pengadilan Negeri Meulaboh bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa PT KA bersalah. Tentu saja ini menimbulkan preseden buruk untuk reputasi sistem hukum di Indonesia,” kata Dr Ian Singleton dari Sumatran Orangutan Conservation Programme. “Penetapan oleh MA tersebut membawa angin segar bagi hukum lingkungan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa negara ini komit untuk melawan perubahan iklim. Namun, jika semua itu bisa dengan mudah diubah oleh satu putusan kontroversial hakim PN, maka ini bisa menjadi kemunduran besar bagi hukum negeri ini,” Ian menyimpulkan.

Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, mengatakan, “Seharusnya PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap Putusan MA. PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PT KA
dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal yang aneh.”

“Seharusnya, tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan”, kata Fahmi. “Dan juga koordinat yang melenceng akibat salah seharusnya tidak menjadi dasar justifikasi kerugian akibat kebakaran lahan yang disebabkan oleh PT KA.”

Pada sidang pengadilan ke – 13 dalam perkara ini, pada tanggal 30 Maret 2018, saksi ahli KLHK, mantan Hakim Pengawas di Mahkamah Agung, Abdul Wahid Oscar, menyatakan, “Menurut pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985, Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.
Kasus lingkungan bukan berorientasi pada lahan atau apakah izin ada atau tidak, tetapi fokus pada kerugian yang ditimbulkan.”

Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Jutaan ton karbon lepas ke atmosfer setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, Lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap karbon sebanyak 1200 ton per hektar. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, membantu sektor perikanan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.

T.M. Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menambahkan, “Kami mengamati perkembangan di gambut Tripa semenjak kasus ini terangkat pada tahun 2012. Dari tahun 2013 hingga 2017, deforestasi hutan primer di Tripa mencapai 4.069 hektar, yang mana 60 hektar berada di dalam HGU PT Kalista Alam. Pada periode yang sama, jika dianalisis melalui VIRSS, layanan satelite pendeteksi titik api, ada 2.564 titik api di Tripa, yang mana 193 titik berada di dalam HGU PT KA. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sedang menjalani kasus hukum, PT KA tidak menghormati sistem hukum di Indonesia.”

Lain halnya dengan kasus pidana, hakim PN Meulaboh, dengan perkara No 131/Pid.B/2013/PN MBO dan 133/Pid.B/2013/PN MBO, telah menghukum Manager Pengembangan PT.KA, Khamidin Yoesoef, 3 tahun penjara yang sudah dijalani oleh terpidana. [rel]

 

 

 

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP Telah Lepaskan 105 Orangutan di Hutan Jantho

BANDA ACEH – Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Senin (30/4/2018) melaksanakan kegiatan Focus Group Disscussion (FGD) tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho.

Dalam FGD itu, YEL, Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan 105 orangutan ke kawasan konservasi hutan pinus Jantho sejak tahun 2011.

“Dilepasliarkan dengan tujuan untuk membangun satu populasi baru spesies kera besar yang sangat terancam punah ini,” kata Koordinator Program YEL-SOCP Wilayah Aceh, TM Zulfikar, Selasa (1/5/2018).

Zulfikar mengatakan, sebagian kerja YEL-SOCP di Jantho adalah melakukan pemantauan Orangutan pasca pelepasliaran. Untuk mencapai target ini telah dibentuk tim khusus pemantauan yang melakukan penjagaan dan patroli di seluruh Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Ini untuk memantau sebaran orangutan dan juga pemantauan ancaman terhadap kawasan dan keanekaragaman hayatinya.

Hasil dari kegiatan selama dua tahun terakhir, YEL-SOCP membuktikan bahwa masih terdapat berbagai ancaman di dalam kawasan konservasi Jantho, antara lain penebangan liar (illegal logging), perburuan satwa (rusa, rangkong beruang, dll), penangkapan satwa seperti burung hias, pembakaran lahan skala besar, serta beberapa bentuk kejahatan hutan dan lingkungan lainnya.

Untuk itulah YEL bersama BKSDA Aceh melaksanakan sebuah FGD tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. “Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan dan menguatkan keamanan serta proses penegakan hukum terhadap pelanggar di Kawasan Hutan Konservasi Jantho,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Dari kegiatan FGD tersebut, semua pihak sepakat untuk melakukan aktivitas pengamanan bersama di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang akan dilakukan antara lain yang bersifat Prevemtif, seperti upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menentukan peran aktif masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan dalam bentuk kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kawasan hutan konservasi.

Aktifitas lainnya yang akan dilakukan adalah langkah-langkah preventif, yakni kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan, antara lain dengan membangun pos penjagaan, patroli secara rutin di kawasan konservasi.

Selain itu juga diharapkan proses penegakan hukum dapat dilaksanakan segera terutama untuk para pelaku kejahatan hutan dan lingkungan di kawasan Konservasi Hutan Jantho. Untuk itu peran aktif dan ketegasan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sangat diharapkan.

Kegiatan FGD dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan pelaku penegakan hukum seperti Pimpinan dan Staf BKSDA Aceh, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas LHK Aceh, KPH Wilayah I, Perwakilan Polda Aceh, Kodim 0101/AB, Polres Pidie dan Polres Aceh Besar, Polsek dan Koramil Jantho, Jantho Rangers, serta beberapa unsur NGO/LSM konservasi seperti FKL, FFI, HAkA dan YEL-SOCP.[acl]

read more
Pejuang Lingkungan

Ian Singleton, Penjaga Orangutan Aceh

Bagi anda yang terlibat dalam dunia konservasi Orangutan, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pria asal Inggris yang lahir pada tahun 1966 sejak usia muda sudah mendedikasikan dirinya melestarikan Orangutan. Ian Singleton namanya, awal berkenalan dengan Orangutan ketika ia bekerja di Kebun Binatang Jersey pada tahun 1989 sebagai penjaga Orangutan. Penyandang gelar BSc (hons) Ilmu Lingkungan ini memang menyukai bekerja bersama hewan liar.

Awal ia “terdampar” di Indonesia adalah saat Ian mengambil liburan ke Indonesia untuk belajar tentang orangutan di alam liar dan akhirnya mengembangkan rencana PhD. Ia memulai risetnya pada tahun 1996 di Aceh Selatan dan menyelesaikan studinya akhir tahun 2000. “Saya kemudian mendekati Regina Frey dan PanEco karena saya tahu mereka baru memulai proyek konservasi Orangutan di sini dan saya dipekerjakan untuk membantu mengaturnya”ujar Ian. Disertasi PhD nya tentang perilaku Orangutan Sumatera dan pergerakan musiman di hutan rawa.

Pria ini sekarang menjabat Direktur Konservasi di lembaga konservasi internasional Yayasan PanEco. Pekerjaan utamanya adalah mengawasi dan mengarahkan semua aspek Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP). ” Ini melibatkan banyak pekerjaan kantor dan pertemuan tetapi saya juga masih sering pergi ke hutan dan melakukan langsung sejumlah pekerjaan dengan tangan saya sendiri. Namun, semakin banyak pekerjaan manajemen seperti membuat proposal, penggalangan dana, laporan, masalah staf, melobi, rapat, mengembangkan proyek baru, dll.

Ian Singletan cukup bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan masih bisa pergi ke hutan setiap saat dan mengembalikan Orangutan ke alam liar. Ian juga senang merawat Orangutan yang sakit agar kembali sehat dan dapat dilepasliarkan ke alam bebas.

Sumber: www.orangutan.org.au

read more
Flora Fauna

Pongky Akhirnya Bebas Setelah 10 Tahun Dalam Jeruji Besi

Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information centre (YOSL-OIC) dan Sumatran Orangutan Society berhasil memberikan kesempatan kedua untuk kebebasan satu orangutan Sumatera bernama Pongky setelah lebih dari dua tahun melakukan kampanye untuk kebebasan Pongky.

Pongky, adalah orangutan Sumatera jantan berusia sekitar 14 tahun, sebelumnya dipelihara selama satu dekade di kandang kawat kecil oleh seorang oknum polisi berpangkat tinggi di provinsi Aceh. Kemudian Pongky ditemukan oleh tim dari YOSL-OIC pada bulan Juli 2013. Tim YOSL-OIC segera melaporkan kasus ini ke pihak BKSDA Aceh. Pongky kemudian disita dari oknum polisi tersebut dan dibawa ke Kebun Binatang Medan, Sumatera Utara.

Orangutan Sumatera  saat ini ‘sangat terancam punah’, dengan hanya sekitar 6.600 individu yang tersisa di alam liar, karena hilangnya habitat alami mereka untuk perkebunan dan pembangunan jalan, konflik manusia-satwa liar dan perburuan. Orangutan Sumatera sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nomor 5 tahun 1990 yang melarang memelihara, membunuh, melukai, mengangkut dan memperdagangkan spesies sini. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia, yang ditetapkan dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017, bahwa semua orangutan sitaan dari perdagangan hewan dan peliharaan harus dimasukkan dalam program rehabilitasi untuk dikembalikan ke hutan.

Helen Buckland, Direktur SOS, mengatakan ketika Pongky disita tapi kemudian dipindahkan ke Kebun Binatang Medan, ia hanya bertukar dari satu kehidupan di balik jeruji besi ke jeruji besi lainnya. Dia seharusnya tidak pernah dikirim ke kebun binatang – ia harusnya segera diberi kesempatan kedua untuk hidup di alam liar.

Berbagai organisasi konservasi dan individu yang peduli langsung melobi kebun binatang untuk menyerahkan Pongky ke pusat karantina orangutan spesialis Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) yang berlokasi di luar Medan dengan tujuan akhir mengembalikan Pongky kembali ke alam liar. Kampanye untuk mendapatkan Pongky dari kebun binatang menarik perhatian dan dukungan seluruh dunia. Sehingga Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan meminta kebun binatang untuk memindahkan Pongky ke karantina SOCP.

Panut Hadisiswoyo, Direktur YOSL-OIC, menjelaskan, “Kami tidak menyerah! Kami terus melobi pemerintah dan kebun binatang untuk melepaskan Pongky. ”

Upaya ini akhirnya terbayar dan hari ini, Pongky akhirnya direlokasi dari Kebun Binatang Medan ke pusat karantina SOCP.

Panut Hadisiswoyo menegaskan, “Setelah lebih dari 2 tahun kerja keras dan kampanye, Pongky akhirnya telah diberikan kesempatan untuk bebas hari ini. Ini adalah hasil yang fantastis, tidak hanya untuk dia tapi juga untuk orangutan lainnya yang masih membutuhkan penyelamatan dari perdagangan satwa dan peliharaan ilegal. ”

Panut Hadisiswoyo mengatakan masih ada perjalanan panjang ke depan untuk Pongky sebelum dia bisa dilepaskan tapi mereka optimis bahwa Pongky memiliki peluang bagus untuk menjadi orangutan liar lagi, di hutan di mana ia berada. “Kami berterima kasih kepada pemerintah atas bantuan dan dukungan dalam memastikan kesejahteraan jangka panjang Pongky dan memberikan dia kesempatan ini, “kata Panut.

Drh Yenny Saraswati, dokter hewan senior di SOCP menyatakan, “Kami sangat senang akhirnya Pongky dari diberi kesempatan untuk menjadi orangutan liar bebas lagi. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah memberinya sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kami kemudian akan melakukan pemerikasaan kesehatan lengkap, memastikan apakah Pongky bebas dari penyakit seperti TBC dan hepatitis. Setelah kita memiliki hasil tes nya, kita kemudian akan dapat memutuskan apakah Pongky memang dapat kembali ke kehidupan di alam liar, atau apakah kita harus mencari solusi jangka panjang alternatif untuk perawatannya. Kesehatan dan kesejahteraan semua orangutan di Sumatera selalu kami nomorsatukan, dan apa pun hasilnya, pasti Pongky sekarang dalam kondisi yang jauh lebih baik dan sangat lebih baik daripada sebagai hewan peliharaan ilegal dan berada di Kebun Binatang Medan. Pongky memiliki  kesempatan untuk bebas sekali lagi jika semua berjalan dengan baik. ”

Sementara Kepala BKSDA Aceh Genman S Hasibuan, menyambut baik kerjasama Kebun Binatang Medan yang telah menyerahterimakan kembali kepada BKSDA Aceh orangutan Pongky untuk direhabilitasi di SOCP dan kemudian dilepasliarkan kehabitat alaminya. [rel]

read more
Hutan

Aktivis Rawa Tripa Desak Hakim Lingkungan Berlaku Adil

Tim Koalisi Penyelematan Rawa Tripa (TKPRT) memberi apresiasi kepada hakim-hakim yang bersertifikasi lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Provinsi Aceh yang telah menghukum perusahaan dan direksi perusahaan yang membakar lahan gambut di Rawa Tripa dalam Kawasan ekosistem Leuser (KEL) di Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

TKPRT mencatat perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam dan direksinya telah divonis bersalah oleh pengadilan baik perdata maupun pidana di PN Meulaboh.

Kemudian kasus pidana perusahaan kelapa sawit, manager PT. Dua Perkasa Lestari di Aceh Barat Daya juga telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Tapak Tuan karena kebakaran lahan gambut masing-masing seluas 1.000 hektar.

Dari rentetan kasus tersebut, masih ada satu perusahaan kelapa sawit PT. Surya Panen Subur 2 (SPS 2) yang diduga telah melakukan pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektar di kawasan Rawa Tripa KEL, Kabupaten Nagan Raya belum mendapat vonis pengadilan secara pidana di PN Meulaboh.

Pengadilan Negeri Meulaboh akan membacakan vonis kepada PT. SPS 2  pada Kamis, 28 Januari 2016 besok, TKPRT mendesak hakim yang sudah bersertifikasi lingkungan menghukum perusahaan dan para direksinya dengan hukuman yang seadil-adilnya dan lebih memperhatikan kelestarian serta penyelamatan lingkungan hidup di Kawasan Rawa Tripa dalam KEL.

TKPRT mencatat proses persidangan perkara pidana PT. SPS 2 ini sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak tahun 2013 lalu. TKPRT meminta hakim memberikan putusan yang bijak terhadap perkara pidana PT. SPS.

Belajar dari pengalaman persidangan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan di Pengadilan Negeri Palembang beberapa waktu lalu, dimana gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai 7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Sebaiknya hal tersebut tidak terulang kembali di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat. Saat itu Ketua Majelis Hakim PN Palembang Parlas Nababan memenangkan perusahaan tersebut dan menganggap tuduhan yang diberikan kepada perusahaan tidak bisa dibuktikan.

Kasus yang kemudian menjadi perhatian publik tersebut diduga/ada indikasi telah terjadi pelanggaran kode etik atau adanya perilaku hakim yang menyimpang ketika melakukan proses persidangan. Untuk itu kepada semua pihak diharapkan dapat melakukan pemantauan secara bersama-sama, ungkap TM Zulfikar, Communication Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang juga salah seorang anggota TKPRT yang selama ini sangat aktif melakukan advokasi di Kawasan Lindung Gambut Tripa tersebut.

Oleh karena itu kepada majelis hakim lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat sedapat mungkin bisa berlaku adil dan punya komitmen untuk menjaga lingkungan kita dari bencana kebakaran hutan dan lahan yang beberapa waktu ini kerap terjadi di beberapa tempat di Indonesia. (rel)

read more
1 2 3 4 5 6 7
Page 4 of 7